BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Stakeholder Theory Stakeholder Theory menunjukkan pemeliharaan hubungan dengan stakeholder yang mencakup semua bentuk hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder perusahaan yang mencakup pekerja, pelanggan, pemasok, dan mitra bisnis perusahaan. Teori stakeholder mengatakan bahwa laporan akuntansi dianggap menjelaskan sebuah strategi untuk mempengaruhi hubungan perusahaan dengan pihak-pihak lain yang berinteraksi dengannya (Fontaine et al, 2006). Freeman dan Evan (1990) mendefinisikan stakeholder sebagai: Any identifiable group or individual who can affect the achievement of an organisation’s objectives, or is affected by the achievement of an organisation’s objectives”.
Berdasarkan teori stakeholder, manajemen perusahaan diasumsikan melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder dan melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut pada stakeholder. Teori ini menyatakan bahwa stakeholder berhak untuk menerima informasi tentang bagaimana aktivitas organisasi mempengaruhi mereka, bahkan ketika mereka memilih untuk tidak menggunakan
31 Universitas Sumatera Utara
informasi tersebut atau bahkan ketika mereka tidak dapat secara langsung memainkan peran yang konstruktif dalam kelangsungan hidup organisasi (Fontaine et al, 2006). Menurut Fontaine et. al (2006), tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajemen perusahaan memahami lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif di antara keberadaan hubunganhubungan di lingkungan perusahaan mereka. Inti seluruh teori ini adalah tentang apa yang akan terjadi ketika korporasi dan stakeholder menjalankan hubungan mereka. Dalam konteks VAICTM, teori stakeholder berargumen bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk diperlakukan adil dan manajer harus mengelola organisasi untuk keuntungan seluruh stakeholder. Melalui pemanfaatan seluruh potensi perusahaan, baik karyawan (human capital), aset fisik (physical capital), maupun structural capital, maka perusahaan akan mampu menciptakan value added bagi perusahaan (dalam hal ini disebut VAICTM). Dengan meningkatkan value added tersebut, kinerja keuangan perusahaan akan meningkat dan pertumbuhan perusahaan makin baik sehingga nilai perusahaan di mata stakeholder akan meningkat.
2.1.2 Resources-Based View (RBV) Pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view) adalah suatu teori yang dikembangkan untuk menganalisis keunggulan bersaing suatu perusahaan yang menonjolkan keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau
32 Universitas Sumatera Utara
perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak berwujud (intangible assets). Resources Based Theory mengemukakan bahwa sumber daya perusahaan adalah heterogen, tidak homogen, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan. Teori RBV memandang perusahaan sebagai kumpulan sumber daya dan kemampuan (Kor dan Mahoney, 2004). Perbedaan sumber daya dan kemampuan perusahaan dengan perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan kompetitif. Asumsi RBV yaitu bagaimana perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan lain untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dengan mengelola sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan perusahaan. Sumber daya perusahaan yang dapat memberi keunggulan kompetitif bagi perusahaan dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu berwujud, tidak berwujud dan kapabilitas sumber daya manusia (Fahy dan Smithee, 1999). Kemampuan menunjukkan apa yang dapat dilakukan perusahaan dengan sumber dayanya. Pendekatan RBV menyatakan bahwa perusahaan dapat mencapai keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan memperoleh keuntungan superior dengan memiliki atau mengendalikan aset-aset strategis baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Menurut (Fahy dan Smithee, 1999) ada empat kriteria sumber daya sebuah perusahaan mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, yaitu:
33 Universitas Sumatera Utara
1. Sumber daya harus menambah nilai positif bagi perusahaan. 2. Sumber daya harus bersifat unik atau langka diantara calon pesaing dan pesaing yang ada sekarang ini. 3. Sumber daya harus sukar ditiru. 4. Sumber daya tidak dapat digantikan dengan sumber lainnya oleh perusahaan pesaing. Dalam RBV, perusahaan tidak dapat berharap untuk membeli atau mengambil keunggulan kompetitif berkelanjutan yang dimiliki oleh suatu organisasi lain, karena keunggulan tersebut merupakan sumber daya yang langka, sukar ditiru, dan tidak tergantikan.
2.1.3 Intellectual Capital 2.1.3.1 Pengertian Intellectual Capital Menurut Stewart (1997), intellectual capital telah dimengerti secara berbeda oleh beberapa kalangan, dipahami oleh beberapa kelompok kecil dan secara formal belum terdapat metode penilaian yang baku. Sebagai sebuah konsep, modal intelektual merujuk pada modal- modal non fisik atau modal tidak berwujud (intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible) yang terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan. Stewart (1997), menjelaskan bahwa IC merupakan:
34 Universitas Sumatera Utara
“The sum of everything everybody in your company knows that gives you a competitive edge in the market place. It is intellectual material – knowledge, information, intellectual property, experience – that can be put to use to create wealth.”
Bontis et al. (2000) dalam Ulum (2008), menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari IC, yaitu: human capital (HC), structural capital (SC), dan customer capital (CC). Menurut Bontis et al. (2000), secara sederhana HC merepresentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. HC merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, dan attitude tentang kehidupan dan bisnis. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa SC meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah database, organisational charts, process manuals, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya. Sedangkan tema utama dari CC adalah pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al. 2000).
35 Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2 Pengklasifikasian Intellectual Capital IFAC (1998 dalam Ulum, 2009:29) mengklasifikasikan intellectual capital dalam tiga kategori, yaitu: (1) Organizational Capital, (2) Relational Capital, dan (3) Human Capital. Tabel berikut menyajikan pengklasifikasian tersebut berikut komponen-komponennya. Tabel 2.1 Klasifikasi Intellectual Capital Organizational Capital Intellectual Property:
Relational Capital Brands
Patents
Customers
Copyrights
Customer loyalty
Design rights
Backlog orders
Trade secret
Company names Distribution channels
Trademarks Business collaborations Service marks
Human Capital Know-how Education Vocational qualification Work-related knowledge Work-related competencies Entrepreneurial spirit, innovativeness, proactive and reactive abilities, changeability Psychometric Valuation
Licencing agreements Infrastructures Assets: Favourable contracts Management philosophy Franchising agreements Corporate culture Management processes Information system Networking system Financial relation
Sumber: IFAC (1998 dalam Ulum, 2009:29)
36 Universitas Sumatera Utara
Banyak para praktisi yang menyatakan bahwa modal intelektual (intellectual capital) terdiri dari tiga elemen utama (Stewart 1997, Sveiby 1997, dan Bontis 2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003:38-39) yaitu: 1. Human Capital Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Disinilah tercipta sumber inovasi dan kemajuan suatu perusahaan, tetapi modal manusia merupakan komponen intellectual capital yang sulit diukur. Human Capital merupakan tempat sumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi, dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human Capital merupakan kemampuan perusahaan secara kolektif untuk menghasilkan solusi yang terbaik berdasarkan penguasaan pengetahuan dan teknologi dari sumber daya manusia yang dimilikinya. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. Menurut Bontis et al. (2000), HC merepresentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. HC merupakan kombinasi dari genetic inheritance, education, experience, and attitude tentang kehidupan dan bisnis. Human capital ini yang nantinya akan mendukung structural capital dan capital employed ( dalam Ulum, 2008).
37 Universitas Sumatera Utara
2. Structural Capital / Organizational Capital Structural Capital merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang berkaitan dengan usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual perusahaan yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu memiliki intelektualitas yang tinggi, tetapi jika perusahaan memiliki sistem operasi dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Bontis et al. (2000), Structural Capital meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. Dalam hal ini termasuk adalah database, organisational charts, process manuals, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya dalam (dalam Ulum, 2008). 3. Relational Capital / Costumer Capital Elemen ini merupakan komponen intellectual capital yang memberikan nilai nyata bagi perusahaan. Relational capital merupakan hubungan harmonis yang dimiliki oleh perusahaan dengan pihak di luar perusahaan yaitu yang berasal dari para pemasok yang berkualitas, pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan
38 Universitas Sumatera Utara
perusahaan, hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun kerjasama rekan bisnis. Relational capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan dalam meningkatkan kerjasama bisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua pihak, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan. 2.1.3.3 Pengukuran Intellectual Capital Penelitian tentang intellectual capital telah menjamur sehingga mengubah baik bentuk maupun cakupannya (Tan et al. 2007 dalam Ulum, 2009:48). Penelitian juga telah mengarah kepada sejumlah rerangka untuk mengklasifikasikan dan mengukur konsep intellectual capital. Petrash (1996) mengembangkan model klasifikasi yang dikenal dengan value platform model. Model ini mengklasifikasikan intellectual capital sebagai akumulasi dari human capital, organisational capital dan customer capital. Edvinsson dan Malone (1997) mengembangkan the Skandia Value Scheme, yang mengklasifikasikan intellectual capital ke dalam structural capital dan human capital. Haanes dan Lowendahl (1997) mengelompokkan intellectual capital suatu perusahaan ke dalam competence dan relational resources. Model yang dikembangkan Lowendahl (1997) memperbaiki model di atas dan membagi kategori kompetensi dan rasional menjadi dua sub-group (Tan et al. 2007 dalam Ulum, 2009:48): 1. individual; dan
39 Universitas Sumatera Utara
2. collective . Stewart (1997 dalam Ulum, 2009:48) mengklasifikasikan intellectual capital ke dalam tiga format dasar, yaitu: 1. human capital 2. structural capital 3. customer capital The Danish Confederation of Trade Unions (1999) mengelompokkan intellectual capital sebagai manusia, sistem dan pasar. Leliaert et al. (2003) mengembangkan the 4-Leaf model , yang mengelompokkan intellectual capital ke dalam human, customer, structural capital dan strategic alliance capital (Tan et al. 2007 dalam Ulum, 2009:48). Metode pengukuran intellectual capital dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori (Tan et al. 2007 dalam Ulum, 2009:49), yaitu: 1.
Kategori yang tidak menggunakan pengukuran moneter; dan
2.
Kategori yang menggunakan ukuran moneter. Berikut adalah daftar ukuran intellectual capital yang berbasis moneter (Tan et
al. 2007 dalam Ulum, 2009:49): a.
The Balance Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1992)
b.
Brooking’s Technology Broker method (1996)
c.
The Skandia IC Report method oleh Edvinssion dan Malone (1997)
40 Universitas Sumatera Utara
d.
The IC-Index dikembangkan oleh Roos et al. (1997)
e.
Intangible Asset Monitor approach oleh Sveiby (1997)
f.
The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia (2000)
g.
Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay (2000)
h.
The Ernst & Young Model (Barsky dan Marchant, 2000) Sedangkan model penilaian intellectual capital yang berbasis moneter adalah
(Tan et al. 2007 dalam Ulum, 2009:49): a.
The EVA and MVA model (Bontis et al. 1999)
b.
The Market-to-Book Value model (beberapa penulis)
c.
Tobin’s q method (Luthy, 1998)
d.
Pulic‟s VAIC™ Model (1998, 2000)
e.
Calculated intangible value (Dzinkowski, 2000)
f.
The Knowledge Capital Earnings model (Lev dan Feng, 2001)
2.1.3.4 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) Sama halnya seperti definisi intellectual capital, sampai dengan saat ini belum terdapat kesamaan pendapat diantara para peneliti mengenai komponen modal intelektual (intellectual capital). Banyak peneliti luar negeri yang telah melakukan penelitian dalam pengukuran komponen modal intelektual, baik secara literatur maupun penerapan langsung pada perusahaan.
41 Universitas Sumatera Utara
VAICTM merupakan metode yang dikembangkan oleh Pulic pada tahun 1997 yang didesain untuk menyajikan informasi mengenai value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). Menurut Pulic (1998), VA adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation) (dalam Ulum, 2008). Selain itu, Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) juga merupakan alat manajemen pengendalian yang memungkinkan organisasi untuk memonitor dan mengukur kinerja intellectual capital dari suatu perusahaan. VA dihitung sebagai selisih antara output dan input. Nilai output (OUT) mempresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan untuk dijua di pasar, sedangkan input (IN) meliputi seluruh beban yang digunakan perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa dalam rangka menghasilkan revenue. Menurut (Tan et al, 2007), hal penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan tidak termasuk dalam IN. Beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN karena karyawan berperan penting dalam proses penciptaan nilai (value creation) yang tidak dihitung sebagai biaya (cost) (dalam Ulum, 2008).
42 Universitas Sumatera Utara
Komponen utama dari VAICTM yang dikembangkan Pulic tersebut dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA – Value Added Capital Employed), human capital (VAHU – Value Added Human Capital), dan structural capital (STVA – Structural Capital Value Added). 1. Value Added Capital Employed (VACA) VACA adalah indikator untuk value added yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital terhadap value added perusahaan. VACA adalah perbandingan antara value added (VA) dengan model fisik yang bekerja (CA). Dalam proses penciptaan nilai, intelektual potensial yang direpresentasikan dalam biaya karyawan tidak dihitung sebagai biaya (input). Pulic mengasumsikan bahwa jika satu unit dari CA menghasilkan return yang lebih besar pada sebuah perusahaan, berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CA (dana yang tersedia) (Tan et al., 2007:79 dalam Ulum 2008). 2. Value Added Human Capital (VAHU) VAHU mengindikasikan berapa banyak Value Added (VA) dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja pegawai (Tan et al., 2007:79 dalam Ulum 2008). Human capital merepresentasikan kemampuan perusahaan dalam mengelola modal pengetahuan individu organisasi yang dipresentasikan oleh karyawannya sebagai aset strategic perusahaan karena pengetahuan yang mereka miliki. Hubungan antara VA dengan HC mengindikasikan HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan.
43 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan konsep RBT, agar dapat bersaing perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Selain itu, perusahaan harus dapat mengelola sumber daya yang berkualitas tersebut dengan maksimal sehingga dapat menciptakan value added dan keunggulan kompetitif perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. 3. Structural Capital Value Added (STVA) Structural Capital Value Added (STVA) menunjukkan kontribusi modal struktural yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari value added perusahaan. Dalam model yang dikembangkan Pulic ini, STVA dihitung dengan membagi structural capital (SC) dengan value added (VA). Dalam model Pulic, SC diperoleh dari VA dikurangi dengan HC. STVA menunjukkan kontribusi modal struktural dalam penciptaan nilai semakin kecil kontribusi HC dalam penciptaan nilai maka akan semakin besar kontribusi SC (Tan et al., 2007:80 dalam Ulum, 2008).
2.1.4 Kesehatan Bank 2.1.4.1 Tinjauan Tentang Kesehatan Bank Berdasarkan Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank wajib memelihara tingkat kesehatannya sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas, serta aspek lain yang berkaitan
44 Universitas Sumatera Utara
dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, penilaian tingkat kesehatan bank merupakan penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian aspek permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas terhadap resiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas meterialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional. Dengan semakin meningkatnya kompleksitas usaha dan profil resiko, bank perlu mengindentifikasikan permasalahan yang mungkin timbul dari operasional bank. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia antara lain dapat digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Penggolongan tingkat kesehatan bank dibagi dalam empat kategori yaitu : sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat, namun sistem pemberian nilai dalam
45 Universitas Sumatera Utara
menetapkan tingkat kesehatan bank didasarkan pada “reward system” dengan nilai kredit antara 0 sampai dengan 100, yakni sebagai berikut : Tabel 2.2 Nilai Kredit Penggolongan Tingkat Kesehatan Bank Nilai Kredit Predikat 81-100 Sehat 66 - < 81 Cukup Sehat 51 - < 66 Kurang Sehat 0 < 51 Tidak Sehat Sumber : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 Menurut Susilo dkk (2000 : 22-23), kesehatan suatu bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan maupun untuk memenuhi semua kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan yang berlaku. Adapun kegiatannya, meliputi : 1. Kemampuan untuk menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan modal sendiri. 2. Kemampuan mengelola dana. 3. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat. 4. Kemampuan untuk memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal, dan pihak lain. 5. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku. 2.1.4.2 Arti Penting Kesehatan Bank
46 Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana layaknya manusia, dimana kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupannya. Tubuh yang sehat akan meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan lainnya. Begitu pula dengan perbankan harus selalu dinilai kesehatannya agar prima dalam melayani nasabahnya. Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari beberapa segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat, sehingga Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina bank-bank dapat memberikan arahan atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan dihentikan kegiatan operasinya. Ukuran untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah dibuat oleh Bank Indonesia. Sedangkan bank-bank diharuskan untuk membuat laporan baik bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai seluruh aktivitasnya dalam suatu periode tertentu. Penilaian kesehatan bank dilakukan setiap tahun, apakah ada peningkatan atau penurunan. Bagi bank yang kesehatannya terus meningkat tak jadi masalah, karena itulah yang diharapkan dan suatu upaya untuk mempertahankan kesehatannya. Akan tetapi bagi bank yang terus menerus tidak sehat, mungkin harus mendapatkan pengarahan atau sanksi dari Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina bankbank.
47 Universitas Sumatera Utara
Bank Indonesia dapat menyarankan untuk melakukan perubahan manajemen, merger, konsolidasi, akuisisi, atau malah dilikuidasi keberadaannya. Bank akan dilikuidasi apabila kondisi bank tersebut dalam kondisi yang sangat parah atau benarbenar tidak sehat. 2.1.4.3 Metode CAMEL
Menurut Kasmir (2002 : 185-186) , salah satu alat untuk mengukur kesehatan bank adalah dengan analisis CAMEL. Unsur-unsur penilaian dalam analisis CAMEL adalah sebagai berikut : 1. Capital Penilaian didasarkan kepada permodalan yang dimiliki oleh salah satu Bank. Salah satu penilaian adalah dengan metode CAR (Capital Adequacy Rasio) yaitu dengan cara membandingkan modal terhadap aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR). 2. Assets Penilaian didasarkan kepada kualitas aktiva yang dimiliki Bank. Rasio yang diukur ada 2 macam yaitu : a. Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif. b. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan.
48 Universitas Sumatera Utara
3. Management Penilaian didasarkan kepada manajemen permodalan, manajemen aktiva, manajemen rentabilitas, manajemen likuiditas dan manajemen umum. Manajemen bank dinilai atas dasar 250 pertanyaan yang diajukan. 4. Earning Penilaian didasarkan kepada rentabilitas suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan kepada 2 macam yaitu : a. Rasio laba terhadap total asset (Return on Assets) b. Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). 5. Liquidity Untuk menilai likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan kepada 2 macam rasio yaitu : a. Rasio jumlah kewajiban bersih Call Money terhadap aktiva lancar dan yang termasuk aktiva lancar adalah Kas, Giro pada BI, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) yang sudah diendos oleh bank lain.
49 Universitas Sumatera Utara
b. Rasio antara kredit terhadap dana yang diterima oleh Bank. Adapun rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio profitabilitas yaitu net profit margin (NPM) dan loan to deposit ratio (LDR).
a. Net profit margin (NPM) Rasio yang mengacu kepada pendapatan operasional bank yang terutama berasal dari kegiatan pemberian kredit yang dalam praktiknya memiliki berbagai risiko, seperti risiko kredit (kredit bermasalah dan kredit macet), bunga (negative spread), kurs valas (jika kredit diberikan dalam valas), dan lain-lain. b. Loan to deposit ratio (LDR) Rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank.
2.1.5 Perbankan Syariah Berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan, pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Namun, ditinjau dari sudut pandang hukum, ruang lingkup pengertian perbankan itu
50 Universitas Sumatera Utara
masih bersifat umum sehingga belum sampai pada kesimpulan apakah jenis kegiatan usaha yang dilakukan di lembaga perbankan tersebut halal atau haram. Karena itu untuk menjamin kehalalan kegiatan usaha perbankan, maka dalam operasionalnya harus menggunakan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian lembaga perbankan yang kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah maka dapat dikatakan sebagai perbankan syariah (Susanto, 2008). Dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (2007:5) implementasi yang sesuai dengan paradigma dan asas syariah harus memenuhi karakteristik danpersyaratan sebagai berikut : 1. Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha. 2. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib). 3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas. 4. Tidak mengandung unsur riba. 5. Tidak mengandung unsur kezaliman. 6. Tidak mengandung unsur maysir. 7. Tidak mengandung unsurgharar. 8. Tidak mengandung unsur haram. 9. Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat
51 Universitas Sumatera Utara
pada kegiatan usaha tersebutsesuai dengan prinsipal-ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk). 10. Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungansemua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad. 11. Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar). 12. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah). Islam mengajarkan segala sesuatu yang baik dan memberikan manfaat bagi manusia, sehingga Islam juga disebut sebagai agama fitrah atau yang sesuai dengan sifat dasar manusia. 2.1.5.1 Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara Bank Syariah dengan Bank pada umumnya, atau yang biasa dikenal dengan Bank Konvensional.
52 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Perbedaan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional No
1
Uraian
Landasan Operasional
2 Peran dan Fungsi Bank
3
Resiko Usaha
Bank Konvensional
Bank Syariah
a. Prinsip materialisme (bebas nilai). b. Komoditi yang diperdagangkan adalah uang. c. Instrumen imbalan terhadap pemilik uang ditetapkan dimuka menggunakan bunga. a. Sebagai penghimpun dana masyarakat dan meminjamkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit dengan imbalan bunga. b. Sebagai penyedia jasa pembayaran. c. Menerapkan hubungan debiturkreditur antara bank dengan nasabah.
a. b. c.
Resiko bank tidak ada kaitannya dengan resiko debitur dan sebaliknya. Antara pendapatan bunga dengan beban bunga dimungkinkan terjadi selisih negatif.
Dihadapi bersama antara bank dan nasabah. Tidak mengenal negative spread (selisih negatif).
d. a. b. c.
d.
Prinsip syariah (tidak bebas nilai). Uang hanya sebagai alat tuka Dilarang menggunakan sistem bunga Menggunakan cara bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi riil. Sebagai penerima dana titipan nasabah. Sebagai manajer investasi. Sebagai investor -sebagai penyedia jasa pembayaran dan tidak bertentangan dengan syariah. Sebagai pengelola dan kebajikan, ZIS -menerapkan hubungan. kemitraan (investor timbal balik pengelola investasi).
No
Uraian
Bank Konvensional
Bank Syariah
4
Sistem Pengawasan
Tidak ada nilai-nilai religius yang mendasari operasional sehingga aspek moralitas seringkali dilanggar.
Ada dewan pengawas syariah, sehingga operasional bank syariah tidak menyimpangdari syariah.
Sumber : Hosen,et al. 2008 (Data diolah, 2013) Dari penjelasan tabel 2.4 dapat disimpulkan bahwa bank syariah sangatlah berbeda dengan bank konvensional. Ada kekhasan beberapa sisi yang dimiliki bank syariah yang menjadi pembeda dengan perbankan konvensional maupun lembaga keuangan dan perusahaan pada umumnya. Lembaga-lembaga Islam seperti bank
53 Universitas Sumatera Utara
syariah di sisi lain setidaknya secara teoretis merupakan perwujudan dari sistem ekonomi Islam yang didirikan untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi kusus yang sejalan dengan gagasan membangun keadilan (Hameed et al., 2004). Dengan perbedaan dan kekhasan tersebut maka akan diperlukan cara yang berbeda dengan bank konvensional dalam mengukur kinerja agar lebih sesuai dan sejalan dengan tujuan pengembangan lembaga syariah. Salah satu hal yang menjadi perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional adalah cara mendapatkan keuntungan bank. Pada sistem Bank Syariah menggunakan sistem bagi hasil. Sedangkan pada Bank Konvensional menggunakan sistem riba atau bunga. Tabel 2.5 Perbandingan Bunga dan Bagi Hasil Bunga Bagi Hasil 1. Penentuan bunga dibuat pada waktu 1. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil akad dengan asumsi harus selalu untung. dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi. Bunga
Bagi Hasil
2. Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. 3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. 4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang „boming”. 5. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
3. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. 4. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. 5. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
6. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
54 Universitas Sumatera Utara
Sumber : Antonio, 2001 (Data, diolah 2013) 2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa peneliti menggunakan VAICTM, kinerja keuangan dan faktor – faktor yang mempengaruhinya telah dilakukan para peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian tersebut sebagai berikut: Tabel 2.6 Penelitian Terdahulu tentang Hubungan Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan No
Peneliti (Tahun)
Variabel Penelitian dan Metode Penelitian
Hasil Penelitian
1.
Ulum et al. (2008)
a. Variabel terikat: Kinerja keuangan (ROA, ATO, GR ). b. Variabel bebas: IC (VAIC™) dan ROGIC. c. Sampel: Bank di Indonesia tahun 2004-2006. d. Alat analisis: Partial Least Square (PLS).
a. VAIC™ berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan masa depan. b. Rata-rata pertumbuhan IC (ROGIC) tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa depan.
2.
Benny Kuryanto dan Muchamad Syafruddin (2008)
a. Variabel terikat: Kinerja keuangan (ROE, EPS dan ASR). b. Variabel bebas: IC (VAIC™) dan ROGIC. Variabel Penelitian dan Metode Penelitian
a. VAIC™ berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. b. Rata-rata pertumbuhan IC (ROGIC) tidak berpengaruh Hasil Penelitian
c. Sampel: Perusahaan Indonesia yang terdaftar di BEI tahun 2003-2005. d. Alat analisis: Partial Least Square (PLS). a. Variabel terikat: Kinerja keuangan (CAMEL) (CAR, RORA, NPM, ROA,BOPO, LDR) Pertumbuhan perusahaan(GR)
positif terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa depan.
No
Peneliti (Tahun)
3.
Kharisma Iman Sari dan Barbara Gunawan
a. VAIC™ berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. b. VAIC™ berpengaruh positif
55 Universitas Sumatera Utara
(2011)
4.
Bambang Parto Kusumo (2012)
5.
Luluk Muhimatul dan Hairida Hapsari (2012)
6.
Khaerunnisa Said (2012)
No
Peneliti (Tahun)
b. Variabel bebas: IC (VAIC™) c. Sampel: Perusahaan di BEI tahun 2007-2009. d. Alat analisis: Partial Least Square (PLS). a. Variabel terikat: Kinerja keuangan (PERF, CAR, DER, ATO, ROI, ROE). Pertumbuhan perusahaan(AG, EG). b. Variabel bebas: IC (VAIC™) dan ROGIC. c. Sampel: Perusahaan manufaktur, jasa, dagang dan property listed dan go public di BEI serta ICMD 2006-2009. d. Alat analisis: Partial Least Square (PLS). a. Variabel terikat: Kinerja keuangan (ROE, EPS, MBV). b. Variabel bebas: IC (VAIC™) dan ROGIC. c. Sampel: Perusahaan Publik (Non-Keuangan) di Indonesia tahun 2005-2008. d. Alat analisis: Partial Least Square (PLS). a. Variabel: CAMEL (CAR, KAP, PPAP, NPM, ROA, BOPO, NCM-CA) b. Sampel: PT. Bank Syariah Mandiri (Periode 2001-2010) c. Alat analisis: Statistik Deskriptif
Variabel Penelitian dan Metode Penelitian
terhadap pertumbuhan perusahaan. c. Kinerja keuangan perusahaan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan perusahaan. a.
b.
VAIC™ berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pertumbuhan perusahaan, dan nilai pasar perusahaan. Rata-rata pertumbuhan IC (ROGIC) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pertumbuhan perusahaan, dan nilai pasar perusahaan.
a. VAIC™ berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. b. VAIC™ berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan masa depan perusahaan. c. Rata-rata pertumbuhan IC (ROGIC) tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa depan. a. CAMEL tahun 2001 bernilai 82.92 (Sehat). b. CAMEL tahun 2002 bernilai 80.47 (Sehat). c. CAMEL tahun 2003 bernilai 92.47 (Sehat). d. CAMEL tahun 2004 bernilai 72.43 (Cukup Sehat). e. CAMEL tahun 2005 bernilai 74.67 (Cukup Sehat)
Hasil Penelitian f. CAMEL tahun 2006 72.94 (Cukup Sehat) g. CAMEL tahun 2007 73.95 (Cukup Sehat) h. CAMEL tahun 2008 74.76 (Cukup Sehat) i. CAMEL tahun 2009 74.71 (Cukup Sehat)
bernilai bernilai bernilai bernilai
56 Universitas Sumatera Utara
CAMEL tahun 2010 bernilai 74.68 (Cukup Sehat)
Sumber: Data sekunder yang telah diolah, (2014) Keterangan: ATO : Asset Turn Over BOPO : Biaya Operasioanal terhadap Pendapatan Operasional CAR : Capital Adequacy Ratio CTA : Cost to Asset DER
: Debt Equity Ratio
ROA : Return on Asset ROE : Return on Earning RORA : Return on Risk Asset NPM : Net Profit Margin PERF : Company’s Performance
57 Universitas Sumatera Utara
2.3 Kerangka Konseptual Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka model kerangka konseptual dapat dilihat sebagai berikut
Intellectual Capital (VAIC) VACA (X1) NPM
H1
VAHU
(Y1) (X2) LDR STVA
H2
(X3)
(Y2)
Sumber : Data sekunder, (2014)
Gambar 2.1 Model Kerangka Konseptual Kerangka konseptual penelitian ini mencoba mencari hubungan Intellectual Capital menggunakan metode VAIC™ dengan indikator Value Added Human Capital (VAHU), Value Added Capital Employed (VACA), dan Structural Capital Value Added (STVA) berpengaruh terhadap kesehatan bank dengan indikator net profit margin (NPM) dan loan to deposit ratio (LDR). Dalam pengembangan hipotesis yang akan dikemukakan pada bagian selanjutnya, dikemukakan suatu hipotesis yang mengandaikan bahwa terdapat
58 Universitas Sumatera Utara
hubungan positif antara Value Added Human Capital (VAHU), Value Added Capital Employed (VACA), dan Structural Capital Value Added (STVA) terhadap net profit margin (NPM) dan loan to deposit ratio (LDR) perbankan syariah di Indonesia (go public dan non go public).
2.4 Hipotesis Hipotesis adalah hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Sekaran, 2007:164). Berdasarkan perumusan masalah dan konseptual sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini, sebagai berikut: 1. Value Added Human Capital (VAHU), Value Added Capital Employed (VACA), dan Structural Capital Value Added (STVA) berpengaruh signifikan terhadap net profit margin (NPM) perbankan syariah go public dan non go public di Indonesia. 2. Value Added Human Capital (VAHU), Value Added Capital Employed (VACA), dan Structural Capital Value Added (STVA) berpengaruh signifikan terhadap loan to deposit ratio (LDR) perbankan syariah go public dan non go public di Indonesia.
59 Universitas Sumatera Utara