BAB II TINJAUAN TEORI
A. Perilaku Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu (Sunaryo, 2004). Perilaku individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat adanya rangsangan (stimulus) baik dari dalam dirinya sendiri (internal) maupun dari luar individu (eksternal). Pada hakekatnya perilaku individu mencakup perilaku yang tampak (overt behaviour) dan perilaku yang tidak tampak (inert behavior atau covert behavior). Perilaku yang tampak adalah perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan alat sedangkan bantu, sedangkan perilaku yang tidak tampak adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti dengan menggunakan alat atau metode tertentu, misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut (Purwanto, 1999). Ciri-ciri perilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, serta keunikan dari setiap individu (Notoatmodjo, 2003). Tiap individu adalah unik, dimana mengandung arti bahwa manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain dan tidak ada dua manusia yang sama persis di muka bumi ini, walaupun ia dilahirkan kembar. Manusia mempunyai ciri-ciri, sifat, watak, tabiat, kepribadian, dan motivasi tersendiri yang membedakannya dari manusia lainnya. Perbedaan pengalaman yang dialami individu pada masa silam dan cita-citanya kelak dikemudian hari, menentukan perilaku individu di masa kini yang berbeda-beda pula (Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999). Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Maslow,
manusia
memiliki
5
kebutuhan
dasar,
yaitu:
kebutuhan
fisiologis/biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Sunaryo, 2004).
6
7
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Menurut Green (2000), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: faktor predisposisi ( predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2003; Green, 2000). 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) terwujud dalam: a. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, 2003). b. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, baik yang bersifat intern
maupun ekstern sehingga
manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus
tertentu ( Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999 ).
Tingkatan respon adalah menerima (receiving), merespon (responding), enghargai (valuing), dan bertanggung jawab (responsible) (Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999 ). c. Nilai-nilai Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang ( Green, 2000 ). d. Kepercayaan Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit
yang
( Green, 2000 ).
akan
berpengaruh
terhadap
kesehatannya
8
e. Persepsi Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek. Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang dimilikinya (Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, 2003 ). 2. Faktor-faktor pendukung(enabling faktor) Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik (Green, 2000). Faktor pendukung (enabling factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin. 3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku. Hal yang paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku perawat adalah motivasi. a. Pengertian Motivasi Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa latin “movere”, yang berarti mendorong atau menggerakkan. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku, beraktifitas dalam
9
pencapaian tujuan. Motivasi itu bersifat alami dan kebutuhan, motivasi itu timbul karena adanya kebutuhan seseorang yang harus segera dipenuhi untuk segera mencapai tujuan. Motivasi sebagai motor penggerak, maka bahan bakarnya adalah kebutuhan (Widayatun, 2005). Motivasi dapat diartikan sebagai “driving force” yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan berbuat dengan tujuan tertentu. Motivasi adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya tertentu yang ingin dicapai. Tingkah laku seseorang dipengaruhi serta dirangsang oleh keinginan, kebutuhan, dan kepuasannya. Rangsangan timbul dari dirinya sendiri (internal), dari luar
(eksternal) dan lingkungan. Rangasangan materiil dan non
materiil ini akan menciptakan motivasi yang mendorong orang bekerja atau
beraktifitas untuk memperoleh kebutuhan dan kepuasan dari
kerjanya (Hasibuan, 2005). b. Teori-teori motivasi Teori-teori motivasi manusia dibagi menjadi 3 yaitu: teori hedonisme, teori naluri dan teori berdasarkan kebutuhan Maslow. 1) Teori hedonisme Teori hedonisme adalah motivasi yang berhubungan dengan senang atau gembira. 2) Teori naluri Teori naluri adalah motivasi yang ada dalam diri manusia, atau motivasi yang akan menimbulkan perilaku kebudayaan. 3) Teori berdasarkan kebutuhan Maslow Sedangkan teori berdasarkan kebutuhan Maslow merupakan motivasi perilaku seseorang atau individu. c. Unsur-unsur motivasi 1) Motivasi merupakan suatu tenaga dinamis manusia dan munculnya merupakan rangsangan dari dalam atau luar 2) Motivasi seringkali ditandai dengan perilaku yang penuh emosi
10
3) Motivasi merupakan reaksi pilihan dari beberapa alternatif pencapaian tujuan 4) Motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan dalam diri manusia d. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manusia Menurut Walgito (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu sendiri terdiri atas jenis kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian dan intelegensi. 1) Fisik Motivasi seseorang dikaitkan dengan tipe fisiknya 2) Kepribadian Corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya yang digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap rangasang dari dalam maupun lingkungannya, sehingga corak dan cara kebiasaannya itu merupakan kesatuan fungsional yang khas pada manusia itu sendiri. 3) Intelegensi Merupakan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta efektif. Sehingga, orang yang mempunyai inteligensi tinggi akan lebih mudah menyerap informasi, saran dan nasehat terhadap kebiasaan yang dilakukan banyak orang (Walgito, 2004). Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) juga mencakup program kesehatan, peraturan, undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan perilaku serta sikap petugas kesehatan yang lain. Adanya kebijakan dan aturan mengenai pelaksanaan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah akan menjadi pendorong terbentuknya perilaku yang sesuai (Wahyono, 2004). Perilaku seseorang sangat erat kaitannya dengan profesi yang dijalani, tidak terkecuali dengan profesi sebagai seorang perawat.
11
C. Perawat Menurut Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992, menyebutkan bahwa perawat adalah orang yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Hidayat, 2004). Peran fungsi perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan peran perawat terdiri dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan peneliti (Hidayat, 2004). Keperawatan sebagai profesi merupakan salah satu pekerjaan dimana dalam menentukan tindakannya didasari pada ilmu pengetahuan serta memiliki keterampilan yang jelas dalam keahliannya, selain itu sebagai profesi keperawatan mempunyai otonomi dalam kewenangan dan tanggung jawab dalam tindakannya serta adanya kode etik dalam bekerja kemudian juga berorientasi pada pelayanan melalui pemberian asuhan keperawatan kepada individu, kelompok, atau masyarakat (Hidayat, 2004). Bentuk asuhan keperawatan ini sendiri merupakan suatu proses dalam praktik keperawatan yang langsung diberikan kepada klien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan, dengan menggunakan metodologi proses keperawatan,
berpedoman
pada
standar
keperawatan,
dilandasi
etik
keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan. Praktik keperawatan juga merupakan tindakan mandiri perawat profesional melalui kerja sama berbentuk kolaborasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya (Wahyono, 2004). Pencegahan infeksi dan penularan penyakit pada tenaga kesehatan, perawat juga berperan sebagai advokat, dimana perawat harus melaksanakan prosedur tindakan pencegahan universal tanpa mengabaikan kepentingan
12
pasien dan tetap mengutamakan pelayanan yang terbaik untuk pasien dengan menghindari terjadinya diskriminasi pada pasien yang berstatus infeksius, misalnya pasien Hepatitis atau AIDS (Green, 2000).
D. Tindakan Pencegahan Universal Tindakan pencegahan universal atau Universal Precaution merupakan upaya pengendalian infeksi yang harus tetap diterapkan kepada semua pasien, setiap waktu, untuk mengurangi resiko infeksi pada pasien maupun pada petugas kesehatan yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya yang mengandung darah (Susan, 2000). Tindakan pencegahan universal meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan atau perawatan. Cuci tangan setelah menyentuh darah, cairan tubuh yang mengandung darah, sekresi, ekskresi, dan benda-benda tajam yang terkontaminasi, baik memakai sarung tangan atau tidak. Cuci tangan juga harus dilakukan segera setelah sarung tangan dilepas. 2. Penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan seperti : sarung tangan, gaun pelindung, celemek (skort), masker, kaca mata (google), dan sepatu tertutup untuk setiap kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh yang lain. 3. Pengelolaan dan pembuangan alat benda tajam secara hati-hati. Alat benda tajam sekali pakai ( disposable ) dipisahkan dalam wadah khusus untuk insenerasi. Bila tidak ada insenerator, dilakukan dekontaminasi dengan larutan chlorine 0,5% kemudian dimasukkan dalam wadah plastik yang tahan tusukan misalnya kaleng untuk dikubur dan kapurisasi. 4. Pengelolaan alat kesehaatan bekas pakai dengan cara melakukan dekontaminasi, desinfeksi, sterilisasi. Dekontaminasi dan desinfeksi dilakukan di ruang perawatan dengan menggunakan cairan desinfektan chlorine 0,5%, glutaraldehyde 2%, presept atau desinfektan oleh bagian sterilisasi dengan mesin autoclave.
13
5. Pengelolaan linen yang tercemar dengan benar. Linen yang basah dan tecemar oleh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, harus dikelola secara hati-hati dengan mencegah pemaparan kulit dan membran mukosa serta kontaminasi pakaian. Tindakan-tindakan pencegahan universal diatas harus mutlak diterapkan pada semua pasien, terutama pada segala jenis tindakan yang dilakukan di kamar bedah.
E. Kamar Bedah Kamar bedah merupakan suatu unit khusus di rumah sakit, tempat untuk melakukan tindakan pembedahan, baik secara elektif maupun akut yang membutuhkan keadaan suci hama (Susan, 2000). Untuk menjaga kondisi suci hama tersebut, kamar bedah dibagi menjadi beberapa daerah sebagai berikut (Wahyono, 2004): 1. Pembagian daerah sekitar kamar bedah a. Daerah Publik, yaitu daerah yang boleh dikunjungi oleh semua orang tanpa syarat khusus. Daerah ini misalnya: ruang tunggu, koridor, serambi depan kompleks kamar bedah. b. Daerah Semi Publik, yaitu daerah yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu, yaitu para petugas, dan sudah ada pembatas tentang jenis pakaian yang dipakai oleh para petugas. Daerah ini sudah berada dalam tanggung jawab petugas khusus kamar bedah yang mengawasi lalulintas orang yang memasukinya. c. Daerah Aseptik, yaitu daerah kamar bedah itu sendiri yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang berhubungan dengan kegiatan pembedahan pada saat itu. Daerah ini harus dijaga kesterilannya. Daerah ini disebut daerah high aseptic atau daerah lebih aseptic, yaitu lapangan operasi itu sendiri. 2. Pembagian daerah dalam kamar bedah Umumnya daerah aseptic terdiri dari :
14
a. Daerah Aseptik-0, yaitu lapangan operasi, daerah tempat dilakukannya pembedahan. b. Daerah Aseptik-1, yaitu daerah tempat digunakannya gaun operasi, daerah tempat duk ( kain steril ), tempat instrument, dan tempat para perawat instrument mengatur dan menyiapkan alat pembedahan. c. Daerah Aseptik-2, yaitu tempat cuci tangan, koridor penderita masuk, dan derah sekitar ahli anestesi.
F. Tindakan Pencegahan Universal di Kamar Bedah CORE (Committee on Operating Room Environment ) dari American College of Surgeon Association of Operating Room Nurse (AORN) menetapkan bahwa tindakan pencegahan universal mutlak harus dijalankan pada seluruh kegiatan di unit bedah untuk semua pasien tanpa memandang status infeksi (Wahyono, 2004). Tindakan pencegahan universal yang harus dijalankan petugas adalah mengantisipasi percikan darah dan cairan tubuh lainnya. Tindakan dilakukan secara legeartis untuk menyediakan dan mempertahankan lingkungan yang asepsis. Disiplin yang teguh dalam menjalankan peraturan asepsis dan antisepsis di kamar bedah sangat penting dalam prevensi dan pengendalian infeksi (Wahyono, 2004). Prinsip dasar tindakan pencegahan universal adalah cuci tangan secara benar, penerapan teknik aseptic antiseptic, dan penggunaan alat pelindung pribadi dalam upaya mencegah transmisi mikroorganisme melalui darah dan cairan tubuh (Wahyono, 2004; Susan, 2000). Secara terperinci prosedur tindakan pencegahan universal yang harus dijalankan di kamar bedah meliputi beberapa hal sebagai berikut (Wahyono, 2004): 1. Persiapan Petugas a. Cuci tangan secara bedah b. Memakai alat pelindung berupa sarung tangan steril, masker dan gaun/baju operasi, penutup kepala/rambut, sepatu tertutup, dan
15
pelindung mata atau wajah. Sarung tangan harus dipakai bila menyentuh darah, cairan tubuh yang mengandung darah, sekresi, ekskresi, benda-benda yang tekontaminasi, dan pada saat menyentuh membran mukosa serta kulit yang tidak utuh. c. Dianjurkan untuk memakai apron plastik atau kedap air untuk dipakai di lapisan bawah gaun steril. Terutama diwajibkan bila diantisipasi adanya percikan darah atau cairan tubuh dalam jumlah banyak. Gaun-gaun tersebut dilepas sebelum keluar ruangan bedah. d. Pemakaian masker harus menutup hidung hingga seluruh bagian bawah wajah. Masker segera diganti apabila tampak ada kotoran atau cemaran bahan infeksius, atau apabila tampak lembab karena terlalu lama dipakai. e. Google atau kaca mata pelindung f. Alat pelindung kaki berupa sepatu yang menutup seluruh ujung dan telapak kaki serta bersifat tahan tusukan. g. Setiap tindakan invasive seringan atau sekecil apapun harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti untuk menghindari kecelakaan seperti tusukan alat benda tajam kepada petugas. h. Hindarkan penyerahan alat tajam langsung dari tangan ke tangan selama tindakan, tetapi dengan menggunakan perantara nampan kecil. i. Perhatian
khusus
pada
pembuangan
alat-alat
tajam
dengan
menggunakan wadah tertutup dan tahan tusukan. Wadah tersebut harus dipastikan tersedia di setiap sudut ruangan operasi yang mudah dijangkau petugas pelaksana tindakan bedah dan disediakan juga di troli anestesi. j. Petugas yang mempunyai lesi kulit terbuka tidak diperkenankan melaksanakan tindakan bedah, untuk menghindari kontaminsai darah atau cairan tubuh pada luka tersebut. k. Petugas harus mengganti pakaiannya yang terkena percikan darah atau cairan tubuh sebelum keluar ruang bedah atau memasuki ruang
16
perawat, atau sebelum cuci tangan untuk tindakan pada kasus selanjutnya. 2. Prosedur Selama Pembedahan a. Petugas yang melakukan tindakan invasive termasuk menyuntik, memasang infus, dan memasang Endotraheal Tube (ET)
harus
memakai sarung tangan steril. b. Petugas yang kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh yaitu asisten, operator dan instrumentator harus memakai pelindung wajah. c. Penggunaan alat tajam, misalnya scalpel, jarum, gunting, dilakukan dengan posisi bagian runcing alat menjauhi tubuh petugas. d. Untuk menghindari kerusakan sarung tangan, petugas yang terlibat dalam prosedur pembedahan dapat menggunakan sarung tangan dua lapis atau mengganti sarung tangan bila operasi berlangsung lama. e. Cairan tubuh pasien yang melekat di badan pasien harus segera dibersihkan agar tidak mengenai orang lain. f. Spesimen yang dikirim untuk pemeriksaan patologi atau lainnya harus diperlakukan sebagai bahan infeksius. 3. Prosedur Setelah Pembedahan a. Setiap tindakan yang berhubungan cairan tubuh dilakukan dengan memakai sarung tangan, bila ada kemungkinan percikan cairan tubuh harus memakai kaca mata dan gaun pelindung. b. Alat sekali pakai dipisahkan dalam kantong tersendiri untuk insenerasi. Bila tidak ada incinerator, lakukan dekontaminasi dengan larutan chlorine 0,5% dan masukkan kedalam wadah bukan plastik yang tahan tusukan misalnya kaleng untuk dikubur dan kapurisasi. c. Alat yang akan dipakai kembali diperlakukan dengan urutan dekontaminasi kemudian sterilisai. d. Sarung tangan bekas dan gaun bedah yang akan digunakan kembali ditaruh dalam wadah sementara, kemudian dibawa ke pusat sterilisasi atau binatu untuk dekontaminasi atau sterilisasi.
17
G. Alat Pelindung Pribadi Alat pelindung pribadi merupakan alat yang digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko paparan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, dan selaput lendir pasien. Pemakaian alat pelindung pribadi merupakan bagian penting dari pelaksanaan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah (Wahyono, 2004). Alat pelindung diri meliputi: 1. Sarung tangan, digunakan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien, dan benda yang terkontaminasi. Setelah digunakan, sarung tangan harus segera dilepaskan sebelum menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan sebelum menyentuh pasien lainnya. 2. Pakaian kerja petugas, dapat berupa seragam kerja, jas operasi, dan celemek atau apron. Jenis bahan dapat berupa bahan tembus cairan dan bahan tidak tembus cairan. Tujuannya untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah maupun cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju seragam. 3. Masker dan kaca mata atau pelindung wajah (google), tujuannya melindungi membran mukosa mata, hidung dan mulut, selama melakukan tindakan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah atau cairan tubuh lain. 4. Sepatu tertutup, dipakai pada saat memasuki daerah ketat. Sepatu ini dapat berupa sepatu tertutup biasa sebatas mata kaki dan sepatu booth tertutup yang biasa dipakai pada operasi yang memungkinkan terjadinya genangan percikan darah atau cairan tubuh pasien, misalnya pada operasi sectio caesarea atau laparatomy. Resiko yang terjadi bila tidak menggunakan alat pelindung pribadi yaitu terjadinya infeksi nosokomial pada petugas kamar bedah, terutama penyakit yang penularannya melalui kontak darah, semua cairan tubuh, secret, dan selaput lendir pasien, misalnya Hepatitis dan HIV (Wahyono, 2004; Susan, 2000).
18
Beberapa hal yang dapat menurunkan resiko penularan di tempat kerja, semua petugas kesehatan harus selalu waspada dan menghindari terjadinya kecelakaan kerja. Menurunkan resiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan (Wahyono, 2004): 1. Memahami dan selalu menerapkan tindakan pencegahan universal setiap saat kepada semua pasien, di semua tempat pelayanan kesehatan atau ruang perawatan, tanpa memandang status infeksi pasiennya. 2. Menghindari transfusi, suntikan, jahitan, dan tindakan invasive lain yang tidak perlu, seperti misalnya episiotomy dan tindakan operatif lain yang tidak jelas indikasinya. 3. Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya. 4. Menilai dan menekan resiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan kesehatan.
H. Penelitian Terkait Penelitian terkait tentang perlindungan diri yaitu peneitian kualitatif yang dilakukan oleh Giharyati (2005), tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku perawat kamar bedah dalam menggunakan alat pelindung diri selama intra operatif di RS Roemani Semarang dengan hasil: perawat mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang penggunaan alat pelindung diri. Sedangkan sikap dan perilaku perawat dalam menggunakan alat pelindung diri masih
belum sesuai standar, beberapa faktor penyebabnya yaitu kurangnya
sarana alat pelindung diri dan masih kurangnya kedisiplinan perawat dalam memakai alat pelindung diri (Giharyati, 2005). Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif sehingga kurang mewakili keseluruhan populasi. Pada penelitian ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian sejenis dengan metode kuantitatif. Penelitian terkait yang lain tentang proteksi diri pada perawat dilakukan oleh Suyudi (2005), dengan judul pengetahuan dan persepsi perawat
19
tentang proteksi diri dalam pemberian sitostatika di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sebagian besar perawat (67,2%) memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang proteksi diri dalam pemberian kemoterapi. Tingkat persepsi sangat baik sebesar 36,2% dan yang memiliki persepsi baik tentang proteksi diri dalam pemberian sitostatika adalah sebanyak 50% (Suyudi, 2005).
20
I. Kerangka Teori Faktor utama perilaku
Faktor predisposisi (predisposing factor) 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Nilai 4. Kepercayaan 5. Persepsi
Perilaku perawat dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah
Faktor pendukung (enabling factor) 1. Ketersediaan sarana 2. Sumber daya/dana 3. Keterampilan 4. Keterjangkauan
Faktor pendorong (reinforcing factor) 1. Motivasi 2. Sistem reward 3. Supervisi 4. Teman 5. Kebijakan/aturan
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian (Notoatmodjo, 2003; Green, 2000 )
21
J. Kerangka Konsep Variabel Independen : 1. Pengetahuan perawat tentang prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah 2. Sikap perawat 3. Ketersediaan sarana (Alat Pelindung Pribadi) 4. Motivasi perawat
Variabel Dependen : Perilaku perawat dalam menjalankan prosedur tindakan pencegahan (Universal Precaution) di kamar bedah
Bagan 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
K. Hipotesis 1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang prosedur tindakan pencegahan universal terhadap perilaku perawat dalam menjalankan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah. 2. Ada hubungan antara sikap perawat terhadap penerapan prosedur tindakan pencegahan universal dengan perilaku perawat dalam menjalankan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah. 3. Ada hubungan antara ketersediaan sarana alat pelindung pribadi selama melakukan tindakan pembedahan (sarung tangan, masker, kacamata pelindung wajah/goggle, sepatu booth, celemek kedap air/skort) dengan perilaku perawat dalam menjalankan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah. 4. Ada hubungan antara motivasi perawat terhadap penerapan prosedur tindakan
pencegahan
universal
dengan
perilaku
perawat
dalam
menjalankan prosedur tindakan pencegahan universal di kamar bedah.