BAB II TINJAUAN TEORI
A. Anemia 1. Definisi Anemia Anemia adalah penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal
(Soebroto, 2010). Anemia adalah keadaan
menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2007). 2. Kategori Anemia Berikut ini kategori tingkat keparahan pada anemia (Soebroto, 2010) : a. Kadar Hb 10 gr - 8 gr disebut anemia ringan b. Kadar Hb 8 gr – 5 gr disebut anemia sedang c. Kadar Hb kurang dari 5 gr disebut anemia berat Kategori tingkat keparahan pada anemia (Waryana, 2010) yang bersumber dari WHO adalah sebagai berikut: a. Kadar Hb 11 gr% tidak anemia b. Kadar Hb 9-10 gr % anemia ringan c. Kadar Hb 7-8 gr% anemia sedang d. Kadar Hb < 7 gr% anemia berat Kategori tingkat keparahan anemia (Nugraheny E, 2009) adalah sebagai berikut:
a. Kadar Hb < 10 gr% disebut anemia ringan b. Kadar Hb 7-8 gr% disebut anemia sedang c. Kadar Hb < 6gr% disebut anemia berat d. Kadar Hb normal pada ibu nifas adalah 11-12 gr % Pada penelitian ini menggunakan standart kementrian kesehatan yang bersumber dari WHO. 3. Jenis-Jenis Anemia Jenis-jenis anemia adalah: a. Anemia Defisiensi Zat Besi Anemia akibat kekurangan zat besi. Zat besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin. Kurangnya zat besi dalam tubuh bisa disebabkan karena banyak hal. Kurangnya zat besi pada orang dewasa hampir selalu disebabkan karena perdarahan menahun, berulang-ulang yang bisa berasal dari semua bagian tubuh (Soebroto, 2010). b. Anemia Defisiensi Vitamin C Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin C yang berat dalam jangka waktu lama. Penyebab kekurangan vitamin C adalah kurangnya asupan vitamin C dalam makanan sehari-hari. Vitamin C banyak ditemukan pada cabai hijau, jeruk, lemon, strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau, dan sayuran hijau lainnya, serta semangka. Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu penyerapan zat besi, sehingga jika terjadi kekurangan vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa terjadi anemia (Soebroto, 2010).
c. Anemia Makrositik Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin B12 atau asam folat yang diperlukan dalam proses pembentukan dan pematangan sel darah merah, granulosit, dan platelet. Kekurangan vitamin B12 dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah karena kegagalan usus untuk menyerap vitamin B12 dengan optimal (Soebroto, 2010). d. Anemia Hemolitik Anemia hemolitik terjadi apabila sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari normal. Penyebabnya kemungkinan karena keturunan atau karena salah satu dari beberapa penyakit, termasuk leukemia dan kanker lainnya, fungsi limpa yang tidak normal, gangguan kekebalan, dan hipertensi berat (Soebroto, 2010). e. Anemia Sel Sabit Yaitu suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik (Soebroto, 2010). Anemia sel sabit merupakan penyakit genetik yang resesif, artinya seseorang harus mewarisi dua gen pembawa penyakit ini dari kedua orang tuanya. Gejala utama penderita anemia sel sabit adalah: 1) Kurang energi dan sesak nafas, 2) Mengalami penyakit kuning (kulit dan mata berwarna kuning),
3) Serangan sakit akut pada tulang dada atau daerah perut akibat tersumbatnya pembuluh darah kapiler. f. Anemia Aplastik Terjadi apabila sumsum tulang terganggu, dimana sumsum merupakan tempat pembuatan sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), maupun trombosit (Soebroto, 2010). 4. Gejala Gejala yang seringkali muncul pada penderita anemia diantaranya (Soebroto, 2010): a. Lemah, letih, lesu, mudah lelah, dan lunglai. b. Wajah tampak pucat. c. Mata berkunang-kunang. d. Nafsu makan berkurang. e. Sulit berkonsentrasi dan mudah lupa. f. Sering sakit. Anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung pada (Soebroto, 2010): a. Kecepatan timbulnya anemia b. Usia individu c. Mekanisme kompensasi d. Tingkat aktivitasnya e. Keadaan penyakit yang mendasarinya f. Beratnya anemia
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi kulit, suhu, dan keadaan serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan dan membrane mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indikator yang lebih baik untuk menilai pucat. Pada anemia berat, gagal jantung kongestif dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Pada anemia berat dapat juga timbul gejala-gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare, dan stomatitis (nyeri pada lidah dan membrane mukosa mulut), gejala-gejala umumnya disebabkan oleh keadaan defisiensi, seperti defisiensi zat besi (Price, 2005). 5. Mendiagnosis anemia Dalam mendiagnosis anemia tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dikeluhkan pasien, namun juga dari pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter. Dokter memerlukan tes laboratorium, uji laboratorium yang paling baik untuk mendiagnosis anemia meliputi pengukuran hematokrit atau kadar hemoglobin (Hb). Anemia dapat didiagnosis dengan pasti kalau kadar Hb lebih rendah dari batas normal, berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (Soebroto, 2010).
Tabel 2.1 Kadar hemoglobin (Hb) dan volume hematokrit (Ht) sebagai indikator anemia Kadar Hb (g/L)2 11,0 11,5 12,0 13,0 12,0 11,0
Usia / jenis kelamin Anak 6 bulan-2 tahun Anak 5-11 tahun Anak 12-14 tahun Laki-laki dewasa Wanita tidak hamil Wanita hamil
Hematokrit (g / L) 0,33 0,34 0,36 0,39 0,36 0,33
Sumber: Arisman, 2007 Pemeriksaan Anemia yang sering dilakukan yaitu a. Metode Sahli Metode sahli merupakan satu cara penetapan hemoglobin secara visual. Darah diencerkan dengan larutan HCl sehingga hemoglobin berubah menjadi hematin asam. Hemometer sahli terdiri atas: 1) Tabung pengencer, panjang 12 cm, dinding bergaris mulai angka 2 (bawah) sampai dengan 22 (atas). 2) Dua tabung standar warna. 3) Pipet Hb dengan pipa karet panjang 12,5 cm terdapat angka 20. 4) Pipet HCl. 5) Botol tempat aquadest dan HCl 0,1N. 6) Batang pengaduk (dari glass). 7) Larutan HCl 0,1N. 8) Aquadest. Cara kerja hemometer sahli yaitu: 1) Isi tabung pengencer dengan HCl 0,1N sampai angka 2.
2) Dengan pipet Hb, hisap darah sampai angka 20 mm, jangan sampai ada gelembung udara yang ikut terhisap. 3) Hapus darah yang ada pada ujung pipet dengan tissue. 4) Tuangkan darah kedalam tabung pengencer, bilas dengan aquadest bila masih ada darah dalam pipet. 5) Biarkan satu menit. 6) Tambahkan aquadest tetes demi tetes, aduk dengan batang kaca pengaduk. 7) Bandingkan larutan dalam tabung pengencer dengan warna larutan standart. 8) Bila sudah sama penambahan aquadest dihentikan, baca kadar Hb pada skala yang ada ditabung pengencer. Kesalahan yang sering terjadi pada pemeriksaan dengan hemometer sahli adalah 1) Kemampuan untuk membedakan warna tidak sama. 2) Sumber cahaya yang kurang baik. 3) Kelelahan mata. 4) Alat-alat kurang bersih. 5) Ukuran pipet kurang tepat, perlu dikalibrasi. 6) Pemipetan yang kurang akurat. 7) Warna gelas standart pucat/kotor dan lain sebagainya. 8) Penyesuaian warna larutan yang diperiksa dalam komparator kurang akurat.
Kelebihan dari hemometer sahli yaitu harga lebih terjangkau. b. Hemometer Digital Cara kerja hemometer digital: 1) Pastikan code card sudah terpasang pada alat hemometer digital. 2) Pasang strip pada ujung alat. 3) Bersihkan ujung jari pada bagian yang akan diambil darahnya. 4) Setelah darah yang keluar pada ujung jari sudah cukup, dekatkan sampel darah pada ujung jari tersebut ke satu mulut strip supaya diserap langsung oleh ujung mulut strip. 5) Tunggu hasilnya dan baca kadar Hb nya. Kelebihan dari hemometer digital adalah tingkat keakuratannya lebih valid daripada hemometer sahli, lebih cepat, dan lebih simpel cara pemeriksaannya. Sedangkan kekurangannya yaitu harga lebih mahal.
B. Nifas 1. Pengertian Masa Nifas Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organorgan yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan (Suherni,2008). Masa nifas atau puerperium adalah masa pulih kembali,
mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra-hamil (Ambarwati dan Wulandari, 2010). 2. Tahapan Masa Nifas yaitu (Ambarwati dan Wulandari, 2010): a. Puerperium Dini Yaitu masa kepulihan, yakni saat-saat ibu dibolehkan berdiri dan jalan-jalan. b. Puerperium Intermedial Yaitu masa kepulihan menyeluruh dari organ-organ genital kira-kira antara 6-8 minggu. c. Remot Puerperium Yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama apabila ibu selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi. 3. Kebijakan Program Nasional Masa Nifas (Suherni,2008) Pemerintah melalui Departemen Kesehatan, juga telah memberikan kebijakan dalam hal ini, sesuai dengan dasar kesehatan pada ibu pada masa nifas. Tujuan kebijakan tersebut adalah: a. Untuk menilai kesehatan ibu dan kesehatan bayi baru lahir. b. Pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya gengguan kesehatan ibu nifas dan bayinya. c. Mendeteksi adanya kejadian-kejadian pada masa nifas d. Menangani berbagai masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan ibu maupun bayinya pada masa nifas.
4. Frekuensi Kunjungan Masa Nifas Tabel 2.2 Frekuensi kunjungan Masa Nifas Kunjungan 1
2
3
Waktu 6-8 jam setelah persalinan
6 hari setelah persalinan
2 minggu setelah persalinan 6 minggu setelah persalinan
4
Tujuan a. Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. b. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan; rujuk jika perdarahan berlanjut. c. Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. d. Pemberian ASI awal. e. Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir. f. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia. g. Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil. a. Memastikan involusi uterus berjalan normal: uterus berkontraksi, fundus dibawah umbilicus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak bau. b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau perdarahan abnormal. c. Memastikan ibu menapatkan cukup makanan, cairan, dan istirahat. d. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda penyulit. e. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari. a. Sama seperti diatas (6 hari setelah persalinan) a. Menanyakan pada ibu tentang penyulitpenyulit yang ia atau bayi alami. b. Memberikan konseling untuk KB secara dini.
Sumber: Saefudin, 2006
5. Deteksi Dini Komplikasi Masa Nifas a. Perdarahan Pervaginam Perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml setelah bersalin didefinisikan sebagai perdarahan pasca persalinan. b. Perkiraan
kehilangan
darah
biasanya
tidak
sebanyak
yang
sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari biasanya. Darah tersebut bercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. c. Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin ibu. Seorang ibu dengan kadar Hb normal akan dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal dan anemia. Seorang ibu yang sehat dan tidak anemia pun dapat mengalami akibat fatal dari kehilangan darah. d. Perdarahan dapat terjadi dengan lambat untuk jangka waktu beberapa jam dan kondisi ini dapat tidak di kenali sampai terjadi syok. 6. Kebutuhan gizi pada ibu nifas Nutrisi atau gizi adalah zat yang diperlukan oleh tubuh untuk keperluan metabolismenya. Kebutuhan gizi pada masa nifas terutama bila menyusui akan meningkat 25%, karena berguna untuk proses kesembuhan sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air susu yang cukup untuk menyehatkan bayi (Waryana, 2010). Semua itu akan meningkat tiga kali dari kebutuhan biasa. Makanan yang dikonsumsi berguna untuk melakukan aktivitas, metabolisme, cadangan dalam
tubuh, proses memproduksi ASI serta sebagai ASI itu sendiri yang akan dikonsumsi bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Menu makanan seimbang yang harus dikonsumsi adalah porsi cukup dan teratur, tidak terlalu asin, pedas, atau berlemak, tidak mengandung alkohol, nikotin, serta bahan pengawet atau pewarna. Tambahan zat besi sangat penting dalam masa menyusui karena dibutuhkan untuk kenaikan sirkulasi darah dan sel, serta menambah sel darah merah (Hb) sehingga daya angkut oksigen mencukupi kebutuhan. Sumber zat besi antara lain kuning telur, hati, daging, kerang, ikan, kacang-kacangan, dan sayuran hijau (Ambarwati dan Wulandari, 2010). Tabel 2.3 Perbandingan angka kecukupan energy dan gizi wanita dewasa dan tambahannya untuk ibu hamil dan menyusui
No
Zat Gizi
Wanita Dewasa
Ibu Hamil
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin D (mg) Vitamin E (mg) Vitamin K (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B12 (mg) Asam Folat (mg) Piidoksin (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Seng (mg) Yodium (mg) Selenium (mg)
2200 48 500 5 8 6,5 1,0 1,2 9 1,0 150 1,6 60 500 450 26 15 150 55
285 12 200 5 2 6,5 0,2 0,2 0,1 0,3 150 0,6 10 400 200 20 5 25 15
Sumber: Ambarwati dan Wulandari, 2010
Ibu Menyusui 0-6 bulan 700 16 350 5 4 6,5 0,3 0,4 3 0,3 50 0,5 25 400 300 2 10 50 25
7-12 bulan 500 12 300 5 2 6,5 0,3 0,3 3 0,3 4,0 0,5 10 400 200 2 10 50 20
Tabel 2.4 Perbandingan porsi makanan wanita tidak hamil, hamil, dan menyusui@ Kelompok makanan Tidak hamil 2 (1) (1)
Protein a. Hewani$ b. Nabati*
Susu dan olahannya Roti dan bebijian* Buah dan sayuran a. Buah kaya vitamin C b. Sayur hijau tua c. Sayur, buah lain
Jumlah borsi Hamil 4 (2) (2)
Menyusui 4 (2) (2)
2 4
4 4
4-5 4
(1)
(1)
(1)
(1)
(1)
(1)
(2)
(2)
(2)
Sumber: Arisman, 2007
Keterangan: @ Porsi dalam tabel ini telah memenihi RDA, kecuali energy, zat besi, dan asam folat. Penambahan 300 kkal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energy, disamping zat besi dan asam folat. Selain itu,ke dalam porsi ini harus pula ditambahkan lemak atau minyak sebanyak 30cc setiap hari. $ Satu porsi adalah 60 gram. * Harus dimasukkan paling tidak tumbuhan polong. # Hasil olahan bebijian sebaiknya ditambahkan dengan magnesium, seng, asam folat, dan vitamin B6
Tabel 2.5 Perbandingan jumlah makanan yang dikonsumsi wanita dewasa No 1 2 3 4
5
6 7 8 9
Bahan makanan (satuan gram) Beras/penukar 100 gr Daging/penukar 100 gr Roti 100 gr Sayuran (bayam, kangkung, wortel) 100 gr Buah (mangga harumanis dan tomat masak) 100 gr Tempe dan tahu 100 gr Ikan 100 gr Ayam 100 gr Telur 100 gr
Kandungan protein (gram) 7,6 gr % 18,8 gr %
Kandungan vitamin (mg) 0,62 mg 1,4 mg
Kandungan zat besi (mg) 1,2 mg 2,8 mg
8,0 gr % 7,7 gr %
14,4 mg 7.317 mg
1,5 mg 6,4 mg
1,4 gr %
2.350 mg
0,5 mg
26,1 gr %
3,6 mg
10,0 mg
16,0 gr % 18,2 gr % 25,1 gr %
250 mg 243 mg 1.461 mg
2,0 mg 1,5 mg 5,5 mg
(Almatsier, 2001). C. Anemia pada ibu nifas Menurut Prawirohardjo (2005), faktor yang mempengaruhi anemia pada masa nifas adalah persalinan dengan perdarahan, ibu hamil dengan anemia, nutrisi yang kurang, penyakit virus dan bakteri. Anemia dalam masa nifas merupakan lanjutan daripada anemia yang diderita saat kehamilan, yang menyebabkan banyak keluhan bagi ibu dan mengurangi presentasi kerja, baik dalam pekerjaan rumah sehari-hari maupun dalam merawat bayi (Wijanarko, 2010). Pengaruh anemia pada masa nifas adalah terjadinya subvolusi uteri yang dapat menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran ASI berkurang dan mudah terjadi infeksi mamae (Prawirohardjo, 2005). Praktik ASI tidak eksklusif diperkirakan menjadi salah satu prediktor kejadian anemia setelah melahirkan (Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat, 2008). Pengeluaran ASI berkurang, terjadinya dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan dan mudah terjadi infeksi mamae. Di masa nifas anemia bisa menyebabkan rahim susah berkontraksi, ini dikarenakan darah tidak cukup untuk memberikan oksigen ke rahim. a. Penanganan anemia dalam nifas adalah sebagai berikut: 1) Lakukan pemeriksaan Hb post partum, sebaiknya 3-4 hari setelah anak lahir. Karena hemodialisis lengkap setelah perdarahan memerlukan waktu 2-3 hari. 2) Tranfusi darah sangat diperlukan apabila banyak terjadi perdarahan pada waktu persalinan sehingga menimbulkan penurunan kadar Hb < 5 gr (anemia pasca perdarahan). 3) Anjurkan ibu makan makanan yang mengandung banyak protein dan zat besi seperti telur, ikan, dan sayuran. D. Faktor yang mempengaruhi timbulnya anemia Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadahinya asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil dan menyusui (perubahan fisiologi), dan kehilangan banyak darah. Anemia yang disebabkan oleh ketiga faktor itu terjadi secara cepat saat cadangan Fe tidak mencukupi peningkatan kebutuhan Fe. Wanita usia subur (WUS) adalah salah satu kelompok resiko tinggi terpapar anemia karena mereka tidak memiliki asupan atau cadangan Fe yang cukup terhadap kebutuhan dan kehilangan Fe. Dari kelompok WUS tersebut yang paling tinggi beresiko menderita anemia adalah wanita hamil, wanita nifas, dan wanita yang banyak
kehilangan darah saat menstruasi. Pada wanita yang mengalami menopause dengan defisiensi Fe, yang menjadi penyebabnya adalah perdarahan gastrointestinal (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2008). Penyebab tersering anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, terutama besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, dan penyakit kronik (Nugraheny E, 2009). Secara garis besar penyebab terjadinya anemia gizi dikelompokkan dalam sebab langsung, tidak langsung dan sebab mendasar sebagai berikut: 1. Sebab langsung a. Ketidak cukupan makanan Kurangnya zat besi di dalam tubuh dapat disebabkan oleh kurang makan sumber makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup namun yang dimakan biovailabilitas besinya rendah sehingga jumlah zat besi yang diserap kurang dan makanan yang dimakan mengandung zat penghambat penyerapan besi. Inhibitor (penghambat) utama penyerapan Fe adalah fitat dan polifenol. Fitat terutama ditemukan pada biji-bijian sereal, kacang, dan beberapa sayuran seperti bayam. Polifenol dijumpai dalam minuman kopi, teh, sayuran, dan kacangkacangan. Enhancer (mepercepat penyerapan) Fe antara lain asam askorbat atau vitamin C dan protein hewani dalam daging sapi, ayam, ikan karena mengandung asam amino pengikat Fe untuk meningkatkan
absorpsi Fe. Alkohol dan asam laktat kurang mampu meningkatkan penyerapan Fe (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2008). Apabila makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak cukup mengandung zat besi atau absorpsinya rendah, maka ketersediaan zat besi untuk tubuh tidak cukup memenuhi kebutuhan akan zat besi. Hal ini terutama dapat terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi makanan kurang beragam, seperti menu makanan yang hanya terdiri dari nasi dan kacang-kacangan. Tetapi apabila di dalam menu terdapat pula bahan - bahan makanan yang meninggikan absorpsi zat besi seperti daging, ayam, ikan, dan vitamin C, maka ketersediaan zat besi yang ada dalam makanan dapat ditingkatkan sehingga kebutuhan akan zat besi dapat terpenuhi. b. Infeksi penyakit Beberapa infeksi penyakit memperbesar resiko menderita anemia. Infeksi itu umumnya adalah kecacingan dan malaria. Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing akan menyebabkan malnutrisi dan dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi. Infeksi malaria dapat menyebabkan anemia. Beberapa fakta menunjukkan bahwa parasitemia yang persisten atau rekuren mengakibatkan anemia defisiensi besi, walaupun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
Pada malaria fase akut terjadi penurunan absorpsi besi, kadar heptoglobin yang rendah, sebagai akibat dari hemolisis intravaskuler, akan menurunkan pembentukan kompleks haptoglobin hemoglobin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh hepar, berakibat penurunan availabilitas besi. 2. Sebab tidak langsung Beberapa penyebab tidak langsung anemia diantaranya adalah: kualitas dan kuantitas diet makanan tidak adekuat, sanitasi lingkungan dan makanan yang buruk, layanan kesehatan yang buruk dan perdarahan akibat menstruasi, kelahiran, malaria, parasit : cacing tambang dan schistosomiasis, serta trauma. Diet yang tidak berkualitas dan ketersediaan biologis besinya rendah merupakan faktor penting yang berperan dalam anemia defisiensi besi. Pola menu makanan yang hanya terdiri dari sumber karbohidrat, seperti nasi dan umbi-umbian, atau kacang-kacangan, tergolong menu rendah (penyerapan zat besi 5%). Pola menu ini sangat jarang atau sedikit sekali mengandung daging, ikan, dan sumber vitamin C. Terdapat lebih banyak bahan makanan yang mengandung zat penghambat zat absorpsi besi, seperti fitat, serat, tannin, dan fostat dalam meni makanan ini (Departemen
Gizi
dan
Kesehatan
Masyarakat,
2008).
Adanya
kepercayaan yang merugikan seperti permasalahan pemenuhan nutrisi pada ibu nifas yang masih sering dijumpai yaitu banyaknya yang berpantang terhadap makanan selama masa nifas, misalnya makan
daging, telur, ikan, kacang-kacangan dll, yang beranggapan bahwa dengan makan makanan tersebut dapat menghambat proses penyembuhan luka setelah melahirkan juga dapat menimbulkan anemia. Layanan kesehatan yang buruk dan hygiene sanitasi yang kurang akan mempermudah terjadinya penyakit infeksi. Infeksi mengganggu masukan makanan, penyerapan, penyimpanan serta penggunaan berbagai zat gizi, termasuk besi. Pada banyak masyarakat pedesaan dan daerah urban yang kumuh dimana sanitasi lingkungan buruk, angka kesakitan akibat infeksi, virus dan bakteri tinggi. Dalam masyarakat tersebut, makanan yang dimakan mengandung sangat sedikit energy. Kalau keseimbangan zat besi terganggu, episode infeksi yang berulang-ulang dapat menyebabkan terjadinya anemia. 3. Sebab mendasar a. Pendidikan yang rendah Anemia gizi lebih sering terjadi pada kelompok penduduk yang berpendidikan rendah. Kelompok ini umumnya kurang memahami kaitan anemia dengan faktor lainnya, kurang mempunyai akses mengenai informasi anemia dan penanggulangannya, kurang dapat memilih bahan makanan yang bergizi khususnya yang mengandung zat besi relatif tinggi dan kurang dapat menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia
b. Ekonomi yang rendah Anemia gizi juga lebih sering terjadi pada golongan ekonomi yang rendah, karena kelompok penduduk ekonomi rendah kurang mampu untuk membeli makanan sumber zat besi tinggi yang harganya relatif mahal. Pada keluarga-keluarga berpenghasilan rendah tidak mampu mengusahakan bahan makanan hewani dan hanya mengkonsumsi menu makanan dengan sumber zat besi yang rendah. Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Tengah Kota Semarang Non Sektor pada tahun 2011 adalah 939756 (Wordpress, 2011). E. Kerangka teori Kerangka teori adalah rangkaian teori yang mendasari topik penelitian (Saryono, 2010). Anemia
Pelayanan kesehatan yang buruk
Lingkungan yang buruk: air, sanitasi, hygiene makanan
Pendidikan rendah
Keadaan seperti infeksi saluran nafas & diare.
Perdarahan akibat menstruasi, kelahiran, malaria, parasit: cacing tambang dan schistosomiasis, serta trauma.
kualitas dan kuantitas diet makanan tidak adekuat (kebiasaan konsumsi makan)
Pendapatan yang rendah
Program kesehatan yang tidak adekuat
Bagan 2.6 Kerangka teori penelitian
Sumber: Nugraheny E,2009, Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2008, Soebroto, 2010 Keterangan :
yang diteliti
tidak diteliti F.
Kerangka konsep Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti ( Notoatmodjo, 2010).
Variabel bebas
Variabel terikat
Pendapatan perkapita keluarga
Kejadian anemia pada ibu nifas
Kebiasaan konsumsi makan
Bagan 2.7 kerangka konsep penelitian
G. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian (Notoatmodjo, 2010). Jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesis kerja atau alternatif (Ha). Hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1. Ada hubungan antara pendapatan perkapita keluarga dengan kejadian anemia pada ibu nifas di RB Citra Insani Kota Semarang. 2. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi makan dengan kejadian anemia pada ibu nifas di RB Citra Insani Kota Semarang.