BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni 2011). DM adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormone insulin secara relatif maupun absolut, apabila dibiarkan tidak terkendali dapat terjadinya komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskular jangka panjang yaitu mikroangiopati dan makroangiopati (Soegondo, et al. 2004). DM merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan mencapai proporsi epidemik. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Menurut laporan terakhir, jumlah penderita DM di dunia telah
7
8
meningkat secara mengkhawatirkan dan biaya pengelolaannya pun menjadi 3 kali lipat termasuk biaya pemeriksaan laboratorium yang merupakan bagian penting dalam penanggulangan mortalitas dan morbiditas DM. (Payne, 2002; Supartondo, et al. 1998).
2.1.1
Klasifikasi Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013) diabetes dibagi
menjadi 4 tipe utama, yaitu: Diabetes Tipe 1, Diabetes Tipe 2, Diabetes Gestasional dan Diabetes tipe spesifik akibat kondisi lain. Sedangkan menurut Perkeni (2011) klasifikasi DM dapat dibedakan menjadi: 1. Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut 1) Autoimun 2) Idiopatik 2. Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin 3. Tipe lain 1) Defek genetik fungsi sel beta 2) Defek genetik kerja insulin 3) Penyakit eksokrin pankreas 4) Endokrinopati
9
5) Karena obat atau zat kimia 6) Infeksi 7) Sebab imunologi yang jarang 8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM 4. Diabetes mellitus gestasional
2.1.2
Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).
10
Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi satu dari beberapa tes laboratorium berikut: 1. Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL) 2. Gejala klinis diabetes disertai dengan kadar glukosa darah acak ≥ 11,1 mmol/L (≥ 200 mg/dL) 3. 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g oral, kadar glukosa plasma ≥ 11,1 mmol/L (≥ 200 mg/dL) 4. A1C ≥ 6,5 %
2.2
Kaki Diabetik
2.2.1
Definisi Berdasarkan WHO dan International Working Group on the Diabetic Foot
kaki diabetik adalah ulkus, infeksi, dan atau kerusakan dari jaringan, yang berhubungan dengan kelainan neurologi dan penyakit pembuluh darah perifer pada ekstremitas bawah (Katsilambros, et al. 2003). Gangguan pada saraf dan aliran darah ini disebabkan karena hiperglikemia, sedangkan menurut Waspadji (2006) kaki diabetik adalah kelainan tungkai bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol. Kesimpulannya, kaki diabetik adalah kerusakan jaringan pada kaki yang diakibatkan karena gula darah yang tidak terkontrol. Terdapat 3 macam bentuk ulkus diabetik yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang-tulang yang menenjol pada jari-jari kaki atau di daerah plantar. Ulkus iskemia biasanya pucat,
11
nekrosis, sangat sakit, tidak terbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari-jari kaki, tepi-tepi kaki dan tumit (Pinzur, 2009). Pasien
dengan
DM
cendrung
mempunyai
kelainan
dini
pada
makrovaskular sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah. Hilangnya aliran darah ini menyebabkan matinya jaringan tubuh (nekrosis) diikuti oleh infeksi bakteri, pembusukan dan pembentukan gas yang disebut gangren. Gangren yang disebabkan paling banyak oleh infeksi bakteri anaerob jenis Clostridium perfringens dikenal sebagai gas gangren. Bakteri ini dapat menghancurkan jaringan dengan gas dan toksin yang dihasilkannya (Sutherland, et al. 2004). Selain Clostridia, infeksi dengan gas dapat disebabkan oleh mikroorganisme anerob lainnya seperti Bakteriodes dan Streptoccus anaerob, atau fakultatif anaerob seperti Coliformis (Smith, et al. 2006; Cooney, et al. 2011). Smith, et al membagi infeksi pada pasien diabetes manjadi infeksi lokal dan sistemik. Infeksi lokal dapat terjadi pada kulit, fasia, atau otot. Clostridia dan Streptococcus menyebabkan infeksi sistemik karena menghasilkan eksotoksin dan enzim yang dapat menghancurkan jaringan serta meningkatkan penyebaran kuman (Smith, et al. 2006).
2.2.2
Anatomi Kaki Tulang-tulang pada kaki terdiri dari tulang talus, calcaneus, cuneiforme,
cuboid, metatarsal dan phalanx. Anatomi tulang sangat penting dalam patofisiologi kaki diabetik khususnya pada kasus osteomielitis dan charcot foot. Telapak kaki adalah bagian bawah kaki manusia, secara anatomis telapak kaki
12
disebut juga aspek plantar. Tidak seperti bagian tubuh lainnya, kulit telapak kaki tak memiliki bulu atau pigmen, dan memiliki konsentrasi pori keringat yang tinggi. Telapak kaki memiliki sejumlah lipatan yang terbentuk selama embriogenesis dan mengandung lapisan kulit paling tebal pada tubuh manusia karena bobot yang terus bertumpu di atasnya (Katsilambros, et al. 2003). Sedangkan Pembuluh darah pada ekstremitas bawah memiliki beberapa anastomosis yang mempunyai dua fungsi utama yaitu: 1. Sebagai suplai darah alternatif jika terjadi gangguan pada salah satu pembuluh darah dan digunakan untuk desain flap. 2. Untuk memprediksi status penyembuhan luka. Hubungan anastomosis ini sangat penting dalam menyokong kaki jika terjadi gangguan aliran darah pada salah satu vaskular (Robert, et al. 2008).
Gambar 2.1 Anatomi tulang pada kaki (Katsilambros, et al. 2003).
13
Gambar 2.2 Anatomi pembuluh darah pada kaki (Robert, et al. 2008).
2.2.3
Epidemiologi Kaki Diabetik DM merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak hampir di
seluruh dunia, dan prevalensinya terus bertambah yang disebabkan oleh karena perubahan gaya hidup yang menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik, dan meningkatnya obesitas. Ulkus diabetik merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada penderita DM dan meliputi beberapa kelainan patologi, termasuk: diabetes neuropati, penyakit pembuluh darah perifer, Charcot neuroarthropathy, ulserasi pada kaki, dan osteomyelitis. Pasien dengan kaki diabetik juga memiliki beberapa komplikasi dari diabetes itu sendiri dan perlu perhatian dari berbagai disiplin ilmu (Zubair, et al. 2015). Khanolkar, et al (2008) melaporkan, berdasarkan populasi tahunan kejadian untuk ulkus kaki diabetik adalah sebesar 14%, dengan prevalensi 4-10%. Di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 15% penderita DM mengalami ulkus diabetik dan 12% menjalani amputasi dengan
14
angka mortalitas berkisar antara 6% sampai 13,8%. Di RSUD Dr Soetomo Surabaya, selama kurun waktu 5 tahun angka kejadian ulkus diabetik sebesar 3,8% dari penderita DM yang rawat jalan, 25% dari penderita DM yang rawat inap dan sebesar 30% dari penderita yang rawat inap dilakukan amputasi dengan angka kematian 12%. Penderita ulkus diabetik yang mengalami amputasi akan mengalami depresi, hilangnya kontak sosial, terganggunya aktivitas seksual dan terbatasnya kegiatan sehari-hari. Proporsi ulkus kaki diabetik derajat Wagner III-V mencapai 74,6 % dibandingkan dengan derajat Wagner I-II yang hanya mencapai 25,4 % dari seluruh kasus ulkus kaki diabetik yang dirawat di RS Sanglah, semakin tinggi derajat ulkus semakin besar risiko amputasi (Muliawan, et al. 2006). Permasalahan ekonomi akan muncul secara bermakna dengan mahalnya biaya perawatan ulkus diabetik. Di Amerika Serikat diperkirakan 200 juta dolar per tahunnya dibutuhkan untuk biaya perawatan gangguan kaki ini. Diperkirakan biaya perawatan ulkus sebesar 6.600 dolar Amerika tiap kali perawatannya. Di RSCM Jakarta Waspadji (2006), melaporkan bahwa mahalnya biaya perawatan ulkus diabetik berkisar 1,5-2 juta rupiah yang sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum. Waspadji (2006), dalam penelitiannya menghubungkan derajat ulkus diabetik dengan beberapa faktor terhadap kesulitan penyembuhan. Didapatkan bahwa faktor merokok memberikan risiko 7 kali terjadi ulkus diabetik. Derajat ulkus diabetik yang lebih atau sama dengan Wagner 3 memberikan risiko 4,27 kali dalam hal kesulitan penyembuhan luka. Mulyawan (2006), juga melaporkan
15
bahwa semakin tinggi derajat Wagner, semakin tinggi prevalensi bakteri anaerob, dan waktu penyembuhan lebih lama daripada infeksi bakteri aerob.
2.2.4
Klasifikasi Kaki Diabetik Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini
seperti, klasifikasi Wagner, University of Texas wound classification system, dan lain-lain. Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan derajat luas dan berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan ikhtiar pengobatan (Oyibo, et al. 2001; Widatalla, et al. 2009 ). Kriteria diagnosa infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat dua atau lebih tanda-tanda berikut: bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba hangat lokal, adanya pus (Bernard, et al. 2007; Lipsky, et al. 2012). Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superfisial, ukuran dan dalam terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-tanda sistemik atau gangguan metabolik) (Lipsky, et al. 2012). Termasuk dalam infeksi berat seperti fascitis nekrotikan, gas gangren, selulitis, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Zgonis, et al. 2008). Sistem klasifikasi yang lain adalah klasifikasi University of Texas. Klasifikasi ini menggambarkan kedalaman ulkus dan adanya infeksi dan iskemik seperti digambarkan pada tabel 2.2. Semakin tinggi grade dan stage maka proses penyembuhan akan semakin jelek. (Singh, et al. 2013). Adapun
klasifikasi
ulkus
diabetik
berdasarkan
Wagner
Classification System adalah seperti pada table 2.1 (Pinzur, 2009).
Ulcer
16
Tabel 2.1 Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner (Pinzur, 2009). Kategori Derajat Lesi 0 Kulit utuh, ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati Ringan 1 Ulkus superfisial terlokalisir 2 Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligament, otot, sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses 3 Abses yang dalam dengan atau tanpa osteomyelitis Berat 4 Gangren jari atau kaki bagian distal 5 Gangren seluruh kaki Tabel 2.2 Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut University of Texas Wound Classification System (Oyibo, et al. 2001). University of Texas Diabetic Wound Classification System Stage Grade 0 I II III Pre- or post Superficial Wound Wound A (No infection or ulcerative wound not penetrating to penetrating to ischemia) lesion involving tendon or bone or joint completely tendon, capsule epithelialized capsule, or bone Infection Infection Infection Infection B Ischemia Ischemia Ischemia Ischemia C Infection and Infection and Infection and Infection and D ischemia ischemia ischemia ischemia
2.2.5
Patogenesis Kaki Diabetik Ulkus kaki diabetik merupakan hasil dari beberapa faktor penyebab yang
secara simultan mempengaruhi keadaan fisiologi pada kaki. Dua penyebab utama kaki diabetik adalah neuropati diabetik dan iskemik akibat PAD (Khanolkar, et al. 2008; Singh, et al. 2013). Dimana mekanisme metabolisme terganggu pada DM, maka terjadi peningkatan risiko infeksi dan penyembuhan luka yang buruk karena mekanisme
17
yang meliputi respon sel dan faktor pertumbuhan sel menurun, berkurangnnya aliran darah perifer dan penurunan lokal angiogenesis. Dengan demikian kaki cendrung terkena penyakit pembuluh darah perifer, kerusakan saraf perifer, deformitas, ulkus dan gangren. Infeksi pada pasien diabetes akan lebih serius jika gula darahnya tidak terkontrol. Hal ini disebabkan pada infeksi akan disekresi hormon anti-insulin seperti katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang dapat menyebabkan intoleransi glukosa ringan sampai ketoasidosis berat. Pasien diabetes khususnya yang tidak terkontrol sangat rentan terhadap infeksi yang diperkirakan karena efek kemotaksis atau gangguan fagositosis leukosit pada keadaan hiperosmolaritas (Edmonds. 2008).
2.2.5.1 Neuropati Diabetik Neuropati menyebabkan lebih dari 60% dari ulkus kaki diabetik dan dapat mengenai pada pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2. Peningkatan kadar gula darah menyebabkan peningkatan produksi enzim seperti aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase. Enzim ini mengubah glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Dimana bila terjadi penumpukan gula, maka sintesis sel saraf myonositol menurun yang mempengaruhi konduksi saraf itu sendiri. Selanjutnya keadaan dimana hiperglikemia berimbas pada mikroangiopati yang mengakibatkan kelainan metabolik, kerusakan sistem imun dan iskemik dari saraf autonom, motorik, dan sensorik. Hal ini yang menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan saraf yang menginervasi otot pada kaki dan vasomotor pada sistem sirkulasi. Bila sudah terjadi kerusakan pada saraf, pasien dengan DM mempunyai
18
risiko yang lebih tinggi terjadinya cidera hingga menjadi ulkus tanpa disadari. Risiko terjadinya ulkus kaki diabetik pada pasien dengan gangguan sensoris meningkat hingga 7 kali lipat, dibandingkan dengan pasien DM tanpa kelainan neuropati (Singh, et al. 2013) DM juga mempengaruhi sistem saraf otonom, yang mengakibatkan kulit kering dan timbulnya fisura, membuat rentan terhadap terjadinya infeksi. Sistem saraf otonom juga mengontrol mikrosirkulasi pada kulit. Perubahan ini pada akhirnya berakibat terjadinya perkembangan ulkus, gangren, dan risiko kehilangan anggota tubuh (Singh, et al. 2013; Robolledo, et al. 2011).
2.2.5.2 Vaskulopati Diabetik Keadaan Hiperglikemia menyebabkan disfungsi sel endotelial dan kelainan sel otot polos pada arteri perifer. Sel endotel mensintesis nitric oxide yang menyebabkan vasodilatasi dan melindungi pembuluh darah dari cedera endogen. Oleh karena itu, pada hiperglikemia terjadi gangguan sifat fisiologis dari nitric oxide yang biasanya mengatur homeostasis endothelial, antikoagulan, adhesi leukosit, proliferasi sel otot polos, dan kapasitas antioksidan. Penurunan vasodilator endotelium dan nitric oxide menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kecendrungan untuk terjadinya aterosklerosis, dan pada akhirnya menyebabkan iskemia. Sistem mikrosirkulasi juga terganggu yang disebabkan karena arteriol venular shunting, dimana mengurangi sirkulasi darah ke tempat yang membutuhkan. Hiperglikemia pada DM juga berhubungan dengan peningkatan thromboxane A2 menyebabkan hiperkoagulabilitas plasma. Secara
19
klinis pasien memiliki gejala-gejala dari kelainan pembuluh darah seperti: klaudikasio, nyeri pada saat istirahat (rest pain), tidak teraba pulsasi, penipisan kulit, hilangnya rambut pada kaki, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).
2.2.5.3 Imunopati Diabetik Dibandingkan dengan orang yang sehat sistem kekebalan tubuh pada pasien dengan DM jauh lebih lemah. Dengan demikian infeksi kaki diabetik pada pasien dengan diabetes adalah mengancam nyawa. Dalam keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan dari sitokin pro inflamasi dan penurunan fungsi sel polimorfonuclear (PMN), seperti kemotaksis, fagositosis, dan lain-lain (Singh, et al. 2013). Fagositosis dan aktivitas bakterisidal intraselular dipengaruhi oleh kontrol glikemia. Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan sistem imunologi (Yasa, et al. 2003). Selama fagositosis terjadi peningkatan terhadap pemakaian glukosa, konsumsi O2 dan produksi laktat. Tetapi energi yang disimpan PMN relatif sedikit dan memerlukan glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya, dengan perkiraan kemotaksis PMN dalam keadaan normal berlangsung selama 4 jam tanpa memerlukan tambahan glukosa. Insulin melekat erat pada sel PMN dan dapat secara terus-menerus menyumbangkan energi yang besar melalui jalur Embden-Meyerhof yang diperlukan sel pada proses kemotaksis. Pemakaian glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen menurun pada PMN pasien diabetes yang kehilangan insulin selama 36 sampai 72 jam. Pemakaian glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen akan meningkat bila PMN diinkubasi
20
kembali dengan insulin (Sapico, et al. 2000). Pasien dengan defisiensi kemotaksis PMN dapat menjadi lebih berat apabila disertai penebalan membran basalis kapiler. Penebalan membran basalis disebabkan peningkatan produk akhir glikosilasi yang akan menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Produk akhir glikosilasi akan berinteraksi dengan reseptor pada makrofag dan sel endotel yang akan menginduksi terjadinya penumpukan bahan berlebihan dan trombosis setempat. Selain itu makrofag tersebut dapat melepaskan sitokin yang akan melukai sel endotel dan meningkatkan pembentukan plak. Penebalan ini akan menghalangi gerakan keluar masuknya leukosit dan mencegah difusi insulin serta glukosa yang dibutuhkan leukosit dalam jaringan pada tempat masuknya bakteri (Sapico, et al. 2000; Smith, et al. 2006). Selain itu tingginya kadar gula dalam darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Organisme yang paling dominan pada infeksi kaki diabetik adalah kuman aerob gram positif seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus β hemoliticus. Jaringan lunak pada kaki seperti plantar aponeurosis, tendon, otot, dan fasia tidak bisa menahan infeksi. Selain itu, beberapa kompartemen di kaki saling berhubungan dan tidak bisa membatasi penyebaran infeksi dari yang satu ke yang lain. Infeksi pada jaringan lunak ini dengan cepat dapat menyebar ke tulang menyebabkan osteoitis. Jadi ulkus sederhana pada kaki mudah mengakibatkan komplikasi seperti osteitis atau osteomyelitis dan gangren tanpa perawatan yang tepat (Singh, et al. 2013)
21
2.2.5.4 Perubahan Struktur Tulang dan Sendi Perubahan struktural pada anatomi kaki dan persendian menyebabkan kelemahan dan muscle wasting pada otot-otot intrinsik kecil. Hal ini menyebabkan hilangnya keseimbangan pada saat berjalan, clawing of toes, dan plantar fleksi metatarsal head (charcot foot). Musculus interosseous dan otot-otot intrinsik berfungsi sebagai penyeimbang dan menahan phalang agar ekstensi (Rebolledo, et al. 2011). Gangguan morfologi dan fungsional struktur kaki, jari-jari kaki, dan sendi mempengaruhi absorbsi dan distribusi tekanan saat berjalan. Efek pada kaki meliputi reduksi gerakan dan perubahan terhadap sudut subtalar dan sendi metatarsophalangeal pertama. Pada pasien diabetes, tendon fleksor dan ekstensor cenderung lurus dan kaku. Deformitas equinus dapat terjadi akibat pemendekan tendon achilles dan kolaps fascia plantaris, memfasilitasi abduksi dan adduksi kaki depan. Hal ini menyebabkan terjadinya hammer toes dan tekanan beban tubuh terpusat pada permukaan anterior jari-jari kaki (Rebolledo, et al. 2011). Charcot foot merupakan deformitas ulkus diabetik akibat neuropati yang klasik dengan empat tahap perkembangan. Pada tahap pertama biasanya disertai riwayat trauma ringan disertai kaki yang panas, merah, dan bengkak. Keadaan ini harus dibedakan dari selulitis. Tahap kedua terjadi fragmentasi dan fraktur pada persendian tarsometatarsal. Selanjutnya pada tahap ketiga terjadi fraktur dan kolaps persendian. Bila pasien tetap berjalan dengan posisi kaki yang tidak tepat maka akan terjadi tahap keempat yaitu ulserasi plantar (Andrew, et al. 2004).
22
Gambar 2.3 Pathogenesis kaki diabetik (Rebolledo, et al. 2011).
2.2.6
Gambaran Klinis Kaki Diabetik Terdapat tiga macam bentuk ulkus diabetik yaitu ulkus neuropati, ulkus
iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang–tulang yang menonjol pada jari–jari kaki atau di plantar pedis. Ulkus iskemia biasanya pucat, nekrosis, sangat sakit, tidak berbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari–jari kaki, tepi–tepi kaki dan tumit (Payne, 2002). Pertimbangan yang diperlukan dalam mengevaluasi krepitasi pada luka yaitu membedakan penyebabnya, nonbakteri atau bakteri. Krepitasi nonbakteri dapat berkaitan dengan fisik atau kimia. Krepitasi yang berkaitan dengan fisik disebabkan penetrasi dan perforasi udara, sedang yang berkaitan dengan kimia disebabkan kontak antara tubuh dengan gas, termasuk hidrogen peroksida,
23
benzine, dan kompleks magnesium tertentu. Krepitasi oleh karena bakteri dapat disebabkan oleh Clostridia atau non-Clostridia. Krepitasi non-Clostridia dapat disebabkan oleh bakteri anaerob fakultatif misalnya Klebsiella dan Enterobacter atau bakteri anaerob obligat misalnya Peptostreptococcus dan Bacteroides. Membedakan kedua macam infeksi ini penting karena penanganan kedua keadaan ini sangat berbeda (Sapico, et al. 2000; Hendromartono, 2003).
2.2.7
Pemeriksaan Kaki Diabetik Pada anamnesa informasi yang penting adalah pasien telah mengidap DM
sejak lama. Gejala neuropati diabetik yang sering ditemukan adalah kesemutan, rasa panas di telapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari. Gejala neuropati menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki. Manifestasi gangguan pembuluh darah berupa nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak tertentu akibat aliran darah ke tungkai yang berkurang (klaudikasio intermiten). Manifestasi lain berupa ujung jari terasa dingin, nyeri kaki diwaktu malam, denyut arteri hilang dan kaki menjadi pucat bila dinaikkan (Frykberg, 2009).
2.2.7.1 Pemeriksaan Fisik Kesan umum akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah akibat berkurangmya produksi keringat. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari kaki, penebalan kuku, kalus pada daerah daerah yang mengalami penekanan seperti pada tumit, plantar aspek kaput metatarsal. Adanya deformitas berupa claw toe sering pada ibu jari (Pinzur, 2006). Pada daerah yang mengalami penekanan
24
tersebut merupakan lokasi ulkus diabetikum karena trauma yang berulang-ulang tanpa atau sedikit dirasakan pasien (Supartondo, et al. 1998). Tergantung dari derajatnya saat kita temukan, ulkus yang terlihat mungkin hanya suatu ulkus superfisial yang hanya terbatas pada kulit dengan dibatasi kalus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda–tanda infeksi (Payne, 2002). Pada palpasi dinilai ada atau tidaknya denyut atau pulsasi arteri perifer, tidak terabanya pulsasi dan kaki teraba dingin dapat diasumsikan bahwa terjadi oklusi arteri. Palpasi dilakukan pada Arteri Femoralis, Arteri Poplitea, Arteri Dorsalis Pedis dan Arteri Tibialis Posterior, dibandingkan kanan dan kiri. Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit yang sehat. Kalus disekeliling ulkus akan teraba sebagai daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi prognosis serta tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka penekanan pada daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya pus. Ulkus harus dibuka lebar untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan bawah kulit, otot, tendon serta tulang yang terlibat (Yasa, et al. 2003). Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskular, perlu diperiksa dengan tes vaskular noninvasif, ankle-brachial index (ABI), dan toe systolic pressure (tekanan darah ibu jari). ABI didapat dengan cara membagi tekanan sistolik betis dengan tekanan sistolik lengan. Pada orang normal ABI > 1, bila ABI < 0,5 menunjukan iskemia yang berat. Toe systolic pressure (tekanan darah ibu jari) lebih akurat dibandingkan ABI. Mereka menemukan bahwa 25 mmHg merupakan batas minimal untuk penyembuhan ulkus pada kaki (N: >40 mmHg)
25
(Edmond, 2001). Arteriografi perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya oklusi arteri (Pinzur, 2006).
2.2.7.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas subkutan, benda asing serta adanya osteomielitis (Levin, 2006). Untuk mengetahui adanya oklusi pada pembuluh darah maka dilakukan pemeriksaan penujang radiologi seperti ultrasonografi doppler/duplex, angiografi, MR angiografi, dan CT angiografi. Ultrasonografi doppler yang merupakan prosedur pemeriksaan yang paling sederhana dan non invasif. Pemeriksaan dengan ultasonografi doppler cukup sensitif untuk mendiagnosis adanya penyakit arteri perifer oklusif tungkai bawah. Angiografi merupakan baku emas pemeriksaan vaskular karena akan memberikan informasi mengenai ada tidaknya sumbatan, luas sumbatan, serta kolateral. Kelemahan angiografi adalah bersifat invasif, memerlukan waktu dan mahal serta menggunakan kontras yang nefrotoksik, maka arteriografi jarang dipakai (Payne, 2002; Singh, et al. 2013). Untuk menentukan adanya osteomilitis dapat dikerjakan pemeriksaan seperti CT Scan, MRI, Gallium Scintigrahy yang semua ini memiliki resolusi yang sangat baik untuk melihat tulang dan jaringan (Gerhard, 2005).
26
2.2.8
Amputasi pada Kaki Diabetik Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya amputasi di seluruh dunia.
Dan di India ulkus kaki diabetik ini menyebabkan lebih dari 80% amputasi pada ekstremitas bawah (Jain, et al. 2012). Amputasi pada kaki diabetik diindikasikan bila terdapat neuropati diabetik, penyakit pembuluh darah, dan deformitas ulseratif yang telah menyebabkan nekrosis jaringan lunak, osteomyelitis, sepsis, atau nyeri. Secara keseluruhan, DM adalah penyebab utama untuk amputasi non traumatik tungkai bawah (Sage, et al. 2006; Weledji, et al. 2014). Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi amputasi pada kaki diabetik antara lain seperti riwayat ulkus kaki diabetik sebelumnya, usia lanjut, tekanan darah tinggi, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glycosidic hemoglobin, proteinuria (Santos, et al. 2006) Penyakit oklusi arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan komplikasi yang paling sering pada diabetes melitus dibandingkan dengan subyek normal. Prevalensi PAD meningkat 60% pada pasien dengan diabetes dan berhubungan dengan manifestasi klinis yang berat dan risiko tinggi untuk terjadinya critical limb ischemic (CLI) dan amputasi ektremitas bawah. PAD pada pasien dengan diabetes berbeda dalam hal histologi, anatomi dari oklusi pembuluh darah sehingga perlu kewaspadaan yang cukup tinggi untuk mendeteksi, diagnosis dan penanganan yang lebih akurat pada PAD dengan kaki diabetik untuk mencegah terjadinya amputasi (Graziani, et al. 2007). Amputasi pada ekstremitas bawah pada penyakit oklusi pembuluh darah harus
dipertimbangkan
luas
jaringan
nekrosis,
infeksi
sekunder
yang
27
menyebabkan gangren atau osteomyelitis, dan gejala-gejala sepsis. Waktu dan prosedur tindakan tergantung dari kondisi klinis pasien. Bila terjadi kerusakan jaringan dan berhubungan dengan infeksi dan sepsis, tindakan amputasi dikerjakan segera untuk menyelamatkan nyawa (Sefranek, 2007). Tindakan revaskularisasi pada ekstremitas bawah merupakan terapi pilihan pada kebanyakan pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer. Tindakan rekontruksi vaskular juga bermanfaat untuk menyelamatkan ekstremitas bawah dari amputasi (Sefranek, 2007). Adapun tipe-tipe amputasi yang dilakukan pada ekstremitas bawah (Sage, et al. 2006; Sefranek, 2007) 1. Amputasi minor: toe amputation, Ray amputation, transmetatarsal amputation, dan Syme’s amputation 2. Amputasi mayor: below knee amputation, above knee amputation.
2.3
Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD)
2.3.1
Definisi Penyakit Oklusi Arteri Perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD)
adalah penyakit karena oklusi pembuluh darah perifer bisa pada aorta, iliaka maupun arteri pada ektremitas bawah. Sementara itu PAD merupakan faktor risiko utama terjadinya amputasi pada ekstremitas bawah (ADA, 2003). Menurut Kelkar (2006), terjadinya ulkus kaki diabetik pada lebih dari 50% kasus dan sering terjadi pada arteri tibialis dan arteri peroneus. Disfungsi sel endotel dan abnormalitas otot polos pembuluh darah terjadi pada hiperglikemia
28
persisten. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan pada proses vasodilatasi sehingga akan terjadi vasokonstriksi. PAD pada tungkai bawah merupakan komplikasi paling sering pada diabetes melitus. Prevalensi PAD meningkat 60% secara signifikan pada pasien dengan DM (Graziani, et al. 2007). PAD dan diabetes memerlukan perhatian sebab dibandingkan dengan PAD dengan faktor risiko lain, PAD pada diabetes berbeda dalam biologi, gambaran klinik dan penatalaksanaan. Keterlibatan vaskular sedikit unik dimana tersering pada pembuluh darah dibawah lutut dan hampir selalu disertai dengan neuropati. Oleh sebab itu, sering tanpa gejala atau hanya merasakan keluhan yang tidak jelas tidak seperti gejala klasik PAD seperti klaudikasio intermiten. Sehingga sebagai konsekuensi dari adanya neuropati, sering penderita PAD dan diabetes datang terlambat dan sudah dengan gejala rest pain, ulkus sampai gangren dan pada akhirnya berakhir dengan amputasi (ADA, 2003)
2.3.2
Faktor Risiko Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial
Disease (PAD) Diabetes dan merokok merupakan faktor risiko terkuat untuk PAD. Faktor risiko lainnya yang telah diketahui antara lain hipertensi, hyperlipidemia, obesitas, dan stres. Beberapa hal yang potensial menjadi faktor risiko PAD meliputi peningkatan level dari C-reactive protein (CRP), fibrinogen, homosistein, apolipoprotein B, lipoprotein (a) dan viskositas plasma. Pada penderita diabetes, risiko PAD meningkat oleh usia, lamanya diabetes dan adanya neuropati perifer.
29
Orang Afrika Amerika dan Hispanik dengan diabetes memiliki prevalensi PAD lebih tinggi dibandingkan kulit putih non-Hispanik (ADA, 2003). Penting dicatat bahwa diabetes sangat berkaitan dengan terjadinya PAD di daerah femoral-popliteal dan tibial (di bawah lutut), sedangkan faktor risiko lainnya (misalnya, merokok dan hipertensi) berhubungan dengan lokasi PAD yang lebih proksimal di pembuluh aorto-iliofemoral (ADA, 2003).
2.3.3
Patogenesis Penyakit Oklusi Arteri perifer/Peripheral Arterial Disease
(PAD) DM berpengaruh pada hampir semua pembuluh darah, dan ada keunikan dari pengaruh DM pada peristiwa aterotrombosis pembuluh darah perifer. Perubahan-perubahan metabolik pada diabetes akan berpengaruh pada perubahan struktur dan fungsi dinding arteri. Onset dari perubahan ini telah lebih dulu terjadi sebelum muncul klinis diabetes, jadi relatif sedikit pengetahuan biologi PAD pada pasien diabetes. Begitu pun, kelihatannya perubahan-perubahan aterogenik yang diamati pada penyakit aterosklerotik seperti pada pembuluh darah koroner dan karotis umumnya bisa juga diaplikasikan pada pasien PAD dengan diabetes (ADA, 2003).
2.3.3.1 Inflamasi Inflamasi telah terbukti sebagai marker risiko penyakit atero-trombosis termasuk PAD (Beckman, et al. 2002). Meningkatnya C-reactive protein (CRP) berhubungan kuat dengan terjadinya PAD. Telah terbukti level CRP meningkat
30
pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes. CRP telah terbukti berikatan dengan reseptor endotel sehingga memacu apoptosis. CRP juga merangsang endotel untuk memproduksi procoagulan tissue factor, leucocyte adhesion molecule dan substansi kemotaksis dan menghambat produksi Nitric Oxide synthase endothelial (eNOS) sehingga tonus vaskular menjadi abnormal. CRP juga meningkatkan produk lokal yang mengganggu fibrinolisis seperti plasminogen activator inhibitor (PAI-1 ) (ADA, 2003; Creager, et al. 2003).
2.3.3.2 Disfungsi Endotel Endotel yang berada pada permukaan pembuluh darah secara biologi adalah organ aktif. Endotel berperan menjaga keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis serta mempunyai peran utama pada interaksi lekosit dan dinding vaskular. Kelainan pada fungsi endotel akan memudahkan arteri mengalami aterosklerosis. Pada pasien diabetes, termasuk PAD menunjukkan kelainan pada fungsi endotel dan regulasi vaskular. Mediator disfungsi endotel pada diabetes sebenarnya banyak, tetapi yang terutama adalah gangguan pada bioavailabilitas NO. Hiperglikemia akan menghambat fungsi endotel NOS (eNOS) dan mendorong produksi ROS (reactive oxigen species), yang mengganggu fungsi vasodilator endotelium. NO merupakan stimulus yang potensial untuk vasodilatasi, dan membatasi reaksi inflamasi melalui modulasi interaksi lekosit dan dinding vaskular. NO juga menghambat migrasi VSMC (vascular smooth muscle cell) juga proliferasi dan aktifasi platelet. Sehingga berkurangnya peran hemostasis normal NO endotel akan memacu terjadinya aterosklerosis dan
31
konsekwensi komplikasi lanjut. Ada mekanisme lain yang mempengaruhi homeostasis NO termasuk diantaranya resistensi insulin, dan produksi FFA (free fatty acid) (Steinberg, et al. 2002). Efek lain dari disfungsi endotel adalah aktifasi reseptor advanced glycation end products (RAGE), sehingga meningkatkan inflamasi lokal dinding vaskular, diperantarai oleh meningkatnya produksi faktor transkripsi, nuclear factor-ĸB (NF-ĸB) dan activator protein 1 (ADA, 2003).
2.3.3.3 Platelet Platelet mempunyai peranan penting dan krusial dalam hal hemostasis dan pembekuan darah di lokasi terjadinya cedera atau luka pada pembuluh darah. Akan tetapi sebaliknya, aktivasi platelet dan aterial trombosis juga mempunyai peranan dalam terjadinya berbagai kelainan pembuluh darah. Suatu studi meta analisis yang besar menunjukkan bahwa pemberian aspirin atau obat anti-platelet lainnya mengurangi insiden terjadinya infark miokard, stroke, atau kematian pada pasien dengan PAD. Ini menunjukkan bahwa platelet mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan arterosklerosis dan komplikasinya. Hal ini didukung dengan hasil studi Antiplatelet Trialists Collaboration yang menyimpulkan bahwa terapi antiplatelet mengurangi risiko oklusi arteri pada pasien dengan PAD yang menjalani operasi bypass atau angioplasti. Arterosklerosis adalah dasar terjadinya PAD sehingga platelet mempunyai peranan dalam terjadinya PAD. Kesimpulan yang sama juga didapatkan pada suatu studi double-blind controlled trial dimana
32
penggunaan antiplatelet menurunkan secara signifikan progesifitas PAD dibandingkan dengan kelompok plasebo (Cassar, et al. 2003). Bukti peranan platelet pada pembentukan arterosklerosis didapatkan dari observasi pasien dengan diabetes mellitus. Diabetes adalah salah satu faktor risiko mayor untuk PAD. Fungsi platelet pada pasien dengan diabetes mengalami gangguan. Sama seperti endotel, platelet akan mengambil lebih banyak glukosa dan meningkatkan stress oksidatif sehingga platelet lebih mudah agregasi. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan diabetes mengalami peningkatan agregasi platelet, peningkatan aktifitas jalur arakhidonat, peningkatan prostaglandin dan peningkatan formasi A2. Ikatan antara fibrinogen dengan platelet juga meningkat pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol (Cassar, et al. 2003).
2.3.3.4 Koagulasi dan Rheologi Ada berbagai elemen kelainan trombosis dan fibrinolisis pada pasien diabetes. Diabetes akan menyebabkan keadaan hiperkoagulasi (hypercoagulable state). Pada diabetes terjadi peningkatan faktor-faktor koagulan seperti faktor VII, thrombin dan tissue factor sedangkan antikoagulan endogen (thrombomodulin dan protein C) menurun. Peningkatan juga terjadi pada produksi plasminogen activator
inhibitor-1,
suatu
penghambat
fibrinolisis.
Hal-hal
ini
dapat
meningkatkan risiko terjadinya ruptur pada plak trombosis (Creager, et al. 2003).
33
Gambar 2.4 Perubahan fungsi platelet dan faktor koagulasi (Creager, et al. 2003).
Sebagai kesimpulan, diabetes akan meningkatkan risiko aterogenesis melalui berbagai efek pada dinding vaskular, efek terhadap sel-sel darah dan reologi. Kelainan vaskular yang menyebabkan aterosklerosis pada pasien diabetes terbukti telah ada sebelum diabetesnya didiagnosis, dan akan semakin memburuk sesuai dengan lamanya diabetes dan tidak terkontrolnya glukosa darah (Creager, et al. 2003).
2.3.4
Diagnosis Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease
(PAD) Penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dibantu oleh pemeriksaan penunjang. Keluhan yang dirasakan pasien dapat berbagai macam, dari yang tanpa keluhan, klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan sampai dengan
34
terdapatnya luka yang tidak sembuh-sembuh ataupun gangren. Selain itu, adanya faktor risiko sangat perlu ditanyakan seperti merokok, tekanan darah tinggi, kegemukan, kelainan lemak darah, DM, dan kurangnya olah raga. Adanya faktor risiko tersebut akan menguatkan dugaan terjadinya komplikasi ini. Tahap selanjutnya, diikuti dengan pemeriksaan fisik yang teliti dengan memperhatikan warna kulit apakah sianosis atau pucat (pallor), kulit teraba dingin, dan nadi (arteri dorsalis pedis atau tibialis posterior) yang sangat lemah atau bahkan tidak teraba, (pulselessness). Sering kali ditemukan pula perubahan yang khas pada kulit, kulit menjadi licin, hilangnya kuku dan rambut. Adanya gejala-gejala 5P (pulselessness, pain, paresthesia, parese/paralysis dan pallor) sangat menguatkan dugaan klinis adanya PAD. Beberapa pemeriksaan yang dapat juga membantu yaitu tes elevasi dengan jalan mengangkat kaki selama 20-60 menit, kulit akan tampak semakin pucat, selanjutnya dapat diamati kelambatan pengisian kembali vena di kaki tersebut (setelah 20 menit diangkat), pada keadaan normal, pengisian vena kembali sudah terjadi dalam beberapa detik (kulit kaki tampak merah kembali), timbulnya keluhan nyeri kaki yang menghilang dengan istirahat menandakan adanya kelainan pada pembuluh darah tepi (Faxon, et al. 2004). Pemeriksaan yang lebih baik diperlukan untuk menentukan PAD mengingat seringnya klinis PAD pada diabetes tanpa gejala ataupun gejala yang tidak jelas yaitu dengan pengukuran ABI (ankle brachial index). Pemeriksaan ini cukup akurat, cepat, sederhana dan noninvasif. ABI adalah rasio tekanan darah sistolik pada ankle dibagi tekanan darah sistolik pada lengan (brachial). ABI
35
memiliki sensitivitas 79%-95% dengan spesifitas 95%-96% dibandingkan dengan pemeriksaan angiography sebagai standar baku emas (Kim, et al. 2012).
Tabel 2.3 Derajat PAD berdasarkan nilai ABI (ADA, 2003). Rentang Nilai
Derajat
0.91-1.30
Normal
0.70-0.90
Obstruksi ringan
0.40-0.69
Obstruksi sedang
< 0.40
Obstruksi berat
> 1.30
Gangguan kompresi
2.4
Angiografi
2.4.1
Definisi Angiografi adalah suatu prosedur tindakan yang menggunakan jarum dan
atau kateter kedalam pembuluh darah (arteri) dengan menggunakan media kontras untuk melihat pencitraan dari pembuluh darah. Selain sebagai untuk diagnostik angiografi digunakan sebagai alat untuk terapeutik (Sanchez, et al. 1998; Singh, et al. 2003) Sampai saat ini angiografi masih merupakan standar baku emas untuk mengevaluasi adanya stenosis dan oklusi dari pembuluh darah. Rata-rata komplikasi pada angiografi pada populasi secara umum kurang dari 3,3%. Pendekatan angiografi pada transfemoral merupakan tindakan yang paling aman.
36
Adapun komplikasi dari tindakan ini berupa hematoma, pseudoaneurisma, trombosis, dan emboli (Yokoi, 2012; Sanchez, et al. 1998). Kerusakan ginjal merupakan komplikasi yang sangat penting dari angiografi. Gangguan ginjal yang berhubungan dengan bahan kontras terjadi pada 6,5% menjadi 8,2% dari pasien yang menjalani angiografi. Pasien yang sudah memiliki gejala azotemia dan level serum kreatinin lebih dari 2,0 memiliki risiko tinggi untuk komplikasi gagal ginjal setelah angiografi. Penggunaan kontras osmolar rendah telah digunakan dalam beberapa studi untuk mencegah kerusakan ginjal. Hidrasi yang adekuat sebelum tindakan angiografi sangat efektif untuk mengurangi risiko nephropati. Manitol digunakan untuk efek osmotik deuresis untuk membantu mencegah toksisitas dari bahan kontras. Vasodilator seperti dopamin juga telah digunakan karena efek nefrotoksik dari bahan kontras dianggap menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah intra renal (Sanchez, et al. 1998; Xiang, et al. 2013).
2.4.2
Indikasi Angiografi pada Kaki Diabetik Angiografi merupakan indikasi pada pasien diabetes dengan ulkus yang
tidak sembuh atau osteomyelitis, dan penyakit vaskular yang memerlukan gambaran dari penyakit pembuluh darah sebelum dilakukan endovaskular atau tindakan pembedahan. Hampir kebanyakan, pasien dengan ulkus pada kaki akan memiliki penyakit steno-oklusif yang melibatkan pembuluh darah pada kaki (Arteri Common Femoral, Femoral Superfisial, Femoral Profunda, Popliteal, Tibialis Anterior, Tibialis Posterior, dan Peroneal) (Hochman, 2012).
37
Menurut Faglia, et al (1998) dalam studinya menunjukan dari 104 pasien dengan kaki diabetik yang dilakukan angiografi terdapat lesi yang signifikan pada pembuluh darah ektremitas bawah, meskipun memiliki pulsasi pedal, ABI, dan TcPO2 normal. Beberapa pemeriksaan radiologi untuk melihat pembuluh darah pada ekstremitas bawah antara lain: konvensional angiografi atau digital subtraction angiography (DSA), MR angiography, CT angiography, dan duplex Doppler ultrasound. Secara umum, penyakit vaskular pada diabetes cenderung memiliki kaliber vaskular yang kecil pada ektremitas bawah, sehingga menimbulkan tantangan khusus dibidang radiologi (Hochman, 2012).
2.4.2.1 Digital Subtraction Angiography (DSA) Konvensional contrast digital subtraction angiografi (DSA) merupakan teknik pencitraan pembuluh darah. Pemeriksaan dengan teknik ini bisa melihat struktur pembuluh darah serta aliran darah secara akurat. Prosedur tindakan ini bersifat invasif, dimana menggunakan bahan kontras yang bersifat nefrotoksik dan bisa menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut (Khoudoud, 2006). Kateter yang tipis dan fleksibel dimasukan ke dalam aorta atau arteri, biasanya melalui pendekatan arteri femoral. Kontras iodin disuntikan ke dalam kateter intraluminal dan dilakukan urutan pengambilan foto menggunakan fluoroscopy. DSA ini sangat menguntungkan untuk pencitraan penyakit pembuluh darah yang berhubungan dengan diabetes, karena lebih unggul dalam hal penggunannya dimana dapat digunakan pada pembuluh darah yang memiliki
38
diameter kecil dan menggunakan lebih sedikit bahan kontras. Dalam DSA, pengambilan gambar dapat diperoleh sebelum memasukan bahan kontras dan foto disimpan secara automatis. Pengambilan gambar pembuluh darah dapat dilakukan pada saat pemberian kontras. Penggunaan DSA ini bisa langsung melihat strukur anatomi dari pembuluh darah tanpa harus menunggu film yang akan di cetak. Penggunaan kontras iso osmolar non ionic pada DSA memerlukan biaya yang mahal, namun keuntungan dari bahan kontras ini berhubungan dengan nyeri dan risiko rendah untuk terjadinya nephropati yang disebabkan oleh bahan kontras terutama pada pasien dengan diabetes. Adapun keuntungan dari konvensional angiografi ini bukan saja dilakukan untuk diagnostik, akan tetapi dilakukan untuk terapeutik secara simultan, seperti angioplasty, arterectomy, stenting, dan thrombolisis. Dan kerugian dari DSA ini meliputi radiasi, perdarahan, cedera pada dinding pembuluh darah, emboli, dan risiko gagal ginjal atau reaksi alergi dari bahan kontras (Hochman, 2012).
2.4.2.2 MR Angiography (MRA) Baru-baru ini, Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah memegang peranan yang penting dalam pencitraan pembuluh darah dalam bentuk Magnetic Rasonance Angiography (MRA). Dimana pemeriksaan MRA memberikan gambaran anatomi yang jelas pada pembuluh darah serta tidak diperlukan tindakan pemasangan kateter arteri sehingga komplikasi bisa dihindari. Pengunaan kontras dan tanpa kontras pada MRA paling banyak digunakan untuk
39
ekstremitas bawah. Secara umum, MR angiografi memiliki sensitifitas 92-97% dan spesifisitas sebesar 89-98% (Hochman, 2012).
2.4.2.3 CT Angiography (CTA) Computed Tomographic Angiography (CTA) merupakan prosedur diagnostik yang relatif baru untuk mengevaluasi pembuluh darah perifer. Prosedur diagnostik ini hampir sama dengan DSA yaitu dengan memasukan bahan kontras melalui pembuluh darah dan prosedur ini tidak memerlukan waktu yang lama. Selain untuk melihat pembuluh darah CTA ini juga bisa melihat jaringan tulang dan jaringan lunak. Hampir sama dengan MRA dimana hasil dari prosedur ini bisa dibuat dalam bentuk dua dimensi maupun 3 dimensi (Hochman, 2012; Pollak, et al. 2012).
2.4.2.4 Doppler Ultrasound Pengunaan prosedur diagnostik doppler ultrasound mempunyai peranan yang sangat penting untuk kelainan pembuluh darah, dimana bisa digunakan untuk menilai arteri maupun vena dan juga untuk melihat aliran darah. Keuntungan dari prosedur ini hampir sama dengan pemeriksaan Ultra Sonography (USG) pada umumnya dimana prosedur ini bersifat noninvasif, tidak memerlukan bahan kontras sehingga kerusakan ginjal maupun alergi bahan kontras dapat dihindari, dan biaya untuk prosedur ini sangat murah dibandingakan angiografi diagnostik. Kerugian prosedur ini tergantung dari operator itu sendiri, dan tidak bisa menggambarkan pembuluh darah secara rinci. Pemeriksaan duplex
40
ultrasound bisa digunakan sebagai alat diagnostik pada kaki diabetik sebelum dilakukan
prosedur
revaskularisasi.
USG
bisa
juga
digunakan
untuk
menggambarkan panjang oklusi dan stenosis dari pembuluh darah berdasarkan pada kecepatan laju aliran darah (Hochman, 2012).
Tabel 2.4 Keuntungan dan kerugian dari alat diagnostik (Hochman, 2012) Alat diagnostik Keuntungan Kerugian Angiografi/DSA Menggambarkan Bersifat invasif pembuluh darah secara Biaya mahal keseluruhan Banyak komplikasi Bisa langsung dilakukan tindakan terapeutik secara simultan MR Angiografi Menggambarkan Tidak bisa (MRA) pembuluh darah secara dilakukan tindakan keseluruhan terapeutik secara simultan Minimal invasif Biaya mahal Komplikasi minimal CT Angiografi Menggambarkan Tidak bisa (CTA) pembuluh darah secara dilakukan tindakan keseluruhan terapeutik secara simultan Minimal invasif Biaya mahal Komplikasi minimal Doppler Minimal invasif Tidak bisa Ultrasound dilakukan tindakan Biaya murah terapeutik secara Komplikasi minimal simultan Tidak bisa menggambarkan pembuluh darah secara keseluruhan
41
2.4.3
Sistem Skoring Angiografi Banyak faktor dapat mempengaruhi hasil pada pasien ulkus kaki diabetik,
tetapi derajat berat ringannya penyakit pembuluh darah pada ekstremitas bawah merupakan faktor risiko yang berdiri sendiri untuk terjadinya amputasi (Faglia, et al. 1998). Penyakit oklusi arteri perifer/PAD merupakan komplikasi yang sering pada diabetes melitus dan berhubungan dengan beratnya gejala klinis dan risiko tinggi untuk terjadinya critical limb ischemic (CLI) serta amputasi pada pasien dengan diabetes (Bargellini, et al. 2012). Ada beberapa sistem skoring dan klasifikasi untuk mengevaluasi hasil dari angiografi pada pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer/PAD salah satunya untuk menilai perbaikan klinis pasca tindakan revaskularisasi endoluminal, penyelamatan pada ekstremitas bawah, dan sebagai penentu prognostik untuk terjadinya amputasi. Sistem skoring dan klsifikasi yang digunakan seperti skor Bollinger, klasifikasi Graziani, Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC I) dan (TASC II), klasifikasi Joint Vascular Societies Council dan skor angiografi menurut Faglia (Bergellini, et al. 2012; Toursarkissian, et al. 2002; Faglia, et al. 1998).
2.4.3.1 Skor Bollinger Skor Bollinger merupakan sarana untuk mendeskripsikan angiogram pada pembuluh darah ekstremitas bawah.
Skor ini dibuat untuk mengevaluasi
berdasarkan angka numerik untuk penyakit oklusi arteri (Korhonen, 2011).
42
Tabel 2.5 Skor Bollinger (Korhonen, 2011)
13
Severity Stenosis >50% 4 5
Stenosis ≤ 50% 2 3
Plaque ≤ 25% 1 2
15
6
4
3
Occlusion
Extent of disease Single lesion Multiple lesions affecting half of the segment or less Multiple lesions affecting more than half of the Segment : Vectorial score
2.4.3.2 Klasifikasi Graziani Klasifikasi Graziani ini merupakan klasifikasi morfologi berdasarkan beratnya penyakit yang mana di bagi menjadi 7 kelas. Menurut Graziani klasifikasi ini rutin digunakan untuk menentukan berat penyakit dan perbaikan kondisi
penyakit
berdasarkan
endovaskular (Graziani, 2007).
gambaran
angiografi
setelah
pengobatan
43
Tabel 2.6 Klasifikasi Graziani (Graziani, 2007) Class Angiografi finding 1 Isolated, one vessel tibial or peroneal artery obstruction 2a
Isolated femoral/popliteal artery or two below-knee arteries obstructed but with patency of one of the two tibial arteries
2b
Isolated femoral/popliteal artery or two below-knee tibial arteries obstructed but with patency of the peroneal artery
3
Isolated, one artery occluded and multiple stenosis of tibial/ peroneal and/ or femoral/ popliteal arteries
4
Two arteries occluded and multiple stenosis of tibial/ peroneal and/ or femoral/ popliteal vessels
5
Occlusion of all tibial and peroneal arteries (below knee cross-sectional occlusion)
6
Three arteries occluded and multiple stenosis of tibial/ peroneal and/ or femoral/ popliteal arteries
7
Multiple femoropopliteal obstructiosns with no visible below the knee arterial segments
2.4.3.3 Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC) TASC di tetapkan pada januari 2000 dimana digunakan untuk menejemen PAD. TASC digunakan untuk gambaran morfologi pada arteri femoropopliteal dan infra popliteal sebagai rekomendasi untuk strategi pengobatan. Dan pada tahun 2007 di tetapkan konsensus TASC II yang digunakan sebagai klasifikasi lesi dari arteri femoropopliteal, dimana TASC II diperbaharui pada tipe dan manajemennya (Korhonen, 2011).
44
Tabel 2.7 Klasifikasi TASC I pada lesi arteri femoropopliteal (Korhonen, 2011) Type Lesions Type A Single stenosis <3 cm Type B Single stenosis 3–10 cm in length, not involving the distal popliteal artery Heavily calcified stenoses ≤3 cm in length Multiple lesions, each < cm (stenoses or occlusions) Single or multiple lesions in the absence of continuous tibial runoff to improve inflow for distal surgical bypass Type C Single stenosis or occlusion >5 cm Multiple stenoses or occlusions, each 3–5 cm, with or without heavy calcification Type D Complete common femoral artery or superficial femoral artery occlusions or complete popliteal and proximal trifurcation occlusions
Tabel 2.8 Klasifikasi TASC I pada lesi arteri infrapopliteal (Korhonen, 2011) Type Lesions Type A Single stenoses <1 cm in the tibial or peroneal vessels Type B Multiple focal stenoses of the tibial or peroneal vessels, each <1 cm in length 1 or 2 focal stenoses, each <1 cm long, at the tibial trifurcation Short tibial or peroneal stenosis in conjunction with femoropopliteal angioplasty Type C Stenoses 1–4 cm in length Occlusions 1–2 cm in length of the tibial or peroneal vessels Extensive stenoses of the tibial trifurcation Type D Tibial or peroneal occlusions >2 cm Diffusely diseased tibial or peroneal vessels
45
Gambar 2.5 Klasifikasi TASC II pada lesi arteri femoropopliteal (Korhonen, 2011).
2.4.3.4 Klasifikasi Joint Vascular Societies Council Klasifikasi ini banyak digunakan untuk sistem skoring pada angiografi dimana penggunaanya lebih mudah dan klasifikasi ini digunakan pada angiografi di daerah infrapopliteal (Bargellini, 2012).
Score 0 1 2 2.5 3
Tabel 2.9 Klasifikasi Joint Vascular Societies Council (Bargellini, 2012) Angiographic finding Stenosis less then 20% 20%-49% stemosis 50%-99% stenosis Occlusion of less than one-half the total length of the vessel Occlusion if more than one-half the total length of the vessel
46
2.4.3.5 Skor angiografi menurut Faglia Skor angiografi ini digunakan oleh Faglia pada studinya, dimana sistem skor ini hampir sama dengan klasifikasi Joint Vascular Societies Council. Perhitungan skor ini digunakan pada gambaran angiografi pada seluruh pembuluh darah ekstremitas bawah (arteri common femoral, femoral superfisial, femoral profunda, popliteal, anterior dan posterior tibia, dan peroneal). Dimana lesi dari gambaran angiogram setiap segmen pembuluh darah memiliki skor 0 sampai 3 dan penjumlahan skor dari semua segmen pembuluh darah antara 0 sampai 21. Dan apabila pada satu segmen pembuluh darah memiliki dua kelainan (oklusi atau stenosis) maka oklusi atau stenosis paling tinggi yang di ukur. Pada studinya dikatakan pasien dengan skor angiografi < 10 tidak dilakukan amputasi dan dilakukan amputasi pada skor angiografi > 14 (Faglia, et al. 1998).
Score 0 1 2 3
Tabel 2.10 Skor angiografi menurut Faglia (Faglia, et al. 1998). Angiographic finding Stenosis involved a vessel lumen reduction of <50% Stenosis involved 50 to <75% reduction Stenosis involved 75 to <100% reduction Total occlusion was present