JUMLAH SEL DARAH MERAH, KADAR HEMOGLOBIN, DAN NILAI HEMATOKRIT LUAK JAWA (Paradoxurus hemaphroditus)
PURNOMO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit Luak Jawa (Paradoxurus hemaphroditus) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2012
Purnomo B04080132
xii
ABSTRAK PURNOMO. Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit Luak Jawa (Paradoxurus hemaphroditus) Di bawah bimbingan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan NASTITI KUSUMORINI Luak (Paradoxurus hemaphroditus) adalah hewan liar yang dimanfaatkan dalam produksi kopi termahal di dunia yaitu Kopi Luak dan digunakan juga sebagai hewan percobaan di laboratorium. Luak yang sehat dibutuhkan untuk memperoleh pemanfaatan yang optimal. Status kesehatan hewan dapat dilihat dari gambaran fisiologi darahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran darah pada 8 ekor luak Jawa, masing-masing 4 ekor jantan dan 4 ekor betina. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor selama 7 minggu dari tanggal 2 September 2010 sampai dengan 15 Oktober 2010. Gambaran darah 8 ekor luak Jawa pada saat penangkapan sampai dengan proses adaptasi berfluktuasi. Rataan jumlah butir darah merah luak jantan dan betina adalah (9.28±1.83)x106/mL dan (8.47±1.8)x106/mL, kadar hemoglobin (10.69±2.10)g/dL dan (9.64±2.15)g/dL dan nilai hematokritnya adalah (36.45±4.74)% dan (30.05±7.95)%. Secara umum gambaran darah luak Jawa jantan memiliki rataan yang lebih besar dari pada luak Jawa betina. Rataan gambaran darah luak Jawa berada di bawah rataan gambaran darah luak Thailand. Berdasarkan pengamatan visual dan hasil gambaran darah luak Jawa ini, menunjukan bahwa luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini berumur di bawah 1 tahun. Keywords: Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit, Paradoxurus hemaphroditus
xii
ABSTRACT PURNOMO. Erytrocyte, Haemoglobin, and Hematocrit of Java Common Palm Civets (Paradoxurus hemaphroditus) Under direction of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and NASTITI KUSUMORINI Common palm civet (Paradoxurus hemaphroditus) is wild animal that is used to produce the most expensive coffee in the world namely Luak Coffee, experimental animal in laboratorium, and many purposes. Therefore, they need to maintain their healthiness. Physiological status of healthiness can be performed from blood imaging. This study was purposed to know blood imaging from eight Java common palm civets, four males and females. The experiment had done at laboratory of Physiology, Departement Anatomy, Physiology, and Pharmacology, faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University during 7 weeks starting from 2nd September 2010 to 15th October 2010. Blood imaging of eight common palm civets at time they were captured and being adaptated at cage environmental were fluctuated. The erytrocyte count of male and female common palm civets was (9.28±1.83)x106/mL and (8.47±1.8)x106/mL, respectively. Meanwhile haemoglobin concentration and hematocrit value of male and female common palm civets was (10.69±2.10)g/dL and (9.64±2.15)g/dL, (36.45±4.74)% and (30.05±7.95)% respectively. Generally blood imaging of male common palm civet have higher value than female. Java common palm civet blood imaged was under average of blood imaged of Thailand common palm civet. This result is correlated with their visual anatomy convincing that the Java common palm civet might be still under one year old. Keywords : Erytrocyte, Haemoglobin, Hematocrit, Paradoxurus hemaphroditus
xii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xii
JUMLAH SEL DARAH MERAH, KADAR HEMOGLOBIN, DAN NILAI HEMATOKRIT LUAK JAWA (Paradoxurus hemaphroditus)
PURNOMO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xii
Judul Skripsi Penyusun
: Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit Luak Jawa (Paradoxurus hemaphroditus) : Purnomo
NRP
: B04080132
Disetujui,
Dr.drh. Aryani Sismin.S, M.Sc., AIF.
Dr. Nastiti Kusumorini, AIF.
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui
drh. Agus Setiyono, MS, PhD., APVet. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 ini adalah Jumlah Sel Darah Merah, Kadar
Hemoglobin,
dan
Nilai
Hemtokrit
Luak
Jawa
(Paradoxurus
hemaphroditus). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc., AIF. dan Dr. Nastiti Kusumorini, AIF. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ibu Sri dan ibu Ida dari laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Moh. Mursyid Fachrudin, Rico Syahputra, dan seluruh keluarga Avenzoar, atas segala doa dan bantuan semangatnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor,
Oktober 2012
Purnomo
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 9 Juni 1990 dari ayah Rusman dan ibu Dasimah. Penulis merupakan Putra ke tiga dari enam bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Purwokerto dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi yaitu Sebagai anggota LDK Alhurriyyah tahun 2009/2010, Ketua Omda IKAMAHAMAS tahun 2009/2010, Ketua tim pelaksana Pendidikan Informal Learning Center Desa Carang Pulang 2009/2010.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian .....................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
3
2.1 Taksonomi dan Biologi Luak ....................................................
3
2.2 Pemanfaatan Luak .....................................................................
4
2.3 Gambaran Darah Luak Dari Hasil Penelitian Terdahulu ............
5
2.4 Darah ........................................................................................
6
2.4.1 Hematopoiesis.................................................................
7
2.4.2 Eritrosit atau Sel Darah Merah .......................................
8
2.4.3 Hemoglobin ...................................................................
9
2.4.4 Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) ..................
11
2.4.5 Indeks Eritrosit ...............................................................
11
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................
13
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................
13
3.2 Tahap Persiapan dan Adaptasi ...................................................
13
3.3 Bahan dan Peralatan ..................................................................
13
3.4 Parameter yang Diamati.............................................................
14
3.5 Metode Penelitian ......................................................................
14
xii
3.5.1 Jumlah Butir Darah Merah ..............................................
14
3.5.2 Hemoglobin ....................................................................
14
3.5.3 Hematokrit ......................................................................
15
3.6 Protokol Penelitian ...................................................................
15
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
16
4.1 Gambaran Butir Darah Merah (BDM) Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi .................................................... 4.1.1 Gambaran Preparat Ulas Darah Luak Jawa .....................
17 17
4.1.2 Jumlah Butir Darah Merah (BDM) Luak Jawa ................
18
4.2 Kadar Hemoglobin Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi ...................................................................................
22
4.3 Nilai Hematokrit Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi ..................................................................................
23
4.4 Indeks Eritrosit Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi .................................................................................. 4.4.1 Mean Corpuscular Volume (MCV) .................................
25 27
4.4.2 Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) ..........................
28
4.4.1 Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
29
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
32
5.1 Kesimpulan ...............................................................................
32
5.2 Saran .........................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
33
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Data hematologi empat ekor luak di Thailand ..........................................
6
2
Protokol Penelitian ..................................................................................
15
3 Rataan jumlah butir darah merah ( x 106/mL) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina saat datang dan selama proses adaptasi .................................
19
4
Rataan kadar hemoglobin (g/dL) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina saat datang dan selama proses adaptasi.......................................................
22
5 Rataan nilai hematokrit (%) luak Jawa jantan dan betina saat datang dan selama proses adaptasi.............................................................................
23
6 Rataan nilai indeks eritrosit luak Jawa jantan dan luak Jawa betina saat datang dan selama proses adaptasi. ..........................................................
25
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Luak Jawa ...............................................................................................
3
2 Hasil ulas darah luak Jawa pada pengambilan darah ke 3........................
17
Preparat natif sel darah kuda dan kucing..................................................
18
3
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar belakang Luak atau musang yang dalam bahasa latin Paradoxurus hemaphroditus,
adalah hewan mamalia yang masuk ke dalam famili Veveridae. Di berbagai wilayah penyebarannya, luak memiliki nama panggilan yang berbeda-beda, seperti careuh bulan di Sunda, luak pandan di Jawa, dan common palm civet atau toddy cat dalam bahasa Inggris (Dewi 2010). Luak memiliki mata berwarna coklat, warna dasar tubuh keabu-abuan dengan warna hitam di bagian muka, telinga, kaki dan ekor, serta corak garis dan spot hitam di bagian punggungnya (Dewi 2010). Kemampuan adaptasi luak yang tinggi menjadikannya sebagai hewan kosmopolitan. Hewan kosmopolitan adalah hewan yang mampu hidup di berbagai daerah mulai dari dataran rendah, hingga dataran tinggi dengan kondisi lingkungan yang beraneka ragam. Luak dapat ditemukan di daerah kota, pinggiran kota, pedesaan, perkebunan serta dataran tinggi yaitu 1500-2400 meter di atas permukaan laut (Azlan 2003, Perkin 2004). Berdasarkan ordonya, luak termasuk hewan karnivora yang mau memakan buah dan sisa makanan manusia, sehingga luak dapat beradaptasi dengan baik dalam hal pemilihan makanannya. Pada tahun 1900-an luak masih dianggap sebagai hama di daerah perkebunan dan daerah pemukiman pinggir hutan, karena luak biasa memakan hasil perkebunan berupa buah-buahan dan kopi, serta memakan ternak unggas milik warga pinggiran hutan. Tahun 1945-an pandangan negatif terhadap luak sebagai hama perkebunan mulai hilang, karena luak mulai dimanfaatkan sebagai penghasil parfum dan kopi termahal di dunia yaitu kopi luak (Mudappa et al. 2010). Kopi luak adalah kopi hasil fermentasi dalam saluran pencernaan luak, sehingga memiliki citarasa yang khas. Kopi luak memiliki kualitas kopi yang istimewa karena luak hanya memilih buah kopi terbaik yang difermentasi oleh mikroba dari saluran pencernaan luak. Kopi luak memiliki harga yang sangat mahal yaitu satu juta rupiah per 500 gram, oleh karena itu kini banyak dibuka perusahaan dan perkebunan kopi luak di daerah Indonesia, khususnya di daerah Sumatra dan Jawa Timur. Selain dimanfaatkan sebagai penghasil kopi luak yang
2
mahal, luak juga dimanfaatkan sebagai hewan penelitian di laboratorium untuk beberapa penyakit zoonosis, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Rabies. Beberapa penelitian di Philipina dan Singapura menyatakan bahwa luak merupakan hewan
yang potensial untuk menyebarkan kedua penyakit
zoonosis ini (Pristiyanto 2003). Meskipun pemanfaatan luak yang cukup banyak di bidang pertanian, kesehatan, dan ekologi (Colon 2002, Jeannings et al. 2006), ternyata hingga saat ini belum banyak data-data biologis tentang luak yang diketahui, terutama gambaran fisiologis darah normal dari luak (Paradoxurus hemaphroditus) yang ada di Jawa. Gambaran darah dapat digunakan sebagai prosedur laboratorium untuk memperkirakan jumlah dan jenis sel darah yang bersirkulasi pada kondisi tertentu (Frandson 1992). Indeks butir darah merah adalah suatu nilai yang digunakan untuk mendefinisikan ukuran dan kandungan hemogloin dalam darah. Indeks butir darah merah terdiri dari MCV, MCH, dan MCHC yang sangat membantu untuk mengetahui kondisi dan jenis anemia pada luak. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting
dilakukan agar diperoleh data fisiologis darah
normal pada luak Paradoxurus hemaphroditus di Jawa. Data
tersebut dapat
digunakan sebagai data dasar pada pemeriksaan kesehatan luak.
1.2.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran fisiologis darah luak
Paradoxurus hemaphroditus di Jawa, yang meliputi jumlah butir darah merah (BDM), kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV), dan indeks butir darah merah yang meliputi Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC).
1.3
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar
fisiologis darah luak normal, untuk penegakan diagnosa terhadap pemeriksaan kesehatan, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi kopi luak.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi dan Biologi Luak Luak atau Paradoxurus hemaphroditus yang berada di daerah pulau Jawa menurut Shiroff (2002) memiliki susunan taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Ordo
: Carnivora
Subordo
: Feliformia
Family
: Viverridae
Subfamily
: Paradoxurinae
Genus
: Paradoxurus
Species
: Paradoxurus hermaphroditus Gambar 1. Luak Jawa Sumber: koleksi pribadi
Luak di pulau Jawa memiliki ciri-ciri corak warna yang khas, luak memiliki mata berwarna coklat, warna dasar keabu-abuan dengan warna hitam di bagian muka, telinga, kaki dan ekor, serta serta corak tiga garis memanjang dan bintik-bintik hitam di sekitar punggungnya (Gambar 1) (Dewi 2010). Luak adalah hewan nokturnal dengan kebiasaan hidup yang unik dalam proses adaptasinya (Borah dan Deka 2011). Luak pandai dalam memanjat untuk memperoleh buah tapi luak juga mampu berburu di dataran dan perairan untuk memperoleh sumber makanan lainnya (Vaughan et al. 2000). Menurut Lunde dan Musser (2003) luak memiliki status konservasi less concern atau tidak dilindungi. Secara umum luak memiliki gambaran biologis yang hampir sama dengan anjing dan kucing. Menurut Shiroff (2002), luak dapat hidup lebih dari 22 tahun. Luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm. Siklus reproduksi luak belum banyak
4
diketahui,
namun
luak
mampu
bereproduksi
sepanjang
tahun
dengan
kecenderungan memiliki anak pada pada bulan Oktober–Desember dengan jumlah anak 2-5 ekor. Penyebaran luak di dunia menyebar dari India, Pakistan, Srilanka, Bangladesh, Burma, Tiongkok Selatan, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Borah dan Deka 2011). Di Indonesia sendiri luak dapat ditemui
di daerah
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, Laliabu, dan Seram di Maluku (Dewi 2010). 2.2.
Pemanfaatan Luak Luak termasuk hewan yang sangat rakus dalam mencari makan untuk
kebutuhan hidupnya. Di daerah perkebunan kopi, luak dianggap sebagai hama karena dalam satu hari luak mampu memakan buah kopi sebanyak 1-1.5 kg/ekor. Kemampuan luak dalam memakan buah kopi dipengaruhi oleh usia luak dan status biologisnya. Kopi yang disukai oleh luak adalah buah kopi robusta, yang rasanya lebih pahit dari pada kopi arabika. Dipertengahan abad ke-19, seorang buruh perkebunan kopi, memanfaatkan kopi dari feses luak untuk diolah dan dikonsumsi karena tidak mampu membeli kopi di pasaran. Ternyata rasa kopi dari feses luak memiliki citarasa yang istimewa sehingga banyak orang yang menyukainya (Kurnia dan Yulvianus 2011). Meningkatnya permintaan akan kopi luak mengakibatkan mulai berkembangnya produksi kopi luak baik secara intensif maupun ekstensif. Produksi kopi luak secara intensif dilakukan dengan mengandangkan luak dalam kandang yang cukup luas, kemudian pada periode panen kopi, luak diberi makan buah kopi yang matang hasil dari perkebunan. Sedangkan produksi kopi luak secara ekstensif dilakukan dengan membiarkan luak liar untuk memakan buah kopi yang masih di pohon, kemudian setiap pagi harinya para buruh perkebunan mengumpulkan feses luak untuk diproses lebih lanjut menjadi kopi luak yang siap untuk dikonsumsi. Selain
dimanfaatkan
sebagai
penghasil
kopi
luak,
Paradoxurus
hemaphroditus juga digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian dibidang kesehatan. Luak telah digunakan dalam penelitian penyebaran penyakit zoonosis melalui satwa liar, yaitu : pada kasus SARS dan rabies. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) pertama kali ditemukan di propinsi Guangdong ( China )
5
pada bulan November 2003. Penelitian luak pertama untuk mengungkapkan kasus SARS dilakukan oleh seorang ilmuan ternama dari Hong Kong dan Cina. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa SARS diakibatkan oleh kelompok corona virus, yang dapat ditemukan pada selaput lendir saluran pernafasan dan feses luak. Dalam kasus SARS luak berperan sebagai hewan carier yang mampu menularkan virus ke hewan lain, maupun kepada manusia (Pristiyanto 2003). Sedangkan pada kasus rabies, luak diduga sebagai vektor penghubung antara rabies pada satwa liar dan hewan domestik. Luak yang hidup di perbatasan antara wilayah hutan dan pemukiman diduga telah menyebarkan virus rabies yang berasal dari kelelawar vampir dan kemudian menularkannya melalui gigitan pada anjing dan kucing yang berada di pemukiman. Begitu juga sebaliknya, luak dapat menularkan rabies dari hewan domestik di permukiman kepada hewan liar yang ada di hutan. Di lingkungan hutan, luak memiliki peran sebagai hewan carier seperti halnya kelelawar yang mampu menularkan virus namun tidak mengalami kematian karena rabies. Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan Case Fatality Rate 100% (Pristiyanto 2003 ). 2.3.
Gambaran Darah Luak Dari Hasil Penelitian Terdahulu Luak sudah banyak dimanfaatkan baik dalam bidang pertanian dan
kesehatan, namun
hingga saat ini penelitian mengenai fisiologi normal luak
masih sangat sedikit. Penelitian tentang gambaran darah luak Paradoxurus hemaphroditus yang sudah dilakukan adalah penelitian luak dari kebun binatang Khawkeaw di Thailand. Penelitian tersebut dilakukan terhadap dua pasang luak dewasa yang ada di kebun binatang. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa sel darah merah luak sama dengan bentuk sel darah merah hewan mamalia lainnya yaitu berbentuk bikonkaf dan tidak memiliki inti. Ukuran diameter sel darah merah luak relatif lebih kecil dari diameter anjing dan kucing yaitu sekitar 4.3±0.4 µm. Data mengenai gambaran darah luak tersaji secara lengkap pada Tabel 1.
6
Table 1. Data hematologi empat ekor luak di Thailand Parameter PCV (%) hemoglobin (g/dL) RBC (x 106/mL) MCV (fL) MCH (pg) MCHC (g/dL)
Jantan (N=2) 43.3 46,5 14,7 15,4 15.43 16,64 28 28 9.5 9,3 34 33,1
Betina (N=2) 41 36 13,7 11,7 11,1 9,9 36,9 36,3 12,3 11,8 33,4 32,5
Semua Luak 41,7 ± 4,4 13,9 ± 1,6 13,3 ± 3,2 32,3 ± 5,0 10,7 ± 1,5 33,3 ± 0,6
Sumber: (Salakij et al. 2007) Hasil interpretasi penelitian tersebut menyatakan bahwa besarnya nilai parameter hematologi ( PCV, Hb, dan RBC ) dari luak betina lebih rendah dari pada parameter hematologi luak jantan. 2.4.
Darah Darah adalah cairan yang bersirkulasi dalam sistem kardiovaskular dan
sangat penting untuk mengetahui kondisi kesehatan (Silverthorn 2006). Darah terdiri dari cairan darah atau plasma dan sel-sel darah atau benda-benda darah, yang menjadi suspensi satu sama lain. Benda-benda darah tersebut adalah eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan platelet yaitu sel yang tidak lengkap dalam bentuk fragmen-fragmen. Lebih dari 99%
sel darah adalah
eritrosit (Vander 2001). Sel darah merah menjadi kunci dalam membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Platelet berperan dalam proses pembekuan darah, yaitu proses yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kehilangan darah karena rusaknya pembuluh darah. Sel darah putih berperan dalam proses pertahanan tubuh
dan respon kekebalan
terhadap agen infeksi seperti parasit, bakteri, dan virus. Hanya sel darah putih yang mampu keluar dari pembuluh darah ke jaringan terinfeksi untuk melakukan pertahanan tubuh (Silverthorn 2006). Secara umum darah memiliki fungsi sebagai media transportasi nutrien, oksigen, sisa metabolisme, dan hormon. Fungsi darah yang lain adalah sebagai pengatur suhu tubuh, pengatur cairan, dan elektrolit serta berperan sebagai buffer (Frandson 1992). Volume total darah mamalia umumnya sekitar 7-8% dari berat badan, sedangkan plasma darah sekitar 50-65% dari total volume darah. Sel darah
7
merah matang pada mamalia tidak memiliki nukleus ketika beredar dalam pembuluh darah, tujuannya adalah untuk memperluas permukaan sehingga memperbesar volume oksigen yang diangkut (Brown dan Dellmann 1992). 2.4.1. Hematopoiesis Hematopoiesis berasal dari kata haima yang berarti darah dan poiesis yang berarti pembentukan. Hematopoiesis adalah mekanisme sintesis sel darah yang dimulai dari awal perkembangan embrio hingga selama hewan hidup. Hematopoiesis terjadi pertama kali pada tiga minggu pertama pembentukan fetus. Pembentukan darah ini terjadi di kantong kuning telur embrio. Beberapa sel akan mengelompok menjadi sel endotel membentuk pembuluh darah, dan yang lain akan membentuk sel darah (Silverthorn 2006). Hematopoiesis pada masa embrio juga terjadi di hati, limpa, dan sumsum tulang (Vander 2001). Salah satu proses hematopoiesis adalah pembentukan sel darah merah atau eritropoiesis. Pada hewan dewasa sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang. Sesuai fungsinya sumsum tulang dapat dibagi dalam beberapa kelompok sel yaitu kelompok sel induk pluripoten, kelompok sel induk unipoten dan sistem pengatur pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi sel. Dalam sumsum tulang yang aktif memproduksi sel darah terdapat dua sistem yaitu sistem stroma sumsum tulang dan sinusoid. Sel yang berperan dalam hemopoiesis mengambil tempat pada stroma sumsum tulang dan hanya sel-sel yang sudah matang yang akan masuk ke dalam sinusoid lalu masuk kedalam aliran buluh darah. Pada prinsipnya sel-sel darah yang belum matang akan tetap berada di dalam stroma sumsum tulang, kecuali dalam keadaan sakit (Reksudiputro 1994). Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah. Proses eritropoiesis dimulai dengan pembelahan sel-sel multipoten menjadi sel-sel unipoten kemudian setiap sel unipoten akan menjadi satu sel darah merah. Pada proses eritropoesis ini sel-sel bermitosis dan berdiferensiasi secara bersamaan setelah
memperoleh
rangsangan
dari
eritropoetin
(Reksudiputro
1994).
Eritropoietin adalah hormon yang sebagian besar dihasilkan oleh ginjal dengan target organ utamanya adalah sumsum tulang. Eritropoietin dibentuk juga di hati pada masa janin sampai dengan neonatus oleh sel-sel intertisial jaringan kapiler peritubulus ginjal dan oleh hepatosit di hati hewan dewasa (Meyer et al. 1992).
8
Adanya eritropoetin pada sumsum tulang akan memicu terjadinya proliferasi sel unipoten dan terjadinya mitosis lebih lanjut dari sel pronormoblas, normoblas basofilik dan normoblas polikromatofil (Reksudiputro 1994). Sel pronormoblas merupakan sel termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Sel pronormoblas memiliki inti berwarna biru kemerahan dan sitoplasmanya berwarna biru. Normoblas basofilik memiliki kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang. Sitoplasmanya mengandung sedikit hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerahan. Normoblas polikromatofil memiliki kromatin yang kasar dan menebal. Inti sel normoblas polikromatofil lebih kecil daripada inti sel dari normoblas basofilik, tetapi sitoplasmanya lebih banyak mengandung warna biru karena kandungan Asam ribonukleat (RNA) dan merah karena kandungan hemoglobin (Silverthorn 2006). Waktu yang dibutuhkan oleh pronormoblas untuk menjadi normoblas polikromatofil sekitar 2-4 hari. Hasilnya adalah sel darah merah muda yang inti selnya sudah mengalami piknotis dan sudah siap dikeluarkan dari sel. Sel darah merah termuda ini disebut retikulosit. Waktu yang dibutuhkan oleh retikulosit untuk berubah menjadi eritrosit sekitar 2-3 hari (Reksudiputro 1994). Eritropoiesis akan meningkat bila terjadi pendarahan yang mengakibatkan anemia dan atau hipoksia, dimana penurunan oksigen akan merangsang ginjal untuk melepaskan enzim eritrogenin yang akan mengaktifkan eritropoietinogen sebagai prekursor pembentukan eritropoietin. Produksi eritropoietin akan menurun ketika individu memperoleh transfusi darah (Ganong 2001). 2.4.2. Eritrosit atau Sel Darah Merah Sel darah merah atau eritrosit berperan dalam sistem transportasi sel untuk mengantarkan nutrien dan oksigen. Sel darah merah memiliki bentuk bikonkaf dan berwarna kepucatan di daerah tengahnya. Bentuknya yang bikonkaf memungkinkan volume oksigen yang diangkut lebih banyak dalam setiap sel darah merah. Sel darah merah mamalia kehilangan inti selama proses pematangan yang berlangsung sebelum memasuki peredaran darah (Ganong 2001). Selain itu sel darah merah mamalia dewasa tidak memiliki mitokondria sebagai penghasil energi, oleh karena itu sebagai penggantinya sel darah merah mamalia memiliki
9
membran berbentuk kantong yang berisi enzime dan hemoglobin. Tidak adanya mitokondria ini menyebabkan sel darah merah tidak dapat melakukan metabolisme secara aerobik. Sel darah merah hanya mengandalkan glykolisis untuk memperoleh energi utama berupa ATP. Tanpa nukleus dan retikulum endoplasma sel darah merah tidak dapat memproduksi enzime baru atau memperbaiki komponen dari membrannya. Oleh sebab itu semakin tua umur sel darah, maka fleksibilitas membran sel darah merah akan semakin berkurang sehingga semakin tua sel darah merah, semakin kaku, dan mudah rusak (Silverthorn 2006). Secara morfologi sel darah merah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya penyakit
dalam tubuh. Pada keadaan tertentu sel darah merah dapat
berubah bentuk, sel darah yang seharusnya pipih akan berubah menjadi membulat atau kembung. Perubahan morfologi sel darah merah ini disebut poikilositosis. Perubahan morfologi dari sel darah merah dapat mengurangi afinitas hemoglobin dalam mengikat oksigen. Pada penyakit tertentu, ukuran sel darah merah dapat di tentukan dengan indeks eritrosit yaitu MCV (Mean Corpuscular Volume) untuk mengetahui keabnormalan ukuran baik mengecil maupun membesar pada sel darah merah, seperti pada kasus defisiensi besi maka sel darah merah akan berukuran kecil (Silverthorn 2006). Menurut Rebar (2000), jumlah butir darah merah normal anjing sekitar 5.5-8.5 x 106 /µL sedangkan jumlah butir darah merah kucing sekitar 5.0-10.0 x 106 /µL. 2.4.3. Hemoglobin Hemoglobin adalah kompleks protein pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks protein tersebut berwarna merah dan terdapat dalam eritrosit. Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus haima yang mengandung besi fero dan empat rantai globin (Brooker 2001). Hemoglobin merupakan komponen dari sel darah merah yang terdiri dari protein terkonjugasi yang mampu mengangkut oksigen dan karbondioksida. Dalam aliran darah, setiap gram hemoglobin mampu mengikat sekitar 1.34 mL oksigen. Hemoglobin dalam darah berfungsi sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membawa kembali karbondioksida dari jaringan ke dalam paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh.
10
Mioglobin adalah protein yang berukuran kecil (sekitar 17200 dalton) yang terdapat di otot jantung dan otot rangka, berfungsi menyimpan dan memindahkan oksigen dari hemoglobin dalam sirkulasi ke enzim-enzim respirasi di dalam sel kontraktil. Ketika terjadi kerusakan pada otot, mioglobin dilepas ke dalam sirkulasi darah (Riswanto 2010). Mioglobin berfungsi sebagai pengatur oksigen, yaitu menerima, menyimpan dan melepaskan oksigen dari dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80%
besi tubuh berada dalam hemoglobin
(Almatsier 2001). Sintesis hemoglobin membutuhkan suplai zat besi yang cukup dari makanan. Zat besi akan diserap di usus halus dengan transport aktif. Zat besi dibawa beredar dalam pembuluh darah
oleh protein carier yaitu transferrin.
Pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang menggunakan zat besi untuk membentuk heme dari hemoglobin. Kelebihan dari zat besi akan disimpan di hati dalam bentuk protein ferritin dan turunan-turunannya (Silverthorn 2006). Secara fisiologis hemoglobin di dalam tubuh memiliki dua bentuk. Oksihemoglobin yaitu bentuk hemoglobin yang mampu mengikat oksigen, dimana setiap molekul oksigen akan berikatan dengan bentuk ferro (fe ++). Deoksihemoglobin yaitu hemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen. Di dalam tubuh bentuk hemoglobin yang lain adalah Carboxyhemoglobin (COHb), yaitu hemoglobin yang terikat dengan Carbonmonoksida (CO) sehingga afinitas hemoglobin terhadap oksigen menurun (Light A et al. 2007). Afinitas atau kemampuan hemoglobin dalam mengikat oksigen dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) dalam butir darah merah (Colville dan Joanna 2002). Pada tekanan oksigen yang tinggi, suhu rendah dan pH yang tinggi mengakibatkan meningkatnya afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Sebaliknya pada tekanan oksigen yang rendah, suhu yang tinggi dan pH yang rendah menyebabkan turunnya afinitas hemoglobin. Peningkatan 2,3-DPG dalam butir darah merah akan menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Meningkatnya 2,3-DPG dalam darah akan mengakibatkan anemia dan pada beberapa penyakit dapat menyebabkan hipoksia kronis (Ganong 2001). Menurut Rebar (2000), kisaran kadar hemoglobin normal pada anjing sekitar 12-18 g/dl,
11
sedangkan pada kucing memiliki kisaran kadar hemoglobin normal sekitar 8-15 g/dl. 2.4.4. Hematokrit atau PCV ( Packed Cell Volume) Hematokrit adalah presentase volume eritrosit dari volume total sampel darah yang dikoleksi dalam mikrokapiler. Hematokrit dari darah vena yang diperoleh dari pengambilan darah langsung dari vena, nilainya sama dengan total hematokrit dalam tubuh (Silverthorn 2006). Untuk menghindari penggumpalan, darah yang dikoleksi, dicampur dengan anti koogulan berupa heparin, oxalate dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Sampel darah disentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk memisahkan komponen darah berdasarkan berat jenisnya. Eritrosit berada pada bagian paling dasar tabung, kemudian leukosit dan platelet (bufing coat), serta pada lapisan paling atas adalah plasma darah (Vander 2001). Menurut Rebar (2000), nilai hematokrit normal pada anjing sekitar 37-55 %, sedangkan pada kucing sekitar 30-45 %. 2.4.5. Indeks Eritrosit Indeks eritrosit dapat digunakan untuk menentukan jenis anemia secara morfologinya. Indeks eritrosit sangat membantu untuk menentukan pendekatan diagnostik yang tepat untuk pasien penderita anemia. Bentuk eritrosit dalam gambaran darah dapat dibandingkan dengan nilai standar yang sudah ada untuk memperoleh ketepatan dalam mendeteksi variasi ukuran dan bentuk dari kelompok sel darah merah (Vander 2001). Indeks eritrosit dapat diperoleh dari hasil pengukuran dan perhitungan dari sel darah merah. Nilai dasar eritrosit yang harus diketahui adalah perhitungan sel darah merah, hemoglobin, dan hematocrit. Dari nilai dasar eritrosit tersebut dapat diperoleh indeks eritrosit yaitu Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (Silverthorn 2006). MCV adalah rataan volume dari setiap sel darah merah dalam mikro kubik (µ3) atau femtoliter (fl). 1 fL = 10-15 liter. Nilai MCV normal pada anjing sekitar 60-75 fL, sedangkan nilai MCV kucing memiliki kisaran normal 40-55 fL (Rebar 2000).
12
Persamaan dari MCV adalah MCV = MCH adalah konsentrasi atau kandungan hemoglobin rataan dari setiap sel darah merah dalam picograms (pg). Persamaan dari MCH adalah MCH = MCHC adalah rataan konsentrasi hemoglobin dalam 100 ml hematokrit atau PCV (packed cell volume) dalam persen. Nilai MCHC normal pada anjing sekitar 32-36 g/dL, sedangkan pada kucing nilai normal MCHCnya adalah 30-36 g/dL (Rebar 2000). Persamaan dari MCHC adalah MCHC =
13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Bagian Fisiologi,
Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan , Institut Pertanian Bogor, dari tanggal 2 September 2010 sampai dengan 15 Oktober 2010. 3.2.
Tahap Persiapan dan Adaptasi Penelitian ini dilakukan terhadap luak dari Jawa yang diperoleh dari pasar
Pramuka dan Jatinegara di Jakarta. Jumlah luak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor yaitu 4 ekor adalah jantan dan 4 ekor lagi adalah betina. Luak yang digunakan memiliki kisaran bobot badan 2-2.5 kg. Selama penelitian ini dilakukan, luak dikandangkan di kandang penelitian FKH IPB. Masing-masing luak dikandangkan terpisah dalam kandang berukuran 50cm x 75cm x 75cm. Kandang luak selalu dijaga kebersihannya dengan melakukan pembersihan kotoran setiap hari. Luak diberi makanan buah pisang sebanyak 5-7 buah per ekor/hari, dengan selingan kepala ayam 3-4 potong per ekor/2 hari. Buah pisang yang digunakan sebagai pakan luak adalah buah pisang jenis ambon, siam, dan kepok. 3.3.
Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Hayem, larutan
HCl 0.1 N, NaCl fisiologis 0.95%, alkohol 70%, silol, dan aquades. Peralatan yang digunakan adalah syringe 3 ml, parafilm, tabung koleksi dengan antikoagulan EDTA, pipet eritrosit dengan aspiratornya, kamar hitung Neo bauer, mikroskop, cover glass, mikrokapiler, alat pemusing (microcentrifus), mikrokapiler hematokrit (microcapillary hematocrit reader), tabung Sahli, pipet Sahli dengan aspiratornya, dan hemoglobinometer.
14
3.4.
Parameter Yang Diamati Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah butir darah
merah (BDM), kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit (PCV), dan nilai indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC). 3.5.
Metode Penelitian Pengambilan darah dilakukan dengan syringe 3 ml, sebanyak ± 1 ml darah
dari vena femoralis luak. Kemudian darah dimasukan ke dalam tabung koleksi dengan antikoagulan EDTA. Kemudian dibawa ke Laboratorium Fisiologi dengan menggunakan termos box berisi es di dalamnya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap sel darah merah. 3.5.1. Jumlah Butir Darah Merah ( BDM ) Darah dihisap dengan pipet eritrosit dan aspiratornya sampai batas garis 0.5 kemudian dilanjutkan dengan penambahan larutan NaCl fisiologis sampai garis batas 101. Campuran tersebut dihomogenkan dengan memutar pipet membentuk angka 8. Campuran yang berada di ujung pipet dan tidak ikut terhomogenkan, dibuang. Dengan hati-hati campuran yang sudah homogen dimasukan ke dalam kamar hitung. Penghitungan butir darah merah dilakukan pada 5 kotak yang terletak diagonal pada 5 bujur sangkar besar ditengah kamar hitung. Dengan konversi BDM tiap unit x 104 mL (Sastradipradja 1989). 3.5.2. Hemoglobin Darah diambil dengan menggunakan pipet Sahli sampai batas angka 20 (0.02 mL). Darah kemudian dimasukan ke dalam tabung Sahli yang sudah diisi dengan HCL 0.1 N sampai angka 10 (garis paling bawah pada tabung). Tabung Sahli diletakan diantara kedua bagian standar warna dalam alat hemoglobinometer dan dibiarkan selama 3 menit sampai terbentuk heparin yang berwana coklat. Dengan menggunakan pipet tetes ditambahkan aquades tetes demi tetes sambil diaduk sampai warna campuran sama dengan warna standar yang ada pada tabung sahli. Hasil diperoleh dari tinggi permukaan cairan pada tabung sahli dengan melihat skala kolom gr % (Sastradipradja 1989).
15
3.5.3. Hematokrit Darah diambil dengan menggunakan mikrokapiler dengan bagian ujung yang berwarna merah ditempelkan pada darah dan biarkan darah mengalir masuk mengisi 4/5 bagian mikrokapiler. Ujung kapiler yang bertanda merah disumbat dengan menggunakan crestoseal. Selanjutnya mikrokapiler disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Volume % eritrosit diukur dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit reader. Nilai hematokrit merupakan ratarata dari pengukuran kedua sampel (duplo). 3.6. Protokol Penelitian Tabel 2. Protokol Penelitian Aktifitas
Bulan 1
Bulan 2
1
2
3
4
Proses Adaptasi
x
X
X
x
Pengambilan Darah Pengukuran Parameter Penimbangan Bobot Badan
1
2
3
x
x
x
x
x
x
x
x x
4
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Luak yang digunakan dalam penelitian ini, adalah luak yang berasal dari hasil tangkapan liar yang diperoleh dari pengepul satwa di pasar hewan Jatinegara dan pasar hewan Pramuka di daerah Jakarta. Hasil pengukuran bobot luak yang digunakan adalah memiliki kisaran 2-2.5 kg. Secara visual testis pada luak jantan sudah terlihat dengan jelas, memiliki bentuk yang mirip dengan testis kucing, namun belum tercium bau khas luak yaitu bau khas daun pandan. Secara alamiah luak jantan dewasa akan mensekresikan minyak beraroma daun pandan yang berasal dari kelenjar sekretori di sekitar testis dan penisnya. Sekreta tersebut berguna untuk menarik luak betina ketika masa kawin, dan juga sebagai penanda wilayah teritorial luak jantan karena luak termasuk hewan yang soliter atau hidup menyendiri. Menurut Rodriguez et al. (2000) penandaan wilayah dilakukan karena adanya dominasi suatu individu atau kelompok hewan tertentu dalam suatu wilayah. Luak yang digunakan dalam penelitian ini memiliki gigi runcing dan berukuran kecil. Menurut Patau et al. (2010) luak dewasa memiliki empat buah gigi premolar atas dan gigi molar atas. Berdasarkan hasil pengamatan visual tersebut luak yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam kisaran umur yang masih muda atau masa menjelang dewasa yaitu umur dibawah 12 bulan. Menurut Shiroff (2002), luak dapat hidup lebih dari 22 tahun. Luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm. Selama penelitian berlangsung, dilakukan pengamatan terhadap adaptasi luak pada lingkungan yang baru. Pada saat luak datang dan dikandangkan dalam kandang besi, pola tingkah laku luak terlihat sangat agresif dengan manifestasi luak tersebut selalu ingin menyerang. Nafsu makan luak sangat rendah ditandai dengan banyak terdapat sisa makanan yang tidak dimakan oleh luak. Setiap harinya luak selalu berada dipojok kandang, tidur meringkuk menjauh dari pintu kandang. Ketika kandang luak dibersihkan dan waktu pemberian pakan, luak lari ketakutan menabrak-nabrak kandang dan berusaha menggigit tangan, keadaan
17
tersebut berlangsung kurang lebih 3 minggu. Pada minggu ke 5 dan seterusnya luak sudah mulai beradaptasi dengan baik terhadap kondisi kandang dan lingkungan kandang. Nafsu makan luak menjadi baik dengan sisa pakan yang sangat sedikit. Ketika dilakukan pemberian pakan dan pembersihan kandang, luak berusaha menghampiri ke arah pintu atau tetap tidur tanpa ada rasa terganggu. 4.1. Gambaran Butir Darah Merah ( BDM ) Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Pengamatan terhadap gambaran butir darah merah luak mulai dilakukan secara berkelanjutan dari awal ketika luak baru datang hingga pengambilan darah ke 4 dengan selang waktu pengambilan darah selama 1 minggu. Gambaran butir darah merah luak diamati dengan melihat preparat ulas darah merah dan menghitung jumlah butir darah merah luak. 4.1.1 Gambaran Preparat Ulas Darah Merah Luak Jawa Hasil pengamatan preparat ulas darah luak Jawa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil ulas darah luak Jawa pada pengambilan darah ke 3, dengan perbesaran mikoskop 1000x. Tanda panah menunjukan bentuk rouleaux. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa sel darah merah luak mirip dengan sel darah merah mamalia lainnya, yaitu berbentuk bikonkaf dan tidak memiliki inti sel. Sel darah merah mamalia tidak memiliki inti sel, sedangkan pada bangsa burung, ikan, reptil, dan amfibi memiliki inti sel (Guyton 1997). Sel darah mamalia jika dilihat dari atas terlihat bulat, akan tetapi akan terlihat bikonkaf ketika dilihat dari samping, sehingga bagian tengah akan terlihat lebih cerah
18
(Silverthorn 2006). Sel darah merah luak memiliki kemiripan stuktur dengan sel darah merah kuda dan kucing, yaitu membentuk susunan tumpukan uang logam atau disebut juga rouleaux. Fenomena tersebut dapat dilihat pada sebagian besar preparat ulas darah luak, dari 40 hasil preparat ulas darah 5 di antaranya tidak menunjukan fenomena rouleaux. Hal tersebut terjadi karena hasil ulas darah yang terlalu padat. Pada sediaan natif sel darah merah sering terlihat seperti tumpukan uang logam (Rouleaux) yang disebabkan adanya daya tarik permukaan sel (surface traction) (Hartono 1995). Fenomena bentukan rouleux pada sel darah merah dapat terjadi karena adanya daya tarik permukaan antar sel darah merah dan jumlah sel darah merah yang padat dalam suatu bidang pandang. Menurut Stain (2012), fenomena rouleaux merupakan suatu keadaan fisiologis dari ikatan protein plasma yang dapat ditemukan pada ulas darah kuda dan kucing. Rouleaux terjadi akibat adanya ikatan anti bodi yang terdapat pada permukaan eritrosit satu sama lainnya sehingga membentuk tumpukan sel darah merah. Fenomena rouleaux juga dimungkinkan terjadi akibat penyakit immune-mediated hemolytic anemia, dan juga cryoglobulinemia (jarang terjadi). Fenomena rouleaux pada kuda dan kucing dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Preparat natif sel darah kuda 500x (sebelah kiri) (Sumber : Stain 2012) dan kucing 1000x (sebelah kanan) (Sumber: Rinnie 2011). 4.1.2 Jumlah Butir Darah Merah (BDM) Luak Jawa Pada saat penghitungan jumlah BDM, pengencer yang digunakan adalah larutan NaCl fisiologis 0.9%. Karena pada saat dilalukan pengenceran dengan menggunakan Hayem, ternyata sel darah merah tidak dapat terencerkan dengan
19
baik. NaCl fisiologis 0.9% dapat digunakan sebagai pengencer karena tidak merusak darah dan dianggap lebih dapat menguraikan tumpukan butir darah merah sehingga butir darah merah dapat diamati dengan baik. Kasus penggunaan pengencer NaCl fisiologis ini dilaporkan terkadang terjadi pada darah kucing dan domba. Nilai jumlah butir darah luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan jumlah butir darah merah ( x 106/mL) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah keJenis kelamin
1
2
3
4
Jantan
11.69±1.92b
8.46±1.15a
9.63±1.81ab
8.81±2.16ab
Betina
9.01±1.13a
7.81±1.42a
8.88±1.67a
8.40±2.40a
Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi
Seperti yang terlihat pada Tabel 3, jumlah butir darah luak Jawa jantan dan luak Jawa betina memiliki pola fluktuasi yang hampir sama. pada pengambilan darah ke 1 jumlah BDM luak relatif tinggi, kemudian mengalami penurunan pada pengambilan darah ke 2. Pada pengambilan darah ke 3 jumlah BDM luak mulai naik sedangkan pada pengambilan darah ke 4 mengalami penuruanan jumlah BDM, namun jumlahnya masih dalam kisaran yang sama. Pada luak jantan terlihat penurunan secara draktis dan terlihat berbeda nyata pada pengambilan darah ke 1 menuju pengambilan darah ke 2. Pada pengambilan darah ke 3 dan ke 4 ternyata luak jantan menunjukan peningkatan jumlah butir darah merah sehingga kisarannya kembali sama dengan kisaran butir darah merah pada pengambilan darah ke 1. Pada pengambilan darah ke 1 terlihat jumlah BDM luak Jawa hampir sama dengan jumlah BDM luak dari Thailand. Pengambilan darah ke 1 dilakukan pada saat luak baru saja sampai di kandang penelitian. Jumlah BDM pada pengambilan darah tersebut dapat diduga sebagai keadaan darah luak pada saat di alam liar atau justru dalam keadaan stres karena proses penangkapan
20
seperti yang terlihat pada pola tingkah lakunya. Teknik penangkapan dan imobilisasi atau handling hewan sangat mempengaruhi tingkat stres hewan (Mudappa dan Chellam 2001). Stres dilaporkan dapat meningkatkan jumlah butir darah merah karena adanya pelepasan epinefrine. Pada pengambilan darah yang ke 2 yaitu pada minggu ke 5 setelah luak dikandangkan dalam kandang penelitian, luak dinilai telah melalui proses adaptasi. Jumlah BDM pada pengambilan darah ke 2 tersebut mengalami penurunan, dari 8 ekor luak yang digunakan 7 ekor diantaranya mengalami penurunan jumlah BDM. Pada pengambilan darah ke 2 ini kemungkinan luak mulai dapat beradaptasi. Hal tersebut juga terlihat pada pengamatan visual bahwa pada minggu ke 5 luak sudah mulai merasa tenang ketika dilakukan pembersihan kandang dan pemberian pakan. Secara umum pengambilan darah ke 3 dan ke 4 jumlah BDM terlihat lebih stabil kemungkinan pada saat inilah luak sudah mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan barunya. Pada pengambilan darah ke 4 ternyata jumlah BDM mengalami penurunan namun masih dalam kisaran yang sama dengan pengambilan darah yang ke 3 sehingga jumlah darah merah yang diperoleh dapat dianggap sebagai jumlah BDM normal luak Jawa pada perawatan dalam kandang. Jumlah BDM tersebut sebanding dengan nilai rata-rata jumlah BDM keseluruhan luak. Jika dibandingkan dengan jumlah BDM luak yang berasal dari Thailand ternyata jumlah butir darah merah luak Jawa ini berada pada kisaran bawah dari kisaran jumlah BDM luak dari Thailand yaitu 10.1-16.5 x 106/mL (Salakij et al. 2007). Hal tersebut mungkin terjadi karena luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini masih muda. Jika dilihat dari bobot badan dan kondisi visual luak Jawa yang digunakan dalam penelitian ini, maka luak Jawa ini masih tergolong dalam umur yang masih muda atau menjelang dewasa sehingga jumlah butir darah merah yang diperoleh belum optimal. Keadaan tersebut dapat diangggap sebagai kondisi yang fisiologis. Menurut Shiroff (2002), luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm. Jumlah BDM luak Jawa jantan terlihat lebih tinggi dari pada rata-rata jumlah BDM luak Jawa betina, namun keduanya masih dalam kisaran yang sama. Luak Jawa jantan memiliki kisaran jumlah BDM 7.64-11.76 x 106/mL, sedangkan
21
luak Jawa betina memiliki kisaran jumlah BDM 6.96-10.24 x 106/mL. Kisaran jumlah BDM luak Jawa tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan kisaran jumlah BDM anjing (5.5-8.5 x 106/mL) dan kucing (5.0-10.0 x 106/mL) (Rebar 2000). Menurut Swenson (1997) jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur, jenis kelamin, latihan, keadaan gizi, laktasi, kebuntingan, pelepasan epineprin, siklus estrus, ras, volume darah, waktu harian, lingkungan, dan ketinggian. Secara fisiologis peningkatan jumlah butir darah merah dapat diakibatkan pengaruh dari peningkatan jumlah pembuluh darah kecil pada jaringan yang sedang tumbuh seiring peningkatan bobot badan hewan (Lawrence dan Fowler 2002). Menurut Brown dan Dellmann (1992) pertambahan umur berbanding lurus dengan peningkatan jumlah butir darah merah. Peningkatan jumlah butir darah merah memiliki pola yang sama dengan kadar hemoglobin dan hematokrit (Evans et al. 2006). Peningkatan jumlah sel darah merah yang lebih dari kisaran normal disebut polisitemia. Polisitemia dipicu oleh eritropoiesis yang berlebihan. Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah. Peningkatan proses eritropoiesis dipicu oleh peningkatan hormon eritropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai kompensasi dari keadaan deoksigenasi jaringan. Menurut Rebar (2000) polisitemia terdiri dari polisitemia relatif dan absolut. Polisitemia relatif terjadi akibat dehidrasi pada hewan, sedangkan polisitemia absolut terjadi akibat adanya peningkatan produksi erithropoetin sebagai kompensasi dari berkurangnya suplai oksigen ke jaringan. Penurunan jumlah BDM dan hematokrit yang menyebabkan terjadinya penurunan hemoglobin disebut anemia (Hoffbrand 2005). Anemia dapat terjadi karena pembentukan darah yang kurang memadai akibat dari kurangnya nutrien tertentu. Anemia juga disebabkan oleh hilangnya darah akibat pendarahan karena luka maupun investasi parasit (Aroon at al. 2009). Selain itu anemia juga disebabkan karena laju hemolisis sel darah merah lebih cepat dari pada pembentukan sel darah merah yang baru sehingga dilepaskan sel darah merah yang belum masak atau reticulosit dalam jumlah besar ( Frandson 1992).
22
4.2. Kadar Hemoglobin Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Tabel 4. Rataan kadar hemoglobin (g/dL) luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah keJenis kelamin
1
2
3
4
Jantan
12.87±4.02a
10.03±1.42a
11.42±2.75a
10.99±2.73a
Betina
11.05±2.62a
11.16±4.67a
9.47±1.71a
8.78±0.85a
Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi.
Pada Tabel 4 terlihat kadar hemoglobin pada luak Jawa jantan lebih fluktuatif dibandingkan dengan kadar hemoglobin luak Jawa betina. Rataan kadar hemoglobin pada semua pengambilan darah baik pada luak jantan maupun luak betina tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Pada pengambilan darah ke 1 yaitu pada saat luak baru sampai di kandang penelitian, ternyata kadar hemoglobin yang diperoleh memiliki kisaran yang sama dengan kadar hemoglobin luak dari Thailand. Rataan kadar hemoglobin luak Jawa ini berada pada batas bawah dari kisaran kadar hemoglobin luak Thailand. Kadar hemoglobin tersebut kemungkinan masih dalam keadaan normal, tergantung hasil perhitungan indeks eritrosit yaitu MCHC. Nilai MCHC tersebut dapat digunakan untuk menentukan kadar hemoglobin luak Jawa yang sebenarnya yaitu dalam keadaan normal atau termasuk ke dalam keadaan anemia. Menurut Nugraha (2007) dalam hasil penelitiannya terhadap gambaran darah anjing umur 3-7 bulan mengatakan bahwa jumlah BDM, hemoglobin dan PCV akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Menurut Ganong (2001) butir darah merah membawa hemoglobin dalam sirkulasi menuju organ, sehingga kadar hemoglobin sebanding dengan jumlah butir darah merah matang yang bersirkulasi dan nilai hematokritnya (Evans et al. 2006). Pada penelitian ini kadar hemoglobin sebanding dengan jumlah butir darah merah, yaitu tidak
23
menunjukan perbedaan yang signifikan, kecuali pada luak jantan saat pengambilan darah ke 1. Kadar hemoglobin luak jantan pada pengambilan darah ke 1 juga menunjukan nilai yang paling tinggi. Kisaran Kadar hemoglobin luak Jawa jantan 8.26-13.72 g/dL, sedangkan kisaran kadar hemoglobin luak Jawa betina 7.65-12.11 g/dL. Jika dibandingkan dengan kisaran kadar hemoglobin anjing (12-18 g/dL), kucing (8-15 g/dL) (Rebar 2000) dan luak dari Thailand (12.3-15.5 g/dL) (Salakij et al. 2007), ternyata rataan kadar hemoglobin luak Jawa ini berada dibawah kisaran dari ketiga hewan tersebut. Guyton (1997) menyatakan bahwa gambaran darah dipengaruhi oleh umur, gizi, tingkat stres, dan perubahan lingkungan. Penurunan jumlah hemoglobin sering terjadi akibat dari defisiensi nutrien yaitu zat besi (Fe) dari sumber pakan. Berkurangnya jumlah hemoglobin ini dapat dilihat dari penurunan nilai indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC), penurunan saturasi transferin, serta penurunan feritin atau hemosiderin pada sumsum tulang (Muhammad dan Sianipar 2005). 4.3. Nilai Hematokrit Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Nilai hematokrit luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi secara jelas terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan nilai hematokrit (%) luak Jawa jantan dan betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah keJenis kelamin
1
2
3
4
Jantan
36.19±10.38a
26.38±4.11a
34.33±5.62a
36.83±5.21a
Betina
33.25±4.79a
31.88±9.73a
26.63±6.50a
32.56±9.47a
Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi.
Nilai hematokrit yang terlihat pada Tabel 5, mengalami fluktuasi berupa penurunan nilai hematokrit pada pengambilan darah ke 2 untuk luak jantan dan pengambilan darah ke 3 untuk luak betina. Fluktuasi nilai hematokrit tersebut
24
masih dalam kisaran yang sama, yaitu terlihat tidak ada nilai hematokrit yang berbeda nyata pada semua pengambilan darah. Pada pengambilan darah ke 4 nilai hematokrit yang diperoleh hampir sama dengan nilai hematokrit pada pengambilan darah ke 1. Pada pengambilan darah ke 2 terjadi penurunan nilai hematokrit pada 4 ekor luak Jawa jantan. Hal tersebut sebanding dengan jumlah BDM dan hemoglobin luak jantan yang mengalami penurunan akibat proses adaptasi. Sedangkan pada pengambilan darah ke 3 untuk luak betina mengalami penurunan yang disebabkan oleh adanya 1 ekor dari 4 ekor luak betina yang memiliki nilai hematokrit yang sangat rendah yaitu 17%. Keseluruhan nilai hematokrit yang diperoleh dalam penelitian ini, jika dibandingkan dengan nilai hematokrit anjing (37-55 %) (Rebar 2000) dan luak dari Thailand (37.3-46.1 %) (Salakij et al. 2007) maka kisaran nilai hematokrit luak Jawa berada pada batas bawah kisaran kedua hewan tersebut. Kisaran nilai hematokrit luak Jawa jantan adalah 25.50-40.76 %, sedangkan kadar hematokrit luak Jawa betina sekitar 23.48-38.08 %. Nilai hematokrit luak Jawa ini memiliki kemiripan dengan nilai hematokrit kucing (30-45%) (Rebar 2000). Keadaan tersebut sebanding dengan kisaran jumlah BDM dan kadar hemoglobin luak yang berada pada batas bawah kisaran jika dibandingkan dengan kisaran hematologi anjing, kucing, dan luak dari Thailand. Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase volume butir darah merah dalam 100 ml darah (Cunningham 2002). Hematokrit menggambarkan volume atau besar kecilnya ukuran sel darah merah (Frandson 1992), bukan menggambarkan jumlah sel darah merah yang dihitung karena banyak kelainan bentuk morfologi sel darah merah yang dapat mempengaruhi besarnya nilai hematokrit. Menurut Nuraini (2006), jumlah sel darah merah memiliki hubungan berbanding lurus dengan nilai hematokrit. Semakin tinggi jumlah sel darah merah maka semakin tinggi pula nilai hematokrit yang diperoleh. Beberapa contoh kelainan morfologi sel darah merah seperti sel teardrop, anemia bulan sabit, anemia mikrositik dan anemia makrositik dapat menyebabkan perubahan volume darah merah (Hoffbrand 2005). Pola fluktuasi nilai hematokrit luak Jawa jantan dan betina ini sebanding dengan pola fluktuasi jumlah BDM dan kadar hemoglobin yang diperoleh.
25
Colville dan Joanna (2002) mengatakan bahwa nilai hematokrit sebanding dengan jumlah butir darah merah dan kadar hemoglobin. Menurut Mbassa dan Poulsen (1993) nilai hematokrit dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan kondisi hewan pada saat pengambilan darah. Sedangkan Jain (1993) mengatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh waktu dan kecepatan sentrifugasi. Bervariasinya nilai hematokrit ini juga dipengaruhi oleh tempat pengambilan darah. Pada hewan normal hematokrit dari darah vena lebih besar dari pada darah dari arteri, karena hidrasi dan butir-butir darah merah dan ukurannya yang bertambah (Stockham dan Scott 2008). Pengaruh nilai hematokrit terhadap viskositas darah yaitu semakin tinggi jumlah sel darah merah artinya semakin tinggi nilai hematokrit, berarti semakin banyak gesekan yang terjadi antara berbagai lapisan darah dan geseken ini menentukan vikositas darah (Guyton dan Hall 1999). Hematokrit merupakan indikasi proporsi sel dan cairan di dalam darah. Hematokrit yang rendah dapat mengindikasikan beberapa kelainan antara lain anemia, hemoragi, kerusakan sumsum tulang, kerusakan sel darah merah, malnutrisi, myeloma, dan artritis. Sebaliknya nilai hematokrit yang tinggi mengindikasikan keadaan dehidrasi eritrositosis maupun polisitemia di vena (Rebar 2000). 4.4. Indeks Eritrosit Luak Jawa Saat Datang dan Selama Proses Adaptasi Dalam perhitungan nilai indeks eritrosit ini, digunakan jumlah BDM, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit dari pengambilan darah ke 1 sampai ke 4. Nilai indeks eritrosit luak Jawa jantan dan betina pada saat datang dan selama proses adaptasi secara jelas tersaji pada Tabel 6.
26
Tabel 6. Rataan nilai indeks eritrosit luak Jawa jantan dan luak Jawa betina pada saat datang dan selama proses adaptasi. Pengambilan Darah keJantan
1
2
3
4
MCV (fL)
30.59±6.25a
31.41±4.56a
35.91±3.26ab
43.01±9.22b
MCH (pg)
10.90±2.74a
12.02±2.28a
11.85±1.37a
11.32±1.91a
MCHC (g/dL)
35.55±4.36b
38.12±2.47b
32.99±2.45b
26.56±2.05a
MCV (fL)
36.89±2.75ab
40.37±5.11b
29.94±5.44a
39.03±4.02b
MCH (pg)
12.24±2.50a
13.99±3.43a
10.73±1.43a
10.86±2.02a
MCHC (g/dL)
32.98±4.78b
34.38±4.16b
36.23±4.16b
25.75±3.18a
Betina
Keterangan: - Superskip dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (p<0,05). - Data disajikan : rataan ± standar deviasi.
Indeks eritrosit ini digunakan untuk mengetahui adanya indikasi anemia dan penyebab anemia tersebut (Nordenson 2002). MCV menunjukan ukuran sel eritrosit. Kondisi dimana nilai MCV lebih rendah dari kisaran normal disebut mikrositika, jika nilai MCV dalam rentang normal disebut normositika, dan ketika nilai MCV lebih dari normal disebut makrositika. MCHC menunjukan intensitas warna
eritrosit. Kondisi dimana nilai MCHC kurang dari normal disebut
hipokromik, sedangkan ketika nilai MCHC dalam kisaran normal maka disebut normokromik (Rebar 2000). Menurut Nordenson (2002) indeks sel darah merah digunakan untuk mendefinisikan ukuran sel dan kandungan dari hemoglobin dari sel darah merah terkait dengan jumlah sel yang terdiri dari Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Nilai Indeks eritrosit dipengaruhi oleh jumlah BDM, kadar
hemoglobin,
dan
nilai
hematokrit.
sehingga
faktor-faktor
yang
27
mempengaruhi jumlah BDM, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai indeks eritrosit. Pada dasarnya keadaan gambaran darah luak pada pengambilan darah ke 1 adalah gambaran darah luak yang masih benar-benar liar karena baru ditangkap dari alam. Pada pengambilan darah ke 1 inilah di duga keadaan fisiologis normal luak Jawa dari alam liar. Pengambilan darah ke 2 dan ke 3 merupakan proses adaptasi sehingga gambaran darah yang diperoleh sangat fluktuatif. Sedangkan pada pengambilan darah ke 4, gambaran darah yang diperoleh dinilai sebagai gambaran darah normal luak Jawa pada pemeliharaan yang dikandangkan karena gambaran darah mulai stabil pada kisaran yang sama dengan gambaran darah pada pengambilan darah
luak ke 1 dan gambaran darah luak di Thailand. Pada
pengamatan visual luak pada minggu ke 6 dan ke 7 yaitu pada pengambilan darah ke 3 dan ke 4 luak sudah mengalami proses adaptasi dengan tingkah laku yang menggambarkan kenyamanan terhadap lingkungannya. Pada penelitian ini akan nilai indeks eritrosit dari pengambilan darah ke 1 sampai dengan pengambilan darah ke 4 dibandingkan dengan nilai indeks eritrosit dari Thailand. Tujuan dari perbandingan tersebut adalah untuk mengetahui kisaran normal nilai indeks eritrosit luak dari Jawa ini. Sebagai fokus perbandingan yang paling utama adalah indeks eritrosit dari pengambilan darah ke 1 dan ke 4, karena pada pengambilan darah ke 2 dan ke 3 luak dinilai belum beradaptasi dengan baik pada lingkungan kandang. Gambaran darah luak pada pengambilan darah ke 2 dan ke 3 lebih fluktuatif atau belum stabil. Berdasarkan morfologi ukuran sel darah merah (MCV) dan konsentrasi hemoglobin (MCHC) anemia dapat digolongkan menjadi 5 yaitu: Anemia hipokrom-mikrositer yaitu anemia yang memperlihatkan turunnya nilai MCHC dan MCV secara bersamaan. Anemia ini disebabkan oleh definisi besi (Fe), dan defisiensi vitamin B atau pyridoxin. Anemia hipokrom-makrositer adalah anemia yang dicirikan dengan menurunnya nilai MCHC dan meningkatnya nilai MCV. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi asam folat dan termasuk anemia regeneratif yang dapat dikompensasi oleh tubuh (Sodikoff 1995, Rebar 2000). Anemia normokrom-normositer adalah anemia yang pertama sebelum terjadi anemia lainnya. Anemia ini menunjukan nilai MCV dan MCHC yang normal.
28
Anemia ini di sebabkan oleh defisiensi eritropoietin, depresi sumsum tulang, hemoragi akut dan hemolisis. Anemia normokrom-normositer ini dapat termasuk anemia non regeneratif yang tidak dapat dikompensasi oleh tubuh, akibat defisiensi cobalt dalam waktu yang lama. Anemia normokrom-mikrositer adalah anemia yang dicirikan dengan nilai MCHC pada kisran normal namun terjadi penurunan nilai PCV. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi zat besi (Sodikoff 1995, Rebar 2000). Pada ras anjing Japanese Akita terjadi secara normal, karena anjing ini memiliki ukuran sel darah merah yang kecil (Sodikoff 1995). Anemia normokromik-makrositer adalah anemia yang dicirikan dengan nilai MCHC yang normal dan naiknya nilai MCV. Anemia ini akibat respon awal anemia regeneratif dan kegagalan eritropoiesis akibat dari virus FeLv (feline panleukopeni virus) (Rebar 2000). 4.4.1. Mean Corpuscular Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata butir darah merah. Nilai MCV dipengaruhi oleh jumlah butir darah merah dan nilai hematokrit. Nilai MCV diperoleh dari hasil pembagian 10 kali nilai hematokrit dengan jumlah butir darah merah. Oleh karena itu ketika nilai hematokrit naik atau jumlah BDM turun maka nilai MCV akan ikut naik. Guyton (1997) menyebutkan bahwa penurunan nilai MCV disebabkan adanya perubahan ukuran butir darah merah menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur sel tersebut. Penurunan nilai MCV juga bisa disebabkan terjadinya devisiensi besi dan vitamin B6. Sedangkan peningkatan nilai MCV disebabkan meningkatnya volume sel darah merah jika dibandingkan dengan volume plasmanya, yaitu pada saat hewan dehidrasi. Pada penelitian ini diperoleh nilai MCV luak jantan selalu meningkat dari pengambilan darah ke 1 sampai ke 4, sedangkan MCV luak betina sempat mengalami penurunan pada pengambilan darah ke 3. Pada pengambilan darah ke 4 nilai MCV luak betina mulai naik pada kisaran yang sama dengan pengambilan darah ke1 dan ke 2. Nilai MCV pada pengambilan darah ke 1 memiliki rataan yang lebih kecil dibandingkan nilai MCV pada pengambilan darah ke 4, namun keduanya masih memiliki kisaran yang hampir sama. Pada pengambilan darah ke 1 luak Jawa jantan memiliki kisaran nilai MCV 24.34-36.84 fL dan luak Jawa
29
betina memiliki kisaran 34.14-39.64 fL, sedangkan pada pengambilan darah ke 4 kisaran nilai MCV luak Jawa jantan dan betina masing-masing adalah 33.79-52.23 fL untuk dan 35.01-43.05 fL. Meningkatnya nilai MCV pada pengambilan darah ke 4 berbanding lurus dengan gambaran yang diperoleh pada pengukuran nilai PCV dan perhitungan jumlah butir darah merah. Pada pengambilan darah ke 4 nilai PCV mengalami kenaikan sedangkan jumlah butir darah merah mengalami penurunan. Kisaran nilai MCV mulai dari
pengambilan darah ke 1 hingga
pengambilan darah ke 4 ternyata hampir sama dengan kisaran nilai MCV dari 4 ekor luak yang berada di kebun binatang Kwaokeaw di Thailand yang diteliti oleh Salakij et al. (2007) yaitu 27.50-37.50 fL. 4.4.2. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) MCH adalah jumlah perbandingan kadar hemoglobin dengan jumlah butir darah merah dalam satuan pg (picogram) (Stockham dan Scott 2008). Nilai MCH diperoleh dari hasil pembagian 10 kali kadar hemoglobin dengan nilai hematokrit. Oleh karena itu ketika kadar hemoglobin naik atau nilia hematokrit turun maka nilai MCV akan ikut naik. Menurut Nugraha (2007) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap anjing kampung umur 3-7 bulan menyatakan bahwa nilai MCH akan terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur. Stockham dan Scott (2008) Menyatakan bahwa, MCH adalah kadar hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah, sedangkan kadar hemoglobin dalam plasma akibat dari hemolisis tidak akan ikut terhitung secara akurat. Pada beberapa kasus anemia, perubahan rataan ukuran MCV secara langsung mengubah kandungan hemoglobin dalam darah merah dengan kata lain akan mempengaruhi MCH. Pada Tabel 6 dapat terlihat nilai MCH dari luak Jawa jantan memiliki kisaran yang sama pada pengambilan darah ke 1 dan ke 4. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya nilai MCH yang berbeda nyata pada setiap pengambilan darah. Kisaran nilai MCH luak Jawa betina pada pengambilan darah ke 1 lebih rendah dari pada pengambilan darah ke 4. Kisaran MCH pada pengambilan darah ke 1 untuk luak Jawa jantan adalah 9.41-13.23 pg, sedangkan luak Jawa betina 8.8412.88 pg. Sedangkan kisaran nilai MCH luak Jawa jantan dan betina pada pengambilan darah ke 4, masing-masing adalah 8.16-13.64 pg dan 9.74-14.74 pg.
30
Kedua kisaran nilai MCH tersebut masih dalam kisaran yang sama dengan nilai MCH luak dari Thailand (9.20-12.2 pg) (Salakij et al. 2007). Nilai MCH yang lebih mendekati nilai MCH normal luak dari Thailand adalah nilai MCH pada pengambilan darah ke 1. 4.4.3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah nilai rata-rata konsentrasi hemoglobin dalam 100 ml butir darah merah (Cunningham 2002). Semakin tinggi hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah maka semakin besar pula nilai MCHCnya (Stockham dan Scott 2008). Pada setiap sampel darah setiap hewan eritrosit yang terkandung tidak selalu sama. Masing-masing sel darah merah memiliki volume yang berbeda, serta konsentrasi dan kandungan hemoglobin yang berbeda. Karena MCH menggambarkan besarnya hemoglobin dalam sel darah merah dan MCV menggambarkan volume rata-rata eritrosit, maka besarnya MCHC dapat dihitung dari hasil pembagian MCH oleh MCV (Stockham dan Scott 2008). Pada hasil penelitian ini terlihat nilai MCHC luak Jawa pada pengambilan darah ke 1 sampai ke 3 memiliki kisaran yang sama, sedangkan pada pengambilan darah ke 4 terjadi penurunan yang signifikan pada nilai MCHC baik pada luak jantan maupun luak betina. Penurunan nilai MCHC pada pengambilan darah ke 4 tersebut terjadi karena pada pengambilan darah ke 4 luak jantan dan betina mengalami penurunan kadar hemoglobin dan mengalami kenaikan nilai hematokrit sehingga nilai MCHC yang diperoleh menjadi lebih kecil atau menurun. Pada pengambilan darah ke 1 kisarah nilai MCHC luak Jawa jantan dan betina, masing-masing adalah 31.19-39-91 g/dL dan 28.79-37.15 g/dL. Kisaran nilai MCHC pada pengambilan darah ke 4 adalah 21.66-29.74 g/dL untuk luak Jawa jantan sedangkan kisaran nilia MCHC luak Jawa betina adalah 23.25-29.91 g/dL. Kisaran nilai MCHC luak dari Thailand yaitu 32.70-33.90 g/dL (Salakij et al. 2007). Nilai MCHC luak Jawa yang paling mendekati nilai normal MCHC luak dari Thailand adalah nilai MCHC pada pengambilan darah ke 1. Nilai MCHC pada pengambilan darah ke 4 ternyata berada di bawah kisaran normal nilai MCHC luak dari Thailand. Keadaan tersebut menggambarkan adanya kemungkinan luak Jawa yang dikandangkan mengalami anemia hipokromik yaitu yang ditandai dengan nilai MCHC di bawah normal. Pada pengambilan darah ke
31
4, jumlah BDM dan nilai hematokrit luak Jawa masih dalam kisaran normal. sedangkan kadar hemoglobin luak Jawa cukup rendah, yaitu berada di batas bawah kisaran normal. Pada pengambilan darah ke 4 yaitu ketika luak mulai dianggap dapat beradaptasi dengan lingkungan kandang, luak sebenarnya sudah mampu melakukan perbaikan fisiologis darahnya, terbukti dengan jumlah BDM dan nilai hematokrit yang kembali pada kisaran normal seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 4. Pada saat pemeliharaan di kandang kemungkinan luak mengalami kekurangan nutrien yang kaya Fe dari sumber pakannya, sebagai prekursor pembentuk darah yang mengikat hemoglobin. Sehingga sampai dengan pengambilan darah ke 4 atau 7 minggu setelah luak di kandangkan, luak tidak mampu meningkatkan kadar hemoglobinnya akibat kekurangan nutrien kaya Fe dari sumber pakannya. Selama pemeliharaan luak hanya diberi pakan berupa buah pisang sebanyak 5-7 buah per ekor/hari dan selingan daging kepala ayam 3-4 potong per ekor/hari. Buah pisang memiliki kandungan karbohidrat, vitamin, dan mineral (potasium dan kalium) yang cukup tinggi (Marisa 2006). Manajemen pemberian pakan tersebut dilakukan berdasarkan pengamatan lapang dan perkiraan. Pengamatan lapang dilakaukan pada lokasi pasar hewan dan pemelihara luak. Pemberian pakan luak dilakukan dengan perkiraan karena literatur mengenai kebutuhan nutrien pada luak sangat terbatas. Oleh karena itu peluang untuk terjadinya defisiensi nutrien tertentu dapat terjadi. Nilai MCHC adalah salah satu indeks BDM yang digunakan untuk identifikasi penyakit dengan gejala anemia. Rebar (2000) mengatakan MCV dan MCHC digunakan sebagai indikasi untuk mengetahui keadaan anemia. MCHC menggambarkan konsentrasi hemoglobin yang terkandung dalam rata-rata butir darah merah. Bila nilai MCHC berada di bawah kisaran normal (MCHC < 30 g/dL pada kucing) disebut hipokromik dan bila berada pada kisaran normal (30-36 g/dL pada kucing) disebut normokromik (Rebar 2000).
32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Berdasarkan bobot badan, pengamatan visual, dan gambaran darah luak Jawa yang berada di batas bawah kisaran normal dari luak dewasa di Thailand, maka luak Jawa yang digunakan pada penelitian ini adalah luak Jawa dengan umur yang masih muda atau umur menjelang dewasa yaitu kurang lebih 1 tahun. 2. Jumlah butir darah merah luak Jawa jantan yaitu (9.34±2.28)x106/mL dan (8.73±1.61)x106/mL pada luak Jawa betina. 3. Kadar hemoglobin luak Jawa yaitu (10.99 ±2.73)g/dL dan (9.88 ± 2.23)g/dL pada luak Jawa betina. 4. Nilai hematokrit luak Jawa jantan yaitu (33.13±7.63)% dan (30.78±7.30)% pada luak Jawa betina. 5.2 Saran Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang gambaran fisiologis darah pada luak (Paradoxurus hemaphroditus) di Jawa dengan kondisi kandang yang berbeda dan umur luak yang lebih dewasa yaitu lebih dari 1 tahun, sehingga diperoleh data gambaran fisiologis luak dengan kisaran yang luas dan lebih lengkap.
33
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Aroon S, Artchawakom T, Hill JG, Kupittayanant S, Thanee N. 2009. Ectoparasites of the common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus) at Sakaerat enviromental researching station, Thailand. Suranaree J. Sci.Technol. 16 (4):277-281 Azlan JM. 2003. The diversity and conservation of mustelids, viverrids,and herpestids in a disturbed forest in Peninsular Malaysia. Small Carnivore Conservation 29: 8–9. Borah J dan Deka K. 2011. An observation of common palm civet Paradoxurus hermaphroditus mating. Small Carnivore Conservation. Vol. 44: 32–33, June 2011 Brooker. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: ECG. Brown EM, Dellmann HD. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Ed ke-3. R Hartono. Penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Colville T, Joanna MB. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technican. Colon CP. 2002. Ranging Behaviour and Activity of The Malay Civet (Viverra tangulunga) in a Logged and an Unlogged Forest in Danum Valley, east Malaysia. J. Zool.257:473-485. Cunningham JG. 2002. Texts Book of Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia: WB. Sounders Company. Dewi T. 2010. Kopi luwak, kopi termahal di dunia. National Geographic Kids. Edisi Oktober 2010. Hal 8-9. Evans DM, Frazer IH, dan Martin NG. 2006. Physiology. [terhubung berkala]. http://jap.Physiology.org/cgi/Content/abstract/52/1/168. (20 Januari 2012). Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakata : Gajah Mada Univercity Press. Ganong WF. 2001. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : EGC. Guyton AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irnawati Setiawan, Penerjemah; Jakarta: ECG. Guyton and Hall. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irnawati Setiawan, Penerjemah; Jakarta: ECG.
34
Hoffbrand AF, Pelit JE, dan Moss PAH. 2005. Hematology. Ed ke-4. Dewi Asih Maharani, Penerjemah; Jakarta: ECG. Hartono. 1995. Histology Veteriner. Jilid 1. Laboratorium Histologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Jain NC. 1993. Essential of Veterinary hematology. Philadelphia: Lea and Febiger. Jeannings AP, Seymour AS, Dunstone N. 2006. Ranging behaviour, spatial organization and activity of the malay civet (Viverra tangalunga) on Buton Island, Sulawesi. J. Zool. 268:63-71. Kurnia L, Yulvianus H. 2011. Kopi luak dari gang pekonan. [Terhubung Berkala]. Posting Selasa, 28 Juni 2011 | 21:08 WIB. (13 Februari 2012). Lawrence LC, Fowler VR. 2002. Growth of Farm Animal. Ed ke-2. New York: CABI Publishing. Light, Grass C, Pursley D, Krause J. 2007. Carboxyhemoglobin level in smokers VS non smokers in a smoking environment.USA: Sci. Journal of the American Association for Respiratory Care. Lunde DP dan Musser GG. 2003. A recently discovered specimen of Indonesian Mountain Weasel from Sumatra. Small Carnivore Conserv. 28:22. Marisa M. 2006. Ascorbic acid, vitamin A, and mineral composition of banana (Musa sp.) and papaya (Carica papaya) cultivars grown in Hawai. Journal of Food Composition and Analysis 19:434–445. Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference Ranges for Hematological Value in Landrace Goats. Small Ruminant Research. Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Medicine Interpetation and Diagnosis. Philadelphia: W.B Sounders Company. Mudappa D, Kumar A, Chellam R. 2010. Diet and fruit choice of brown palm civet Paradoxurus jerdoni, a viverrid endemic to the western ghats rainforest, India. J.Tropic Cons Sci.3(3):282-300. Mudappa D and Chellam R. 2001. Capture and immobilization of wild brown palm civets in Western Ghats. Journal of Wildlife Diseases 37: 383-386. Muhammad A dan Sianipar O. 2005. Penentuan defisiensi besi anemia, penyakit kronis dengan menggunakan indeks sTfR-F. Indonesian Jurnal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol.12. No.1. November 2005: 9-15.
35
Nordenson JN. 2002. Gale Encyclopedia of Medicine. Red Blood Cell Indices. [Terhubung Berkala]. http://www.healthatoz.com/healtathoz/ Atoz/Ency//red blood cell indices.jsp. (20 Januari 2012). Nugraha KNN. 2007. Gambaran Darah Anjing Kampung Jantan (Canis familiaris) Umur 3 Sampai 7 Bulan [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Nuraini D. 2006. Pendugaan Jumlah Sel Darah Merah (RBC) Melalui Penilaian Hematokrit [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Patau ML, Wilting A, Goubert P, Jacob A, Andrew P, dan Jennings. 2010. Evolutionary history of the Paradoxuruspalm civets – a new model for Asian biogeography. Journal of Biogeography (2010) 37, 2077–2097. Perkin A. 2004. A new range record for the African palm civet Nandinia biotata (Carnivora, Viverridae) from Unguja island, Zanzibar. Afr. J. Ecol., 42:232234. Pristiyanto D. 2003. Virus SARS Nampaknya Berasal Dari Musang [Terhubung Berkala]. http://www.mediaindo.co.id/ beritakhusus.asp?id=946 . Selasa 23 Mei 2003. (12 Januari 2012). Rebar AH. 2000. Hemogram Interpretation For Dog and Cats. Clinical Handbook Series. Ralston Purina Company. Reksodiputro HA. 1994. Cermin Dunia Kedokteran: Mekanisme Anemia Defisiensi Zat Besi. Jakarta: Universitas Indonesia Press Rinnie. 2011. Rouleaux Formation Normal In Horses. [Terhubung Berkala] http://quizlet.com/5640718/clinical-pathology-flash-cards/. (4 Juni 2012) Riswanto. 2010. Laboratorium Kesehatan: Mioglobin. [Terhubung Berkala]. http:// labkesehatan. blogspot. com /2010/11/mioglobin. (14 Januari 2012) Rodríguez A, Cadena A and Sanchez P. 2000. Trophic characteristics in social groups of the mountain coati, Nasuella olivacea (Carnivora: Procyonidae). Small Carnivore Conservation 23: 1-6. Salakij C, Salakij J, Narkkong A, Tongthainun D, Prihirunkit K, and Itarat S. (2007). Hematology, cytochemistry and ultrastructure of blood cells in common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus). Nat. Sci. 41 : 705 – 716. Sastradipradja et al. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Dekdikbud. Dirjen. Dikti. PAU. Ilmu Hayati. IPB.
36
Shiroff A. 2002. Paradoxurus hermaphroditus. Animal diversity. ummz. umich. edu/ site/accounts/information/Paradoxurus_hermaphroditus.html. Silverthorn. 2006. Human Physiology. Ed ke-4. Sanfransisco: Sansomest Pearson Benjamin Cummings. Sodikoff CH. 1995. Laboratory Profiles of Small Animal Diseases A Guide to Laboratory Diagnosis. America : Mosby. Stain W. 2012. Rouleaux In a Feline Blood Smear. [Terhubung Berkala]. http://www.medvet.umontreal.ca/clinpath/banqim/hematology/rouleauxE.ht m. (14 Juni 2012). Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamental of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-1. USA: Lowa State Press. Swenson MJ. 1997. Dukes Physiology of Domestic Animal. Ed ke-9. London: Cornell University Press. Vander AJ. 2001. Human Physiology: The Mechanisms of Body Fungtion. Edisi ke-8. New York: The MC Graw-hill Companies. Vaughan TA, Ryan JM, Czaplewski NJ. 2000. Mammalogy. Ed ke-4. USA: Thomson Learning.