BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) yang diakibatkan gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau akibat dari keduanya (American Diabetes Association, 2011). DM terdiri dari empat tipe yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM Sekunder, dan DM gestasional (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). DM ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah yaitu kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dl atau glukosa darah dua jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl, dimana gejala khas yang timbul dari DM adalah poliuri, polidipsi dan polifagi (Soegondo, 2009). World Health Organization (WHO) tahun 2012 menyatakan prevalensi DM setiap tahunnya mengalami peningkatan, penderita DM dunia di tahun 2000 berjumlah 171 juta dan diperkirakan meningkat menjadi tiga kali lipat yaitu sekitar 366 juta penderita di tahun 2030 (Departemen Kesehatan RI, 2013). Jumlah penderita DM di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan mencapai 21,3 juta orang pada tahun 2030, sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki peringkat ke-dua yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki peringkat keenam yaitu 5,8% (Departemen Kesehatan RI, 2009).
1
2
Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) tahun 2009 menyatakan bahwa hampir 80% prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2, hal ini berarti gaya hidup/life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM di Indonesia. Indonesia merupakan negara urutan ke-empat dengan prevalensi penyakit DM tertinggi dibawah China, Amerika Serikat, dan India (Simatupang, Maria, dkk. 2013). World Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian semua umur di dunia adalah karena penyakit tidak menular. DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian penyakit tidak menular, dan tercatat sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat DM dan 4 % meninggal sebelum usia 70 tahun (Depkes RI, 2013). Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali tercatat pada tahun 2011 penyandang DM berjumlah 2907 orang, dengan jumlah penderita DM tipe 2 sebanyak 1300 orang. Pada tahun 2012, penyandang DM tercatat sekitar 3004 orang dengan jumlah penderita DM tipe 2 sebanyak 1569 orang. Dinkes Kota Denpasar mencatat penderita DM pada tahun 2012 sebanyak 1416 orang, dengan empat peringkat DM tebanyak di kota Denpasar yaitu : Puskesmas III Denpasar Utara, Puskesmas I Denpasar Timur, Puskesmas II Denpasar Timur dan Puskesmas II Denpasar Barat. Pasien DM umumnya mengalami komplikasi seiring meningkatnya prevalensi DM. Komplikasi DM dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik (Igntavicius & Workman, 2010). Penyebab utama komplikasi akut
adalah
ketoasidosis
diabetikum,
hiperosmolar
hiperglikemia,
dan
hipoglikemia (Agustiningsih, 2013). Komplikasi kronik umumnya terjadi akibat
3
tingginya kadar glukosa darah atau kondisi hiperglikemia yang terjadinya terusmenerus dalam jangka waktu lama (kronik). Komplikasi kronik bisa mengenai makrovaskuler (rusaknya pembuluh darah besar) dan mikrovaskuler (rusaknya pembuluh darah kecil) (Ariyanti, 2012 ; Nasution, 2010). Komplikasi akut metabolik yang paling serius pada DM tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik dan hipoglikemia keadaan ini diakibatkan oleh kadar insulin yang sangat menurun sehingga terjadi peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
pembentukan
benda
keton.
Peningkatan
keton
dalam
plasma
mengakibatkan ketosis. Pada penderita DM tipe 2 komplikasi akut yang biasanya terjadi adalah hiperglikemia, hiperosmolar dan koma nonketotik. Keadaan ini bukan disebabkan oleh defisiensi insulin absolute, namun relative, dan dalam keadaan hiperglikemi biasanya muncul tanpa ketosis. Pada DM tipe 1 komplikasi akut lebih cepat terjadi dibandingkan pada DM tipe 2 hal ini dikarenakan pada DM tipe 1 pasien tergantung oleh insulin luar dimana saat melakukan aktifitas seperti latihan fisik akan terjadi pelepasan insulin menurun dan peningkatan ambilan glukosa sehingga mudah terjadi hipoglikemia (Price & Wilson, 2002). Komplikasi yang paling sering dialami pengidap DM tipe 2 adalah komplikasi pada kaki yang kini disebut kaki diabetes (Akhtyo, 2009). Kaki adalah anggota gerak tubuh yang kurang memperoleh perhatian karena letaknya jauh dari pandangan dan pengamatan mata. Adanya masalah kaki pada pasien DM tipe 2 diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia yang berlangsung lama sehingga gula darah banyak menumpuk di pembuluh darah, keadaaan tersebut menyebabkan sirkulasi darah di jaringan kurang termasuk kaki (insufisiensi aliran ke tungkai
4
atau sirkulasi ke perifer menurun), dimana tanda dan gejala lainnya mencakup berkurangnya denyut nadi perifer dan neuropati perifer (pasien merasakan kebas atau kesemutan pada kaki) (Alfiyah & Virgianti, 2011; Ariyanti, 2012). Menurut Wolf.et,al (2006) keadaan hiperglikemia yang kronik pada DM tipe 2 terjadinya proses glycosylation yang merupakan penyebab terjadinya perubahan vaskuler mikroangiopati. Terjadinya peningkatan kadar gula darah akan
mengakibatkan
munculnya
sorbitol
pada
intraseluler.
Sorbitol
bermatabolisme lambat kemudian terjadinya penghancuran sel osmotik ditambah terbentuknya Advanced Glycation End Products (AGEs). AGEs berupa zat yang tidak dapat dimetabolisme lebih lanjut sehingga membentuk endapan di dinding pembuluh darah yang menyebabkan gangguan vaskuler sehingga sirkulasi perifer terhambat. Penurunan sirkulasi ke perifer merupakan salah satu penyebab terjadinya ulkus diabetik yang disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan nutrient sehingga menyebabkan luka gangren pada kaki (Sumpio, 2000; Clayton, 2009). Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2008 menjelaskan luka gangren berkaitan dengan mikroangiopati dan makroangiopati lanjut, serta memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi dimana ulkus merupakan indikator awal yang paling utama terhadap kejadian amputasi ekstremitas bawah nontraumatik pada penyandang DM, dengan jumlah kasus 50-70% amputasi ekstremitas bawah nontraumatik. Cahyono (2007) menegaskan bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena
5
gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia pada kaki yang akan menyebabkan luka gangren. Pasien DM tipe 2 umumnya mengalami peningkatan insiden dan prevalensi bising karotis, intermittent claudication, tidak adanya nadi pedis, dan penurunan nilai Ankle Brachial Index (ABI) dan ganggren ischemia (Sudoyo, 2006). Pasien DM tipe 2 cenderung mengalami perubahan elastisitas kapiler pembuluh darah, penebalan dinding pembuluh darah, dan pembentukan plak atau thrombus yang disebabkan oleh keadaan hiperglikemia sehingga menyebabkan vaskularisasi ke perifer terhambat (Alfiyah & Virgianti, 2011). Hal ini menyebabkan pasien DM cenderung memiliki nilai Ankle Brachial Index (ABI) yang lebih rendah dari rentang normal (0,9-1) (Laksmi, dkk 2011). Untuk mencegah ulkus diabetik dan memperbaiki sirkulasi perifer pada pasien DM dapat dilakukan dengan cara kontrol metabolik yang menekankan pada lima pilar penatalaksaan DM yaitu perencanaan makan (diit), latihan jasmani, obat yang memberikan efek hipoglikemik, edukasi dan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Mashudi, 2011) selain itu kontrol vaskuler dapat dilakukan dengan cara melakukan latihan kaki dan pemeriksaan vaskular non-invasif seperti pemeriksaan nilai Ankle Brachial Index (ABI), toe pressure, dan ankle pressure secara rutin, serta modifikasi faktor risiko seperti berhentinya merokok dan penggunaan alas kaki khusus (Sudoyo, 2006). Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasive pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis iskhemia, penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan
6
neuropati diabetik (Mulyati,2009). Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi mengalami gangguan pada sirkulasi perifer, uji ini umumnya digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya penyakit pembuluh darah arteri perifer, dan digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pembuluh darah arteri perifer. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi arterial (Cahyono,2007). White (2007) menjelaskan dalam keadaan normal tekanan sistolik di tungkai bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah sistolik lengan atas (brachial) dan pada keadaan dimana terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka akan terjadi penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachial dimana dalam kondisi normal, nilai ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,41– 0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40 telah terjadi obstruksi vaskuler berat Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (2011) menjelaskan bahwa perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik sebesar 50-60% yang mempengaruhi kualitas hidup. Pemeriksaan dan perawatan kaki diabetes merupakan semua aktivitas khusus (senam kaki, memeriksa dan merawat kaki) yang dilakukan individu sebagai upaya dalam mencegah timbulnya ulkus diabetikum. Berbagai intervensi untuk mencegah atau memperlambat komplikasi tersebut banyak dikembangkan melalui penelitian beberapa penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan manfaat dari berbagai
7
intervensi tersebut dalam mengurangi gejala neuropati dan penyakit vaskuler secara emperis. Intervensi yang pernah diteliti antara lain senam kaki, massase kaki serta latihan rentang gerak sendi atau yang sering di kenal dengan Range of Motion (ROM) (Ika, 2010). ROM merupakan sekumpulan gerakan yang dapat dilakukan pada bagian sendi yang bertujuan untuk meningkatkan fleksibelitas dan kekuatan otot (Potter & Perry, 2006). ROM dapat diterapkan dengan aman sebagai salah satu terapi pada berbagai kondisi pasien dan memberikan dampak positif baik secara fisik maupun psikologis (Tseng, Wu & Lin, 2007). ROM merupakan latihan ringan yang memiliki keuntungan mudah dipelajari dan diingat oleh pasien sehingga mudah diterapkan oleh penderita DM dan tidak membutuhkan biaya. Bentuk terapi yang dikenal oleh penderita DM adalah senam kaki yang memiliki beberapa kesamaan gerak khususnya pada bagian ankle dan sendi lutut. Perbedaan senam kaki dengan latihan ROM adalah pada bagian otot dan sendi yang terlibat dalam gerakan serta beberapa bentuk gerakan (Ika, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Frosig, Chistian, Richter, dan Erik (2009), menunjukkan latihan kaki (foot exercise) memiliki pengaruh yang baik terhadap perkembangan pasien DM. Beberapa pengaruh yang dimaksud adalah terjadinya peningkatan ambilan (uptake) glukosa pada otot yang aktif karena proses translokasi
glucosetransporter
(GLUT4)
ke
dalam
membrane
plasma,
peningkatan pada TcPO2 yang menunjukkan peningkatan pada perfusi kutaneus, penurunan
gejala neuropati
perifer, menurunkan kadar
glukosa
darah,
meningkatkan nilai ABI. Penelitian yang dilakukan oleh Ika (2010) dengan
8
pemberian ROM pada kaki dapat mengurangi tanda dan gejala dari neuropati dengan mengukur kekuatan otot, refleks tendon, sensasi proteksi, ABI dan keluhan polineuropati diabetikum. Hal ini dikarenakan exercise pada kaki dapat meningkatkan sirkulasi darah perifer sehingga suplay nutrisi dan oksigen pada daerah kaki dapat terpenuhi dengan baik. Pada saat melakukan latihan akan terjadi kontraksi otot-otot yang aktif sehingga menimbulkan peningkatan kerja jantung, terjadi vasodilatasi arteriol yang aktif dan terjadi vasokontriksi pada pembuluh vena yang aktif digerakkan maka aliran balik vena ke jantung akan meningkat keadaan tersebut akan meningkatkan sirkulasi perifer (Guyton & Hall, 2008). Puskesmas II Denpasar Barat merupakan Puskesmas yang memiliki wilayah kerja paling luas diantara Puskesmas yang berada di Kota Denpasar. Data prevalensi penderita DM di wilayah Puskesmas II Denpasar Barat tercatat sebanyak 183 orang. Hasil studi pendahuluan tanggal 7 Desember 2013 di Puskesmas II Denpasar Barat pada 20 orang setelah dilakukan pemeriksaan nilai ABI 10 orang mengalami penurunan nilai ABI berkisar antara 0,7-0,8 dan mengalami penurunan sensasi pada kaki dan rasa kesemutan sedangkan 10 orang mengalami nilai ABI dalam rentang normal. Masih sedikitnya penelitian tentang pengaruh Active Lower ROM terhadap perubahan sirkulasi darah kaki pasien DM tipe 2 yang dapat dinilai dari perubahan nilai ABI. Maka dari itu berdasarkan hasil studi pendahuluan dan data di atas peneliti tertarik untuk memilih Puskesmas II Denpasar Barat untuk melakukan penelitian pengaruh Active Lower Range of Motion terhadap perubahan nilai Ankle Brachial Index pasien DM tipe 2.
9
1.2
Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah penelitian
yaitu ”Apakah ada pengaruh Active Lower ROM terhadap perubahan nilai Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 di wilayah Puskesmas II Denpasar Barat?”
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh Active Lower ROM terhadap nilai Ankle
Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 di wilayah Puskesmas II Denpasar Barat.”
1.3.2 (1)
Tujuan Khusus Mengidentifikasi nilai pre test Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 sebelum diberikan Active Lower ROM pada kelompok perlakuan.
(2)
Mengidentifikasi nilai post test Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 setelah diberikan Active Lower ROM pada kelompok perlakuan.
(3)
Mengidentifikasi nilai pre test Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 pada kelompok kontrol
(4)
Mengidentifikasi nilai post test Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 pada kelompok kontrol
(5)
Menganalisis perbedaan nilai pre test Ankle Brachial Index (ABI) sebelum diberikan Active Lower ROM dan nilai post test Ankle Brachial Index (ABI) setelah diberikan Active Lower ROM pasien DM tipe 2 pada kelompok perlakuan
10
(6)
Menganalisis perbedaan nilai pre test Ankle Brachial Index (ABI) dan post-test nilai Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2 pada kelompok kontrol
(7)
Menganalisis pengaruh pemberian active lower ROM terhadap perubahan nilai Ankle Brachial Index (ABI) pasien DM tipe 2
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam mengembangkan
dan menerapkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Keperawatan Medikal Bedah dalam memperbaiki sirkulasi perifer pasien dengan DM tipe 2. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai dasar atau acuan untuk melaksanakan penelitian bagi peneliti selanjutnya dalam mencari efektivitas pengaruh pemberian Active Lower ROM terhadap nilai Ankle Brachial Index (ABI) klien dengan DM tipe 2.
1.4.2
Manfaat secara Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan rujukan
bagi klien dengan DM tipe 2, pendamping dan keluarga dalam melakukan active lower ROM untuk memperbaiki nilai Ankle Brachial Index (ABI) sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup klien dengan DM tipe 2. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan oleh Puskesmas sebagai bahan pertimbangan dalam membuat program kegiatan yang dapat diberikan ke masyarakat.