BAB II TINJAUAN TEORI
A. Phlebitis 1.
Pengertian Dalam pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya komplikasi. Komplikasi yang bisa didapatkan dari pemberian terapi intravena
adalah
komplikasi
sistemik
dan
komplikasi
lokal.
Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti kelebihan sirkulasi, emboli udara dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain infiltrasi, phlebitis, trombophlebitis, hematoma, dan ekstravasasi (Potter and Perry, 2005) Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002). Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.
7
2.
Klasifikasi Phlebitis Pengklasifikasian
phlebitis
didasarkan
pada
faktor
penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006) a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia) Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi
yang
lebih
asam
untuk
mencegah
terjadinya
karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa
digunakan
dalam
nutrisi
parenteral
lebih
bersifat
flebitogenik. Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan
8
hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Menurut Imam Subekti vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding. Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006). Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut. (Darmawan, 2008) b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik) Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter intravena.
Penempatan katheter pada
area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena
9
pada saat
ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut
bergerak dan meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease Control and Prevention, 2002) c.
Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri) Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter – related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah
Pathogen Coagulase-negatif Staphylococcus S Aureus Enterococcus Gram-negatif rods E coli Enterobacter P aeruginosa K pneumoniae Candida species
1986 - 1989 27 16 8 19 6 5 4 4 8
1992 - 1999 37 13 13 14 2 5 4 3 8
CDC. National Nosocomial Infection Surveillance(NNIS) dipublikasikan 2001.
Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain : 1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik. 2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan. 3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk. 4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)
10
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan tindakan invansif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, tehnik cuci tangan yang baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat, terutama sarung tangan yang robek ( CDC, 1989). Tujuan dari cuci tangan sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan sabun biasa dan air, sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990). Selama
prosedur
pemasangan
atau
penusukan
harus
menggunakan tehnik aseptic. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptic. Lama pemasangan katheter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian phlebitis. May dkk (2005) melaporkan hasil, di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 7296 jam untuk membatasi potensi infeksi (Darmawan, 2008) d. Post Infus Phlebitis Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah
11
peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lai : 1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik. 2) Pada pasien dengan retardasi mental. 3) Kondisi vena yang baik. 4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam. 5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
3.
Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian phlebitis, yaitu : Tabel 2.2 VIP Score ( Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.
SKOR 0 1
2
KEADAAN AREA PENUSUKAN Tempat suntikan tampak sehat Salah satu dari berikut jelas a. Nyeri area penusukan b. Adanya eritema di area penusukan Dua dari berikut jelas ; a. Nyeri area penusukan b. Eritema c. pembengkakan
PENILAIAN Tak ada tanda phlebitis Mungkin phlebitis
tanda
dini
Stadium dini phlebitis
3
Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi
Stadium moderat phlebitis
4
Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi d. venous chord teraba
Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis.
12
5
Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi d. venous chord teraba e. demam
Stadium lanjut thrombophlebitis
INS (Infusion Nursing Society)2006. 4.
Tindakan Pencegahan Phlebitis Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain ; a.
Mencegah phlebitis bakterial Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis
kulit.
Untuk
pemilihan
larutan
antisepsis,
CDC
merekomendasikan penggunaan chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan. b. Selalu waspada dan tindakan aseptic. Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah ) merupakan jalan masuk kuman. c.
Rotasi katheter. May dkk (2005) melaporkan hasil
pemberian Perifer
Parenteral Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien
13
menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk
disimpulkan bahwa
kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi. d.
Aseptic dressing INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.
e.
Kecepatan pemberian Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
f.
Titrable acidity Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah
14
(0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya. g.
Heparin dan hidrokortison Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter. Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
B. Jenis cairan infus Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan tersebut yang akan dibedakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan, besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau kandungan dalam suatu larutan infus (PT Otsuka Indonesia, 2009) Pembagian cairan infus menurut tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat dalam larutan tersebut, antara lain : 1. Larutan isotonik. Adalah cairan infus yang mempunyai tekanan osmotik sama seperti cairan tubuh normal. Sebagai contoh : normal saline (Na Cl0,9%), Ringer Laktat (RL). 2. Larutan hipotonik Larutan dikatakan hipotonik apabila mempunyai tekanan osmotic lebih rendah dari cairan tubuh, misalnya : D5%, dan cairan rumatan.
15
3. Larutan Hipertonik Cairan infus yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari plasma darah disebut hipertonik. Contohnya adalah cairan manitol. Berdasarkan besar molekul yang terkandung dalam suatu larutan, cairan infus dapat dibedakan menjadi : 1. Cairan koloid. Mempunyai ukuran molekul yang besar, sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler. Contohnya adalah larutan albumin dan steroid. 2. Cairan kristaloid. Ukuran molekulnya lebih kecil disbanding cairan koloid. Cairan ini berfungsi untuk mengisi sejumlah volume cairan kedalam plasma (volume expander). Misalnya cairan NaCl 0,9% dan RL. Sedangkan berdasarkan komposisi yang terkandung dalam suatu cairan infus, dapat dibedakan menjadi : 1. Cairan elektrolit Cairan ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan beberapa elektolit tubuh yang mengalami kekurangan, misalnya NaCl, RL, Ringer Asetat. 2. Cairan nutrisi Untuk cairan ini komposisi yang ada dalam larutan diberikan untuk memberikan dukungan nutrisi (PT Otsuka Indonesia, 2009).
C. Nutrisi Parentral 1. Pengertian Istilah untuk pemberian cairan nutrisi yang diberikan secara parenteral ada bermacam – macam. Istilah Intravenous Hyperalimentasion (IVH) sering dihubungkan dengan pemberian asam amino dan cairan hiperosmoler dekstrosa yang banyak, yang menghasilkan produksi nitrogen dalam proses katabolisme. Total Parenteral Nutrition (TPN) sering diartikan pemberian semua kebutuhan nutrisi melalui jalur intravena. Suplemental Parenteral Nutrition (SPN)
adalah pemberian
beberapa substrat nutrisi yang diperlukan. Ada lagi istilah central
16
parenteral nutrition (CPN) dan peripher parenteral nutrition (PPN), yang dihubungkan dengan rute atau cara yang digunakan dalam memberikaan cairan nutrisi parenteral, apakah melalui akses vena perifer ataukah melalui akses vena sentral. Dari semua istilah tersebut TPN lebih sering digunakan sebagai pengertian pemebrian nutrisi melalui jalur vena, walaupun para ahli lebih menyukai penggunaan istilah Parenteral Nutrition atau PN ( Hamilton, Helen. 2000). 2. Indikasi pemberian Setiap pasien yang masuk RS harus dinilai status nutrisinya dengan cepat (quick nutritional assesment) untuk dapat memberikan informasi tentang kebutuhan akan dukungan nutrisi yang diperlukan. Pengkajian yang dilakukan bisa melalui parameter penampilan klinis ataupun melalui pemeriksaan biokimia. Untuk penampilan klinis dapat dilakukan asessmen tentang total kehilangan berat badan, riwayat vomitus, anoreksia, diare dan penilaian klinis pada otot dan jaringan lemak. Pemeriksaan biokimia bisa dilakukan mulai dari yang sederhana, misalkan pemeriksaan yang sering dilakukan adalah penilaian terhadap serum albumin. Nilai kadar albumin kurang dari 3,5 gr/dl mengindikasikan adanya malnutrisi moderat, sedangkan nilai albumin kurang dari 3 gr/dl dikatakan sebagai kondisi malnutrisi berat. Penilaian biokimia dapat dilakukan yang lebih akurat dengan pemeriksaan serum pre-albumin dan retinol, akantetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan dan butuh biaya mahal. (Labeda, 2001) Sebagai contoh pasien yang didapatkan keadaan malnutrisi berat harus segera mendapatkan dukungan nutrisi, melalui jalur intravaskuler apabila jalur enteral tidak memungkinkan. Beberapa keadaan yang diindikasikan untuk pemberian nutrisi parenteral, antara lain : Tabel 2.3 Indikasi pemberian nutrisi parenteral
Absolut Kondisi saluran pecernaan yang tidak adekuat. Short Bowel Syndrome ( oleh karena prosedur operasi) Illeus paralitik.
17
Adanya obstruksi mekanik non-operatif. Relative Severe radiation enteritis. Diarhe refractory. Kelainan serum elektrolit, glukosa dan mineral. Intoleran pemberian makanan enteral. Vomiting refractory. American Dietetic Association (ADA), 2007
3. Komposisi nutrisi parenteral a. Larutan dextrose hipertonik. Larutan Dextrosa Hypertonik adalah larutan awal yang digunakan untuk TPN. Larutan dektrosa hipertonik ini harus di infus melalui jalur sentral vena besar, high-flow untuk menghindari thrombophlebitis. b. Larutan lemak (lipid) Lemak menghasilkan 9 kalori/gram sedangkan dextrosa menghasilkan 4 kalori/gram. Keuntungan tambahan dari larutan lemak adalah isotonis, sehingga dapat di infus lewat perifer. Lemak sangat dibutuhkan oleh pasien-pasien yang mengalami stress, karena metabolisme lebih banyak penggunaan lemak daripada glukosa selama stress phase. Larutan lemak juga mengandung asam lemak esensial seperti acid Arachidonic, acid Linolenic, dan acid Linoleic meskipun kandungannya sangat kecil. Larutan lemak untuk TPN berupa emulsi (minyak dalam air) yang stabil tapi tidak dapat bertahan dengan beberapa zat tambahan. Penambahan dextrosa konsentrasi tinggi atau larutan acidic/obat-obatan dapat merusak emulsi ini, lemak akan membentuk lapisan pemisah. Infus dengan larutan yang telah terurai ini dapat berakibat fatal. Meskipun hal seperti ini jarang ditemukan, tetapi tetap harus diperhatikan bila mencampur emulsi lemak dengan larutan lain.
18
c. Larutan asam amino Larutan asam amino harus dibedakan dari larutan protein tersedia lainnya misalnya Albumin atau Plasma. Larutan Albumin dan Plasma mengandung molekul protein yang lebih besar yang akan dipecah menjadi asam amino sebelum digunakan untuk menyusun komposisi protein baru.
Sebaliknya asam amino sederhana dapat
digunakan secara langsung untuk menyusun komposisi protein baru. Larutaan asaam amino tidak menimbulkan resiko transmisi infeksi seperti pada larutan Albumin atau Plasma.
Asam amino jika dioxidasi
menghasikan 4 kal/gr. Walaupun demikian larutan ini, harus dilindungi dari oxidasi yang tidak perlu dan harus murni digunakan untuk penyusunan protein.
Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan
sejumlah substrat energi yang adekuat secara bersamaan (dextrose, lemak). Untuk itu, sebelum infus asam amino diberikan, ketersediaan kalori yang adekuat harus dipastikan dulu. Ada beberapa macam larutan asam amino yang bersifat khusus dalam penggunaannya, yang biasaanya disesuaikan dengan penyakit dasarnya.
Pada pasien-pasien dengan penyakit hati lebih baik
menggunakan asam amino Branched-chain. Larutan asam amino yang diperkaya dengan Glutamine terbukti meningkatkan survivalitas pada pasien-pasien dengan stress.
Arginine memperbaiki fungsi imun.
Larutan asam amino yang diperkaya dengan asam amino esensial terbukti bermanfaat pada pasien-pasien dengan gagal ginjal. Sediaan asam amino biasanya dalam larutan 10%. Ini terlalu hyperosmolar untuk penggunaan perifer.
Tersedia juga larutan 5%
yang dapat digunakan secara perifer untuk beberapa hari. Asam amino tidak mempunyai efek samping yang berat. Meskipun demikian asam amino dosis tinggi harus dihindari pada Encephalopathy hepatis. (Labeda.Ibrahim, 2001)
19
d. Multivitamin dan Trace elemen Kebanyakan pasien telah mengalami defesiensi vitamin dan trace elemen saat diberikan TPN, sehingga harus diberikan suplemen sesegera mungkin. Larutan multivitamin dan Trace Elemen keduanya relatif tidak stabil bila dicampur dan tidak tersedia dalam komposisi larutan TPN siap pakai serta digunakan hanya sebelum larutan yang lain diberikan. Trace Elemen oral dapat diberikan jika pasien mampu untuk intake oral walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. e. Zat additive lainnya. Pada pasien diabetes cenderung terjadi hyperglicaemi karena penggunaan larutan hypertonis dengan volume yang besar. Bahkan pasien non-diabetes harus memerlukan insulin jika terdapat glycosuria selama infus dextrosa hypertonis. Suplemen Calcium diberikan secara khusus karena merusak larutan TPN dan jika dibutuhkan diberikan lewat jalur vena lainnya. Jika bercampur dengan larutan TPN, calcium dapat menyebabkan presipitasi dari setiap phosphate inorganik dalam larutan tersebut dan infus seperti ini sangat berbahaya. Dengan adanya lemak dalam larutan TPN akan mengganggu perkiraan presipitasi yang terjadi. Larutan-larutan TPN khusus yang mengandung phophate organik yang tidak dapat terpresipitasi juga mengandung calcium. Heparin kadang-kadang juga ditambahkan pada larutan all-inone
dengan
kadar
thrombophlebitis
dan
yang
kecil
thrombosis
untuk vena.
mengurangi Juga
terjadinya
memperlancar
metabolisme lemak. f. Larutan All in one Larutan-larutan all-in-one (juga disebut dengan larutan Threein-one) merupakan pengembangan terapi TPN yang paling besar saat ini. Larutan asam amino, larutan dextrosa hypertonik dan emulsi lemak dicampur didalam satu komposisi dan diberikan sebagai infus. Keuntungan dari jenis ini adalah:
20
1) Mengurangi resiko infeksi.
Setiap penggantian botol infus di
bangsal membawa resiko infeksi melalui jalur sentral.
Dengan
penambahan semua larutan ke dalam satu wadah yang aseptik akan mengurangi jumlah penggantian infus menjadi sekali sehari, mengurangi angka kejadian infeksi. 2) Larutan yang diberikan menjadi lebih cair. Dengan penambahan larutan asam amino dan larutan lemak akan melarutkan larutan dextrosa dan sebaliknya.
Sehingga 250 gr glukosa (rata-rata
kebutuhan perhari) dapat diberikan seperti halnya 1000 ml dextrosa 25% atau seperti halnya 2.500 ml dextrosa 10%. 2.500 ml larutan, pada contoh ini, dapat dicapai dengan mencampurkan 1000 ml dextrosa 25% dengan 500 ml larutan lemak, 500 ml larutan asam amino dan 500 ml normal saline. Ini akan melarutkan dextrosa dan larutan asam amino hypertonis. Dengan campuran kadar lemak yang tinggi dari larutan Three-in-one, infus lewat vena perifer dapat diberikan.
4. Komplikasi pemberian nutrisi parenteral Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat pemberian cairan nutrisi parenteral harus selalu menjadi perhatian, baik komplikasi metabolik maupun komplikasi terkait dengan jalur pemberian cairan nutrisi parenteral. Komplikasi metabolik akibat pemberian cairan nutrisi parenteral bisa menjadi serius, tetapi bisa diminimalkan dengan pemantauan yang adekuat. Komplikasi metabolic mencakup defisiensi metabolic, khususnya kalium, magnesium fosfor dan magnesium. Dengan pemberian dektrosa bisa menimbulkan kejadian hiperglikemia, yang dapat memperburuk prognosa penyakit yang diderita misalkan mikoard infark, stroke, dan pasien post operasi jantung. Keadaan hiperglikemia juga bisa mengganggu fungsi leukosit sehingga meningkatkan angka kejadian
21
infeksi nosokomial. Hipertrigliseridemia bisa meningkatkan resiko perlemakan hati (steatosis hepatis). Tabel 2.4 Komplikasi metabolik terkait pemberian nutrisi parenteral Komplikasi
Bukti
Hiperglikemia Hipoglikemia KAD
Lebih dari 12 mmol/L Kurang dari 3 mmol/L pH arteri kurang dari 7,3 ditambah bendo keton urin atau serum HONK Glukosa darah sangat tinggi, osmolaritas serum lebih dari 350 mOsm/L, tanpa benda keton Kelainan elektrolit Nilai serum diluar kisaran normal Hipertrigliseridemia Lebih dari 150% pagu atas normal Asidosis Hiperkloremik Serum Chlorida lebih 115 mmol/L, pH kurang 7,3 Hiperazotemia Lebih dari dua kali pagu atas normal. Disfungsi hati Hasil ALT,AST,ALP, dan bilirubin lebih dari dua kali pagu atas normal. Kelebihan cairan Gagal jantung, edema Koagulopati Waktu protrombin atau parsial tromboplastin time lebih dari150% pagu atas normal. ADA (American Dietetic Association)2007
Sedangkan komplikasi pada jalur pemberian nutrisi parenteral antara lain ; a. Jalur vena sentral Jenis komplikasinya ialah
trauma pada saraf-saraf dan pembuluh
darah yang berdekatan, pneumothorax, emboli udara, masuknya larutan TPN kedalam cavum pleura karena salah penempatan jalur dan infeksi. Letak dari pemasangan pada semua jalur vena sentral harus dipastikan dengan x-ray sebelum diberikan infus.
Harus dengan
prosedur aseptik. b. Jalur vena perifer. Thrombophlebitis merupakan komplikasi tersering dari TPN perifer.
22
D. Kerangka Teori
Faktor Kimia 1. pH cairan. 2. Osmolaritas cairan. Faktor Mekanik 1. Bahan Kateter 2. Ukuran kateter. 3. Lama pemasangan (time in situ) 4. Lokasi pemasangan. 5. Tehnik Pemasangan
KEJADIAN PHLEBITIS
Faktor Bakteri 1. Tindakan aseptic tidak adekuat. 2. Peralatan infus yang tidak steril. 3. Perawatan balutan Post Infus 1. Kondisi vena 2. Tehnik pemasangan 3. Pasien Retardasi Mental Faktor Lain 1. Jenis Kelamin. 2. Status nutrisi. Gambar 2.1 INS, 2006 ; CDC, 2002.
23
E. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
1. Osmolaritas cairan. 2. Lokasi pemasangan. 3. Perawatan balutan. 4. Jenis Kelamin
Kejadian Phlebitis
Gambar 2.2
Keterangan
: area penelitian
24
F. Variabel Penelitian 1. Variabel dependen
:
kejadian phlebitis.
2. Variabel independen
: Jenis kelamin, osmolaritas cairan, lokasi
pemasangan, perawatan balutan. G. Hipotesa Pada penelitian diskriptif tidak diperlukan adanya hipotesa karena penelitian
ini
bertujuan
mendiskripsikan
mengenai
fenomena
yang
ditemukan, baik berupa faktor resiko maupun efek atau hasil. Data hasil penelitian disajikan apa adanya (Sastroasmoro, 2008).
25