9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Stakeholder theory Teori yang mendasari penelitian ini adalah stakeholder theory. Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang dianggap powerfull. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam mengungkapkan atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan. Dalam pandangan teori stakeholder, perusahaan memiliki stakeholders, bukan sekedar shareholder (Riahi-Belkaoui, 2003). Kelompok-kelompok
‘stake’
tersebut,
menurut
Riahi-Belkaoui,
meliputi
pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, kreditor, pemerintah, dan masyarakat. Konsensus yang berkembang dalam konteks teori stakeholder adalah bahwa laba akuntansi hanyalah merupakan ukuran return bagi pemegang saham (shareholder), sementara value added adalah ukuran yang lebih akurat yang diciptakan oleh stakeholders dan kemudian didistribusikan kepada stakeholders yang sama (Meek dan Gray, 1988). Value added yang dianggap memiliki akurasi lebih tinggi dihubungkan dengan return yang dianggap sebagai ukuran bagi shareholder. Sehingga dengan demikian keduanya (value added dan return) dapat menjelaskan kekuatan teori stakeholder dalam kaitannya dengan pengukuran kinerja organisasi.
10
Untuk menjelaskan hubungan VAICTM dengan nilai pasar perusahaan, teori stakeholder dipandang dari kedua bidangnya, baik bidang etika (moral) maupun bidang manajerial. Bidang etika berargumen bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk diperlakukan secara adil oleh organisasi, dan manajer harus mengelola organisasi untuk keuntungan seluruh stakeholder (Deegan,2004 dalam Badingatus, 2010). Bidang manajerial dari teori stakeholder berpendapat bahwa kekuatan stakeholder untuk mempengaruhi manajemen korporasi harus dipandang sebagai fungsi dari tingkat pengendalian stakeholder atas sumber daya yang dibutuhkan organisasi (Watts dan Zimmerman, 1986)
2.1.2 Resources based theory/resources based view (RBV) Belakangan ini muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Ini dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak berwujud (intangible assets). Resources Based Theory dipelopori oleh Penrose (1959) dalam Wahdikorin (2010) yang mengemukakan bahwa sumber daya perusahaan adalah heterogen, tidak homogen, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan. Teori RBV memandang perusahaan sebagai kumpulan sumber daya dan kemampuan (Penrose 1959; Wernerfelt, 1984 dalam Wahdikorin, 2010). Perbedaan sumber daya dan kemampuan perusahaan dengan perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan kompetitif (Peteraf, 1993 dalam Wahdikorin,2010). Asumsi RBV
11
yaitu bagaimana perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan lain untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dengan mengelola sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan perusahaan. Pendekatan RBV menyatakan bahwa perusahaan dapat mencapai keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan memperoleh keuntungan superior dengan memiliki atau mengendalikan asetaset strategis baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Empat kriteria sumber daya sebuah perusahaan mencapai keunggulan
kompetitif yang
berkelanjutan, yaitu: (a) sumber daya harus menambah nilai positif bagi perusahaan, (b) sumber daya harus bersifat unik atau langka diantara calon pesaing dan pesaing yang ada sekarang ini, (c) sumber daya harus sukar ditiru, dan (d) sumber daya tidak dapat digantikan dengan sumber lainnya oleh perusahaan pesaing (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992 dalam Wahdikorin, 2010). Barney (1991) menyatakan bahwa dalam RBV, perusahaan tidak dapat berharap untuk membeli atau mengambil keunggulan kompetitif berkelanjutan yang dimiliki oleh suatu organisasi lain, karena keunggulan tersebut merupakan sumber daya yang langka, sukar ditiru, dan tidak tergantikan.
2.1.3 Knowledge based view (KBV) Pandangan berbasis pengetahuan perusahaan/knowledge based view (KBV)
adalah
ekstensi
baru
dari
pandangan
berbasis
sumber
daya
perusahaan/resource-based view (RBV) dari perusahaan dan memberikan teoritis yang kuat dalam mendukung modal intelektual. KBV berasal dari RBV dan
12
menunjukkan bahwa pengetahuan dalam berbagai bentuknya adalah kepentingan sumber daya (Grant, 1996b). Asumsi dasar teori berbasis
pengetahuan
perusahaan berasal dari pandangan berbasis sumber daya perusahaan. Namun, pandangan berbasis sumber daya perusahaan tidak memberikan pengakuan akan pengetahuan yang memadai. Pendekatan KBV membentuk dasar untuk membangun keterlibatan modal manusia dalam kegiatan rutin perusahaan. Hal ini dicapai melalui peningkatan keterlibatan karyawan dalam perumusan tujuan operasional dan jangka panjang perusahaan. Dalam pandangan berbasis pengetahuan, perusahaan mengembangkan pengetahuan baru yang penting untuk keuntungan kompetitif dari kombinasi unik yang ada pada pengetahuan (Fleming 2001). Dalam era persaingan yang ada saat ini, perusahaan sering bersaing dengan mengembangkan pengetahuan baru yang lebih cepat daripada pesaing mereka. Knowledge-based ditandai oleh kelangkaan dan sulit untuk mentransfer dan mereplikasi, merupakan sebuah sumber daya penting untuk mencapai keunggulan kompetitif. Kapasitas dan keefektifan perusahaan dalam menghasilkan, berbagi dan menyampaikan pengetahuan dan informasi menentukan nilai yang dihasilkan perusahaan sebagai dasar keunggulan kompetitif perusahaan berkelanjutan dalam jangka panjang. (Bontis, 2002). 2.1.4 Human capital theory Tindakan strategis membutuhkan seperangkat sumber daya fisik, keuangan, human atau organisasional khusus, sehingga keunggulan kompetitif ditentukan oleh kemampuannya untuk memperoleh dan mempertahankan sumber
13
daya (Wernerfelt, 1984). Human capital theory berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh produktivitas tenaga kerja dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan.
2.1.5 Modal intelektual Perhatian perusahaan terhadap pengelolaan modal intelektual beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya kesadaran bahwa modal intelektual merupakan landasan bagi perusahaan tersebut untuk berkembang dan mempunyai keunggulan dibandingkan perusahaan lain. Ada banyak definisi berbeda mengenai modal intelektual. Modal intelektual adalah informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan
untuk
menciptakan nilai (Williams, 2001). Modal intelektual dapat dipandang sebagai pengetahuan, dalam pembentukan, kekayaan intelektual dan pengalaman yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan (Stewart, 1997). Modal intelektual mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai tambah dan menyebabkan keunggulan kompetitif berkelanjutan. Modal intelektual telah diidentifikasi sebagai seperangkat tak berwujud (sumber daya, kemampuan dan kompetensi) yang menggerakkan kinerja organisasi dan penciptaan nilai (Bontis, 1998). Dari definisi tersebut dapat merupakan sumber daya yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang nantinya akan memberikan keuntungan di masa depan yang dilihat dari kinerja perusahaan tersebut. Beberapa para ahli telah mengemukakan elemen-elemen apa saja yang terdapat dalam modal intelektual. Sehingga secara umum, elemen-elemen dalam
14
modal intelektual terdiri dari modal manusia (human capital), Structural Capital (SC), dan Customer Capital (CC) (Bontis et al. 2000). Definisi dari masingmasing komponen modal intelektual yaitu: 1) Human Capital (HC) adalah keahlian dan kompetensi yang dimiliki karyawan dalam memproduksi barang dan jasa serta kemampuannya untuk dapat berhubungan baik dengan pelanggan. Termasuk dalam human capital yaitu pendidikan, pengalaman, keterampilan. Menurut Bontis (2004) human capital adalah kombinasi dari pengetahuan, skill, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan menyelesaikan tugas, meliputi nilai perusahaan, kultur dan filsafatnya. Jika perusahaan berhasil dalam mengelola pengetahuan karyawannya, maka hal itu dapat meningkatkan human capital. Sehingga human capital merupakan kekayaan yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang terdapat dalam tiap individu yang ada di dalamnya. Human capital ini yang nantinya akan mendukung structural capital dan customer capital. 2) Structural Capital (SC) adalah infrastruktur yang dimiliki oleh suatu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pasar. Termasuk dalam structural capital yaitu sistem teknologi, sistem operasional perusahaan, paten, merk dagang dan kursus pelatihan. Menurut Pertiwi dan Sakini (2005), structural capital atau organizational capital adalah kekayaan potensial perusahaan yang tersimpan dalam organisasi dan manajemen perusahaan. Structural capital merupakan infrastruktur pendukung dari human capital sebagai sarana dan prasarana pendukung kinerja karyawan. Sehingga
15
walaupun karyawan memiliki pengetahuan yang tinggi namun bila tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, maka kemampuan karyawan tersebut tidak akan menghasilkan modal intelektual. 3) Customer Capital (CC) adalah orang-orang yang berhubungan dengan perusahaan, yang menerima pelayanan yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Menurut Sawarjuwono (2003) dan capital merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara nyata. Customer capital membahas mengenai hubungan perusahaan dengan pihak di luar perusahaan seperti pemerintah, pasar, pemasok dan pelanggan, bagaimana loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Customer capital juga dapat diartikan kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pasar sehingga menghasilkan hubungan baik dengan pihak luar.
2.1.6 Value added intellectual coefficient (VAICTM) Saat ini upaya memberikan penilaian terhadap modal intelektual merupakan hal yang penting. Kesulitan dalam bidang modal intelektual adalah masalah pengukurannya. Dari model-model pengukuran yang dikembangkan, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga untuk memilih model yang paling tepat untuk digunakan merupakan tindakan yang tidak tepat karena pengukuran tersebut hanyalah sebuah alat yang dapat diterapkan pada situasi dan kondisi perusahaan dengan spesifikasi tertentu (Tjiptohadi dan Agustine, 2003). Sawarjuwono (2003) menyatakan bahwa metode pengukuran IC dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: pengukuran nonmonetary dan pengukuran
16
monetary. Salah satu metode pengukuran intelectual capital dengan penilaian non-moneter yaitu Balanced Scorecard oleh Kaplan dan Norton, sedangkan metode pengukuran intellectual capital dengan penilaian moneter, salah satunya yaitu model Pulic yang dikenal dengan sebutan VAIC™. Pulic (1998) mengusulkan Koefisien Nilai Tambah Intelektual/Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) untuk menyediakan informasi tentang efisiensi penciptaan nilai dari aset berwujud dan tidak berwujud dalam perusahaan. VAIC digunakan karena dianggap sebagai indikator yang cocok untuk mengukur IC di riset empiris. Beberapa alasan utama yang mendukung penggunaan VAIC™ diantaranya yaitu pertama VAIC ™ menyediakan dasar ukuran yang standar dan konsisten, angka-angka keuangan yang standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan perusahaan (Pulic dan Bornemann, 1999), sehingga memungkinkan lebih efektif melakukan analisis komparatif. Kedua, semua data yang digunakan dalam perhitungan VAICTM didasarkan pada informasi yang telah diaudit, sehingga perhitungan dapat dianggap obyektif dan dapat diverifikasi (Pulic, 1998, 2000). VAICTM adalah sebuah prosedur analitis yang dirancang untuk memungkinkan manajemen, pemegang saham dan pemangku kepentingan lain yang terkait untuk secara efektif memonitor dan mengevaluasi efisiensi nilai tambah atau Value Added (VA) dengan total sumber daya perusahaan dan masingmasing komponen sumber daya utama. Nilai tambah adalah perbedaan antara pendapatan (OUT) dan beban (IN). Metode VAICTM mengukur efisiensi tiga jenis input perusahaan yaitu modal manusia, modal structural, serta modal fisik dan finansial yang terdiri dari:
17
1) Human Capital Efficiency (HCE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal manusia. HCE merupakan rasio dari Value Added (VA) terhadap Human Capital (HC). Hubungan ini mengindikasikan kemampuan modal manusia membuat nilai pada sebuah perusahaan. HCE dapat diartikan juga sebagai kemampuan perusahaan menghasilkan nilai tambah setiap rupiah yang dikeluarkan pada modal manusia. HCE menunjukkan berapa banyak Value Added (VA) dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja (Ulum, 2008). 2) Structural Capital Efficiency (SCE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal struktural. SCE merupakan rasio dari SC terhadap VA. Rasio ini mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Tan et al.2007). 3) Capital Employed Efficiency (CEE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal yang digunakan. CEE merupakan rasio dari VA terhadap CE. CEE menggambarkan berapa banyak nilai tambah perusahaan yang dihasilkan dari modal yang digunakan. CEE yaitu kalkulasi dari kemampuan mengelola modal perusahaan (Imaningati, 2007).
2.1.7 Nilai perusahaan Bagi perusahaan yang menerbitkan saham di pasar modal harga saham yang ditransaksikan di bursa merupakan indikator nilai perusahaan. Laba yang tidak menunjukkan informasi yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat
18
menyesatkan pihak pengguna laporan. Jika laba seperti ini digunakan oleh investor untuk membentuk nilai pasar perusahaan, maka laba tidak dapat menjelaskan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya. Bagi investor, laporan laba dianggap mempunyai informasi untuk menganalisis saham yang diterbitkan oleh emiten (Boediono, 2005).
Dalam perspekif teori keagenan, agen yang risk
adverse dan yang cenderung mementingkan dirinya sendiri akan mengalokasikan resources (berinvestasi) yang tidak meningkatkan nilai perusahaan. Permasalahan agensi ini akan mengindikasikan bahwa nilai perusahaan akan naik apabila pemilik perusahaan biasa mengendalikan perilaku manajemen agar tidak menghamburkan resources perusahaan, baik dalam bentuk investasi yang tidak layak, maupun dalam bentuk shirking. Dalam jangka panjang, tujuan perusahaan adalah mengoptimalkan nilai perusahaan. Semakin tinggi nilai perusahaan menggambarkan semakin sejahtera pula pemiliknya. Nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya (Fama, 1978). Jensen (2001), menjelaskan bahwa untuk memaksimumkan nilai perusahaan tidak hanya nilai ekuitas saja yang harus diperhatikan, tetapi juga semua klaim keuangan seperti hutang, warran, maupun saham preferen. Optimalisasi nilai perusahaan yang merupakan tujuan perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan fungsi manajemen keuangan, dimana satu keputusan keuangan yang diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan berdampak pada nilai perusahaan (Fama dan French, 1998 dalam Wahyudi Untung, 2006). Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham, sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan
19
perusahaan di masa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan (signaling theory). Nilai perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan Price Book Value (PBV). Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham, 1999: 92). Rasio PBV merupakan perbandingan antara harga saham dengan nilai buku ekuitas. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa pasar semakin percaya akan prospek perusahaan tersebut. Price to book value dipilih sebagai ukuran kinerja karena menggambarkan besarnya premi yang diberikan pasar atas modal intelektual yang dimiliki perusahaan (Yuniasih, 2010). Penggunaan rasio PBV mengacu pada penelitian yang dilakukan Wirawati (2008), Untung Wahyudi dan Hartini (2006), Shahid(2003), Andri Rachmawati(2007), Badingtus(2010), Yuniasih (2010)
2.1.8 Ketepatwaktuan pelaporan keuangan Laporan keuangan menjadi informasi yang berguna jika memenuhi karakteristik kualitatif informasi. Salah satunya adalah relevansi, artinya suatu informasi
harus tersedia
bagi pembuat
keputusan sebelum kehilangan
kapasitasnya dalam mempengaruhi keputusan. Ketepatwaktuan perusahaan dalam menyampaikan laporan keuangan diharapkan dapat menghasilkan suatu keputusan yang cermat dan tepat berdasarkan informasi keuangan yang didapatkan.
20
Bagi perusahaan publik di Indonesia penyampaian laporan keuangan diatur oleh pemerintah (Kementrian
Keuangan dan Bapepam)
dengan
mengeluarkan regulasi informasi seperti undang-undang dan sejumlah peraturan pasar modal yang dikeluarkan pada tahun 2003. Undang-undang No.8 tahun 1995 berisi tentang peraturan pasar modal yang menyatakan bahwa semua perusahaan yang terdaftar di pasar modal wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan mengumumkannya kepada masyarakat. Bapepam juga telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Ketua Bapepam No. Kep80/1996, yang mewajibkan bagi setiap emiten dan perusahaan publik untuk menyampaikan laporan auditor independennya kepada Bapepam selambatlambatnya pada akhir bulan keempat (120 hari) setelah tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan. Namun sejak tanggal 30 September 2003, Bapepam semakin memperketat peraturan dengan dikeluarkannya Peraturan Bapepam Nomor X.K.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-36/PM/2003 tentang Kewajiban Laporan Keuangan Berkala. Peraturan Bapepam Nomor X.K.2 ini menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan harus disertai dengan laporan Akuntan dengan pendapat yang lazim dan disampaikan kepada Bapepam selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga (90 hari) setelah tanggal laporan keuangan tahunan. Dan dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.K.6 dinyatakan bahwa dalam hal penyampaian laporan tahunan dimaksud melewati batas waktu penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor X.K.2 tentang
21
Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala, maka hal tersebut diperhitungkan sebagai keterlambatan penyampaian laporan keuangan tahunan. Berdasarkan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Standar Akuntansi Keuangan, laporan keuangan harus memenuhi empat karakteristik kualitatif yang merupakan ciri khas yang membuat informasi laporan keuangan berguna bagi para pemakainya. Keempat karakteristik tersebut yaitu dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat diperbandingkan. Untuk mendapatkan informasi yang relevan tersebut, terdapat beberapa kendala, salah satunya adalah kendala ketepatan waktu. Gregory dan Van Horn (1963) berpendapat dalam Owusu-Ansah (2000) dalam Hilmi (2009), secara konsepsual yang dimaksud dengan tepat waktu adalah kualitas ketersediaan informasi pada saat yang diperlukan atau kualitas informasi yang baik dilihat dari segi waktu. Sedangkan Chambers dan Penman (1984: 21) mendefinisikan ketepatan waktu dalam dua cara, yaitu: (1) ketepatan waktu didefinisikan sebagai keterlambatan waktu pelaporan dari tanggal laporan keuangan sampai tanggal melaporkan, dan (2) ketepatan waktu ditentukan dengan ketepatan waktu pelaporan relatif atas tanggal pelaporan yang diharapkan. Dyer dan Mc Hugh (1975) dalam komsiyah (2005) menggunakan tiga kriteria keterlambatan untuk melihat ketepatan waktu dalam penelitiannya: (1) preliminary lag: interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai penerimaan laporan akhir preleminary oleh bursa (2) auditor’s report lag: interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai tanggal laporan auditor
22
ditandatangani, (3) total lag: interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan sampai tanggal penerimaan laporan dipublikasikan oleh bursa. Sesuai dengan peraturan X.K.2 yang diterbitkan Bapepam dan didukung oleh peraturan terbaru Bapepam, X.K.6 tertanggal 7 Desember 2006, maka penyampaian laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dikatakan tepat waktu apabila diserahkan sebelum atau paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan publik tersebut. Penelitian
mengenai ketepatwaktuan
pelaporan
keuangan telah
dilakukan oleh Bandi dan Hananto (2002), Petronilla dan Mukhlasin (2003), Syafrudin (2004). 2.1.9 Kinerja keuangan Kinerja perusahaan merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai tambah bagi kelangsungan perusahaan di masa depan. Kinerja perusahaan merupakan suatu tampilan keadaan perusahaan selama periode tertentu (Sihasale, 2001). Untuk mengetahui kinerja yang dicapai maka dilakukan pengukuran kinerja. Ukuran kinerja yang umum digunakan yaitu ukuran kinerja keuangan. Kinerja keuangan adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu dan tertuang pada laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan (Munawir, 1998). Kinerja keuangan perusahaan ditunjukkan oleh laporan keuangannya. Kinerja perusahaan dapat diukur dari laporan keuangan yang dikeluarkan secara periodik yang memberikan suatu gambaran tentang posisi keuangan perusahaan (Purnomo,1998).
23
Tujuan manajemen untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan harus memanfaatkan keunggulan dari kekuatan perusahaan dan secara terus menerus memperbaiki kelemahan kelemahan yang ada. Salah satu caranya adalah mengukur kinerja keuangan dengan menganalisa laporan keuangan menggunakan rasio-rasio keuangan. Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai perusahaan dan menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan manajemen serta mampu menciptakan nilai perusahaan itu sendiri kepada para stakeholder. Untuk mengukur kinerja operasi perusahaan biasanya digunakan rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuangan pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Rasio yang sering digunakan adalah Return On Equity, yaitu rasio keuangan yang berfungsi untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan dengan modal tertentu. Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pemegang saham (Hanafi dan Halim, 1996). ROE merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki, sehingga ROE ini disebut rentabilitas modal sendiri (Sutrisno, 2000:267). Salah satu alasan utama perusahaan beroperasi adalah menghasilkan laba yang bermanfaat bagi para pemegang saham, ukuran yang digunakan adalah tinggi rendahnya angka ROE yang berhasil dicapai. Semakin tinggi ROE, maka semakin tinggi pula kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba untuk para pemegang saham.
24
2.1.10
Pembahasan hasil penelitian sebelumnya Penelitian tentang modal intelektual telah mengubah fokus dan
lingkungannya pada tahun-tahun belakangan ini. Penelitian sebelumnya juga menempuh sejumlah kerangka untuk mengklasifikasikan dan mengukur konsep itu. Bontis (1998) menyatakan bahwa modal intelektual sangat penting dalam meningkatkan kemampuan organisasi dan penelitian tersebut bertujuan untuk mengembangkan model dan pengukuran modal intelektual. Penelitian tersebut juga menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data. Bontis (2000), juga menyatakan bahwa IC berpengaruh positif dengan kinerja perusahaan di Malaysia tanpa memperhatikan jenis industrinya. Petty (2000) menyatakan bahwa pentingnya teori dan kontribusi empiris yang berhubungan dengan pengukuran dan pelaporan IC (studi pustaka). Sugeng (2000) menyatakan bahwa modal intelektual digunakan untuk mengurangi tuntutan kerja karyawan dan meningkatkan kemampuan karyawan (studi pustaka). Sawarjuwono (2003) menyatakan bahwa metode pengukuran IC dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: pengukuran nonmonetary dan pengukuran monetary. Dari model-model pengukuran yang dikembangkan, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga untuk memilih model yang paling tepat untuk digunakan merupakan tindakan yang tidak tepat karena
25
pengukuran tersebut hanyalah sebuah alat yang dapat diterapkan pada situasi dan kondisi perusahaan dengan spesifikasi tertentu. Astuti (2005) menunjukkan bahwa human capital akan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan structural capital jika hubungan tersebut bersifat langsung daripada hubungan tersebut tidak bersifat tidak langsung dengan customer capital sebagai variabel intervening. Di samping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa customer capital dan structural capital dapat berfungsi sebagai variabel intervening hubungan human capital dan business performance, sedangkan structural capital dapat digunakan untuk memediasi hubungan customer capital dan business performance. Abdolmohammadi (2005) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pengungkapan
IC dengan market capitalization pada 53 perusahaan
Fortune 500. Hal ini akan menghasilkan manfaat bagi perusahaan jika perusahaan melakukannya. Meskipun, manfaat tersebut dibandingkan dengan akumulasi biaya untuk menyediakan informasi tersebut. Purnomosidhi (2006) menyatakan bahwa praktik pengungkapan IC dalam laporan tahunan berdasarkan hasil content analysis terhadap laporan tahunan dapat disimpulkan rerata jumlah atribut IC yang diungkapkan dalam laporan tahunan sebanyak 14 atribut
(56 persen).
Meskipun,
praktik
pengungkapan IC di antara perusahaan sangat bervariasi. Persentase ini menggambarkan bahwa perusahaan go public sudah memiliki kesadaran terhadap arti pentingnya IC bagi peningkatan keunggulan kompetitif. Hong (2007)
26
menyatakan bahwa ada pengaruh modal intelektual dengan kinerja perusahaan pada 150 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Singapura. Chen et al (2005) menggunakan model Pulic (VAICTM) untuk menguji hubungan IC dengan nilai pasar dan kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan sampel perusahaan public di Taiwan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IC berpengaruh secara positif terhadap nilai pasar dan kinerja keuangan perusahaan. Chen et al (2005) juga membuktikan bahwa IC dapat menjadi salah satu indicator untuk memprediksi kinerja perusahaan dimasa yang akan datang, selainitu penelitian ini juga membuktikan bahwa investor mungkin memberikan penilaian yang berbeda terhadap tiga komponen VAICTM (physical capital, human capital, dan structural capital) Tan et al. (2007) juga menggunakan model pulic (VAICTM) untuk mengukur modal intelektual dengan sampel penelitian 150 perusahaan yang terdaftar di bursa efek Singapura. Hasilnya konsisten dengan penelitian Chen et al (2005) bahwa IC berhubungan positif dengan kinerja perusahaan dimasa mendatang, dan temuan penelitian ini juga membuktikan bahwa rata-rata pertumbuhan IC suatu perusahaan berhubungan positif dengan kinerja perusahaan di masa mendatang dan kinerja perusahaan berebda bedasarkan jenis industrinya. Ulum dkk.(2008) yang menguji hubungan IC dan kinerja keuangan perusahaan menggunakan sampel seluruh perusahaan perbankan yang beroperasi di Indonesia sampai tahun 2006. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat
27
pengaruh IC (VAICTM) terhadap kinerja perusahaan dan kinerja perusahaan di masa depan dan tidak terdapat pengaruh ROGIC terhadap kinerja perusahaan. Kuryanto dan Muchamad (2008) menguji pengaruh modal intelektual pada kinerja keuangan dengan menggunakan objek yang berbeda. Penelitian ini menggunakan 73 perusahaan nonkeuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Teknik analisis yang dipergunakan adalah Partial Least Square hasil penelitian menunjukkan bahwa modal intelektual tidak berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan saat ini maupun kinerja keuangan masa depan. Sianipar (2009) menguji pengaruh modal intelektual terhadap kinerja keuangan dan capital gain saham perusahaan. Penelitian dilakukan pada 22 perusahaan perbankan dan 10 perusahaan asuransi di BEI tahun 2005-2007. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan modal intelektual berpengaruh pada ROA, ROE, dan capital gain pada perusahaan asuransi, tidak ditemukan pengaruh signifikan untuk perusahaan perbankan. Solikhah dkk.(2010) menguji implikasi intellectual capital terhadap financial performance, growth dan market value; studi empiris dengan pendekatan simplistic specification. Penelitian ini menggunakan 116 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, teknik analisis data menggunakan analisis PLS, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modal intelektual terbukti secara signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan dan pertumbuhan perusahaan, dan modal intelektual tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
28
Yuniasih (2010)
menguji pengaruh modal intelektual pada kinerja
pasar perusahaan sektor keuangan di Bursa Efek Indonesia.
Penelitian ini
menggunakan 41 perusahaan yang meliputi 17 perusahaan perbankan, 8 asuransi, 7 lembaga pembiayaan, 6 perusahaan efek, dan 3 perusahaan kategori lainnya. Teknik analisi data menggunakan Analisis Regresi Liniear Berganda, hasil penelitiannya tidak terdapat pengaruh positif modal intelektual terhadap kinerja pasar perusahaan. Lampiran 1.
Ringkasan hasil penelitian sebelumnya disajikan pada