BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1.
Theory of Reasoned Action (TRA) Teori ini dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang mendasari
psikologi sosial. Ajzen (1980) dalam Nirmala dan Zulaikha (2012), menyatakan bahwa niat menentukan prilaku seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku dipengaruhi oleh dua penentu utama yaitu : a) Sikap, merupakan gabungan dari evaluasi atau penilaian positif maupun negatif dari faktor-faktor perilaku dan kepercayaan tentang akibat dari perilaku. b) Norma subjektif, yang merupakan gabungan dari beberapa persepsi tentang tekanan/aturan dan norma sosial yang membentuk suatu perilaku. Tujuan dari perilaku, menurut Fishbein dan Ajzen (1975), dalam Nirmala dan Zulaikha (2012), merupakan kekuatan seseorang untuk melakukan tindakan yang ditentukan. Relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa seseorang dalam menentukan perilaku patuh atau tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dipengaruhi rasionalitas dalam mempertimbangkan manfaat dari pajak dan juga pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan pembentukan norma subjektif yang mempengaruhi keputusan perilaku.
9 http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
2.
Teori Stakeholder (Stakeholders’ Theory) Stakeholder adalah semua pihak (internal maupun eksternal) yang memiliki
hubungan dengan perusahaan, langsung maupun tidak langsung, dan bersifat mempengaruhi atau dipengaruhi perusahaan. Teori stakeholder menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak untuk mendapat informasi tentang aktivitas perusahaan selama periode tertentu yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dua aspek penting dalam teori stakeholder adalah hak effect). Aspek pertama yaitu hak, pada dasarnya menghendaki effect (right)) dan akibat (effect). bahwa perusahaan dan para manajernya tidak boleh melanggar hak dan menentukan masa depan stakeholder. Aspek kedua yaitu akibat, menghendaki agar manajemen perusahaan bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan. Teori ini memberi alasan bagi perusahaan untuk melaksanakan Good Corporate Governance (GCG), sebab tujuan utama teori stakeholder adalah untuk membantu eksekutif perusahaan mengerti lingkungan mereka dan melakukan pengelolaan lebih efektif dengan hubungan-hubungan yang ada di lingkungan perusahaan mereka. Tujuan yang lebih luas bagi eksekutif perusahaan adalah membantu dalam meningkatkan nilai dari aktivitas-aktivitas mereka dan meminimalkan kerugian bagi stakeholder 3.
Teori Agency (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) dalam Winarsih, Prasetyo dan Syam Kusufi
(2014) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Agency theory mengasumsikan bahwa setiap manusia memiliki sifat egois yaitu mementingkan kepentingan diri sendiri. Pemegang saham akan fokus pada peningkatan nilai sahamnya sedangkan eksekutif fokus pada pemenuhan kepentingan pribadi yaitu memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya. Adanya benturan kepentingan antara keduanya inilah yang memicu munculnya agency theory,, seperti perilaku tax avoidance yang dipengaruhi oleh agency problem dan terdapat perbedaan kepentingan antara para pihak, satu sisi eksekutif menginginkan peningkatan kompensasi, pemegang saham ingin menekan biaya pajak, kreditur menginginkan perusahaan dapat memenuhi kontrak utang dan membayar bunga, pokok utang tepat waktu 4.
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
a.
Pengertian Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Pasal 1 Undang-Undang No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kontribusi yang bersifat memaksa itu menimbulkan perlawanan dari wajib pajak, terlebih sejak tahuan 1984, Indonesia merubah sistem pemungutan perpajakan dari official assessment system menjadi self assessment system sehingga tanggung jawab wajib pajak menyangkut kesadaran
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
untuk
memenuhi
kewajibannya
menjadi
semakin
besar
(Carolina
dan
Simanjuntak, 2011 dalam Natalia dan Debbianita, 2014) Tanggung jawab wajib pajak atas kesadarannya memenuhi kewajiban perpajakannya belum sepenuhnya terpenuhi, banyak perlawanan-perlawanan terhadap pembayaran pajak, salah satunya adalah perlawanan aktif dalam bentuk penghindaran pajak (tax avoidance). Menurut Mardiasmo (2013), penghindaran pajak (Tax Avoidance Avoidance) adalah suatu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang yang ada. Dengan kata lain merupakan suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal, seperti pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dan kelemahankelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku. Sedangkan menurut Suandy (2011) dan Xynas (2011) dalam Budiman dan Setiono (2012) menyatakan bahwa penghindaran pajak merupakan usaha rekayasa transaksi perpajakan (tax tax affair affair) untuk mengurangi hutang pajak yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan atau legal ((Lawful Lawful), Lawful ), berbeda dengan (Lawful), penggelapan pajak (Tax Evasion) yang merupakan usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal (Unlawful). Komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
dalam Fadhilah (2014) menyebutkan tiga karakter
penghindaran pajak :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
1. Adanya unsur artifisial di mana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di
dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak. 2. Memanfaatkan loopholes dari Undang-Undang atau menerapkan ketentuan-
ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat Undang-Undang. 3. Para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan penghindaran
pajak dengan syarat Wajib Pajak menjaga serahasia mungkin. Definisi penghindaran pajak di atas menunjukkan bahwa penghindaran pajak merupakan upaya pengurangan atau penghematan pajak sepanjang hal ini dimungkinkan oleh peraturan yang ada. Dalam penelitian Hoque, et al. (2011) dalam Puspita dan Harto (2014) diungkapkan beberapa cara perusahaan melakukan penghindaran pajak, yaitu: 1. Menampakkan laba dari aktivitas operasional sebagai laba dari modal sehingga mengurangi laba bersih dan utang pajak perusahaan tersebut. 2. Mengakui pembelanjaan modal sebagai pembelanjaan operasional, dan membebankan yang sama terhadap laba bersih sehingga mengurangi utang pajak perusahaan. 3. Membebankan biaya personal sebagai biaya bisnis sehingga mengurangi laba bersih. 4. Membebankan depresiasi produksi yang berlebihan di bawah nilai penutupan peralatan sehingga mengurangi laba kena pajak. 5. Mencatat pembuangan yang berlebihan dari bahan baku dalam industri manufaktur sehingga mengurangi laba kena pajak. Dalam perusahaan multinasional, penghindaran pajak yang biasa dilakukan adalah mengalihkan sebagian laba ke anak perusahaan yang beroperasi di negara dengan tarif pajak lebih rendah atau negara surga pajak (tax haven countries) (Zhou, 2011 dalam Puspita dan Harto, 2014).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Perusahaan yang melakukan tindakan penghindaran pajak akan memperoleh keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang diperoleh berupa penghematan pajak sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilik/pemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar, manajer mendapatkan kompensasi dari pemilik/pemegang saham perusahaan dan manajer juga mempunyai kesempatan untuk melakukan rent extraction (Chen et al., 2010 dalam Hidayanti, 2013 dalam Winarsih, Prasetyono dan Syam Kusufi, 2014). Kerugian yang ditanggung yaitu kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi/penalti dari fiskus pajak, dan turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani, 2010 dalam Hidayanti, 2013 dalam Winarsih, Prasetyono dan Syam Kusufi, 2014), rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak, penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui tindakan penghindaran pajak yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent extraction (Desai dan Dharmapala, 2006 dalam Hidayanti, 2013 dalam Winarsih, Prasetyono dan Syam Kusufi, 2014). b. Pengukuran Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Menurut Dyreng at al., (2010) dalam Budiman dan Setiono (2012), penghindaran pajak diukur melalui CASH ETR (cash effective tax rate) perusahaan, yaitu kas yang dikeluarkan untuk biaya pajak dibagi dengan laba sebelum pajak. Semakin besar CASH ETR ini mengindikasikan semakin rendah tingkat penghindaran pajak perusahaan. Adapun rumus untuk menghitung CASH ETR adalah sebagai berikut: Cash ETR =
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
Menurut Pohan (2008) dalam Darmawan dan Sukartha (2014), menyatakan bahwa penghindaran pajak diukur dengan selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal dibagi dengan total aset perusahaan. Total aset digunakan sebagai pembagi untuk mengontrol skala perusahaan, karena jumlah aset dari setiap perusahaan memiliki nilai yang cukup ekstrim. Menurut Yoehana (2013) dalam Winarsih, Prasetyono dan Syam Kusufi (2014) penghindaran pajak dihitung melalui ETR (effective tax rate), yaitu dengan rumus sebagai berikut: ETR = 5.
Karakter Eksekutif Low (2006) dalam Carolina, Natalia dan Debbianita (2014) menyebutkan
bahwa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan perusahaan eksekutif memiliki dua karakter yakni sebagai pengambil risiko (risk risk taker) taker atau penghindar risk averse). Eksekutif yang memiliki karakter risk taker adalah eksekutif risiko (risk yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis, lebih berani memanfaatkan peluang yang ada sekalipun peluang tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi dan biasanya memiliki dorongan kuat untuk memiliki penghasilan, posisi, kesejahteraan, dan kewenangan yang lebih tinggi. Focus utama eksekutif ini adalah pencapaian hasil atau memaksimalkan nilai perusahaan (MacCrimon & Wehrung, 1990; Lewellan, 2003 dalam Carolina, Natalia dan Debbianita, 2014). Berbeda dengan risk taker, eksekutif yang memiliki karakter risk averse adalah eksekutif yang cenderung tidak menyukai resiko sehingga dalam mengambil keputusan bisnis, eksektutif ini akan lebih memilih keputusan bisnis yang tidak mengakibatkan risiko besar dengan mempertimbangkan setiap peluang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
yang ada dan memilih peluang bisnis yang tidak akan menimbulkan risiko yang tinggi. Fokus utama eksekutif ini adalah keamanan dan biasanya eksekutif risk averse memiliki usia yang lebih tua, sudah lama memegang jabatan, dan memiliki ketergantungan dengan perusahaan (MacCrimon & Wehrung, 1990; Lewellan, 2003 dalam Carolina, Natalia dan Debbianita, 2014). Untuk mengukur seberapa berani eksekutif perusahaan dalam mengambil risiko digunakan pengukuran menurut Paligorova (2010). Paligorova (2010) dalam Carolina, Natalia dan Debbianita (2014) menyatakan bahwa standar deviasi dari laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (earning before interest, tax, depreciation and amortization/ amortization/EBITDA) dibagi dengan total asset akan menunjukkan penyimpangan terhadap laba. Semakin besar deviasi dari EBITDA/total asset menunjukkan semakin besar penyimpangan terhadap laba. Besarnya penyimpangan terhadap laba menunjukkan risiko perusahaan (corporate ( risk)) yang besar pula atau dengan kata lain, eksekutif perusahaan semakin berani mengambil risiko. Adapun rumus untuk menghitung Corporate Risk adalah sebagai berikut Corporate Risk = standar deviasi dari 6.
Mekanisme Good Corporate Governance (GCG)
a.
Pengertian Good Corporate Governance (GCG) Corporate governance atau yang dikenal dengan tata kekola sebuah
perusahaan muncul karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelola perusahaan yang dapat menimbulkan agency problem. Agency problem adalah konflik yang terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan antara manajer dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
pemilik perusahaan. Sehingga memerlukan sistem pemonitoran serta pengawasan yang dikenal dengan istilah tata kelola perusahaan (corporate governance). Definisi Corporate Governance (CG) yang dikemukakan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Jaya, Arafat dan Kartika (2013) sebagai berikut: “Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan untuk menggunakan sumber daya dengan lebih efisien” Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor KEP-117/M-MBU/2002, corporate governance adalah: “Suatu proses dari stuktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”. Sementara itu, Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) mendefinisikan corporate governance sebagai serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan. Sedangkan good corporate governance sebagai: “Struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berdasarkan moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Definisi secara umum atas istilah GCG menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan: “Sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan maupun ditinjau dari nilai-nilai yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri. BPKP mendefinisikannya secara sederhana sebagai: komitmen, aturan main, serta praktik penyelenggaraan bisnis secara sehat dan beretika”. Definisi-definisi di atas senada dengan yang digunakan oleh Forum for Corporate Governance (FGCI) dalam publikasi pertamanya yaitu: “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan”. b. Prinsip Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Effendi (2009 : 3) dalam Jaya, Arafat dan Kartika (2013), menyatakan bahwa good corporate governance mempunyai prinsip-prinsip yang mencakup 5 (lima) hal, yaitu: 1.
2.
3.
Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan perusahaan, dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. Perlakuan sama terhadap pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam. Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama yang aktif antara perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja, dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
4.
5.
Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan serta para pemegang kepentingan (stakeholders). Tanggung jawab pengurus manajemen, pengawasan manajemen, serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham
SK Menteri BUMN Nomor: Kep. 117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance yang dikutip oleh Winarsih, Prasetyono & Syam Kusufi (2014) mengatakan bahwa prinsip-prinsip GCG meliputi: 1. Transparansi: keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan. 2. Kemandirian: keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 3. Akuntabilitas: kejelasan fungsi; pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 4. Responsibilitas: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5. Kewajaran: keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku. c.
Manfaat Good Corporate Governance (GCG) Tujuan GCG adalah menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan. Pihak tersebut adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan dan pihak eksternal adalah investor, kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Secara teoritis, pelaksanaan GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan meningkatnya kinerja keuangan dan mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan komisaris dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
Menurut Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) ada beberapa manfaat dari penerapan GCG yang baik, antara lain: 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value. 3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia. Sedangkan manfaat konsep GCG menurut IICG (2000) adalah sebagai berikut: 1. Meminimalkan agency cost.
Selama ini para pemegang saham harus menanggung biaya yang timbul akibat dari pendelegasian wewenang kepada manajemen. Biaya-biaya ini bisa berupa kerugian karena manajemen menggunakan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadi maupun berupa biaya pengawasan yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mencegah terjadinya hal tersebut. 2. Meminimalkan cost of capital. Perusahaan yang baik dan sehat akan menciptakan suatu referensi positif bagi para kreditur. Kondisi ini sangat berperan dalam meminimalkan biaya modal yang harus ditanggung bila perusahaan akan mengajukan pinjaman, selain itu dapat memperkuat kinerja keuangan juga akan membuat produk perusahaan akan menjadi lebih kompetitif. 3. Meningkatkan nilai saham perusahaan. Suatu perusahaan yang dikelola secara baik dan dalam kondisi sehat akan menarik investor untuk menanamkan modalnya. 4. Mengangkat citra perusahaan Citra perusahaan merupakan faktor penting yang sangat erat kaitannya dengan kinerja dan keberadaaan perusahaan tersebut dimata masyarakat dan khususnya para investor. Citra perusahaan kadangkala akan menelan biaya yang sangat besar dibandingkan dengan keuntungan perusahaan itu sendiri, guna memperbaiki citra tersebut. d. Mekanisme Good Corporate Governance (GCG) Penerapan GCG di Indonesia ditandai dengan berdirinya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 30 November 2004 melalui keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP-49/M.EKON/11/TAHUN 2004 tentang Pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). SK ini
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
merupakan upaya revitalisasi komite yang dibentuk sebelumnya pada tahun 1999 yaitu Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG). Kemudian pemerintah memperluas cakupan kerja KNKG dengan memasukkan masalah public governance sehingga diharapkan tercipta keterkaitan dan sinergi dalam penguatan governance di kedua sektor tersebut. Perluasan cakupan tersebut tertuang dalam Keputusan Menko Bidang Perekonomian RI tersebut, dimana terakhir diperbaharui dengan Keputusan Menko Bidang Perekonomian RI No. KEP-14/M.EKON/03/TAHUN 2008 tentang
Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG). Visi dari KNKG adalah mewujudkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pelaksanaan governance terbaik di dunia. Sedangkan misi dari KNKG yaitu mendorong dan meningkatkan efektifitas penerapan good corporate governance di Indonesia dalam rangka membangun kultur yang berwawasan good corporate governance baik di sektor publik maupun korporasi. Pelaksanaan GCG di Indonesia dapat dilihat dari keberadaan mekanisme-mekanisme GCG yang ada di dalam perusahaan-perusahaan di Indonesia, dan mekanisme GCG yang dijadikan proksi dalam penelitian ini adalah : 1.
Prosentasi Komisaris Independen Undang-Undang
No.
40
Tahun
2007
tentang
perseroan terbatas
mendefinisikan dewan komisaris ialah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Adapun definisi lain dari dewan komisaris menurut
KNKG
(2006)
ialah
organ
perusahaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang
bertugas
dan
22
bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Marra, Mazzola, dan Prencipe (2011) dalam Maharani dan Suardana (2014) menyatakan keberadaan board of directors (dewan komisaris dalam konteks Indonesia) sangatlah penting bagi perusahaan dalam melakukan pencatatan saham perusahaan di BEI, karena salah satu persyaratan pencatatan saham perusahaan tercatat di BEI adalah memiliki komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jajaran anggota Dewan Komisaris. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dewan komisaris menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi. Dalam Principles of Corporate Governance (OECD) seperti yang dikutip dari FCGI (2001), tugas dan tanggung jawab utama dari dewan komisaris, antara lain: a. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi, dan penjualan aset; b. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil; c. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan (conflict of interest) pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi, dan dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset
perusahaan
dan manipulasi transaksi
perusahaan;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
d. Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan yang dirasa perlu; e. Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan. Agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut (KNKG, 2006): a. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen; b. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan; c. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara. Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk berbagai komite yang membantu fungsi dewan komisaris agar berjalan secara lebih efektif. Komite-komite tersebut adalah: a. Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
b. Komite remunerasi berfungsi dalam penyusunan sistem penggajian dan pemberian tunjangan serta rekomendasi atas penilaian sistem renumerasi, pemberian saham, dan sistem pensiun. c. Komite nominasi menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi anggota komisaris dan direksi dan eksekutif lainnya, merancang sistem penilaian dan memberikan rekomendasi tentang jumlah direksi dan komisaris. d. Komite manajemen risiko bertugas terhadap aspek pengawasan manajemen risiko perusahaan. Bagi perseroan yang bergerak di bidang perbankan, Bank Indonesia mewajibkan bank umum memiliki komite manajemen risiko sesuai dengan aturan PBI No. 5/8/PBI/2003. e. Komite Kebijakan Corporate Governance bertugas membantu dewan komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang berkaitan dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Prosentase komisaris independen dapat diukur melalui pembagian antara total komisaris independen dibagi dengan total dewan komisaris 2.
Kompetensi Komite Audit Komite audit digunakan digunakan untuk mengukur GCG, karena bertugas
membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (KNKG, 2006) dan pengungkapan laporan keuangan harus memperhatikan prinsip transparansi yaitu keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
mengenai perusahaan. Dalam melaksanakan tugasnya ini, komite audit juga telah melaksanakan prinsip akuntabilitas dan responsibility karena telah melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Gendron, Bedard, dan Gosselin (2004) dalam Handayani, Aris dan Mujiyati (2015) menyatakan bahwa peran komite audit ialah memberi perhatian atas
keakuratan informasi yang terkandung di dalam laporan keuangan, ketepatan dalam susunan kata yang digunakan di laporan keuangan, efektivitas dari pengendalian internal, dan kualitas dari kinerja auditor eksternal. Komite audit secara rutin bertemu dengan auditor eksternal dan manajer keuangan untuk mengevaluasi laporan keuangan perusahaan, proses audit dan sistem pengendalian internal perusahaan. Alijoyo (2004) dalam Annisa & Kurniasih (2012) menambahkan bahwa keberadaan komite audit memberikan nilai tambah bagi penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Di Indonesia, Peraturan OJK No. IX.I.5, tentang pembentukan dan pedoman dan pelaksanaan kerja komite audit, yang merupakan lampiran dari Keputusan Ketua OJK Kep-29/PM/2004 menjadi panduan utama bagi perusahaan publik dalam pembentukan komite audit. Berdasarkan peraturan OJK No. IX.I.5, komite audit memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: 1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan; 3. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal; 4. Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi; 5. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten atau perusahaan publik; dan 6. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi perusahaan. Peraturan OJK No. IX.I.5 menyebutkan bahwa komite audit sekurangkurangnya terdiri dari satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya dua orang anggota lainnya yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. Anggota komite audit yang merupakan komisaris independen bertindak sebagai ketua komite audit. Dalam hal komisaris independen yang menjadi anggota komite audit lebih dari satu orang, maka salah satunya bertindak sebagai ketua komite audit. Berdasarkan Peraturan OJK No. IX.I.5 menyebutkan beberapa persyaratan keanggotaan komite audit, sebagai berikut: 1. Memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang memadai sesuai dengan latar belakang pendidikannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik; 2. Salah seorang dari anggota komite audit memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau keuangan;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
3. Memiliki pengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan keuangan; 4. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan perundangan di bidang pasar modal dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya; 5. Bukan merupakan orang dalam kantor akuntan publik, kantor konsultan hukum, atau pihak lain yang memberi jasa audit, non audit dan/atau jasa konsultasi lain kepada emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam waktu enam bulan sebelum diangkat oleh komisaris; 6. Bukan merupakan orang yang mempunyai wewenang atau tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan kegiatan emiten atau perusahaan publik dalam waktu enam bulan sebelum diangkat oleh komisaris; 7. Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik. Dalam hal anggota komite audit memperoleh saham akibat suatu peristiwa hukum maka dalam jangka waktu paling lama enam bulan setelah diperolehnya saham tersebut wajib mengalihkan kepada pihak lain; 8. Tidak mempunyai; a) Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal dengan komisaris, direksi atau pemegang saham utama emiten atau perushaan publik; dan atau b) Hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Komite audit bertanggung jawab kepada dewan komisaris dan membuat laporan kepada dewan komisaris atas setiap penugasan yang diberikan dan membuat laporan tahunan pelaksanaan kegiatan komite audit kepada dewan komisaris (Bapepam, 2004). Pengukuran kompetensi komite audit dihitung dari pembagian antara total anggota komite audit yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi dan audit dibagi dengan total anggota komite audit. 7. Ukuran Perusahaan Machfoedz (1994) dalam dalam Kurniasih dan Sari (2013) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan perusahaan menjadi perusahaan besar dan kecil menurut berbagai cara seperti total aktiva atau total aset perusahaan, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan jumlah pen-jualan. Ukuran perusahaan umumnya dibagi dalam 3 kategori, yaitu large firm, medium firm,dan small firm. Tahap kedewasaan perusahaan ditentukan berdasarkan total aktiva, semakin besar total aktiva menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek baik dalam jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini juga menggambarkan bahwa perusahaan lebih stabil dan lebih mampu dalam menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aktiva yang kecil (Indriani, 2005 dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007 dalam Sari, 2014). Selain itu Watts dan Zimmerman (1986) dalam Achmad et al. (2007) dalam Sari (2014) menyatakan bahwa manajer perusahaan besar cenderung melakukan pemilihan metode akuntansi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode mendatang guna memperkecil laba yang dilaporkan. Menurut Maria dan Kurniasih (2013) dalam Darmawan dan Sukartha (2014), ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan, dengan kata lain ukuran perusahaan dapat dilihat dari total asset yang dimiliki perusahaan atau total aktiva perusahaan yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan selama akhir periode yang telah diaudit. 8. Kajian Riset Terdahulu Terdapat banyaknya penelitian yang telah dilakukan khususnya di dalam negeri yang meneliti hubungan antara karakter eksektufif atau mekanisme Good Corporate Governance atau ukuran perusahaan terhadap terhadap penghindaran Tax Avoidance). Berikut penelitian-penelitian tersebut : pajak (Tax Budiman dan Setiyono (2012) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Karakter Eksekutif Terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)”, mengambil sampel pada populasi perusahaan Non-banking, Credit Agencies Other Than Bank, Securities, Insurance dan investasi menurut klasifikasi Indonesian Capital Market Directory (ICMD) yang terdaftar di BEI dari tahun 2006 sampai 2010, menggunakan penentuan sampel menggunakan purposive sampling, dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksekutif yang memiliki karakter risk taker memiliki pengaruh yang positif terhadap penghindaran pajak (tax avoidance). Dewi dan Jati (2014) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Karakter Eksekutif, Karakteristik Perusahaan, dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
baik pada Tax Avoidance di Bursa Efek Indonesia”, mengambil sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20092012, dengan jumlah observasi sebanyak 144 dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko perusahaan, kualitas audit, dan komite audit berpengaruh terhadap tax avoidance. Swingly dan Sukartha (2015) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Karakter Eksekutif, Komite Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage dan Sales Growth pada Tax Avoidance”, mengambil sampel pada perusahaan-perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2011-2013, cara penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode nonprobability sampling dengan teknik purposivesampling dengan jumlah sampel pengamatan (observasi) sebanyak 123, dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter eksekutif dan ukuran perusahaan berpengaruh positif pada tax avoidance, leverage berpengaruh negatif pada tax avoidance, sedangkan komite audit dan sales growth tidak berpengaruh pada tax avoidance. Darmawan dan Sukartha (2014) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Penerapan Corporate Governance, Leverage, Return On Assets, dan Ukuran Perusahaan pada Penghindaran Pajak”, mengambil sampel pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan masuk dalam peringkat CGPI periode 20102012 yang berjumlah 55 perusahaan dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Penghindaran pajak diukur dengan selisih antara laba komersial dengan laba fiskal kemudian dibagi dengan total aset perusahaan. Hasil penelitian
memperlihatkan
bahwa
terdapat
pengaruh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
antara
Corporate
31
Governance, ROA, dan ukuran perusahaan dengan penghindaran pajak. Variabel leverage dalam penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh pada penghindaran pajak. Suyanto dan Supramono (2012) dalam penelitian berjudul “Likuiditas, Leverage, Komisaris Independen, dan Manajemen Laba terhadap Agresivitas Pajak Perusahaan”, mengambil sampel seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama kurun waktu 2006 hingga 2010. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan jumlah sampel pengamatan (observasi) sebanyak 195, dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Leverage dan Manajemen Laba berpengaruh positif pada Agresivitas Pajak Perusahaan, sedangkan Likuiditas dan Komisaris Independen berpengaruh negatif pada Agresivitas Pajak Perusahaan. Maharani dan Suardana (2014) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas dan Karakteristik Eksekutif Pada Tax Avoidance Perusahaan Manufaktur”, mengambil sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode tahun pengamatan 2008-2012, metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling dengan sampel sebanyak 37 perusahaan selama periode pengamatan 5 tahun berturut-turut sehingga total sampel 159 dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris, kualitas audit, komite audit yang merupakan proksi dari corporate governance dan Return On Assets yang merupakan proksi dari profitabilitas berpengaruh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
negatif terhadap tax avoidance sedangkan risiko perusahaan yang merupakan proksi dari karakteristik eksekutif berpengaruh positif terhadap tax avoidance, sisanya kepemilikan insitusional yang merupakan proksi dari corporate governance tidak berpengaruh terhadap tindakan tax avoidance. Carolina, Natalia dan Debbianita (2014),
dalam penelitian berjudul
“Pengaruh Karakteristik Eksekutif Pada Tax Avoidance dengan Leverage sebagai Variabel Intervening”, mengambil sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama kurun waktu 2010-2012, teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan sampel sebanyak 20 perusahaan selama periode pengamatan 3 tahun berturut-turut sehingga total sampel 60 dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh karakteristik eksekutif terhadap aktivitas penghindaran pajak (Tax Avoidance) yang dilakukan perusahaan dengan leverage sebagai variabel intervening. Winarsih, Prasetyono dan Syam Kusufi (2014) dalam penelitian “Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Sosial Responsibility terhadap Tindakan Pajak Agresif”, mengambil sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2012, cara penentuan sampel dalam penelitian ini teknik purposive sampling dengan jumlah sampel pengamatan (observasi) sebanyak 80, dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil Penelitian ini menemukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan, sedangkan ukuran
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
dewan direksi, ukuran komite audit dan corporate social responsibility tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Winata (2014),
dalam penelitian berjudul “Pengaruh Corporate
Governance Terhadap Tax Avoidance pada Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013”, mengambil sampel perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2013 sebanyak 234 perusahaan dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proksi corporate governance yaitu prosentase dewan komisaris independen dan jumlah komite audit berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas tax avoidance yang diproksikan dengan book tax gap. gap Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas tax avoidance tidak dipengaruhi secara signifikan oleh kepemilikan institusional, dan kualitas audit. Keterbatasan penelitian ini adalah menggunakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara keseluruhan sebagai objek penelitian, sehingga hasil penelitian tidak dapat ditarik kesimpulannya untuk setiap sektor industri karena tiap sektor industri memiliki kekhasan yang berbeda-beda. Handayani, Aris dan Mujiyati (2015) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Return On Asset, Karakter Eksekutif, dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan yang baik terhadap Tax Avoidance”, mengambil sampel pada seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2013, sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling sehingga menghasilkan 96 sampel dan data dianalisis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Return On Asset dan karakter eksekutif berpengaruh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
signifikan terhadap aktivitas Tax Avoidance, sedangkan kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, kualitas audit, dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas Tax Avoidance. Berikut penelitian-penelitian tersebut yang disajikan dalam bentuk tabel. No
1
2
3
Tabel.2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti dan Variabel Penelitian Hasil Penelitian Tahun Penelitian Budiman Dependen : eksekutif yang memiliki dan Penghindaran pajak (tax karakter risk taker memiliki Setiyono avoidance) yang positif pengaruh (2012) terhadap penghindaran pajak Independen : (tax avoidance) Karakter eksekutif Dewi dan Dependen : a. Risiko perusahaan, Jati (2014) Penghindaran pajak (tax kualitas audit, dan komite avoidance) audit berpengaruh signifikan terhadap tax Independen : avoidance a. Risiko perusahaan b. Ukuran perusahaan, company, multinasional company b. Ukuran perusahaan kepemilikan institusional, c. Multinational company proporsi dewan komisaris d. Kepemilikan independen tidak institusional berpengaruh terhadap tax e. Proporsi dewan avoidance. komisaris indepeden f. Kualitas audit g. Komite audit Swingly dan Dependen : a. risiko perusahaan yang Sukartha Penghindaran Pajak (Tax merupakan proxy dari (2015) Avoidance) karakter eksekutif berpengaruh positif pada Independen : tax avoidance a. Karakter eksekutif b. Jumlah komite audit dan sales growth tidak b. Komite audit berpengaruh terhadap tax c. Ukuran perusahaan avoidance. d. Leverage c. Total aset yang e. Sales growth merupakan proxy dari ukuran perusahaan berpengaruh positif pada tax avoidance.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
4
Darmawan dan Sukartha (2014)
Dependen : Penghindaran Pajak Independen : a. Corporate governance b. Leverage c. Return On Assets d. Ukuran perusahaan
d. leverage berpengaruh negatif pada tax avoidance a. Corporate Governance, Return On Assets, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penghindaran pajak. b. leverage tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak.
5
Suyanto dan Dependen : Supramono Agresivitas pajak ((ETR) (2012) Independen : a. Likuiditas b. Leverage c. Komisaris independen d. Manajemen laba
a. Leverage dan manajemen laba berpengaruh positif pada agresivitas pajak perusahaan b. Likuiditas dan komisaris independen berpengaruh negatif pada agresivitas pajak perusahaan
6
Maharani dan Suardana (2014)
a. Proporsi dewan komisaris, kualitas audit, komite audit yang merupakan proksi dari corporate governance dan Return On Assets yang merupakan proksi dari profitabilitas berpengaruh negatif terhadap tax avoidance b. risiko perusahaan yang merupakan proksi dari karakteristik eksekutif berpengaruh positif terhadap tax avoidance. c. Kepemilikan insitusional yang merupakan proksi dari corporate governance tidak berpengaruh terhadap tindakan tax avoidance terdapat pengaruh karakteristik eksekutif terhadap aktivitas penghindaran pajak (Tax
7
Carolina, Natalia dan Debbianita (2014)
Dependen : Tax Avoidance Independen : a. Kepemilikan institusional b. Proporsi dewan komisaris independen c. Kualitas audit d. Komite audit e. Return On Assets f. Risiko perusahaan
Dependen : Tax Avoidance Independen :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
8
9
Winarsih, Prasetyono dan Syam Kusufi (2014)
Winata
Karakter eksekutif Intervening Leverage Dependen : Tindakan Pajak Agresif Independen : a. Ukuran dewan komisaris b. Ukuran dewan direksi c. Ukuran komite audit d. Corporate social responsibility Dependen : Tax Avoidance
(2014) Independen : a. Kepemilikan Institusional b. Prosentase dewan komisaris independen c. Kualitas audit d. jumlah komite audit
10
Handayani, Aris dan Mujiyati (2015)
Dependen : Tax Avoidance Independen : a. Return On Assets b. Karakter eksekutif c. Kepemilikan institusional d. Proporsi dewan komisaris independen e. Kualitas Audit f. Komite Audit
Avoidance) yang dilakukan perusahaan dengan leverage sebagai variabel intervening a. Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan b. Ukuran dewan direksi, ukuran komite audit dan corporate social responsibility tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan a. prosentase dewan komisaris independen dan jumlah komite audit yang merupakan proxy dari corporate governance berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas tax avoidance yang diproksikan dengan book tax gap. b. kepemilikan institusional, dan kualitas audit yang merupakan proxy dari corporate governance tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance yang diproksikan dengan book tax gap. Ass dan a. Return On Asset karakter eksekutif berpengaruh signifikan terhadap aktivitas Tax Avoidance b. Kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, kualitas audit, dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas Tax Avoidance
Sumber : Dari beberapa Jurnal, 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
B. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindarana Pajak Low (2006) dalam Carolina, Natalia dan Debbianita (2014) menyebutkan bahwa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan perusahaan eksekutif memiliki dua karakter yakni sebagai pengambil risiko (risk taker) atau penghindar risiko (risk averse). Eksekutif yang memiliki karakter risk taker adalah eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis, lebih berani memanfaatkan peluang yang ada sekalipun peluang tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi dan biasanya memiliki dorongan kuat untuk memiliki penghasilan, posisi, kesejahteraan, dan kewenangan yang lebih tinggi. Dengan demikian mereka harus mampu mendatangkan cash flow yang tinggi pula guna memenuhi tujuan pemilik perusahaan yakni untuk mendapatkan cash flow dari operasi yang dilakukan oleh perusahan. Tax avoidance bermanfaat untuk memperbesar tax saving yang berpotensi mengurangi pembayaran pajak sehingga akan menaikkan cash flow (Guire at al., 2011 dalam Budiman dan Setiyono, 2012). Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1 : Sifat risk taker eksekutif berpengaruh signifikan terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) 2. Pengaruh Mekanisme GCG yang diproksikan dengan Prosentase Komisaris Independen terhadap Penghindaran Pajak Fama & Jensen (1983) dalam Wulandari (2005) dalam Suyanto dan Supramono (2012) menyatakan kehadiran komisaris independen dalam dewan komisaris mampu meningkatkan pengawasan kinerja direksi. Dimana dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
semakin banyak komisaris independen maka pengawasan manajemen akan semakin ketat. Manajemen kerapkali bersifat oportunistik dimana mereka memiliki motif untuk memaksimalkan laba bersih agar meningkatkan bonus. Laba selama ini dijadikan indikator utama keberhasilan manajer. Salah satu cara meningkatkan laba bersih adalah dengan menekan biaya-biaya termasuk pajak. Sehingga dapat mendorong manajer menjadi agresif terhadap pajak. Diharapkan semakin besar proporsi komisaris independen dapat meningkatkan pengawasan sehingga dapat mencegah agresivitas pajak perusahaan yang dilakukan oleh manajemen. Dewan komisaris digunakan karena dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG (KNKG, 2006). Dengan fungsinya ini, dewan komisaris akan memastikan bahwa kelima prinsip GCG telah terlaksana dalam perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Prosentase komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan (Tax Avoidance). 3. Pengaruh Mekanisme GCG yang diproksikan dengan Kompetensi Komite Audit terhadap Penghindaran Pajak Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris perusahaan, yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh dewan komisaris, yang bertugas untuk membantu melakukan pemeriksaan atau penelitian yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen penting yang harus ada pada perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Indonesia, oleh karena itu Bursa Efek Indonesia mengharuskan membentuk dan memiliki komite audit yang diketuai oleh komisaris independen. Keberadaan komite audit diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengawasan internal yang pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada para pemegang saham dan stakeholder lainnya. Hubungan antara keahlian akuntansi atau keuangan dalam komite audit dengan penghindaran pajak perusahaan ditemukan dalam penelitian sebelumnya. Armstrong, et al. (2013) menemukan bahwa jumlah ahli keuangan ((financial expertise) dalam dewan direksi berpengaruh secara signifikan terhadap distribusi penghindaran pajak, dengan menaikkan tingkat penghindaran pajak saat tingkatnya sangat rendah, dan menurunkan tingkat penghindaran pajak saat tingkatnya sangat tinggi. Sedangkan Robinson, et al. (2012) dalam Dewi dan Jati (2014) menemukan bahwa latar belakang keahlian akuntansi komite audit berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak yang tidak berisiko. Diketahui bahwa latar belakang keahlian komite audit yang lain selain akuntansi, ternyata cenderung melakukan penghindaran pajak yang berisiko. Dari beberapa penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa komite audit dengan keahlian akuntansi atau keuangan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan yang diambil perusahaan, sehingga membantu mengontrol manajer agar berlaku sesuai kepentingan pemegang saham. Untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
melakukan penghindaran pajak diperlukan keahlian dalam hal akuntansi, perpajakan, dan peraturan hukum. Anggota komite audit dengan keahlian akuntansi atau keuangan lebih mengerti celah dalam peraturan perpajakan dan cara yang menghindari risiko deteksi, sehingga dapat memberikan saran yang berguna untuk melakukan penghindaran pajak dan menghasilkan keuntungan lebih besar bagi pemegang saham. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dapat dikembangkan adalah: H3 : Kompetensi komite audit berpengaruh signifikan terhadap perilaku penghindaran pajak perusahaan (Tax Avoidance) 4. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak Ukuran perusahaan merupakan suatu pengklasifikasian sebuah perusahaan berdasarkan jumlah aset yang dimilikinya. Aset dinilai memiliki tingkat kestabilan yang cukup berkesinambungan. Perusahaan yang termasuk dalam skala perusahaan besar akan mempunyai sumber daya yang berlimpah yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Penelitian
sebelumnya
oleh Siegfried
(1977)
dalam
Sari
(2014)
menunjukkan hubungan antara ukuran perusahaan dengan aaggressive tax avoidance, demikian pula dengan penelitian lainnya, mereka menyimpulkan bahwa semakin besar perusahaan maka efektif tax rate (ETR) semakin kecil. Pengembangan dugaan ini merujuk pada beberapa penelitian sebelumnya, antara lain penelitian yang dilakukan Rego (2003), Hanlon (2005), Derashid et al. (2003) dalam Swingly dan Sukartha (2015), mereka menyimpulkan bahwa semakin besar perusahaan maka efektif tax rate (ETR) semakin kecil, data tersebut menunjukkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
semakin meningkatnya tindakan aggressive tax avoidance. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dapat dikembangkan adalah: H4:
Ukuran
Perusahaan
berpengaruh
signifikan
terhadap
perilaku
penghindaran pajak perusahaan (Tax Avoidance). Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan, maka variabel yang terkait dalam penelitian ini dapat dirumuskan melalui suatu rerangka pemikiran sebagai berikut : Risiko Perusahaan H1 Prosentase Komisaris Independen
H2 H3
Kompetensi Komite Audit H4 Ukuran Perusahaan Gambar 2.1 Rerangka pemikiran Gam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Penghindaran Pajak