BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3.
Landasan Teoritis
2.3.1. Hakikat Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses perubahan sosial, ekonomi dan institusional lainnya demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan di semua masyarakat harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut: 1) Peningkatan ketersediaan serta perluasaan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan, 2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materil, melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan, 3) Perluasaan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan (Torado, 2000 : 23-24). Keberkelanjutan suatu pembangunan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan biofisik semata, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sosial. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan
peninjauan kembali atas sistem pendidikan, ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Selain peningkatan pendapatan, dan output, proses pembangunan juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, dan administrasi, sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali juga merambah pada adat istiadat, kebiasaan dan sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat (Torado, 2000 : 92). World Commission on Environment and Development (WCED) atau yang dikenal dengan sebutan Brundtland Commission pada tahun 1987, dalam laporannya mengemukakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan adalah pembangunan yang memiliki kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Didalamnya terkandung gagasan utama, yaitu; 1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama, 2) gagasan keterbatasan yang bersumber kepada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan hari depan (WCED, 1987:23), seperti diilustrasikan oleh model pada Gambar 2.1. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai adanya kebersamaan atau saling memberikan sumbangan untuk kepentingan dan masalah-masalah bersama yang tumbuh dari kepentingan dan perhatian individu warga masyarakat itu sendiri. Partisipasi dalam hal ini adalah hasil konsensus sosial warga masyarakat akan arah perubahan sosial yang diharapkan masyarakat
(Carry, 1995 : 144)
Perubahan Kebijakan Pembangunan
Kebijakan Pembangunan yang Berkelanjutan Permasalahan Lokal, Kemampuan dan Kesempatan
Perbaikan Kesehatan dan Pendidikan, Kecukupan Pangan, Pemgentasan Kemiskinan, Integrasi
Siklus Positif Pembangunan Berkelanjutan
Meningkatnya Kondisi Ekonomi dan Ekosistem
Kebijakan Pembangunan yang Berkelanjutan Hal yang sama untuk mendapatkan akses kepada sumber daya dan hasil
Mobilisasi dan Pemberdayaan masyarakat lokal
Gambar 2.1. Aksi yang mendukung Siklus Pembangunan Berkelanjutan (UNDP, 1997:22)
Berbagai pengalaman masyarakat dapat dikategorikan dalam sebuah peta kognitif kebudayaan masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat tetap survive dalam suatu pembangunan, seperti ilustrasi pada Gambar 2.2.
Faktor-faktor Internal - motivasi - Pengalaman - Pengetahuan/pendidikan
Faktor-faktor Eksternal - Informasi - Norma Sosial Budaya - Kondisi dan Situasi Lingkungan Sub Budaya
Strategi Adaptasi - Persepsi - Interpretasi - Kategorisasi
Lingkungan Biogiofisik Sosbud
Survive
Gambar 2.2. Perubahan Nilai Budaya Dalam Pembangunan (Poerwanto, 1997:96) Konsepsi pembangunan berkelanjutan, merekomendasikan 7 (tujuh) kebijakan untuk pembangunan dan lingkungan adalah sebagai berikut: (1) Memikirkan kembali makna pembangunan. (2) Merubah orientasi pembangunan dari pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur kemajuan pembangunan ke mutu hasil pembangunan. (3) Memenuhi kebutuhan dasar berupa lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi. (4) Menjamin terciptanya keberlanjutan pada tingkat pertumbuhan tertentu. (5) Mengatur keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumberdaya. (6) Merubah arah perkembangan teknologi dan mengelola resiko. (7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan (Depnaker, 2008).
Menurut kamus A.S. Hornby: Oxford Student’s Dictionary of American English (Oxford University Press, 1983) dalam Hartono dan Sunaryati (1993), kata “Quality” ialah: 1) Degree or Grade of Excellence (tingkat kesempurnaan), 2) Goodness or Worth (nilai), 3) Characteristics of A Person or Think (karakter seseorang atau suatu barang) (Hartono, 1993:182). Kualitas mempunyai arti tingkat kesempurnaan atau nilai atau karakteristik seseorang. Environmental protection Agency di Amerika Serikat mengemukakan istilah kualitas (quality) sebagai tingkat (grade), dan tingkat tersebut bergerak antara tinggi-rendah dan baik-buruk. Perbedaan kualitas menurut Nawawi dan Martini (1994 : 46-47) adalah suatu kondisi yang dibandingkan dengan suatu ukuran tertentu berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai terbaik mengenai sesuatu. Ukuran yang menyentuh persoalan nilai atau norma-norma pada dasarnya bersifat abstrak, namun tidak mustahil untuk dikonkritkan dengan menggunakan simbolsimbol tertentu. Istilah Life mempunyai arti Mental Life. Kehidupan mental, secara luas lebih diartikan
sebagai
kepuasan
seseorang,
seperti
rasa
sejahtera,
kebahagiaan
atau
ketidakbahagiaan, kepuasan atau ketidakpuasan di dalam hidup (Suryotomo, dkk, 1992 : 34). Sebagaimana dikemukakan oleh Gitter and Mostofsky bahwa kualitas hidup (Quality Life) lebih mengacu kepada kondisi kehidupan seseorang, dimana tingkat kualitas hidup seseorang menunjukkan kepada beberapa hal yang disajikan dalam skala terpisah untuk mengukur kepada kondisi yang relevan. Kualitas hidup merupakan suatu variabel yang belum terukur, maka Ananta dan Hatmadji (1985: 7) menyarankan agar terlebih dahulu dapat menemukan faktor-faktor yang
memiliki kaitan dengan kualitas hidup tersebut. kualitas manusia dan kualitas hidup memiliki kaitan yang sangat erat, manusia yang berkualitas dapat menciptakan kualitas hidupnya sendiri yang identik dengan kesejahteraan, dan kualitas hidup yang tinggi akan membangun manusia tersebut untuk lebih berkualitas (Ancok, 1980 : 4 ). Permasalahan kualitas manusia sangat komplek dan tidak terbatas pada ciri individual manusia saja, harus dilihat dalam kaitan yang lebih luas, termasuk keadaan dan kualitas dari pranata sosial (Dahlan, 1993 : 3-21 ). Termasuk politik, ekonomi, keuangan, pelaksanaan kerja, (produktivitas, efisiensi), penegakan hukum, korupsi, birokrasi, persoalan mental, disiplin, solidaritas, korupsi (Alatas, 1993 : 248-254). Secara garis besar kualitas hidup manusia terbagi dalam dua kelompok, pertama: kualitas fisik yang mencerminkan kualitas lahiriah, seperti keserasian ukuran tinggi badan dan berat badan, daya fisik yang dimiliki, tingkat kesegaran dan kesehatan jasmani, tingkat konsumsi pangan, kedua: kualitas non-fisik yang mencerminkan kualitas batiniah seperti: kualitas pribadi yang melekat pada diri seseorang, kualitas kekaryaan seperti tercermin dalam produktivitas, disiplin kerja, keswadayaan, keswakaryaan dan wawasan masa depan, kualitas spiritual, kualitas rasional dan kualitas berbangsa (Salim, 1993 : 80-88 ). Diakui bahwa, pengelompokan atas kualitas fisik dan non fisik oleh sebagian ilmuan memiliki beberapa perbedaan pandangan, hal ini dikarenakan kualitas manusia tidak dapat dibagi-bagi atas fisik dan non-fisik, sebab keduanya saling menunjang membentuk keseluruhan kualitas manusia, untuk mengukur perlakuan atas keduanya harus dilakukan secara terpisah (Dahlan, 1993:8). Ada beberapa kelompok pandangan yang menyangkut pengukuran terhadap kualitas hidup manusia. Pandangan yang pertama beranggapan bahwa tidak mungkin fenomena
kualitas hidup dapat diukur. Hal ini dikarenakan aspek yang berkaitan dengan kualitas masyarakat sangat komplek. Pengukuran kualitas hanya bersifat reduksionis dan akan memberikan hasil yang menyesatkan (misleading),
Pendapat kedua yang lebih bersifat
optimis, memandang bahwa ini dimensi yang menjadi komponen pendukung kualitas hidup penduduk cukup banyak namun masih bisa disederhanakan dengan memilih hal-hal yang utama, namun dimensi yang merupakan komponen kualitas tidak usah digabungkan menjadi nilai agregat. Pendapat yang paling optimis beranggapan bahwa, kualitas hidup penduduk yang terdiri dari berbagai dimensi dapat saja diwakili oleh suatu angka agregat yang merupakan penggabungan skor untuk masing-masing komponen kualitas hidup. Menurut pendapat yang terakhir ini, dengan tersedianya teknik analisis statistik dan fasilitas komputer akan memudahkan penciptaan angka agregat tersebut (Ancok,
1993 : 35-46).
Diketahui pula bahwa, semua kegiatan pembangunan akan menyebabkan perubahan terhadap lingkungan, atau disebut dengan dampak lingkungan. Dampak lingkungan dapat bersifat positif dan negative, tergantung dari perubahan yang diakibatkannya terhadap lingkungan, disadari atau tidak proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini masih bersifat parsial dan cenderung menekankan pada pembangunan fisik di berbagai tempat justru berakibat tidak terkandalinya perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan binaan dan bahkan dapat menurunkan mutu lingkungan hidup (Setyabudi, 1996 : 5-10). Pada konteks ini Djayadiningrat, menekankan pentingnya kebijakan pembangunan di Indonesia menerapkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang intinya menyebutkan agar merubah pola hidup konsumtif yang boros dan menghamburkan kekayaan kepada pola hidup yang sederhana, hemat, higienis dan agamis (Djayadiningrat, 1993 : 18 ). Perubahan sikap dan
perilaku penduduk tersebut, akan diidentifikasikan pada tingkat kualitas hidup penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan. Jacobs dan Sadler, menawarkan model hubungan kualitas hidup melalui sebuah segitiga sebagaimana gambar berikut: Economic
Quality of Life Ecological
Social
Gambar 2.3. Model Hubungan Kualitas Hidup dengan Lingkungan.
Gambar 2.3 menunjukkan bahwa parameter yang dapat menentukan kualitas hidup penduduk dalam konteks pembangunan, yaitu dari segi ekologi, sosial dan ekonomi. Lebih lanjut dijelaskannya, untuk meningkatkan kualitas hidup dapat ditempuh melalui peningkatan ekonomi,
namun
dilemanya
adalah
dalam
memacu
pertumbuhan
ekonomi
tanpa
mempertimbangkan daya dukung alam dan lingkungan tidak akan berhasil untuk meningkatkan kualitas hidup, maka untuk itu diperlukan suatu program pembangunan (kependudukan) yang berwawsan lingkungan dari sudut ekologi dan sosial. Erich Fromm dalam (Ancok, 1993:36) melihat hancurnya suatu tata kualitas kehidupan manusia diakibatkan oleh penekanan aspek materi, dan kurangnya melihat aspek kebutuhan psikologis. Pada dekade abad 21 sekarang ini banyak di seluruh negara lebih mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup non fisik termasuk di dalamnya yang menyangkut peningkatan kualitas sosial. Sebagaimana dikutip dari laporan Komisi Mandiri
Kependudukan dan Kualitas Hidup yang dialih bahasakan oleh Soerjani (2000 : 57) sebagai berikut: “ Kita telah melihat bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi kepentingan dominan di seluruh dunia. Pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi saja, sehingga hal ini sama sekali tidak memberi makna sosial. Fokus ini sekarang telah membayangi semua pertimbangan seperti: pemerataan, keberlanjutan, kesempatan untuk bekerja, dan hubungan sosial.“ Dilandasi oleh pendapat Soemarwoto, dalam lingkungan yang berkualitas tinggi terdapat potensi untuk berkembangnya hidup dengan kualitas yang tinggi (Soemarwoto, 1997 : 35). Pada hakikatnya strategi dan pendekatan pembangunan manusia untuk menumbuhkan prilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Integrasi tersebut merupakan kristalisasi dari faktor faktor situasional dengan kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responnya (Supriatna, 2000 : 38). Sejarah pembangunan bangsa kita juga telah banyak memberikan pelajaran, bahwa pembangunan memang harus diupayakan dengan membuat program pembangunan berkelanjutan yang menyeluruh dan terpadu, program tersebut paling tidak harus menjamin 4 macam keberlanjutan, yakni: (1) keberlanjutan kehidupan ekologi, (2) keberlanjutan kehidupan ekonomi, (3) keberlanjutan kehidupan sosial budaya dan (4) keberlanjutan kehidupan politik (Sjarkowi dan Fachrurrozie, 1995:59). Untuk melihat keberadaan pembangunan dalam arti berkelanjutan, dapat ditinjau dari berbagai dimensi atau faktor (sudut pandang), yaitu: faktor Ekologis, faktor sosial, faktor politik, faktor hukum dan etika (Dahuri dan Rokhmin,
1996 : 12).
a. Faktor Ekologi Pembangunan berwawasan lingkungan pada hakekatnya merupakan permasalahan ekologi, khususnya ekologi pembangunan, yaitu interaksi antara pembangunan dan lingkungan (Soemarwoto, 1997:15). Secara implisit dikatakan bahwa, kualitas hidup manusia tergantung sejauhmana manusia dapat memahami lingkungan sekitarnya (Grazt, 1978 :68-69). Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal bailk antara mahluk hidup, khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya yang sering disebut dengan ekologi. Ekologi adalah salah satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bersama-sama dengan komponen lainnya yakni: teknologi, politik, dan sosial budaya untuk menentukan keputusan yang seimbang (Soemarwoto, 1994:22-23) dikarenakan dalam pembahasan ekologi cakupannya terlalu luas, maka pembicaraan ekologi dibatasi pada kajian ekologi pembangunan, yang merupakan cabang khusus ekologi manusia. Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem, yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut: a. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan, b. Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan, c. Interaksi manusia dan lingkungan bersifat dinamis, d. Interaksi manusia dan lingkungan terjadi dalam berbagai level yang tergantung pada fungsi.
Salah satu teori yang didasarkan atas pandangan ekologis adalah Behavior Setting yang dipelopori oleh Barker dan Wicker dalam Heralita (2011). Premis utama teori ini yaitu kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang dikomodasikan dalam lingkungan tersebut.
Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewamemperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (19721982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commissionon Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Secara umum konsep pengembangan kota berkelanjutan didefinisikan sebagai pengembangan kota yang mengedepankan adanya keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup. Keseimbangan ini penting untuk menjamin adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, tanpa mengurangi peluang generasi yang akan datang untuk menikmati kondisi yang sama.
Berdasarkan
konsep
pembangunan
berkelanjutan
tersebut,
maka
indikator
pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut di atas, yaitu aspek ekonomi,ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future : menggagas warisan peradaban bagi anak cucu, seputar pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Keberlanjutan Ekologis. b. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi c. Keberlanjutan Politik d. Keberlanjutan Sosial dan Budaya e. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan beberapa tolak ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun didaerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses. pembangunan berkelanjutan. Tolak ukur itu meliputi: a. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yangberdampak minimum terhadap lingkungan. b. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
c. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan jender. Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Di satu sisi pembangunan adalah adanya keinginan manusia yang jumlahnya tidak terbatas, di pihak lain adanya keterbatasan alat-alat pemuas yang ada (Siagian, 1982 : 11). Jika fenomena ini terjadi secara berkepanjangan, maka akan mendorong manusia untuk memilih kebutuhan mana yang lebih dahulu harus dipenuhi supaya terpenuhi kepuasan maksimum. Akibat lanjut dari cara pandang seperti ini mengakibatkan terjadinya perbuatan sewenangwenang dan pengejaran sesuatu tanpa batas terhadap sesuatu yang bersifat material, cara dan pola pembangunan seperti ini lambat laun dapat menimbulkan degradasi lingkungan dengan sendirinya akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang (Soemarwoto, 1997:49). Konsep kualitas hidup penduduk berwawasan lingkungan dari faktor ini, penekanannya terletak pada pokok permasalahan bagaimana mengelola sumberdaya alam dengan bijaksana agar tertopang proses pembangunan berkelanjutan, maka harus menggunakan suatu pola kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan (Soemarwoto, 1997:50)
Pada faktor ekologis terdapat tiga kaidah pokok yang dapat menjamin tercapainya kualitas hidup yang berkelanjutan, yakni a) terlaksananya pengaturan tata ruang yang lebih mendukung pembangunan berkelanjutan, b) melakukan pengendalian pencemaran c) melakukan pemanfaatan sumber daya secara optimal, d) melakukan pelestarian fungsi-fungsi ekologis, e) dan adanya jasa-jasa penunjang dalam kehidupan (Soemarwoto, 1997:14) Tata ruang yang heterogen yang dilatarbelakangi oleh penghuni yang heterogen dapat menghasilkan suatu proses integrasi sosial dan ekonomis dalam suatu wilayah kota, hal ini juga dapat merupakan mekanisme untuk pemerataan secara lokal, setidaknya dapat membantu untuk mengoreksi kesenjangan yang ada karena tidak meratanya distribusi pendapatan, kesemuanya ini memberikan andil untuk perkembangan yang lebih baik pada peningkatan kualitas hidup penduduk (Purbo, 1993 : 337). Dalam menyeimbangkan antara pembangunan dengan kualitas hidup penduduk dari sudut ekologi, maka sikap dan perilaku arif manusia terhadap lingkungan perlu dibina untuk menggantikan mentalitas pendobrak lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh (Ciras 1991 : 77-97) mentalitas penduduk berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang intinya adalah:
a. Adanya kesadaran bahwa alam mempunyai daya dukung yang terbatas b. Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui akan berakibat kepada kehabisan sumberdaya tersebut, tetapi kegiatan daur ulang dan menggunakan sumberdaya alternatif merupakan usaha dalam menghemat sumberdaya tersebut c. kualitas hidup tidak diukur dari banyaknya materi yang dipunyai.
d. menanamkan sikap berorientasi kepada generasi mendatang untuk tidak mewariskan bencana. Oleh karena itu sangantlah penting artinya untuk menemukan suatu cara, pola kebijakan pembangunan, yaitu: a. Minimal tidak menggangu keseimbangan (equilibrium) dari ekosistem, dan maksimal ikut membina ekosistem kearah yang lebih stabil, b. Memelihara ekosistem yang lebih beragam (Salim, 1985:36). Hal yang hampir senada disampaikan oleh Mesarovice dan Pestel, bahwa dalam menanamkan sikap pembangunan yang arif terhadap lingkungan harus mempertimbangkan empat faktor yaitu: a. Kesadaran terhadap bumi harus dikembangkan sampai tiap-tiap individu mengetahui peran yang ia miliki sebagai anggota masyarakat dunia. b. Dikembangkannya etika baru dalam penggunaan sumberdaya alam c. Sikap terhadap alam harus dikembangkan berdasarkan keharmonisan. d. Manusia harus mengembangkan identifikasi terhadap generasi yang akan datang dan siap untuk mewariskan keuntungan, dan bukan mewariskan malapetaka (Mesarovic, 1974:147).
b. Faktor Sosial Hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya merupakan hubungan secara timbal balik yang sangat erat. Hal seperti ini menentukan hakikat manusianya, dapat dikatakan bahwa pribadi manusia dapat berkembang dinamikanya apabila ia berada dalam kelompok
sosial. Karena manusia hidup bersama di dalam kelompok atau hidup bersama kelompok, maka satu sama lain saling membutuhkan sehingga manusia disebut pula sebagai mahluk sosial (Fadil, 1990:16). Faktor sosial di dalam suatu kelompok masyarakat yang mendukung tercapainya kualitas hidup secara berkelanjutan yaitu: a) melaksanakan gaya hidup yang sederhana dan tidak konsumtif secara berlebihan, b) mengurangi kesenjangan (Fadil, 1990:14). Gaya hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah memenuhi kebutuhan esensial, memenuhi kebutuhan menurut apa yang diperlukan, efisien tanpa pemborosan, sesuai dengan kenyataan dan ukuran objektif, sesuai dengan apa yang dihayati sebagai adil, halal dan legal, sesuai dengan kemapuan kita (Salim, 1980:113). Berkaitan dengan hal di atas, bagaimana pun juga akan terjadi kesejangan di dalam masyarakat yang cenderung diakibatkan oleh adanya tingkat persaingan di dalam masyarakat tersebut. Persaingan adalah suatu bentuk perjuangan sosial yang paling umum. Sifat berlombalomba, keinginan mendahului orang lain (Bouman, 1980:80). Kesenjangan di dalam masyarakat dapat dikurangi dengan jalan mentaati kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Karl Manheim dalam Bouman, membandingkan kaidah-kaidah sosial dengan lampu lalu lintas. Andaikata tidak ada kaidah-kaidah itu, maka seluruh kehidupan bergolongan dengan segera akan menjadi kacau balau (Bouman, 1980:44). Membangun kualitas hidup penduduk yang menyangkut ciri-ciri hubungan antar manusia dan antar kelompok sangat dibutuhkan Kualitas sosial yang mencakup: a. Keserasian sosial yaitu ciri-ciri yang menentukan daya tampung sosial, termasuk penyesuaian antar kelompok, keterbukaan dan ketersediaan menerima perbedaan pendapat orang lain, toleransi.
b. Kesetiakawanan sosial yaitu ciri-ciri kualitas untuk mengembangkan persamaan martabat antar sesama kelompok dalam masyarakat, seperti tenggang rasa, solidaritas, kedermawanan timbal balik, komunikasi sosial antar lapisan ekonomi, mencegah
kecemburuan
sosial
dan
mengurangi
kesenjangan
masyarakat
(Kumpulan Penilaian Pakar, 1995:193). Perencanaan sosial dewasa ini menjadi ciri yang umum bagi masyarakat–masyarakat yang sedang mengalami perunahan–perubahan atau perkembangan. Sebenarnya, perencanaan sosial yang bertujuan untuk melihat jauh ke depan telah juga difikirkan oleh para sosiolog terdahulu. Menurut Ogburn dan Nimkoff prasyarat suatu perencanaan sosial yang efektif ialah sebagai berikut : a. Adanya unsur – unsur modern dalam masyarakat yang mencakup suatu sistem ekologi dimana telah digunakan uang, urbanisasi yang teratur, intelegensia di bidang teknik dan ilmu pengetahuan, dan suatu sistem administrasi yang baik. b. Adanya sistem pengumpulan keterangan dan analisis yang baik. c. Terdapatnya siap publik yang baik terhadap usaha – usaha perencanaan. d. Adanya pimpinan ekonomi dan politik yang progresif. Selanjutnya, untuk melaksanakan perencanaan sosial tersebut dengan baik, diperlukan organisasi yang baik yang berarti adanya disiplin di satu pihak dan hilangnya kemerdekaan di pihak lain. Bagi pembangunan maka sosiologi dapat dimanfaatkan untuk memberikan data sosial pada tahap – tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi proses pembangunan.
c. Faktor Hukum Dilihat dari perspektif hukum kualitas hidup penduduk ditentukan oleh tingkat kesadaran penduduk dalam melaksanakan hukum yang berlaku (Hartono, 1993:182-190). Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakatnya, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap hukum berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu (Simorangkir, 1959:6). Hukum adalah kumpulan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah (Utrecht, 1961:12) Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma, berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku, ia merupakan cerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide itu adalah mengenai keadilan (Arrasjid, 1988:18) Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa, hukum tersebut memiliki beberapa unsur pokok yaitu: a. Hukum mengandung unsur peraturan atau kaedah-kaedah mengenai tingkah laku manusia (masyarakat) b. Peraturan tersebut diadakan oleh suatu badan resmi yang berwajib
c. Peraturan tersebut merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil dan tidak adil apa yang dianggap baik dan buruk d. Peraturan itu bersifat memaksa e. Peraturan itu mempunyai sangsi yang tegas dan nyata Bellefroid sebagaimana dikutip Erwin, mengemukakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu: keadilan dan faedah. Tujuan hukum menurut beliau adalah menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum dan atau kesejahteraan untuk kepentingan semua anggota masyarakat (Rudy, 1983:10). Beberapa kaidah hukum yang perlu dipahami dalam rangka menyiapkan penduduk yang berkualitas dari segi hukum antara lain: a) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang hendaknya bisa mengharapkan, bahwa orang lain akan memperlakukannya sebagai individu secara penuh, b) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang bisa mengharapkan, bahwa dia akan menerima bagian dari produk Nasional yang memungkinkannya untuk hidup sesuai dengan martabatnya sebagai manusia, c) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang bisa mengharapkan, bahwa dirinya tidak akan diperlakukan secara diskriminatif, d) dalam suatu masyarakat Pancasila, setiap orang bisa mengharapkan, bahwa dia tidak akan diganggu dan dihambat dalam penghayatan agamanya, e) dalam masyarakat Pancasila, setiap orang bisa mengharapkan, bahwa keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak akan diambil dengan mempertimbangkan secara bersungguh-sungguh pendapat mereka yang akan terkena putusan tersebut (Rahardjo, 1993:172-181). Setiap anggota masyarakat mempunyai kebutuhan dan kepentingan, ada kebutuhan yang sama dan ada pula yang bertentangan. Dengan adanya kepentingan yang berbeda – beda
di dalam masyarakat tersebut, maka sering terjadi pertentangan – pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Supaya kepentingan – kepentingan yang saling bertentangan itu tidak menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat, supaya kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara, maka perlu adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk – petunjuk hidup atau peraturan – peraturan serta tata tertib yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut sebagai suatu tatanan dalam masyarakat. Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan di dalam masyarakat. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan oleh karena itu pula ia berupa norma dan merupakan suatu gejala sosial yang berarti bahwa tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum. Tatanan di dalam masyarakat ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat memaksa, hal ini adalah untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat, peraturan yang demikian inilah yang disebut atau dinamakan peraturan hukum atau tatanan hukum. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pembangunan berkelanjutaan adalah suatu proses dalam upaya mencapai tingkat kesempurnaan hidup penduduk dalam upaya memperoleh
rasa
sejahtera,
kebahagiaan,
kepuasan
di
dalam
hidup
dengan
mempertimbangkan generasi masa kini dan generasi mendatang yang dapat dilihat melalui faktor-faktor ekologi, sosial, politik dan hukum. Pada faktor ekologi mencakup pengaturan tata ruang, pengendalian pencemaran, pemanfaatan sumberdaya secara optimal, pelestarian fungsi-fungsi ekologis. Pada faktor sosial mencakup: memiliki gaya hidup sederhana, mengurangi kesenjangan. Pada faktor politik mencakup melakukan kehidupan berdemokrasi,
dan transparan. Faktor hukum mencakup: pemahaman terhadap hukum, penghayatan terhadap hukum dan pengamalan terhadap hukum.
2.3.2. Kualitas Fisik Penduduk Dahlan menyebutkan bahwa kualitas yang diperlukan agar manusia Indonesia dapat mengembangkan keserasian dengan lingkungan, dibutuhkan kualitas fisik, meliputi: kualitas yang bersifat lahiriah dan badaniah yang menyangkut ciri-ciri kualitas bobot, tinggi badan, dan kebugaran yang dikaitkan dengan kesegaran jasmani, kesehatan, serta daya tahan fisik, sehingga dapat melakukan kegiatan yang produktif (Dahlan, 1985:4). Meadows mendefinisikan kualitas fisik sebagai tingkat kesehatan dan usia, ketenagakerjaan, pendidikan, kebebasan dan keamanan, budaya dan tanggapan terhadap dasar kehidupan yang lebih baik serta etika (UNESCO, 1992:2). OECD (1982) dalam (Hasansyah, 1997:22) menunjukkan kualitas fisik terdiri dari: pendapatan, perumahan, lingkungan, stabilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja, faktor tersebut dapat dikatakan sudah cukup memadai dalam arti sudah mencakup banyak hal sebagai cerminan dari kualitas hidup fisik. Masalahnya adalah indikator tersebut belum operasional dan masih mendapat kesulitan dalam pengukurannya. United Nation Development Program (UNDP) menyusun indikator kualitas fisik dan Human Development Report 1993, dalam hal ini UNDP menyusun tingkat pembangunan manusia (Human Development Index) dengan tiga indikator utama, yaitu usia harapan hidup, kondisi tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan (UNDP, 1993:100).
Dari uraian di atas dapat dipahami, yang termasuk dalam pembahasan kualitas hidup fisik adalah tingkat kualitas kehidupan seseorang atau penduduk dalam mencari kebahagiaan lahiriah, yang dilihat melalui: 1) faktor ekonomi 2 faktor kesehatan), dan 3)
faktor
pendidikan.
a. Faktor Ekonomi Kemakmuran yang berkaitan dengan aspek ekonomi dapat diukur dengan tingkat produksi (GDP), pengeluaran (GNP) dan pendapatan (GNY). Pada tingkat produksi dapat dilihat berdasarkan kemampuan masyarakat dalam menghasilkan sesuatu yang bernilai atau kualitas tenaga kerja, kesempatan untuk berperan dalam proses produksi. Perbedaan kemampuan dalam tingkat berproduksi menimbulkan ketidakmerataan dalam menikmati pembangunan,
kesenjangan
yang
melebar
akhirnya
melahirkan
krisis
ekonomi
(Sumodiningrat, 1999:6-12). Pendapatan adalah kesuluruhan dari penerimaan individu atau keluarga yang diterima dalam waktu tertentu (perbulan, pertahun) yang meliputi pendapatan usaha, pendapatan lainlain dan pendapatan luar biasa (Damsar,1997:103-104). Makin besar tingkat pendapatan rumah tangga, makin cenderung proporsi pengeluaran untuk bahan makanan makin kecil dan kecendrungan proporsi pengeluaran diarahkan untuk barang bukan makanan (Ananta, 1997:103-104). Sebagaimana dikemukakan Bagong, yang termasuk dalam pengeluaran untuk non makanan terdiri dari: pengeluaran untuk perumahan (sewa/kontrak, bahan bakar, penerangan dan air) barang dan jasa (sabun, kosmetik, angkutan, upah pembantu rumah tangga, bacaan dan rekreasi), pakaian, barang tahan lama (meja, kursi, perkakas, alat dapur, alat hiburan, alat
olahraga, perhiasan, kenderaan dan sebagainya). Pengeluaran lainnya terdiri dari (PBB, pajak kenderaan, premi asuransi dan sebagainya) (Bagong, 1996:124). Sisa pendapatan merupakan konsep penting, karena jika ditambahkan pada jumlah pengeluaran akan menunjukkan besarnya pendapatan secara nyata (Wonacott, 1982:133). Bagaimanapun juga sisa pendapatan atau surplus yang dapat ditabung masyarakat merupakan hasil dari perputaran kegiatan ekonomi, yakni produksi, distribusi dan konsumsi (Sumodiningrat, 1999:8) Disamping mutu, kegigihan, ketekunan, giat dan rajin juga sangat mempengaruhi seseorang dalam kemudahan mencari suatu pekerjaan untuk menambah pendapatan, sekaligus akan memberikan kepuasan yang diperoleh (Bagus, 1991:64). Setiap individu mempunyai kebutuhan yang ingin dipenuhi dan aspirasi-aspirasi yang ingin dicapai. Apabila kebutuhan dan atau aspirasi tersebut tidak dapat dipenuhi atau dicapai dengan tetap tinggal di daerahnya yang sekarang, maka kemungkinan individu tersebut akan melakukan migrasi ke daerah lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Bagus, 1999:36). Sesuai dengan keterkaitan antara produksi, pendapatan dan pengeluaran rendahnya produksi dan pendapatan mengakibatkan terbatasnya pengeluaran masyarakat. Pengeluaran biasanya akan terbatas pada kebutuhan pokok dan sedikit yang digunakan untuk memenuhi keperluan kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya yang dirasakan tidak terlalu mendesak. Pada hal jika diamati secara seksama, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan berkaitan dengan rendahnya produktivitas dan pada gilirannya berakibat pada tingkat pendapatan (Sumodiningrat, 1999:13).
Namun demikian pembangunan yang disamakan dengan pertumbuhan ekonomi saja, sama sekali tidak dapat memberikan makna kepada kehidupan sosial, fokus ini sekarang telah membayangi semua pertimbangan, seperti pemerataan, keberlanjutan, kesempatan bekerja, dan hubungan sosial (Lourdes, 2000:57). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Suatu daerah ditinjau dari aspek ekonomi, mempunyai 3 pengertian yaitu: a. suatu daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi di dalam berbagai pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama seperti segi pendapatan perkapitanya, sosial budaya, geografisnya dsb. Daerah ini disebut daerah homogen. b. suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi daerah. Daerah ini disebut daerah nodal. c. suaru daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada dibawah suatu administrasi tertentu seperti satu propinsi, kabupaten, kecamatan dsb didasarkan pada pembagian administratif suatu negara. Daerah ini disebut daerah perencanaan atau daerah administrasi.
Tabel 2.1. Paradigma Baru Teori Pembangunan Daerah KOMPONEN Kesempatan Kerja
KONSEP LAMA Semakin banyak perusahaan semakin banyak peluang kerja
Basis Pembangunan
Pengembangan sektor ekonomi
Aset-aset Lokasi
Keunggulan komparatif didasarkan pada aset fisik
Sumberdaya pengetahuan
Ketersediaan Angkat kerja
KONSEP BARU Perusahaan harus mengembangkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi penduduk daerah Pengembangan lembaga-lemabaga ekonomi baru Keunggulan kompetitif didasarkan pada kualitas lingkungan Pengetahuan sebagai pembangkit ekonomi
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptatakn nilai sumberdayasumberdaya swasta secara bertanggung jawab. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami perkembangan, maka perkembangan itu akan membawa pengaruh atau imbas ke daerah lain. Campur tangan pemerintah (perencanaan) untuk pembangunan daerah-daerah mempunyai manfaat yang sangat tinggi disamping mencegah jurang kemakmuran antara daerah, melestarikan kebudayaan setempat dapat juga menghindarkan perasaan tidak puas masyarakat. Kalau masyarakat sudah tenteram dapat membantu terciptanya kestabilan dalam
masyarakat terutama kestabilan politik, pada kestabilan dalam masyakarat merupakan syarat mutlak jika suatu negara hendak mengadakan pembangunan negara secara mantap. Menurut Blakely (1989), ada 6 tahap dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah yaitu: 1. Pengumpulan dan Analisis Data, meliputi : a. Penentuan Basis Ekonomi b. Analisis Struktur Tenaga Kerja c. Evaluasi Kebutuhan Tenaga Kerja d. Analisis Peluang dan Kendala Pembangunan e. Analisis Kapasitas Kelembagaan 2. Pemilihan Strategi Pembangunan Daerah, meliputi : a. Penentuan Tujuan dna Kriteria b. Penentuan Kemungkinan-kemungkinan Tindakan c. Penyusunan Strategi 3. Pemilihan Proyek-proyek Pembangunan, meliputi : a. Identifikasi Proyek b. Penilaian Viabilitas Proyek 4. Pembuatan Rencana Tindakan, meliputi : a. Prapenilaian Hasil Proyek b. Pengembangan Input Proyek c. Penentuan Alternatif Sumber Pembiayaan d. Identifikasi Struktur Proyek
5. Penentuan Rincian Proyek, meliputi : a. Pelaksanaan Studi Kelayakan Secara Rinci b. Penyiapan Rencana Usaha (Busisness Plan) c. Pengemabangan, Monitoring dan Pengevaluasian Program 6. Persiapan Perencanaan Secara Keseluruhan dan Implementasi, meliputi : a. Penyiapan skedul Implementasi Rencana Proyek b. Penyusunan Program Pembangunan Secara Keseluruhan c. Tergeting dan Marketing Aset-aset Masyarakat d. Pemasaran Kebutuhan Keuangan Selanjutnya peran pemerintah sangat diperlukan dalam pembangunan daerah. Ada 4 peran yang diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu : 1. Entrepreneur Pemerintah daerah bertanggungjawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis seperti BUMD yan harus dikelola lebih baik sehingga secara ekonomis menguntungkan. 2. Koordinator Untuk menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan didaerahnya. Dalam peranya sebagia koordinator, pemerintah daerah bisa juga melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha dan masyarakat dalam penyusunan sasaran-sa\saran konsistensi pembangunan daerah dengan nasional (pusat) dan menjamin bahwa perekonomian daerah akan mendapatkan manfaat yang maksimum daripadanya.
3. Fasilitator Pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan didaerahnya, hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik. 4. Stimulator Pemerintah daerah dapat menstumulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan yang telah ada tetap berada di daerah tersebut.
b. Faktor Kesehatan Penduduk yang berkualitas terdiri dari keluarga yang harmonis, yaitu keluarga yang sehat dalam arti fisik, psikologis, dan spiritual yang didefinisikan oleh Worlt Health Organization (WHO) dalam Mariati Sukarni sebagai keadaan yang sempurna baik dari segi fisik, mental maupun kesejahtraan sosial. Seseorang dikatakan sehat tidak hanya terlepas dari penyakit dan kelemahan, tetapi juga mampu menjalankan aktivitas kehidupan dan dapat menyesuaikan diri dalam perubahan. Untuk mencegah berbagai
penyakit diperlukan
dukungan masyarakat, sumber alam dan fasilitas yang memadai (Maryati, 1994:38). Ada empat faktor penentu yang dapat meningkatkan derajat kesehatan dalam keluarga, yaitu: 1) faktor bawaan, 2) pelayanan kesehatan yang baik, 3) perilaku, 4) faktor lingkungan, sedangkan upaya-upaya dalam menunjang peningkatan kesehatan dengan cara: pemeliharaan kesehatan, pencegahan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta upaya
penunjang yang sangat dibutuhkan antara lain: kualitas air, suhu, cahaya, energi dan kecukupan gizi (Jhon, 1994:78). Kesehatan adalah prakondisi bagi kelangsungan dan kenikmatan hidup, serta merupakan faktor penting untuk memungkinkan seseorang untuk berperan secara penuh dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Bagi kebanyakan orang kesehatan fisik dan mental merupakan hal terpenting dari apa yang dimaksud dengan kualitas hidup (Lourdes, 2000:16). Kesehatan merupakan kondisi yang mendasar bagi kelangsungan hidup, kesehatan berpengaruh terhadap produktivitas seseorang. Untuk itu, kesehatan keluarga perlu dijaga. Untuk menjaga kesehatan diperlukan keharmonisan, empati, hubungan sosial, penghargaan dan kebiasaan-kebiasaan baik dalam kehidupan (Fried, 1986:69). Teori Lawrence (1980) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam kesehatan ditentukan oleh tiga kelompok besar. Pertama: faktor predisposisi adalah yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu. Kedua: faktor pendukung, yang meliputi tersedianya pelayanan kesehatan dan kemudahan dalam mencapainya. Ketiga: faktor pendorong yang meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan. Sikap petugas yang tidak ramah juga dapat menyebabkan masyarakat enggan untuk datang ke pusat-pusat pelayanan kesehatan. Selain itu kemungkinan petugas kurang aktif dalam mendekati dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga akan berdampak kepada rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat khususnya dibidang kesehatan (Salim, 2003:26-27). Salah satu hal yang terkait dengan kesehatan bayi dan balita adalah mendapat atau tidaknya Air Susu Ibu (ASI) dari ibunya. Oleh karena bayi sangat rentan terhadap kekurangan
gizi, maka pemberian ASI mutlak diperlukan bayi, ASI juga merupakan sumber makanan utama dan terbaik bagi bayi, sedangkan status gizi ibu sebelum dan saat hamil berpengaruh terhadap kecukupan dan kualitas ASI. ASI dapat menurunkan pneumonia karena selain bahan nutrisi, ASI juga mengandung anti infeksi atau bahan imonologik serta bahan-bahan lain yang dapat mencegah infeksi saluran nafas bakteri atau virus (Wibowo, 2005:43) Selain dari pada itu, gizi juga merupakan bagian penting dari kesehatan dan pendidikan, karena gizi adalah landasan terpenting bagi kesehatan seumur hidup (Lourdes, 2000:171). Status gizi dan anak sangat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh status gizi dalam makanan, ada tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga, daya beli keluarga dan kebiasaan makan orang tua terutama ibu (Salim, 2002:28-29). Itulah sebabnya, mengapa dikatakan kesehatan dan pendidikan perempuan atau ibu merupakan satu ukuran atau indikator kesehatan yang paling efektif bagi suatu negara (Lourdes, 2000:172).
c. Faktor Pendidikan Popenoe (1997:221-226), menerangkan bahwa keberadaan seseorang di dalam struktur organisasi kemasyarakatan merupakan status yang mempunyai pengertian khusus. Status tersebut adalah aspek pendidikan, aspek kekayaan, aspek kekuasaan, dan aspek martabat. Pada status pendidikan, maka status seseorang atau keluarga dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan yang sedang dan telah dialaminya (Hopkins, 1978:463).
Teori struktural-fungsional yang merupakan consensus, atau Equilibrium Theory memberikan gambaran bahwa pendidikan sebagai lembaga yang berperan aktif dalam proses perubahan suatu masyarakat, sementara sekolah merupakan masyarakat kecil sebagai agen sosialisasi nilai-nilai moral yang ada dalam kehidupan masyarakat (Ballatine, 1993:7-8). Supriatna (2000 : 97) menyatakan terdapat perubahan sosial dan modernisasi dengan peranan pendidikan dalam rangka empowerment sehubungan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (kualitas hidup). Pernyataan ini dikemukakannya sebagai berikut: Modernization and social change can be achieved only by improving and extending education. Why do the leader of developing countries put so much emphasis on the point? First, you much have education before you can obtain technological and economic progress. To boost food production, to operate faktories, to apply science for improvement of life, or to trade in work markets, a country has to have a large group of well-trained people. Second to unity a collection of people and tribes intonation, you also need education. Man cannot understand their fellow citizens and widen their loyalties beyond the village if they cannot communicate ……third, a political state in modern world can survive only if its official can coordinate administration over large areas ……A people has to learn how to behave so that there can be an effective modern state and society…… Finally, since schools have importance political purpose, we should point out that pupils a indoctrinated.“ (Supriatna, 2000:49). Dalam arti luas, pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetis, yang membentuk pemikiran, karakter atau kapasitas fisik seseorang. Pendidikan tersebut berlangsung seumur hidup, karena harus mempelajari cara berfikir dan bertindak yang baru dalam setiap perubahan besar dalam hidup. Dalam arti sempit, pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata, lembaga-lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non-formal (Manan, 1989:9).
Salah satu dari tiga pandangan superorganik terhadap pendidikan memiliki implikasi bahwa kurikulum mesti dikembangkan atas kajian langsung dari keadaan kebudayaan sekarang dan masa depan. Lebih lanjut dijelaskannya, pendidikan merupakan alat yang digunakan masyarakat untuk melaksanakan kegiatannya sendiri dalam mengejar tujuannya. Bukan masyarakat yang mengontrol kebudayaan melalui pendidikan, namun sebaliknya pendidikan formal dan non formal adalah proses membawa tiap-tiap generasi ke arah pengontrolan system budaya (Manan, 1989:19). 1. Pendidikan Formal. Terlalu kentalnya teori human capital terhadap cara berfikir masyarakat, menyebabkan tumbuhnya sikap yang seolah-olah mengkultuskan pendidikan sebagai lembaga yang mampu mempersiapkan tenaga yang secara langsung dapat dipekerjakan. Hal ini terbukti bahwa penduduk yang berpendidikan tinggi lebih mempunyai kecenderungan untuk bekerja labih baik dalam mengembangkan karir dan menambah penghasilan keluarga (Ananta, 1993:58). Pendidikan memberikan sumbangan secara langsung terhadap pertumbuhan pendapatan nasional melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja. Terdapat relevansi antara pendidikan dan pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas penduduk sebagai potensi utama dalam pembagunan melalui strategi Link and Match yang ditandai: Pertama, semakin tingginya tuntutan dunia tenaga kerja yang sejalan dengan pembangunan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kedua, perubahan dalam struktur dan persyaratan dunia kerja yang semakin kompetitif dan mengandalkan keahlian dalam suatu bidang tertentu, tanpa mengabaikan wawasan dan pengetahuan secara interdisipliner. Ketiga, kecendrungan umum dalam dunia pendidikan adanya perubahan cara berfikir yang
menyangkut pengetahuan, sikap, kemauan, dan keterampilan yang fungsional. Keempat, semakin populernya konsep pengembangan sumber daya manusia dan pendidikan dipandang upaya kuat untuk pengembangan sumber daya manusia berkualitas (Ahmadi, 1994:26). Pendidikan berfungsi menyiapkan salah satu input dalam proses produksi, yaitu tenaga kerja, agar dapat bekerja dengan produktif karena kualitasnya. Hal ini mendorong peningkatan output yang diharapkan bermuara pada kesejahteraan penduduk (Ahmadi, 1994:70). Dari konsep ketenagakerjaan, fungsi pendidikan memiliki dua dimensi penting yaitu dimensi kuantitatif yang meliputi kemampuan sistem/institusi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik atau untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia, dan dimensi kualitatif yaitu penghasil tenaga terdidik yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi tenaga penggerak pembangunan atau sebagai driving force for development (Wardhall, 1991:34).
2. Pendidikan Non-Formal Rivai menjelaskan bahwa pelatihan merupakan bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan diluar sistem pendidikan (non-formal) yang berlaku dalam kurun waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktik dari pada teori. Keterampilan meliputi pengertian physical skill, intelectual skill, social skill, managerial skill (Veithzal, 2005:26). Davis
menjelaskan
bahwa
pelatihan
adalah
proses
untuk
mengembangkan
keterampilan, menyediakan informasi dan membentuk sikap agar dapat bekerja secara lebih efektif dan efisien (Davis, 1998:44).
Gordon menjelaskan hal yang sama tentang pelatihan, yaitu seperangkat aktivitas yang didesain untuk meningkatkan keterampilan individu, pengetahuan atau pengalaman, atau mengubah sikap individu (1996:46). Sedangkan Wagner dan Hollenbeck, menjelaskan bahwa pelatihan adalah mengajarkan karyawan dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang spesifik dalam sebuah organisasi (Hollenbeck, 1995:492). Wexley dan Yukl, menjelaskan bahwa Training and development are terms referring to planned efforts desigedte facilitate the acquisition of relevant skill, knowledge, and attitudes by organizational members. Di sini pelatihan dan pengembangan adalah istilah-istilah yang menyangkut usaha-usaha yang berencana yang diselenggarakan agar dicapai penguasaan akan keterampilan, pengetahuan dan sikap-sikap yang relevan terhadap pekerjaan. Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa pelatihan merupakan proses yang sengaja dirancang untuk memberikan keterampilan maupun pengetahuan serta memperbaiki sikap yang diperlukan pegawai dalam melaksanakan tugas atau job-nya yang bertujuan memperbaiki dan memelihara prestasi kerja masa kini dan mendatang dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Tujuan umum dilaksanakannya pelatihan yaitu untuk, (1) meningkatkan produktivitas; (2) meningkatkan mutu; (3) meningkatkan ketepatan dalam human resource planning; (4) meningkatkan moral kerja; dan (5) menunjang pertumbuhan pribadi (Sikula, 1981:182). Sedangkan Rivai, menjelaskan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan adalah untuk: (1) meningkatkan kuantitas output; (2) meningkatkan kualitas output; (3) menurunkan biaya limbah dan perawatan; (4) menurunkan jumlah dan biaya terjadinya kecelakaan; (5) menurunkan turnover, ketidakhadiran kerja serta meningkatkan kepuasan kerja; dan (6) mencegah timbulnya antipati pegawai (Rivai, 2005:229-230).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian tentang maksud dari kualitas hidup fisik penduduk dalam penelitian ini adalah: sebagai tingkat kualitas kehidupan yang melekat pada seseorang atau penduduk dalam mencapai suatu kebahagiaan, yang dilihat dari tingkat kebutuhan individual yang terkait dengan faktor-faktor: 1) faktor ekonomi, melalui, a. pendapatan rumah tangga, b. konsumsi rumah tangga, c. keadaan tempat tinggal, d. kemudahan dalam berusaha/Mencari pekerjaan. 2) faktor kesehatan, ditandai dengan a. Kemudahan mendapat pelayanan kesehatan, b.Derajat/tingkat sakit c. Status Gizi. 3) faktor pendidikan, yang ditandai dengan adanya, a. pendidikan formal dan b. pendidikan non-formal yang dimiliki penduduk. Agar terjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya dalam pemanfaatan kekayaan alam yang dimiliki perlu bagi setiap penduduk menanamkan pada dirinya etika lingkungan. Etika lingkungan menekankan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan sekitar dan mahluk lain. jadi diperlukan pemikiran lebih jauh dalam konteks hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan yang lebih menekankan nilai moral manusia (Saigo, 1997:26), etika lingkungan sebagai moralitas terhadap lingkungan hidup, yaitu kualitas dalam tindakan (perilaku) manusia yang dilakukan secara sadar terhadap lingkungan hidup, dinilai dari segi baik dan buruk, sehingga etika lingkungan dapat merupakan perilaku manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan melalui pengelolaan lingkungan (Rozy, 1987:107). Etika lingkungan sebagai refleksi moral lingkungan dalam bentuk perilaku mendasarkan dirinya pada nilai-nilai moral lingkungan. Lima nilai moral lingkungan hidup
sebagai dasar etika lingkungan menurut Suseno yaitu: 1) menusia harus menghormati alam, 2) manusia harus mempunyai tanggung jawab khusus terhadap lingkungan lokal dimana manusia berada, 3) manusia harus merasa bertanggungjawab terhadap kelestarian biosfer, 4) etika lingkungan memuat larangan keras untuk merusak, mengotori, dan meracuni. 5) solidaritas dengan generasi mendatang, yaitu berbagi adil sumber daya alam dengan generasi berikutnya (Magnis, 1992:153). Rumusan-rumusan di atas diilustrasikannya dalam bentuk model berikut:
Gambar 2.4. Sistem Model untuk pembinaan manusia dan Lingkungan, berikut interaksi antara manusia dengan lingkungan Sumber: John S. Nimpoeno. Kualitas Manusia dan Masyarakat menurut Disiplin Ilmu Psikologi Sosial dengan Penekanan Pada Alur Pikir Metodologis. dalam Membangun Martabat Manusia. Penyunting Sofyan Effendi, Sjafri Sairin, Alwi Dahlan. (Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 1993). pp. 52
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kualitas keserasian terhadap lingkungan adalah tingkat kesempurnaan atau nilai atau karakteristik seseorang dalam melakukan sesuatu tindakan (berperilaku) terhadap lingkungnnya dengan cara menseimbangkan antara pemakaian lingkungan dengan daya dukungnya melalui aturan dan norma-norma dalam etika lingkungan. Terjadinya krisis multidimensional saat ini, juga menimbulkan kekhawatiran terhadap ancaman yang serius pada persatuan negara dan terjadinya kemunduran dalam melaksanakan etika kehidupan bernegara, hal itu tampak dari komplik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan bernegara (Fernanda, 2003:68). Konsekuensi dari suatu masyarakat yang heterogen adalah kuatnya perasaan prejudice atau prasangka terhadap seseorang atau sekolompok orang. Berbagai konflik horisontal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa di sana terdapat persoalan prejudice baik karena persoalan ras, maupun agama. Berbagai hasil penelitian seperti yang dilaporkan oleh David Krech, Crutchfield, dan Ballachey menunjukkan bahwa prejudice terkait dengan personality, sikap agresi yang disebabkan oleh frustrasi, sikap yang negatif terhadap budaya orang lain. Dalam TAP MPR RI No.VII/MPR/ 2001 tanggal 9 November 2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan, juga disebutkan bahwa: Dalam mewujudkan Visi Indonesia 2020, bangsa dan negara menghadapi tantangan keadaan dan perubahan saat ini dan masa depan, baik dari dalam maupun luar negeri. Pertama pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negera. Kemajuan suku, ras, agama dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang harus diterima dan dihormati. Pengelolaan kemajemukan bangsa merupakan tantangan dalam mempertahankan integrasi dan intergritas bangsa. Penyebaran penduduk yang tidak merata dan pengelolaan otonomi daerah yang menggunakan konsep negara kepulauan sesuai dengan Wawasan Nusantara merupakan tantangan pembangunan daerah dalam lingkup Negara Kesatuan R.I.
Disamping itu pengaruh globalisasi juga merupakan tantangan bagi pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negara. Negara memiiki 3 alat utama yang berperan mengatur atau melindungi lingkungan seperti dengan menerapkan: (1) pajak, (2) pembiayaan (biaya) dan (3) peraturan (undangundang) (Ciras, 1991:492). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian tentang kualitas non-fisik dalam penelitian ini adalah: sebagai tingkat atau derajat kehidupan seseorang atau penduduk yang lebih bersifat batiniah dalam mencari kebahagiaan yang dilhat dari faktor-faktor : 1) kualitas kepribadian yang ditunjukkan melalui a. keseimbangan emosi dan perasaan, b. ketahanan mental, dan c. kreativitas. 2) kualitas keserasian dengan lingkungan yang ditunjukkan dengan adanya a. wawasan lingkungan yang dimiliki, dan b. etika lingkungan. 3) kualitas Masyarakat, yang ditunjukkan dengan adanya a. Kehidupan Bermasyarakat, b. Kualitas kelompok/Lembaga Masyarakat, c. Kualitas Pranata Masyarakat. 4) kualitas bernegara, yang ditandai dengan adanya a. rasa kebangsaan, b. kemandirian, c. menjaga martabat bangsa. Untuk memahami proses psikologik yang mempengaruhi perubahan sikap seseorang. Di bawah ini diberikan suatu model sederhana yang menggambarkan proses-proses yang terjadi dalam diri individu, sebagai bagian situasi yang menyeluruh.
Lingk
Individu
- Objek - Manusia - Benda
- Persepsi - Sikap - Nilai - Motivasi
Perilaku - Berfikir - Memutuskan - Penilaian - Komunikasi
Akibat Menyenangkan atau tidak menyenangkan
Gambar 2.5. Bagan terjadinya proses tingkah laku yang terjadi dalam diri individu
Individu
Tingkah laku yang dimunculkan
Pengamatan Sikap Nilai
Kepuasaan
Rancangan Motivasi
Gambar 2.6. Bagan sikap dan tingkah laku manusia dalam mempengaruhi Individu dalam pembangunan kualitas manusia Sumber: Supriatna. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. (Jakarta: Rineka Cipta. 2000), p 97
Dari kedua bagan di atas dapat dijelaskan bahwa, lingkungan yang terdiri dari Objek dalam hal ini yang dibuat oleh manusia, lingkungan manusia yang menyangkut lingkungan sosial dan lingkungan benda-benda yang memang sudah tertata di alam, Keseluruhan lingkungan ini merangsang individu untuk menimbulkan respon yang menempatkan objek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan, faktor rangsangan ini kemudian mempengaruhi tingkah laku manusia untuk mengelola lingkungannya melalui berfikir, memutuskan, menilai dan berkomunikasi.
Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pertama, pengelolaan lingkungan secara rutin, Kedua, perencanaan dini pengelolaan lingkungan suatu daerah yang menjadi dasar dan tuntutan bagi prencanaan pembangunan, Ketiga, perencana pengeloaan lingkungan berdasarkan perkiraan dampak lingkungan yang akan terjadi sebagai akibat suatu proses pembangunan yang sedang direncanakan, keempat, perencanaan pengelolaan lingkungan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan, baik karena alamiah maupun karena tindakan manusia. Berikut diilustrasikan sebuah model pengelolaan lingkungan yang dijelaskan dalam UU No. 4 Tahun 1982 dan UU No 24 Tahun 1992 Tentang Tata ruang.
Gambar 2.7. Lingkungan hidup sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 4 Tahun 1982 dan UU No 24 Tahun 1992 Tentang Tata ruang. Sumber: Soerjani. Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press, 1987
Betapa pentingnya menumbuhkan sikap yang arif terhadap ketiga bentuk pengelolaan lingkungan hidup untuk sebuah kualitas hidup manusia. Sebagaimana menurut Dahlan, kualitas hidup terbagi ke dalam kualitas fisik dan kualitas non fisik, sedangkan menurut Soejani mengenai peningkatan kualitas hidup penduduk dalam pembangunan, secara jelas diilustrasikan oleh sebagai berikut:
LINGKUNGAN HIDUP ALAM
LINGKUNGAN HIDUP BINAAN
Kelembagaan dan Perundangan
Sumber Daya Alam Non Hayati Sumber Daya Alam Hayati
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Faktor Alam Kebumian
Tenaga Kerja
Sosia Ekonomi Budaya
Pendidikan dan Keterampilan
** SUMBER DAYA MANUSIA
* Modifikasi Suryani ** Kualitas Manusia Menurut Dahlan
KUALITAS FISIK
KUALITAS NON-FISIK
Model Dahlan
Kualitas manusia
Industri
LINGKUNGAN HIDUP SOSIAL
Model Mohamad Soerjani
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Rekadaya
Lingkungan Hidup
*
KUALITAS HIDUP
Sasaran
Gambar 2.8. Model Pembangunan dengan sasaran dan berbagai komponen pendukung, kendala, dan keterbatasannya. Sumber: Soerjani. Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press, 1987
Pengertian lingkungan hidup itu sendiri sebenarnya mencakup lingkungan alam, yang dicoba ditingkatkan mutunya melalui lingkungan buatan. Lingkungan buatan sebagai lingkungan hidup manusia yang telah diubah untuk kesejahtraan penduduk dengan mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lingkungan sosial meliputi hubungan antar manusia dengan lembaga pranata sosial, budaya, serta agama. Untuk itu, pengkajian keterkaitan antara lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial sangatlah menentukan terwujudnya pembangunan berwawasan lingkungan (Setyabudi, 1996:5-10). Dalam upaya membangun, selalu ada kecenderungan kegiatan manusia untuk merubah lingkungannya dalam arti pengelolaan lingkungan, sementara itu perubahan suatu lingkungan akan mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu menguntungkan atau sebaliknya. Dalam kenyataannya, adakalanya perubahan lingkungan melampaui skala perencanaan, akibatnya terjadilah suatu efek lingkungan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Untuk menciptakan mengelola lingkungan hidup yang baik dan sehat apabila organisme yang ada di dalamnya mampu hidup dan berkembang secara normal oleh kondisi serta sumber daya pendukungnya yang harus tetap alami, lingkungan hidup ini dapat tetap di sebut alami selama manusia yang terdapat di dalamnya tidak mendominasi lingkungan hidupnya melalui sikap dan perilaku yang dimunculkan (Soerjani, 1987:8). Manusia yang terdiri dari psikis dan fisik di dalam dirinya terjadi proses yang dapat mempengaruhi dirinya dalam berprilaku, sedangkan perilakunya dapat mempengaruhi kualitas kehidupan melalui kegiatan pembangunan. Berdasarkan relevansi dari kedua bagan teori di atas, merupakan alasan yang mendasari mengapa faktor sikap pengelolaan lingkungan dijadikan sebagai salah satu bahan kajian yang diduga sebagai faktor perantara (intervening
bariable) yang dapat berpegaruh terhadap tinggi rendahnya kualitas penduduk dalam pembangunan berwawasan lingkungan. Pada hakikatnya strategi dan pendekatan pembangunan manusia untuk menumbuhkan prilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Integrasi tersebut merupakan kristalisasi dari faktor-faktor situasional dengan kognisi, keinginan, sikap, motivasi dan responnya (Supriatna, 2000:38). Erich Fromm, melihat, hancurnya tata kualitas kehidupan manusia diakibatkan oleh penekanan aspek materi, baik fisik maupun non fisik dan kurangnya melihat aspek kebutuhan psikologi (Ancok, 1993:26). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gustav seorang psikologi Jerman, mengatakan bahwa, perhatian kepada kehidupan materi dan melupakan faktor psikologis adalah pangkal dari kehancuran kualitas kehidupan manusia (Ancok, 1993:36). Pembangunan yang dilakukan selama ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Namun demikian, semua kegiatan pembangunan akan menyebabkan perubahan terhadap lingkungan, atau disebut dengan dampak lingkungan. Dampak lingkungan dapat bersifat positif dan negative, tergantung dari perubahan yang diakibatkannya terhadap lingkungan, tidak disadari, sikap pembangunan yang masih bersifat parsial dan cenderung menekankan pada pembangunan fisik di berbagai tempat justru berakibat tidak terkandalinya perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan binaan dan bahkan dapat menurunkan mutu lingkungan hidup (Setyabudi, 1996:7). Demikian pula dengan keluaran pembangunan dapat menciptakan perubahan kualitas masyarakat yang mencakup aspek kognisi, afeksi dan skil yang berkenaan dengan taraf kehidupannya.
Campbell dan Hapler (1965) menyatakan sikap sebagai suatu yang konsisten dalam menjawab
objek-objek
sosial
(1995:34).
Pendapat
Cardno
yang
dikutip
Mar’at
mengemukakan, sikap merupakan kecenderungan bereaksi terhadap objek-objek sosial dimana interaksi dengan situasi dan variabel-variabel lainnya yang membimbing dan mengarahkan tingkah laku nyata dari individu (Mar’at, 1988:10-11). Lebih lanjut dikemukakannya sikap memiliki tiga komponen yaitu komponen kognisi yang berhubungan dengan pikiran, gagasan dan keyakinan. Komponen afeksi yang berhubungan dengan perasaan. Komponen tingkah laku (konasi), merupakan kecenderungan bertingkah laku yang sesuai dengan sikap. Para psikologi sosial beranggapan bahwa ketiga komponen di atas adalah selaras dan konsisten. Apabila seseorang dihadapkan pada suatu objek sikap, maka ketiga komponen tersebut mempolakan arah sikap yang beragam. Sebaliknya, jika salah satu dari ketiga komponen sikap tersebut tidak konsisten maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan mekanisme perubahan sikap, sehingga konsisten tersebut dapat tercapai kembali. Prinsip inilah yang banyak digunakan individu dalam memanipulasi sikap guna mengalihkan bentuk sikap tertentu menjadi bentuk lain (Mar’at, 1988:35). Lain halnya pendapat yang dikemukakan Kelman (1958 dalam Brigham) sebagaimana dikutip Azwar, mengemukakan tiga proses perubahan sikap yakni: 1) kesediaan (compliance) adalah perubahan sikap seseorang akibat pengaruh dari orang lain dikarenakan seseorang tersebut berharap memperoleh reaksi atau tanggapan positip dari pihak lain. 2) identifikasi juga merupakan perubahan sikap yang dilakukan melalui peniruan dari sikap seseorang atau keolompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk yang menyenangkan. 3) internalisasi yaitu perubahan sikap akibat dari menuruti pengaruh sikap seseorang/kelompok lain dimana dipercayai memiliki
kesesuaian dengan system nilai yang dianutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sikap adalah aspek psikologi yang muncul dari dalam diri seseorang dalam bentuk derajat afektif, derajat kognitif dan derajat konatif yang didasari oleh kesiapan mental dalam menanggapi objek-objek yang didorong oleh kecenderungan/ keinginan untuk bertindak dalam melakukan sesuatu yang beragam yang dipercayai memiliki kesesuaian dengan sistem nilai yang dianut dalam menempatkan dirinya terhadap lingkungan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dipandang perlu mengikutsertakan aspek psikologi terutama yang berkenaan dengan sikap dalam melihat setiap perubahan yang terjadi pada diri penduduk akibat dari adanya pengaruh aspek-aspek lingkungan, Adapun yang dimaksud dengan sikap dalam hal ini adalah sikap penduduk tentang pengelolaan lingkungan baik itu berupa pengelolaan lingkungan alam, pengelolaan lingkungan buatan dan pengelolaan lingkungan sosial, untuk memungkinkan agar tidak terjadinya kekhawatiran sebagaimana pendapat yang dikemukakan Erich dan Gustav sebelumnya yaitu terjadinya penurunan kualitas manusia dan kualitas lingkungan akibat dari lebih dominannya memperhitungkan faktor materi terutama faktor fisik dan non-fisik dari pada faktor psikologis. Dalam hubungannya dengan sikap tentang pengelolaan lingkungan, keselarasan dan konsistensi sikap dipengaruhi oleh Lingkungan, pengalaman peribadi, kebudayaan, orang lain yang diangap penting, media masa (informasi), institusi atau lembaga pendidikan maupun lembaga serta faktor emosi dalam diri individu, sehingga salah satu atau ketiga komponen afektif, kognitif dan konatif secara bersamaan menimbulkan mekanisme yang konsisten. Berdasarkan konsep variabel yang telah dibangun sebelumnya maka sikap masyarakat dalam pengelolaan lingkungan adalah suatu ekspresi dari intensitas perasaan secara positif dan negatif yang dimunculkan dalam bentuk kreativitas dalam pengelolaan lingkungan yang
dimiliki, intensitsitas perasaan dimaksud didasarkan oleh faktor kognitif, faktor afektif dan faktor konatif tentang pengelolaan lingkungan lingkungan alam, pengelolaan lingkungan buatan dan pengelolaan lingkungan sosial. Adapun batasan dari faktor-faktor yang dimaksud: kognitif yang dimunculkan dalam bentuk pikiran, gagasan, dan keyakinan. 2) afektif yang dimunculkan dalam bentuk pujian, dukungan, dan simpati, 3) konatif yang dimunculkan dalam bentuk peniruan, dan kepuasan perasaan.
2.3.3. Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Tujuan/sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup. Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkukangan hidup disbutkan beberapa sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup yang antara lain :
1. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. 2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup. 3. Terjaminya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan. 4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup 5. Terkendalinya pemamfaatan sumber daya secara bijaksana 6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan pencemaran dan /atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari peran masyarakat dimana setiap orang/masyarakat mempunyai hak yang sama atas kondisi lingkungan hidup yang layak dan baik untuk tinggal dan berkembang biak. Jadi dalam hal ini Negara harus meyediakan sarana lingkungan yang baik untuk seluruh masyarakat baik masyarakat desa sampai masyarakat kota. Seringkali mengenai perkembangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup masyarakat tertinggal mengenai informasi tersebut, padahal masyarakat juga berhak menegetahui informasi apa saja tentang lingkungan hidup terutama disekitar masyarakat itu tinggal. Pemerintah terkesan bertindak sendiri dalam mengatur tata ruang kota, pembangunan tempat-tempat tertentu tanpa melibatkan masyarakat, padahal masyarakat mempunyai hak atas semua itu. Dan masyarakat seringkali menjadi korban atas kebijaksanaan yang tanpa ada unsur masyarakat. Dan masyarakat juga berhak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, karena masyarakat adalah bagian dari lingkungan tersebut. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian, menjaga lingkungan dari kerusakan yang sering kali disebabkan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab yang demi menguntungkan diri sendiri dan mengorbankan dan mengakibatkan penderitaan pada umat manusia yang berkepanjangan, dengan ulah manusia yang menggunduli hutan mengakibatkan persediaan air di alam menjadi terbatas dan setiap musim kemarau selalu mengalami kekeringan, dan setiap musim hujan selalu kebanjiran. Dan dalam hal ini setiap orang baik itu pejabat Negara, pengusaha dan masyarakat harus menjaga kelestarian lingkungan demi masa
depan. Dalam peransertanya pengelolaan lingkungan setiap orang harus memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan tersebut. Setiap orang adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam pengelolaan lingkungan, tanpa terkecuali masyarakat desa, pelosok maupun kota, karena ruang lingkup lingkungan bukan hanya ditempat-tempat tertentu saja namun seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan masyarakat akan efektif sekali jika peranya dalam mengontrol pengelolaan lingkungan yang ada. Adapun implementasi dari peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi beberapa bentuk implementasinya : 1. Meningkatkan kemandiran, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. 2. Menumbuhkembaangkan kemandirian dan kepeloporan masyarakat 3. Menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial 4. Memberikan saran pendapat 5. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
a. Konsep Pemberdayaan Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar
dekade 70-an dan terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996) Pranarka dan Vidhyandika (Hikmat, 2004) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap
dan
pendapat
antideterminisme
yang
yang
berorientasi
diaplikasikan
pada
pada
jargon
dunia
antisistem,
kekuasaan.
antistruktur,
Pemahaman
dan
konsep
pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Prijono Dan Pranarka (1996) membagi dua fase penting untuk memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai Aufklarung atau Enlightenment, dan kedua, lahirnya aliran-aliran pemikiran eksistensialisme, phenomenologi, personalisme
yang
lebih
dekat
dengan
gelombang
Neo-Marxisme,
Freudianisme,
strukturalisme dan sebagainya. Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).
Power adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Bachrach dan Baratz (1970) membuktikan bahwa power adalah konsep rasional (rational concept). Dalam pandangan mereka, power dilakukan yang dilakukan A hanya dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela melakukan pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi (kekuasaan atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemudian membuat bangunanbangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik, hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan system alternatif yang menemukan proses pemberdayaan. Sistem alternatif memerlukan proses “empowerwent of the powerless.” Namun empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi eksistensi manusia (Prijono & Pranarka, 1996). Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan
sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak.
Ife
(1995)
mengemukakan
bahwa
pemberdayaan
mengacu
pada
kata
“empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehuingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya. MacArdle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang secara konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekauatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment. Simon menjelaskan bahwa pemberdayaan suatu aktivitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (selfdetermination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja, dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat. Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang
dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan. Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh daya atau kemampuan. Makna kata "pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya . b. Proses Pemberdayaan Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.
Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat. Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memi liki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya. Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi
dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab. Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul. Watson (Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial: a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-Distrust) b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of Outsiders)
c. Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam
program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri. Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan
perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan. Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya. Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson (Suprijatna, 2000) yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki vialibilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas memiliki serta menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama;
(6) komunitas memberi makna kepada anggota; (7) adanya heterogenitas/beda pendapat; (8) pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan (9) adanya konflik dan manajemen konflik. Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi yang harus dimiliki masyarakat yaitu, sebagai berikut: (1) mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui, dan (4) mampu bekerjasama dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial. Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan-keterampilan
agar dapat mengambil peran di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004). Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan. Pada tahap ini pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan agar masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisinya. Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dapat berlangsung baik, demokratis, efektif dan efisien, jika tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapanketerampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan jika telah menyadari akan pentingnya pening katan kapasitas. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan. Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam
lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja. Serangkaian tahapan yang ditempuh melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif. Tahapan Afektif Tahapan Kognitif Tahapan Tahapan Konatif Psikomotorik Belum merasa Belum memiliki Belum memiliki Tidak berprilaku sadar dan peduli wawasan ketrampilan dasar membangun pengetahuan Tumbuh rasa Menguasai Menguasai Bersedia terlibat kesadaran dan pengetahuan dasar keterampilan dasar dalam kepedulian pembangunan Memupuk Mengembangkan Mengembangkan Berinisiatif untuk semangat pengetahuan dasar keterampilan dasar mengambil peran kesadaran dan dalam kepedulian pembangunan Merasa Mendalami Memperkaya Berposisi secara membutuhkan pengetahuan pada variasi mandiri untuk kemandirian tingkat yang lebih keterampilan membangun diri tinggi dan lingkungan Sumber : Sulistiyani (2004)
2.3.4. Teori Perencanaan Wilayah Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun dalam perkembangannya perencanaan tidak dikembangkan berdasarkan teori perencanaan, tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan kehidupannya. Oleh karena itu, ilmu ini sangat diperlukan dalam merencanakan sebuah kota, karena dalam teori
perencanaan membahas definisi, pemahaman konteks, praktek-praktek, dan proses-proses dalam perencanaan kota, dan bagaimana pertumbuhannya dari asal-usul sejarah dan kebudayaan masing-masing. Teori perencanaan telah berkembang sejak lama dan mengalami banyak perubahan seiring perkembangan waktu. Perencanaan sendiri telah mengalami banyak perkembangan sejak Patrick Geddes (1925) mencetuskannya untuk pertama kali. Kebutuhan manusia akan teori tunggal mengenai suatu perencanaan atau biasa disebut dengan teori perencanaan mengakibatkan pengaruh para ilmuan di bidang ilmu sosial maupun ilmu pengetahuan alam semakin dilibatkan dalam praktek perencanaan, riset dan pendidikan. Kita membutuhkan pengetahuan dasar dalam mempelajari teori perencanaan. Pengetahuan dasar itu dapat kita peroleh dengan mengetahui sejarah perkembangan teori perencanaan mulai pra revolusi industri
sampai
dengan
masa
Corbusier
yang
memunculkan
banyak
aliran.
Teori perencanaan mulai berkembang pesat setelah terjadinya revolusi industri yang mengakibatkan adanya kemunduran kota. Hal ini merupakan sebuah perubahan yang sangat besar dalam kehidupan kota. Revolusi industri sendiri telah menciptakan kota-kota industri dimana kota tersebut kepentingan buruh sangat besar. Setelah itu, mulai muncul sebuah gagasan dari Patrick Geddes tentang analisa terperinci dari pola pemukiman dan lingkungan ekonomi lokal yang merupakan awal dari lebih berkembangnya sebuah teori perencanaan. Penataan ruang merupakan proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karenanya dalam proses penataan ruang, tidak terbatas pada proses perencanaan saja. Tetapi, meliputi aspek pemanfaatan yang merupakan wujud operasional rencana tata ruang serta proses pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam proses
pengendalian pemanfaatan memiliki mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan tujuan penataan ruang wilayah. Tujuan Penataan Ruang di Indonesia:
Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya.
Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas guna:
Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Pada hakekatnya evaluasi rencana tata ruang adalah suatu usaha untuk menilai antara pelaksanaan rencana tata ruang pada kurun waktu tertentu setelah disahkan dengan perkembangan menurut kenyataan yang terjadi (antara keinginan dengan kenyataan). Dengan demikian perubahan yang terjadi dapat dinilai untuk menentukan perlakuan selanjutnya terhadap rencana kota tersebut (perlu peninjauan kembali atau tidak).
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 18 ayat 1, evaluasi merupakan salah satu kegiatan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang selain dari pelaporan dan pemantauan. Menurut penjelasan Pasal 18 ayat 1, bentuk evaluasi adalah usaha untuk menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana tata ruang. Jadi evaluasi di sini, hanya terbatas untuk lingkup pemanfaatan ruang saja tidak termasuk untuk kegiatan perencanaan tata ruang. Kalau kita simak tujuan penataan ruang tersebut di atas, sangat jelas tercantum kata berwawasan lingkungan, tapi tetap saja ada pelanggaran lingkungan. Apakah perlu penyamaan persepsi berwawasan lingkungan? Jangan-jangan yang dimaksud berwawasan lingkungan selama ini adalah berwawasan lingkungan kotor (rusak, bau, tidak teratur, preman dll.). Buat area permukiman di wilayah resapan air. Sudah tahu itu wilayah resapan air, tapi tetap saja keluar ijin. Celakanya ini menjadi kebiasaan bahkan ‘budaya’ di seantero wilayah Indonesia. Lama-lama Indonesia ‘terlikuidasi’ karena ulahnya sendiri. Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan (Sudarmadji, 2008). Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola
lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut : 1). Ego sektoral dan daerah Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. 2). Tumpang tindih perencanaan antar sektor Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain. 3).Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
4). Keterbatasan sumber daya manusia Harus diakui bahwa di dalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumber daya yang mumpuni. Sumber daya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup. 5). Eksploitasi sumber daya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi Sumber daya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian, eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya. 6). Lemahnya implementasi paraturan perundangan Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
7). Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah di dalam pemberian sanksi hukum. 8). Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, sehingga perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup. 9). Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun (Sudarmadji, 2008). Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah – daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi
lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempa bumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri (Sudarmadji, 2008). Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumber daya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah (Sudarmadji, 2008). a.
Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP
No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah: a. Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
b. Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan. c. Membangun hubungan interdependensi antar daerah d. Menetapkan pendekatan kewilayahan (Sudarmadji, 2008).
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1). Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah. 2). Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya sumber daya alam untuk mendukung
kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif 3). Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan. 4). Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten. 5). Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihakpihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan (Sudarmadji, 2008). b. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
Regulasi Perda tentang Lingkungan.
Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders.
Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.
Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.
Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (Sudarmadji, 2008).
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Sudarmadji, 2008). Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan (Sudarmadji, 2008). Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang
penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang - undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya. Undang - undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non – departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, seperti Undangundang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur (Sudarmadji 2008).
2.3.5. Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Menurut Saefulhakim (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan
fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan Pengembangan/ pembangunan/ development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development). Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan
wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan. Kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Menurut Akil (2003), dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebabakibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah. Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir di Indonesia. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. (Akil, 2003)
Selanjutnya (Akil, 2003) menjelaskan, Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep pola dan struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium bahkan mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris diatas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Berpijak pada pengertian diatas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial. Namun lebih
dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik. Mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya. Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002). Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah : 1. Sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerahdaerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003). Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesehateraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan (Angga, 2011). Globalisasi juga ditandai dengan adanya revolusi teknologi informasi, transportasi dan manajemen. Revolusi tersebut telah menyebabkan batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi tidak jelas, terjadinya polarisasi pembangunan daerah, terbentuknya kota dunia (global cities), sistem kota dalam skala internasional, terbentuknya wilayah pembangunan antarnegara (transborder regions), serta terbentuknya koridor pengembangan wilayah baik skala lokal, nasional, regional dan internasional (Angga, 2011).
Di kawasan Asia globalisaasi telah menciptakan polarisasi pembangunan yang sangat signifikan dalam bentuk megaurban region yang terjadi di kota-kota metropolitan di sepanjang pantai timur Tokyo, Seoul, Shanghai, Taipei, Hongkong, Guangzhou, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta, bandung Hingga Surabaya. Dalam skala antarnegara terjadi pemusatan di Bohai (Cina – Korea), Hongkong- Guangzhou, dan SIJORI (Singapura-Johor-Riau). Di Indonesia polarisaisi terpusat di sepanjang Sumetera (Medan-Palembang), dan Jawa (Jakarta-Bandung-Semarang- Surabaya) (Angga, 2011). Koridor mega urban ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya terutama kabupaten, kecamatan dan desa-desa disekitarnya yang memiliki hubungan ekonomi dan pasar yang cukup kuat. Namun perubahan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang memadai akibat keterbatasan pemerintah. Oleh karena itu, pihak swasta dan lembaga lainnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan (Angga, 2011). Berbagai dampak yang diakibatkan dari globalisasi ekonomi terhadap pembangunan lokal secara sederhana sebagai berikut : 1). Berubahnya orientasi pembangunan yang harus bertumpu pada peningkatan individu, kelompok dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi persaingan global, sehingga memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive), mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan. 2). Semakin pentingnya peran lembaga non pemerintah seperti, pihak swasta, masyasrakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan. 3). Terjadinya peningkatan urbanisasi di pinggiran kota besar dibandingkan di dalam kota besar itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Mc.Gee pada tahun 1980-
an. Batas antara kawasan perkotaan dan pedesaan semakin tidak jelas akibat pertumbuhan ekonomi, Dimana kegiatan perkotaan telah berbaur dengan perdesaaan dengan intensitas pergerakan investasi, ekonomi dan penduduk semakin tinggi (Angga, 2011). Atas dasar uraian di atas, pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal (Angga, 2011). Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan (Angga, 2011). Pembangunan atau pengembangan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, dalam arti (development) bukanlah suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh sumber daya alam yang dimiliki, akan tetapi lebih ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya dalam hal apa yang dapat mereka perbuat dengan apa yang mereka miliki guna meningkatkan kualitas hidupnya dan juga kualitas lingkungannya. Kebijakan nasional penataan ruang secara formal di atas oleh undang – undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, yang kemudian
diperbaharui dengan undang – undang Nomor 27 Tahun 2007 kebijakan tersebut ditujukan untuk penataan ruang nasional yang sudah membaik, secara substansial menyatakan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Jadi pembangunan atau pengembangan itu merupakan perwujudan keinginan untuk menciptakan perbaikan di semua bidang, baik pengembangan fisik maupun non fisik. Berbicara tentang Pengembangan Wilayah, sebetulnya kita harus berbicara tentang pemberdayan sumber daya manusia setempat, dalam hal bagaimana mengelola lingkungan alam yang dengan penguasaan teknogi yang mereka miliki. Pengembangan wilayah itu tidak lain dari usulan untuk mengawinkan secara harmonis antara sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi. Perhatikan gambar berikut :
Sumber Daya Manusia
Pengembangan Wilayah
Sumber Daya Manusia
Teknologi
Gambar 2.9. Hubungan antara Pengembangan Wilayah, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia dan Teknologi.
2.4. Kajian Penelitian yang Relevan Berdasarkan telaah kepustakaan yang telah dikemukakan, juga ditemukan beberapa hasil penelitian yang relevan. Pada mulanya pengukuran terhadap keberhasilan pembangunan dilakukan dengan menggunakan metode Gross National Product (GNP), namun sejalan dengan pesatnya perkembangan penduduk, metode GNP yang biasanya dipergunakan sudah tidak dapat lagi dipergunakan sebagai pengukuran yang diharapkan. Untuk memenuhi permintaan ini, maka dkembangkan suatu metode pengukuran dengan menggunakan Psycal Quality of Life (PQLI). Beberapa hasil penelitian terdahu yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada tabel berikut :
No 1
2
Tabel 2.3. Penelitian Terdahulu Tahun Temuan Penting
Nama Peneliti dan Judul Sarwoko 2005 Mangkoedihardjo, Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir Sebagai Penyangga Perencanaan Tata Ruang Wilayah Daratan Yessy Nurmalasari, 2001 Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat
Tesis ini lebih cenderung mengkaji ekosistem daratan hingga muara sungai tapi tidak mengkaji secara keseluruhan wilayah yang terkait, tesis ini mengahasilkan perencanaan yang mengacu kepada daerah aliran sungai di wilayah daratan hingga muara laut di wilayah pesisir. Konsekuensinya dalam kondisi tertentu diperlukan perencanaan tata ruang wilayah lintas batas wilayah administratif. Menganalisis sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Serta strategi pengembangan masyarakat pantai dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non struktural.
3
A. Ari Dartoyo, Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Berbasis Digital (SK : Kabupaten Cilacap Jawa Tengah)
2004
Menghasilkan : Dari aturan enterprise pengelolaan wilayah pesisir kabupaten, disusun sebuah diagram hubungan relasional antar entitas (ER) yang memperlihatkan hubungan antara hirarki administrasi wilayah kabupaten yang terdiri dari administrasi kabupaten pesisir, administrasi kecamatan pesisir dan administrasi desa/kelurahan pesisir dengan keanekaragam ekosistem pesisir yang ada di dalamnya. Masing-masing entitas merupakan basisdata dengan struktur isian tabel sesuai dengan kebutuhan untuk pengelolaan wilayah pesisir kabupaten. Relasional entitas (ER) akan memudahkan dalam penyusunan bahasa program yang menjelaskan realitas dunia nyata kedalam bahasa program.
4
Yozki Wandri, Analisis Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Pesisir Selatan
2005
Tesis berfokus analisa perkembangan tenaga kerja sub sektor perikanan di kecamatan pesisir Kabupaten Pesisir Selatan, menganalisa status keberlanjutan sumberdaya ikan yyang dimanfaatkan oleh pukat pantai, payang, bagan, pancing tonda dan mini trawl. Kemudian merumuskan alternatif
Sumatera Barat
kebijakan yang harus dilakukan agar pembangunan perikanan tangkap Kabupaten Pesisir Selatan secara optimal serta tetap mempertimbangkan aspek kelestarian.
5
Thamrin,Analisis Keberlanjutan Wilayah Perbatasan Kalimatan Barat – Malaysia untuk Pengembangan Agropolitan.
2007
6
Rompo (2002) Stratgei pengembangan industri pariwisata di Kabupaten Tana Toraja
2002
7
Purwandono, Pemasaran pariwisata di Banda Aceh
2011
8
Ancok dan Faturahman
1980
9
Suryotomo
1992
Mengkaji tingkat keberlanjutan wilayah perbatasan sebagai salah satu program pengembangan agropolitan melalui analisa indeks dan status keberlanjutan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dari lima dimensi keberlanjutan. Analisa ini menggunakan metode Multi Dimensional Scalling (MDS) yang hasilnya dinyatakan dengan bentuk indeks dan status keberlanjutan. Hasil penelitian memberikan arahan strategi peningkatan jumlah investasi, strategi pengembangan sumber daya wisata, strategi pengembangan akomodasi, strategi pengembangan transportasi, strategi promosi dan pemasaran, strategi pengembangan prasarana dan penunjang dan strategi pengelolaan lingkungan. Mengembalikan kepercayaan msyarakat terhadap wisata di Banda Aceh setelah dilanda gempa dan tsunami dengan mencanangkan program “Visit Banda Aceh 2011”, hasil penelitian strategi yang perlu dilakukan untuk mendukung program melingkupi penyelesaian master plan, strategi kerjasama, pengembangan destinasi pariwisata dengan membuat agenda kegiatan, peningkatan kesadaran wisata bagi masyarakat. Kualitas hidup penduduk menitik beratkan pada segi-segi kesehatan antara lain dengan menggunakan faktor gizi, berat badan, tinggi badan, serta proporsi kematian bayi dan kematian kasar. Menempatkan sektor ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup yang baik di rumah susun. Hasil temuan ini menerangkan antara lain: 1) penghuni rumah susun mempunyai kualitas hidup yang baik dibandingkan yang bukan rumah susun. 2) makin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar pula jumlah pengeluaran penghuni rumah susun dari pada bvukan rumah susun.
Oleh karenanya, menurut dari beberapa pendapat para ahli sebelumnya telah ditemukan bahwa untuk melihat kualitas seseorang harus dilihat dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya seperti kualitas sikap masyarakat dalam pengelolaan lingkungannya.