BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES
2.1 Kalsium Asetat dan Magnesium Asetat Kalsium asetat dan magnesium asetat merupakan garam-garam asetat dimana hidrat yang stabil ada dalam bentuk monohidrat dan tetrahidrat, yang terdiri dari kalsium asetat (Ca(CH3COO)2 . H2O) dan magnesium asetat (Mg(CH3COO)2 . 4H2O), berupa kristal yang larut sangat baik dalam air. Calcium Magnesium Acetate (CMA) biasanya diproduksi dalam perbandingan mol antara Ca:Mg dan merupakan sifat fisika yang penting dalam produksi CMA terutama jika digunakan sebagai deicer. CMA biasanya digunakan sebagai bahan penyerap emisi NOx dari asap pembakaran pabrik dan juga sebagai agen pencairan es yang biasanya menutupi jalan-jalan raya didaerah bersalju dan jalan raya didataran tinggi. Dahulu untuk mencairkan es dimusim salju orang-orang banyak menggunakan garam batu (NaCl), namun pemakainnya sebagai deicer terus meningkat tiap tahunnya yang akhirnya menyebabkan masalah pengkaratan yang serius dan juga menyebabkan kerusakan lingkungan akibat penggunaan yang berlebihan. CMA sebagai garam-garam asetat yang memiliki sifat kimia rendah korosi, tidak mengganggu ataupun merusak vegetasi dan aman bagi lingkungan merupakan solusi yang terbaik untuk mengganti deicer lain yang selama ini merusak lingkungan. Permintaan akan senyawa CMA terus meningkat setiap tahunnya mengingat kegunaannya sebagai deicer sangat dibutuhkan di negara-negara yang mengalami musim dingin bersalju dan dataran tinggi di daerah pegunungan yang bersalju (Leineweber,2002).
2.2
Perkembangan Kalsium Asetat dan Magnesium Asetat Sodium klorida telah digunakan sebagai deicer di jalan dan dataran tinggi di
Amerika Serikat sejak 1930-an. Karena keefektifannya yang menjangkau temperatur yang tinggi, kemudahan penggunaan, dan harga yang murah menjadi deicer jalan
Universitas Sumatera Utara
yang umum. Konsumsi deicer di Amerika Serikat mencapai 4 juta ton pada awal tahun 1960-an dan mencapai nilai tertinggi 12 juta ton pada akhir 1970-an. Tetapi penggunaan berlebih dari zat ini banyak menimbulkan masalah serius seperti masalah korosi, dan juga banyak menimbulkan masalah lingkungan, masalahmasalah utama yang ditimbulkan adalah : •
Kerusakan pada jembatan dan berkaratnya penguat jembatan
•
Korosi pada kendaraan
•
Polusi pada tanah, air tanah, dan habitat perairan
•
Kerusakan pada vegetasi jalan
Pada awal 1970-an telah diteliti secara mendalam untuk meminimumkan efek dari garam pencair jalan dan cara untuk meminimumkan kerusakan. Sebagai hasil dari pengembangan untuk membangun konstruksi jembatan seperti dengan cara penguat yang berlapis epoxy, dan perlindungan katoda, yang diharapkan dapat mengurangi kerusakan pada jembatan. Ukuran untuk mengurangi jumlah garam yang digunakan untuk efek mencairkan telah berhasil diwujudkan, terutama melalui pengembangan teknik aplikasi yang memungkinkan garam ke lokasi yang lebih tepat dan jumlah yang lebih sesuai untuk dapat dikelola. Tetapi hal ini tak dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan penggunaan sodium klorida, dan pencairan deicer alternatif dimulai. Pada 1976, FHWA (pengawas bagian jalan) menemukan suatu zat yaitu Kalsium asetat dan magnesium asetat (CMA). Dimana karakteristik CMA ini memenuhi syarat deicer yang baik, dimana beberapa kelebihan yang dimliki CMA dibandingkan dengan sodium klorida adalah : •
Merupakan deicer yang efektif dan dapat digunakan pada berbagai peralatan
•
Korosi yang lambat pada baja dan logam lainnya
•
Tidak menimbulkan kerusakan pada beton
•
Tidak merusak tanah, air tanah, kesehatan manusia , tanaman, dan kehidupan hewan
•
Tetapi dalam hal ini CMA memiliki harga yang lebih mahal daripada NaCl
Universitas Sumatera Utara
Banyak potensi-potensi lain yang dimiliki oleh CMA yang telah diketahui, seperti dapat digunakan sebagai aditif pada pembakaran batubara, dimana bersifat sebagai katalis dan disaat yang sama berlaku sebagai ”penangkap belerang”, membentuk padatan kalsium sulfat dan secara substansial mengurang sulfur dioksida dalam gas buangan. Batubara telah diimpregnasi dengan CMA sebelum terjadinya pembakaran batubara, dalam hal ini CMA dapat mencegah hujan asam, dan meningkatkan efisiensi dari boiler pembakar batubara (Leineweber, 2002).
2.3
Kegunaan Kalsium Asetat dan Magnesium Asetat Beberapa kegunaan Kalsium asetat dan Magnesium Asetat diantaranya
adalah: 1. Dapat berfungsi sebagai absorber untuk menyerap kandungan SOx dan NOx pada pabrik batubara, sehingga dapat mengurangi gas buangan pada pembakaran batubara yang berupa sulfur dioksida. 2. sebagai de-icer, yaitu sebagai agen untuk mencairkan es atau salju yang menutupi permukaan jalan, sehingga dapat meminimunkan kecelakaan jalan raya yang dapat diakibatkan oleh iklim salju yang banyak dialami oleh negara-negara Eropa dan beberapa negara di-Asia (Leineweber, 2002).
2.4
Asam Asetat Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam
organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C, titik didih sekitar 117,9° C pada tekanan 1 atm, dan pada konsentrasi tinggi akan menimbulkan korosi pada berbagai jenis logam. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat,
Universitas Sumatera Utara
maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1,5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu kala. Cuka dihasilkan oleh berbagai bakteria penghasil asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari pembuatan bir atau anggur. Penggunaan asam asetat sebagai pereaksi kimia juga sudah dimulai sejak lama. Pada abat ke-3 Sebelum Masehi, Filsuf Yunani kuno Theophrastos menjelaskan bahwa cuka bereaksi dengan logam-logam membentuk berbagai zat warna, misalnya timbal putih (timbal karbonat), dan verdigris, yaitu suatu zat hijau campuran dari garam-garam tembaga dan mengandung tembaga (II) asetat. Bangsa Romawi menghasilkan sapa, sebuah sirup yang amat manis, dengan mendidihkan anggur yang sudah asam. Sapa mengandung timbal asetat, suatu zat manis yang disebut juga gula timbal dan gula Saturnus. Akhirnya hal ini berlanjut kepada peracunan dengan timbal yang dilakukan oleh para pejabat Romawi. Pada abad ke-8, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan menghasilkan asam asetat pekat dari cuka melalui distilasi. Pada masa renaisans, asam asetat glasial dihasilkan dari distilasi kering logam asetat. Pada abad ke-16 ahli alkimia Jerman Andreas Libavius menjelaskan prosedur tersebut, dan membandingkan asam asetat glasial yang dihasilkan terhadap cuka. Ternyata asam asetat glasial memiliki banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air, sehingga banyak ahli kimia yang mempercayai bahwa keduanya sebenarnya adalah dua zat yang berbeda. Ahli kimia Prancis Pierre Adet akhirnya membuktikan bahwa kedua zat ini sebenarnya sama. Sejak 1910 kebanyakan asam asetat dihasilkan dari cairan piroligneous yang diperoleh dari distilasi kayu. Cairan ini direaksikan dengan kalsium hidroksida menghasilkan kalsium asetat yang kemudian diasamkan dengan asam sulfat menghasilkan asam asetat (Anonim, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.5
Batu Dolomit Dolomit termasuk rumpun mineral karbonat. Rumus kimia mineral dolomit
dapat ditulis meliputi CaCO3.MgCO3, CaMg(CO3)2 atau CaxMg1-xCO3, dengan nilai x lebih kecil dari satu. Dolomit di alam jarang yang murni, karena umumnya mineral ini selalu terdapat bersama-sama dengan batu gamping, kwarsa, rijang, pirit dan lempung. Dalam mineral dolomit terdapat juga pengotor, terutama ion besi. Dolomit berwarna putih keabu-abuan atau kebiru-biruan dengan kekerasan lebih lunak dari batu gamping, yaitu berkisar antara 3,50 - 4,00, bersifat pejal, berat jenis antara 2,80 - 2,90, berbutir halus hingga kasar dan mempunyai sifat mudah menyerap air serta mudah dihancurkan. Klasifikasi dolomit dalam perdagangan mineral industri didasarkan atas kandungan unsur magnesium, Mg (kimia), mineral dolomit (mineralogi) dan unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Kandungan unsur magnesium ini menentukan nama dolomit tersebut. Misalnya, batu gamping mengandung ± 10 % MgCO3 disebut batu gamping dolomit, sedangkan bila mengandung 19 % MgCO3 disebut dolomit Penggunaan dolomit dalam industri tidak seluas penggunaan batu gamping dan magnesit. Kadang-kadang penggunaan dolomit ini sejalan atau sama dengan penggunaan batu gamping atau magnesit untuk suatu industri tertentu. Akan tetapi, biasanya dolomit lebih disukai karena banyak terdapat di alam (Anonim, 2009).
Proses Produksi Kalsium Asetat dan Magnesium Asetat Untuk memproduksi CMA secara umum dengan menggunakan prinsip reaksi netralisasi antara: a. Asam asetat dengan dolomit CaMg(CO3)2 + 4CH3COOH
(CH3COO)2Ca+ (CH3COO)2Mg + 2CO2 + 2H2O
b. Asam asetat dengan calcite dan dengan magnesit
CaCO3 + 2CH3COOH MgCO3 + 2CH3COOH
(CH3COO)2Ca + CO2 + H2O (CH3COO)2Mg + CO2 + H2O
Universitas Sumatera Utara
c. Asam asetat dengan kalsium hidroksida dan magnesium hidroksida Ca(OH)2 + 2CH3COOH
(CH3COO)2Ca + 2H2O
Mg(OH)2 + 2CH3COOH
(CH3COO)2Mg + 2H2O
d. Asam asetat dengan kalsium oksida dan magnesium oksida CaO + MgO+ 4CH3COOH
Ca(CH3COO)2 + Mg(CH3COO)2 + 2H2O (Leineweber,2002)
Berdasarkan kemungkinan umpan balik bahan baku setelah proses sintesis terjadi, batu dolomit sebagian besar dipisahkan untuk dimasukkan ke dalam reaktor. Proses pemisahan dilakukan dengan menggunakan alat rotary screen berfungsi memisahkan produk dengan batu dolomit berupa padatan kapur yang tidak larut sehingga pada overflow diperoleh produk yang bebas padatan. Sedangkan batu dolomit sebagian dikembalikan ke reaktor dan sisanya dapat dibuang ataupun dicampurkan dengan kalsium magnesium asetat sebagai produk. Jumlah bahan baku yang paling banyak digunakan dalam reaksi pembuatan CMA adalah asam asetat dan tergolong bahan baku yang sangat mahal sehingga dicari alternatif sebagai sumber asam asetat yang dapat mengurangi biaya produksi. Berdasarkan sumber asam asetat maka proses produksi CMA dibagi kedalam tiga bagian yaitu:
1. Proses Konvensional Proses ini menggunakan asam asetat glasial yang disintesis dari minyak tanah atau gas alam. Asam asetat yang diperoleh dengan cara ini tergolong mahal sekalipun dibuat dalam skala besar karena sejumlah besar bahan baku digunakan dalam proses sintesis yaitu hampir 80% fraksi berat asetat dalam CMA. Karena biaya asam asetat adalah kunci yang sangat mempengaruhi biaya produksi CMA, kecilnya kesempatan mengakibatkan cara ini dikesampingkan mengingat pentingnya harga yang lebih rendah dari produksi CMA. Suatu cara sudah pernah diteliti dan sekarang telah dipatenkan dengan mereaksikan asam asetat dengan dolime atau dolomite untuk menghasilkan CMA dan melalui tahap berikutnya yang disarankan untuk menghasilkan produk dalam bentuk flakes atau kristal. Chevron Chemical Co. telah memproduksi CMA-deicer ICE-B-GONTM sejak tahun 1985.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memproduksi CMA dengan cara mereaksikan kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan magnesium hidroksida (Mg(OH)2) dengan asam asetat (CH3COOH) dapat dilakukan tanpa perlakuan khusus karena reaksinya sangat cepat dan bersifat eksotermis, tetapi dilihat dari bahan bakunya, biaya produksi yang dibutuhkan sangat besar dan tidak ekonomis. Penggunaan magnesit dan calcite sebagai bahan baku juga membutuhkan biaya produksi yang cukup besar. Untuk skala yang besar, CMA diproduksi dengan mereaksikan asam asetat dengan batu dolomit. Untuk meningkatkan reaksi maka batu dolomit harus dibakar/dikalsinasi terlebih dahulu di dalam furnace dengan temperatur antara 600OC-900OC, tetapi pembakaran batu dolomit dengan suhu lebih tinggi biasanya dihindari karena dapat menurunkan/memperlambat proses reaksi pembentukan CMA. (Leineweber,2002)
2. Proses Fermentasi Pada proses fermentasi ini menggunakan bahan baku seperti glukosa, jagung atau limbah buangan organik yang diubah menjadi asam asetat dengan memanfaatkan mikroorganisme Clostridium thermoaceticum. Berdasarkan bahan baku, maka diperlukan perlakuan sebelum fermentasi. Pada dasarnya ada tiga cara yang berbeda membuat CMA: a. Asam asetat diekstrak dari fermentasi air daging/kaldu dengan menggunakan liquid-ion
exchanger selanjutnya direaksikan
dengan
batu
dolomit.
Keuntungannya yaitu memperbolehkan pengoperasian secara terus menerus dan dihasilkan yield larutan CMA dengan konsentrasi yang tinggi. Masalah utamanya ialah besarnya biaya untuk alat exchanger dan kenyataan bahwa ekstraksi terjadi pada pH asam dan hanya mengekstrak asam yang tidak terdisosiasi. b. CMA diproduksi secara langsung di dalam fermentor dengan mengatur jumlah dolomit yang ditambahkan ke dalam kaldu sehingga pH sesuai dengan mikroorganisme selama fermentasi. Mengingat konsentrasi akhir yang diharapkan lebih tinggi maka disarankan fermentasi secara batch. Keuntungan cara ini yaitu laju produksi asam asetat lebih tinggi dan memungkinkan investasi modal yang lebih rendah karena peralatan yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan lebih kecil. Masalahnya diantara kesulitan menghasilkan larutan CMA yang stokiometri dari asam asetat encer pada kondisi sekitar pH netral dan terhambatnya pertumbuhan mikroorganisme saat konsentrasi CMA tinggi. Konsentrasi CMA di dalam air kaldu dibatasi sampai 5% berdasarkan persen berat dengan organisme yang ada, karena itu energi yang dibutuhkan cukup besar untuk mendapatkan produk. c. Berpuluh-puluh tahun yang lalu sebelum orang membicarakan CMA dan kegunaannya sebagai deicer, pH fermentasi diatur dengan menggunakan ammonium asetat sehingga dihasilkan larutan encer ammonium asetat. Air kaldu disaring dan kapur atau senyawa basa lainnya ditambahkan sehingga dihasilkan kalsium asetat atau garam asetat lainnya, sedangkan senyawa ammonium sebelumnya terdekomposisi menjadi ammonium hidroksida. Larutan ammonium ini diperoleh kembali melalui scrubing column kemudian larutan dilalukan ke evaporator multi tahap untuk mendapatkan garam asetat kering. Perlu dilakukan penelitian yang lebih jauh lagi untuk menemukan organisme yang lebih baik lagi sehingga laju produksi dan konsentrasi produk lebih tinggi.
3. Proses Alkaline Fusion Proses ini dilakukan berdasarkan penemuan dengan memanaskan bahan buangan berselulosa kedalam larutan alkali berlebih pada suhu 200OC, reaksi yang bersifat eksotermis ini akan mengubah selulosa menjadi asetat (lebih dari 30%), metanol, aseton, karbonat dan oksalat. Proses seperti ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan dari percobaan yang pernah dilakukan diperoleh bahwa yield asetat menurun tajam jika menggunakan larutan logam alkali tanah seperti kalsium dan magnesium daripada logam alkali seperti natrium. Baru-baru ini diperhatikan mulai ada minat untuk mengembangkan proses alkaline fusion (Leineweber, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.7
Dasar-Dasar Pemilihan Proses Pada pra rancangan pabrik pembuatan kalsium magnesium asetat ini dipilih
pembuatan kalsium magnesium asetat dengan proses konvensional dengan pertimbangan-pertimbangan berikut: 1. Konversi asam asetat dan batu dolomit dapat mencapai 95% dimana lebih tinggi dari 2 proses lainnya. 2. Biaya produksi cenderung lebih kecil karena menggunakan peralatan yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses fermentasi dan alkaline fusion. 3. Operasi lebih mudah dan stabil serta lebih aman. 4. Pemeliharaan alat lebih mudah, dan proses lebih sederhana karena pada 2 proses lainnya menggunakan mikroorganisme pengurai yang lebih sulit untu dikontrol (Leineweber,2002).
2.8
Deskripsi Proses (Pembuatan Kalsium Magnesium Asetat dari Asam Asetat dan Batu Dolomit) Umpan berupa batu dolomit alam dalam bentuk bongkahan pertama-tama
diangkut dengan bucket elevator (L-101) dan dihancurkan dengan menggunakan roll crusher (RC-101) sehingga berbentuk butiran, lalu butiran-butiran dolomit tadi dikalsinasi dengan menggunakan furnace (B-101) dengan suhu 900 0C selama 4 jam sehingga kalsium karbonat dan magnesium karbonat terdekomposisi menjadi kalsium oksida dan magnesium oksida. Lalu setelah itu dolomit yang telah terkalsinasi tersebut didiamkan sampai mencapai temperatur kamar. Panas gas buangan yang berasal dari furnace dimanfaatkan kembali untuk menghasilkan steam dengan menggunakan waste heat boiler (E-101). Setelah didiamkan, batu dolomit diangkut dengan screw conveyor (C-101) menuju kedalam tangki pencampur (M101) yaitu untuk melarutkan batu dolomit tersebut dengan asam asetat (kadar ± 80%), setelah itu larutan dialirkan menuju reaktor tangki berpengaduk (CSTR) R-201 sehingga terjadi pembentukan kalsium asetat dan magnesium asetat yang dihasilkan dari reaksi antara asam asetat dan batu dolomit yang bersifat eksotermis , sebagai berikut: CaO + MgO+ 4CH3COOH
Ca(CH3COO)2 + Mg(CH3COO)2 + 2H2O
Universitas Sumatera Utara
Dimana konversi reaksi adalah 95 %.Reaktor dijaga pada suhu 600C dengan dialirkan air pendingin. Larutan yang dihasilkan reaktor berupa larutan kalsium magnesium asetat yang bercampur dengan padatan dolomit yang tidak larut diumpankan ke tangki penampungan filtrat lalu dialirkan ke filter press (FP-201), yaitu untuk memisahkan cairan filtrat dengan padatan-padatan dolomit yang tersisa. Larutan hasil filtrasi dialirkan ke tangki penetralan (TT-205) yang bertujuan untuk membuat
larutan agar mencapai pH 8-9 yaitu dengan menambahkan kalsium
hidroksida (kalsium hidroksida : asam asetat=1:5) dan juga untuk mereaksikan kembali asam asetat yang masih tersisa. Setelah larutan dinetralisasi, cairan diumpankan kedalaman evaporator (E-201), yang bertujuan untuk memekatkan produk kalsium magnesium asetat, evaporator ini akan dialirkan steam pada suhu 1400C yang berasal dari waste heat boiler sehingga suhu dalam evaporator mencapai 1200C. Setelah itu cairan yang telah dipekatkan dialirkan melalui pompa screw menuju ke cooler E-202 hingga mencapai suhu 800C (suhu awal terbentuknya kristal), lalu larutan didinginkan didalam crystallizer hingga mencapai suhu 50 0C untuk menghasilkan kristal kalsium asetat dan magnesium asetat, dimana mother liquor (cairan yang tidak terbentuk menjadi kristal) direcycle kedalam evaporator, selanjutnya kristal dibawa kedalam drum drier untuk menghilangkan kandungan air yang masih tersisa, selanjutnya produk akhir ini diangkut dengan menggunakan screw conveyor C-202 menuju kedalam gudang penyimpanan G-201 didiamkan hingga mencapai temperatur kamar (250C), lalu dilakukan pengemasan.
Universitas Sumatera Utara