BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Darah 2.1.1. Pengertian Darah merupakan jaringan cair yang sangat penting bagi manusia yang memiliki banyak kegunaan untuk menunjang kehidupan. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Darah terdiri atas dua bagian, bagian cair yang disebut plasma dan unsur –unsur padat yaitu sel-sel darah. Darah membentuk 6 sampai 8% dari berat badan tubuh total, volume darah secara keseluruhan kira – kira 5 liter. Tiga jenis sel darah utama adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah membentuk 55% dari volume darah total. Sedangkan 45% sisanya adalah sel darah. Eritrosit menempati bagian besar volumenya yaitu sekitar 99%, trombosit (0,6 – 1,0%) dan leukosit (0,2%). (Ronald A.Sacher, Richard A.McPherson, 2004; Evelyn C.Pearce, 1979) 2.1.2. Fungsi Darah Pada Tubuh Manusia : 1. Fungsi utama darah adalah untuk transportasi 2. Eritrosit tetap berada dalam system sirkulasi a) Mengangkut Hemoglobin (Hb) → mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan, Hb merupakan pengatur keseimbangan asam basa b) Mengkatalisis reaksi CO2 dan air secara cepat dengan bantuan enzim karbon anhidrase 6
7
3. Leukosit bertanggung jawab terhadap pertahanan tubuh dan diangkut oleh darah ke berbagai jaringan tepat sel – sel tersebut melakukan fungsi fisiologiknya. 4. Trombosit berperan mencegah tubuh kehilangan darah akibat perdarahan. 5. Plasma merupakan pengangkut utama zat gizi dan produk sampingan metabolik ke organ-organ tujuan untuk penyimpanan atau ekskresi. 6. Eosinofil berperan untuk melakukan fagositosis, yaitu memusnahkan setiap sel asing yang memasuki tubuh. (Harun Yahya, 2008 ; Djunaedi Wibawa, 2011 ; Ronald A.Sacher, Richard A.McPherson, 2004) 2.1.3. Hematopoiesis Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan perkembangan sel darah dari sel induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda. Tempat terjadinya hematopoiesis pada manusia : 1. Embrio dan Fetus a. Stadium Mesoblastik, Minggu ke 3-6 s/d 3-4 bulan kehamilan : Sel-sel mesenchym di yolk sac. Minggu ke 6 kehamilan produksi menurun diganti organ-organ lain.
8
b. Stadium Hepatik, Minggu ke 6 s/d 5-10 bulan kehamilan : Menurun dalam waktu relatif singkat. Terjadi di Limpa, hati, kelenjar limfe c. Stadium Mieloid, Bulan ke 6 kehamilan sampai dengan lahir, pembentukan di sumsum tulang : Eritrosit, leukosit, megakariosit. 2. Bayi sampai dengan dewasa Hematopoiesis terjadi pada sumsum tulang, normal tidak diproduksi di hepar dan limpa, keadaan abnormal dibantu organ lain. a. Hematopoiesis Meduler (N) Lahir sampai dengan 20 tahun : sel sel darah → sumsum tulang. Lebih dari 20 tahun : corpus tulang panjang berangsur – angsur diganti oleh jaringan lemak karena produksi menurun. b. Hematopoiesis Ekstrameduler (AbN) Dapat terjadi pada keadaan tertentu, misal: Eritroblastosis foetalis, An.Peniciosa, Thallasemia, An.Sickle sel, Spherositosis herediter, Leukemia. Organ – organ Ekstrameduler : Limpa, hati, kelenjar adrenal, tulang rawan, ginjal, dll (Erslev AJ, 2001) Macam – macam hematopoiesis 1. Seri Eritrosit (Eritropoesis) Perkembangan eritrosit ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua makin kecil), perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik), perubahan inti yaitu nukleoli makin hilang, ukuran sel makin kecil, kromatin makin padat dan tebal, warna inti gelap.
9
Tahapan perkembangan eritrosit yaitu sebagai berikut : a. Proeritroblas Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit. Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20µm. Inti mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola kromatin hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan sitoplasma bersifat basofil sedang. Setelah mengalami sejumlah pembelahan mitosis, proeritroblas menjadi basofilik eritroblas. b. Basofilik Eritroblas Basofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan diameternya rata-rata 10µm. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam jala-jala kasar, dan anak inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang nampak basofil sekali. c. Polikromatik Eritroblas (Rubrisit) Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah berkali-kali secara mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan hemoglobin yang cukup untuk dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang diwarnai. Setelah pewarnaan Leishman atau Giemsa, sitoplasma warnanya berbeda-beda, dari biru ungu sampai lila atau abu-abu karena adanya hemoglobin terwarna merah muda yang berbeda-beda di dalam sitoplasma yang basofil dari eritroblas. Inti Polikromatik Eritroblas
10
mempunyai jala kromatin lebih padat dari basofilik eritroblas, dan selnya lebih kecil. d. Ortokromatik Eritroblas (Normoblas) Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis. Normoblas
lebih
kecil
daripada
Polikromatik
Eritroblas
dan
mengandung inti yang lebih kecil yang terwarnai basofil padat. Intinya secara bertahap menjadi piknotik. Tidak ada lagi aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan dari sel bersama-sama dengan pinggiran tipis sitoplasma. Inti yang sudah dikeluarkan dimakan oleh makrofagmakrofag yang ada di dalam stroma sumsum tulang e. Retikulosit Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya, dan mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat mensintesis hemoglobin. (Child, J.A, 2010 ; Erslev AJ, 2001) Retikulosit dianggap kehilangan sumsum retikularnya sebelum meninggalkan sumsum tulang, karena jumlah retikulosit dalam darah perifer normal kurang dari satu persen dari jumlah eritrosit. Dalam keadaan normal keempat tahap pertama sebelum menjadi retikulosit terdapat pada sumsung tulang. Retikulosit terdapat baik pada sumsum tulang maupun darah tepi. Di dalam sumsum tulang memerlukan waktu kurang lebih 2 – 3 hari untuk menjadi matang, sesudah itu lepas ke dalam darah. (Bell dan Rodak, 2002)
11
f. Eritrosit Eritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada manusia, sel ini berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Jumlah normal pada tubuh laki – laki 5,4 juta/µl dan pada perempuan 4,8 juta/µl. setiap eritrosit memiliki diameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2 µm. (Ganong, William F.1998) Perkembangan normal eritrosit tergantung pada banyak macammacam faktor, termasuk adanya substansi asal (terutama globin, hem dan besi). Faktor-faktor lain, seperti asam askorbat, vitamin B12, dan faktor intrinsic (normal ada dalam getah lamung), yang berfungsi sebagai koenzim pada proses sintesis, juga penting untuk pendewasaan normal eritrosit.(Djunaedi Wibawa, 2011) Pada sistem Eritropoesis dikenal juga istilah Eritropoiesis inefektif, yang dimaksud Eritropoiesis inefektif adalah suatu proses penghancuran sel induk eritroid yang prematur disumsum tulang. Choi, dkk, dalam studinya bahwa pengukuran radio antara retikulosit di sumsum tulang terhadap retikulosit di darah tepi merupakan ukuran yang pentng untuk bisa memperkirakan beratnya gangguan produksi SDM. (Choi JW. 2006)
12
2. Seri Leukosit a. Leukosit Granulosit / myelosit Myelosit terdiri dari 3 jenis yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil yang mengandung granula spesifik yang khas. Tahapan perkembangan myelosit yaitu : 1) Mieloblas Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri granulosit. Diameter berkisar antara 10-15µm. Intinya yang bulat dan besar memperlihatkan kromatin halus serta satu atau dua anak inti. 2) Promielosit Sel ini agak lebih besar dari mielobas. Intinya bulat atau lonjong, serta anak inti yang tak jelas. 3) Mielosit Promielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada proses diferensiasi timbul grnula spesifik, dengan ukuran, bentuk, dan sifat terhadap pewarnaan yang memungkinkan seseorang mengenalnya sebagai neutrofil, eosinofil, atau basofil. Diameter berkisar 10µm, inti mengadakan cekungan dan mulai berbentuk seperti tapal kuda. 4) Metamielosit Setelah mielosit membelah berulang-ulang, sel menjadi lebih kecil kemudian berhenti membelah. Sel-sel akhir pembelahan adalah
13
metamielosit. Metamielosit mengandung granula khas, intinya berbentuk cekungan. Pada akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang. Karena sel-sel bertambah tua, inti berubah, membentuk lobus khusus dan jumlah lobi bervariasi dari 3 sampai 5. Sel dewasa (granulosit bersegmen) masuk sinusoid-sinusoid dan mencapai peredaran darah. Pada masing-masing tahap mielosit yang tersebut di atas jumlah neutrofil jauh lebih banyak daripada eosinofil dan basofil. b. Leukosit non granuler 1) Limfosit Sel-sel precursor limfosit adalah limfoblas, yang merupakan sel berukuran relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung kromatin yang relatif dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya homogen dan basofil. Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin intinya menjadi lebih tebal dan padat dan granula azurofil terlihat dalam sitoplasma. Ukuran selnya berkurang dan diberi nama prolimfosit. Sel-sel tersebut langsung menjadi limfosit yang beredar. 2) Monosit Monosit awalnya adalah monoblas berkembang menjadi promonosit. Sel ini berkembang menjadi monosit. Monosit meninggalkan darah lalu masuk ke jaringan, disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70 hari.
14
3. Seri Trombosit (Trombopoesis) Pembentukan Megakariosit dan Keping-keping darah Megakariosit adalah sel raksasa (diameter 30-100µm atau lebih). Inti berlobi secara kompleks dan dihubungkan dengan benang-benang halus dari bahan kromatin. Sitoplasma mengandung banyak granula azurofil dan memperlihatkan sifat basofil setempat. Megakariosit membentuk tonjolantonjolan sitoplasma yang akan dilepas sebagai keping-keping darah. Setelah sitoplasma perifer lepas sebagai keping-keping darah, megakariosit mengeriput dan intinya hancur. (Nadjwa Zamalek D, 2002 ; Indranila KS, 1994)
Gambar 1 : Hematopoesis
2.2. Thalasemia Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidak seimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin. Thalasemia adalah penyakit keturunan dan salah satu jenis anemia hemolitik yang diturunkan secara autosomal yang ditandai dengan kondisi eritrosit yang mudah rusak, yaitu 3-4 kali lebih cepat dibanding
15
sel darah normal. Oleh karena itu umurnya pun relatif lebih pendek dibanding sel darah normal. Jika sel darah normal memiliki umur 120 hari, maka eritrosit penderita thalassemia hanya bertahan 23 hari. Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik thalasemia dan penyakit ini paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia, Enam sampai sepuluh dari setiap 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini, apabila sepasang dari mereka menikah, kemungkinan untuk mempunyai anak penderita thalasemia berat adalah 25%, 50% menjadi pembawa sifat (carrier) thalasemia, dan 25% kemungkinan bebas thalasemia. (Riadi Wirawan, 2001 ; Iskandar, 2010)
Gambar 2 : Skema gen penurunan penyakit thalasemia
1. Klasifikasi thalasemia Thalasemia merupakan kelainan pada gen – gen yang mengatur pebentukan dari rantai globin sehingga produksinya terganggu dan mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah yang akan menyebabkan sel
16
darah tersebut pecah. Beberapa jenis thalasemia yaitu thalasemia alfa dan beta. a. Thalassemia alfa Terjadi penurunan sintesis dari rantai alfa globulin. Dan kelainan ini berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya sintesis rantai alfa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma yang tidak berpasangan dengan rantai alfa. Maka dapat terbentuk tetramer dari rantai beta yang disebut HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts. Thalassemia alfa sendiri memiliki beberapa jenis. 1) Delesi pada empat rantai alfa. Dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts. Gejalanya dapat berupa ikterus, pembesaran hepar dan limpa, dan janin yang sangat anemis. Biasanya, bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya atau dapat juga janin mati dalam kandungan pada minggu ke 36-40. 2) Delesi pada tiga rantai alfa. Dikenal juga sebagai HbH disease biasa disertai dengan anemia hipokromik mikrositer. Dengan banya terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. 3) Delesi pada dua rantai alfa. Dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer yang ringan dan terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH.
17
4) Delesi pada satu rantai alfa. Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal. b. Thalassemia beta Disebabkan karena penurunan sintesis rantai beta. Dapat dibagi berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu thalassemia mayor, intermedia, dan karier. Dalam kasus thalassemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Mungkin saja pada awal kelahirannya, anak-anak thalassemia mayor tampak normal tetapi penderita akan mengalami anemia berat mulai usia 3-18 bulan. Jika tidak diobati, bentuk tulang wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam. Selama hidupnya penderita akan tergantung pada transfusi darah. Salah satu cirri fisik dari penderita thalassemia adalah kelainan tulang yang berupa tulang pipi masuk kedalam dan batang hidung menonjol (disebut gacies cooley), penonjolan dahi dan kedua mata menjadi lebih jauh, serta tulang menjadi lemah dan keropos. (Riadi Wirawan, 2001) 2. Penyebab thalassemia Ketidak seimbangan dalam rantai protein glbin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hnya menjadi pembawa tapi tidak menunjukkan gejalagejala dari penyakit ini.
18
Thalassemia juga digolongkan berdasarkan apakah seseorang memiliki 1 gen cacat (Thalassemia minor) atau 2 gen cacat (Thalassemia mayor). 1 gen untuk beta-thalassemia menyebabka anemia ringan sampai sedang tanpa menimbulkan gejala; 2 gen menyebabkan anemia berat disertai gejala-gejala. Sekitar 10% orang yang memiliki paling tidak 1 gen untuk alfa-thalassemia juga menderita anemia ringan. 3. Gejala thalassemia Semua thalassemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar penderita mengalami anemia ringan. Terdapat juga bentuk yang lebih berat, misalnya beta-thalassemia mayor, bias terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka dikulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang – tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita thalassemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat besi bias terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bias menyebabkan gagal jantung. (Riadi Wirawan, 2001) 2.3. Hitung Retikulosit Retikulosit adalah eritrosit muda yang kehilangan intinya, dimana sitoplasmanya masih mengandung sejumlah besar sisa-sisa ribosome dan RNA yang berasal dari sisa inti dari bentuk penuh pendahulunya. Ribosome
19
mempunyai kemampuan untuk bereaksi dengan pewarna tertentu seperti brilliant cresyl atau new methylene blue untuk membentuk endapan granula atau filament yang berwarna biru. Reaksi ini hanya terjadi pada pewarnaan terhadap sel yang masih hidup dan tidak difiksasi. Oleh karena itu disebut pewarnaan supravital. Retikulosit paling muda (imatur) adalah yang mengandung ribosome terbanyak, sebaliknya retikulosit tertua hanya mempunyai beberapa titik ribosome. (Noble NA, Xu QP, Hege LL, 1990 ; Koury MJ, Koury ST, Kopsombut P, Bondurant MC, 2005) Retikulosit pada pewarnaan Wright tampak sebagai eritrosit yang berukuran lebih besar dan berwarna lebih biru daripada eritrosit matang. Reticulum terlihat sebagai bintik-bintik abnormal. Polikromatofilia yang menunjukkan warna kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit, sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosome tersebut. Hitung retikulosit merupakan indicator aktivitas sumsum tulang dan digunakan untuk mendiagnosis anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang hamper akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan keadaan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik. 2.3.1. Metode Hitung retikulosit umumnya menggunakan metode pewarnaan supravital. Sampel darah dicampur dengan larutan brilliant cresyl blue (BBC) atau new methylene blue maka ribosome akan terlihat sebagai filament berwarna biru.
20
Jumlah retikulosit dihitung per 1000 eritrosit dan dinyatakan dalam jadi hasilnya dibagi 10. Pewarna yang digunakan memiliki formula sebagai berikut : 1. brilliantCresylBlue (BCB) : brilliantcresylblue 1.0gr; NaCl 0.85% 99.0ml. saring larutan sebelum dipergunakan. 2. Newmethyleneblue : NaCl 0.8gr; kalium oksalat 1.4gr; new methylene blue N 0.5gr; aquadest 100ml. saring larutan sebelum dipergunakan. Dianjurkan menggunakan new methylene blue, kesalahan metode ini pada nilai normal 25%. Sampel darah yang digunakan untuk hitung retikulosit adalah darah kapiler atau vena, dengan antikoagulan (EDTA) atau tanpa antikoagulan (segar). 2.3.2. Prosedur a. Masukkan 0,5 sampai 1 ml larutan pewarna kedalam tabung kecil. b. Campur 5 tetes darah dengan larutan tadi dan biarkan selama 5 menit. Dari campuran tersebut diambil satu tetes untuk membuat sediaan apus darah tipis, biarkan kering di udara. c. Periksa dibawah dengan perbesaran 100x. eritrosit Nampak biru muda dan retikulosit akan tampak sebagai sel yang mengandung granula/filament yang berwarna biru. Bila kurang jelas waktu pewarnaannya diperpanjang atau dicounterstain (dicat lagi) dengan cat Giemsa. d. Kemudian hitung jumlah retikulosit dalam 1000 sel eritrosit. Hitung retikulosit = (jumlah retikulosit per 1000 eritrosit : 10%.
21
2.3.3. Nilai Rujukan Dewasa : 0.5 – 1.5%, Bayi baru lahir : 2.5 – 6.5%, Bayi : 0.5 – 3.5% dan Anak : 0.5 – 2.0% Faktor-faktor yang mempengaruhi temuan hasil laboratorium : a) Bila hematokritnya rendah maka perlu ditambahkan darah b) Cat yang tidak disaring menyebabkan pengendapan cat pada sel-sel eritrosit sehingga terlihat seperti retikulosit c) Menghitung di daerah yang terlalu padat (R. Gandasoebrata, 2010) 2.4. Crossmatch (Reaksi Silang Serasi) Reaksi silang perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan darah donor. Mayor Crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor dan Minor Crossmatch adalah serum donor dicampur dengan sel penerima. Jika golongan darah ABO penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi. Jika berlainan umpamanya donor golongan darah O dan penerima golongan darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi. Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada suhu 37°C. Ada beberapa cara untuk menentukan reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi silang metode gell.
22
1. Reaksi Silang dalam Tabung Prinsip
: Sel donor
dicampur
dengan
serum
penerima
(Mayor
Crossmatch) dan sel penerima dicampur dengan serum donor dalam bovine albumin 20% akan terjadi aglutinasi atau gumpalan dan hemolisis bila golongan darah tidak cocok. Tujuan
: Untuk menentukan cocok tidaknya darah donor dengan darah penerima untuk persiapan transfusi darah.
Alat, reagensia dan bahan pemeriksaan : Tabung reaksi, pipet tetes, sentrifuge, tabung sentrifuge, bovine albumin 20%, mikroskop, NaCl 0,9%, serum Coombs, serum eryhtrosit 5 %. Teknik kerja : a. Pembuatan suspense Eryhtrosit 5 % 1. Kedalam tabung diisi dengan larutan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml. 2. Tambahkan 5 tetes darah EDTA dan campur. 3. Putar pada sentrifuge pada 1500 rpm selama 5 menit 4. Cairan dibuang dan pada endapan ditambahkan larutan NaCl 0,9 % sebanyak 5 ml. campur dan putar lagi, ulangi langkah tadi sebanyak 3 kali. 5. Terakhir pada penambahan NaCl 0,9 % yang ke-4 kalinya sebanyak 5 ml merupakan suspensi eryhtrosit 5 %. b. Pemeriksaan reaksi silang fase I 1. Dua buah tabung reaksi kecil dalam rak, yang sebelah kiri untuk mayor test dan sebelah kanan untuk minor test.
23
2. Tabung kiri diisi dengan 2 tetes serum penerima dan 2 tetes suspense erythrosit donor 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % dan 2 tetes bovine albumin 20%. 3. Tabung kanan diisi dengan 2 tetes serum donor dan 2 tetes suspense erythrosit penerima 5 % dalam larutan NaCl 0,9 % 2 tetes bovine albumin 20%. 4. Masing-masing tabung dicampur dan diputar disentrifuge pada 1000 rpm selama 1 menit. 5. Goyang dengan hati-hati dan periksa adanya aglutinasi dan hemolisis. 6. Bila hasil Mayor dan minor negatif, dilanjutkan ke fase II 7. Bila hasil Mayor dan minor positif, pemeriksaan tidak dilanjutkan (tidak cocok) c. Crossmatch Fase II 1. Tabung tadi diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit 2. Putar selama 1 menit pada 1000 rpm disentrifuge. 3. Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang perlahanlahan sama dengan fase I, bila negatif dilanjutkan ke fase III. d. Crossmatch Fase III 1. Sel darah merah dicuci dengan NaCl 0,9% 3-4 kali 2. Tambahkan 2 tetes serum Coombs pada kedua tabung mayor dan Minor test. 3. Putar pada sentrifuge 1000 rpm selama 1 menit.
24
4. Baca adanya aglutinasi dan hemolisis dengan menggoyang perlahanlahan sama dengan fase I secara makroskopis. Penafsiran : 1. Bila
aglutinasi dan
hemolisis
negatif (-)
maka darah dapat
ditransfusikan. 2. Bila aglutinasi dan hemolisis positif (+) maka darah tidak dapat ditransfusikan (tidak cocok). (R. Gandasoebrata, 2010 ; UDD PMI Kota Pekalongan, 2011) 2. Pemeriksaan Crossmatch Metode Gell Prinsip
: Anti body yang terdapat dalam serum, plasma bila direaksikan dengan antigen pada sel darah merah, melalui inkubasi pada suhu 37°C dan dalam waktu tertentu dengan penambahan anti imunoglobin terjadi reaksi aglutinasi.
Alat dan bahan
: Tabung reaksi, mikropipet 50 ml, 25 ml, centrifuge, incubator, kartu cross match (card liss/coombs card), serum donor, serum pasien, sel donor, sel pasien, reagen Diluent 2
Prosedur 1.
:
Buat suspense sel pasien dan donor 0,8 – 1 % cara : ambil ditabung 500 ml Dluent 2 dengan dispenser.
2.
Ambil 5 ml sel darah merah atau darah lengkap → masukkan ke tabung yang ada Diluent 2-nya tadi
25
3.
Campur dalam homogenkan
4.
Ambil liss/Coombs card, tandai dengan identitas pasien/donor, buka penutup aluminium. 1) Mayor
: 50 ul suspensi sel donor ± 25 ul serum pasien
2) Minor
: 50 ul suspensi sel pasien ± 25 ul serum donor
3) Auto control : 50 ul suspensi sel pasien ± 25 ul serum pasien 5.
Masukkan coombs card ke incubator. Inkubasi 37°C, 15 menit (tekan tombol timer 1/2/3)
6.
Pindahkan coombs card ke centrifuge. Tekan tombol start (centrifuge selama 10 menit). Baca reaksi.
Keterangan : 1. Hasil positif pada crossmatch mayor. a. Periksa sekali lagi golongan darah pasien apakah sudah sama dengan donor. b. Artinya ada regular antibodi pada serum pasien. c. Harus dilakukan screering dan identifikasi antibod pada serum pasien, dalam hal ini sampel darah dikirim ke UDD pembina. 2. Hasil positif pada crossmatch minor, autocontrol = negative. Artinya ada irregular antibodi pada serum donor. Solusi : ganti dengan darah donor yang lain 3. Hasil positif pada crossmatch minor, autocontrol = positif. Artinya ada autobodi pada serum pasien. Bandingkan positif pada minor dan autocontrol
26
Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibodi kelas IgM yang kuat biasanya menggumpalkan eritrosit yang mengandung antigen yang relevan secara nyata, tetapi antibodi yang lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang tak mampu menggumpalkan eritrosit walaupun antibodi itu kuat. Semua pengujian antibodi termasuk uji silang tahap pertama menggunakan cara sentrifugasi serum dengan eritrosit. Sel dan
serum kemudian diinkubasi selama 15-30 menit untuk member
kesempatan antibody melekat pada permukaan sel, alalu ditambahkan serum antiglobulin dan bila penderita mengandung antibodi dengan eritrosit donor maka terjadi gumpalan. Uji saring terhadap antibod penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir. Pemeriksaan Crossmatch di UTD dan BDRS saat ini menggunakan metode gel dalam cup kecil yang lebih mudah dan praktis, metode ini telah menggantikan metode tabung yang lebih sulit dan memerlukan banyak peralatan untuk pemeriksaan. Namun begitu metode tabung yang saat ini telah menggunakan teknik yang lebih ketat yaitu menggunakan beberapa fase pemeriksaan dan medium pemeriksaan yang lebih banyak,
missal
menggunakan bovine albumin, serum coombs dan inkubasi pada suhu 37°C yang akan menambah sensitivitas pemeriksaan. (UDD PMI Kota Pekalongan, 2011 ; R. Gandasoebrata, 2010)
27
2.5. Kerangka Teori Jenis Thalasemia
Frekuensi Tranfusi
Kerusakan Eritrosit
Reaksi Antigen dan Antibodi
Aktifitas Eritropoesis
Kadar Eritropoetin
Hasil autocontrol crossmatch
Jumlah Retikulosit
Kadar Hematokrit Kadar Glukosa Darah
Pra Analitik Analitik 2.6. Kerangka Konsep
Jumlah Retikulosit
Variable independent
Hasil autocontrol crossmatch Variable dependent
2.7. Hipotesis Terdapat hubungan antara jumlah retikulosit dengan hasil autocontrol crossmatch pada pasien thalasemia yang melakukan tranfusi darah rutin.