12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Bank Syariah 2.1.1 Pengertian Bank Syariah Pengertian Bank Syariah menurut Harahap, Wiroso, dan Yusuf, (2010) adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Sedangkan menurut Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Selain itu menjelaskan tentang prinsip syariah yang menjadi dasar operasional bank syariah, yaitu : “Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
13
Dalam Pasal 1 ayat 7 Undang – Undang No.21 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : “Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
2.1.2 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional dikemukakan oleh (Triandaru dan Budisantoso, 2006) antara lain : 1. Perbedaan Falsafah Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank konvensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalui bank syariah diperolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak. Sangat menguntungkan tapi berakibat
fatal
untuk
banknya.
Riba,
sangat
berpotensi
untuk
14
mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak maupun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya. 2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional
dimana deposito merupakan upaya
membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbalan hadi. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula resiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko. Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpanan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam transaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan
15
dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tinggi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya. Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvensional, nasabah hanya dibayar sejumlah presentase dari dana yang disimpannya saja. 3. Kewajiban Mengelola Zakat Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infak, sedekah).
16
4. Struktur Organisasi Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional dapat dilihat secara singkat tabel berikut :
Tabel 2.1 Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bank Syariah Berinvestasi pada usaha yang halal Atas dasar bagi hasil, margin keuntungan dan fee Besarnya bagi hasil berubah – ubah tergantung kinerja usaha Profit dan falah oriented Pola hubungan kemitraan Ada Dewan Pengawas Syariah
Bank Konvensional Bebas nilai Sistem bunga Besarannya tetap Profit Oriented Hubungan debitur-kreditur Tidak ada lembaga sejenis
Sumber : Bank dan Lembaga Keuangan lain (2006)
Lebih lanjut dikemukan perbedaan antara bagi hasil dalam prinsip syariah dan bunga dalam prinsip konvensional, sebagai berikut :
17
Tabel 2.2 Perbandingan Sitem Bagi Hasil dengan Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil 1. Penentuan besarnya risiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi. 2. Besarnya rasio (misbah) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. 3. Tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembagi bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan 4. Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil 5. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika poyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama kedua belah pihak
Sitem Bunga 1. Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank. 2. Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. 3. Tidak tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat 4. Eksistensi bunga diragukan kehalalnya oleh semua agama termasuk agama islam 5. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Sumber : Bank dan Lembaga Keuangan Lain (2006)
2.1.3 Keunggulan dan Kelemahan Bank Syariah Keunggulan dan kelemahan Bank Syariah menurut (Antonio, 2007) sebagai berikut : Keunggulan Bank Syariah 1. Keunggulan Bank Islam terutama pada kuatnya ikatan emosional keagamaan antara pemegang saham, pengelola bank, dan nasabahnya. Dari ikatan emosional inilah dapat dikembangkan kebersamaan dalam menghadapi risiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil.
18
2. Dengan adanya keterikatan secara religi, maka semua pihak yang terlibat dalam bank Islam adalah berusaha sebaik-baiknya dengan pengalaman ajaran agamanya sehingga berapa pun hasil yang diperoleh diyakini membawa berkah. 3. Adanya Fasilitas pembiayaan (al-mudharabah dan al-musyarakah) yang tidak membebani nasabah sejak awal dengan kewajiban membayar biaya secara tetap.hai ini adalah memberikan kelonggaran phychologis yang diperlukan nasabah untuk dapat berusaha secara tenang dan sungguh-sungguh. 4. Dengan adanya sistim bagi hasil maka untuk penyimpan dana setelah tersedia peringatan dini tentang keadaan banknya yang bisa diketahui sewaktu-waktu dari naik turunnya jumlah bagi hasil yang diterima. 5. Penerapan sistim bagi hasil dan ditanggalkannya sistem bunga menjadikan bank Islam lebih mandiri dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun dari luar negeri. Kelemahan Bank syariah 1. Utama kelemahan bank Islam adalah bahwa bank dengan sisem ini terlalu berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam bank Islam adalah jujur. Dengan demikian bank Islam sangat rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik, sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari Bank Islam.
19
2. Sistem bagi hasil memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di bank tidak tetap. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bias terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar dari bank konvensional. 3. Karena bank ini membawa misi bagi hasil yang adil, maka bank islam lebih memerlukan tenaga-tenaga profesional yang handal dari pada bank konvensional. Kekeliruan dalam menilaui proyek yang akan dibiayai bank dengan system bagi hasil akan membawa akibat yang lebih besar daripada yang dihadapi bank konvensional yang hasil pendapatannya sudah tetap dari bunga.
2.2 Non Performing Financing 2.2.1 Pengertian Non Performing Financing Non Performing Financing (NPF) yang analog dengan Non Performing loan (NPL) pada bank konvensional merupakan rasio keuangan yang berkaitan dengan risiko kredit. Non Performing Financing menunjukan kemampuan manajemen bank dalam mengelola pembiayaan bermasalah yang diberikan oleh bank. Sehingga semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar,
20
diragukan dan macet (Almilia, 2005). (Hasbi, 2011) menuliskan rasio NPF ini dapat dirumuskan sebagai berikut : NPF =
x 100% Selanjutnya Bank Indonesia membedakan atas dua rasio Non Performing
Financing yakni Gross and nett. Pembedaan itu didasarkan atas penentuan jumlah non Performing Financing dimana NPF gross mmengacu pada jumlah pembiayaan bermasalah sebelum dikurangi oleh penyisihan penghapusan yang telah dibentuk. Sedangkan NPF nett mengacu kepada jumlah pembiayaan bermasalah setelah dikurangi penyisihan penghapusan yang telah dibentuk. Agar dapat menentukan tingkat yang wajar atau sehat dilihat dari keberadaan Non Performing Financing diperlukan suatu standar ukuran yang tepat. Dalam hal ini Bank Indonesia menetapkan bahwa tingkat Non Performing Financing yang wajar berkisar antara 3% - 5% dari total portofolio kreditnya.
2.2.2 Penyebab Terjadinya Non Performing Financing Perlu diketahui bahwa beranggapan Non Performing Financing selalu dikarenakan kesalahan nasabah merupakan hal yang salah. Pembiayaan berkembang menjadi bermasalah dapat disebabkan oleh berbagai hal yang menjadi timbulnya Non Performing Financing tersebut perlu disadari oleh bank agar dapat mencegah atau menangani dengan baik. Adapun beberapa hal yang menyebabkan timbulnya Non Performing Financing adalah sebagai berikut :
21
1. Error Omission (EO) Timbulnya kredit macet yang ditimbulkan oleh adanya unsur kesengajaan untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. 2. Error Commusion (EC) Timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya peraturan atau ketentuan.
Menurut (Rivai, 2007), kredit bermasalah memiliki beberapa penyebab antara lain: Karena Kesalahan Bank 1. Kurang pengecekan terhadap latar belakang calon nasabah 2. Kurang tajam dalam menganalisis terhadap maksud dan tujuan penggunaan kredit dan sumber pembayaran kembali 3. Kurang pemahaman terhadap kebutuhan keuangan yang sebenarnya dari calon nasabah dan manfaat kredit yang diberikan 4. Kurang mahir dalam menganalisis laporan keuangan calonnasabah 5. Kurang lengkap mencantumkan syarat-syarat 6. Terlalu agresif 7. Pemberian kelonggaran terlalu banyak 8. Kurang pengalaman dari pejabat kredit atau accout officer. 9. Pejabat kredit atauaccount officer mudah dipengaruhi, diintimidasi atau dipaksa oleh calon nasabah 10. Keyakinan yang berlebihan
22
11. Kurang mengadakan review, minta laporan dan menganalisis laporan keuangan serta informasi-informasi kredit lainnya. 12. Kurang mengadakan on the spot pada lokasi perusahaan nasabah 13. Kurang mengadakan kontak dengan nasabah 14. Pemberian kredit terlalu banyak tanpa disadari 15. Campur tangan yang berlebihan dari pemilik 16. Pengikatan jaminan kurang sempurna 17. Ada keentingan pribadi pejabat bank 18. Kompromi terhadap prinsip-prinsip perkreditan 19. Tidak punya kebijakan perkreditan yang sehat 20. Sikap memudahkandari pejabat bank atau account officer Karena Kesalahan Nasabah 1. Nasabah tidak kompeten 2. Nasabah tidak atau kurang pengalaman dalam mengelola perusahaan 3. Nasabah kurang memberikan waktu untuk usahanya sehingga salah urus 4. Nasabah tidak jujur 5. Nasabah serakah 6. Nasabah sakit, kecelakaan, kematian, dan perceraian Faktor Eksternal 1. Kondisi Perekonomian 2. Perubahan – perubahan peraturan pemerintah 3. Bencana alam.
23
Menurut (Antonio, 2007), bahwa penyebab utama terjadinya kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya, penilaian kredit kurang cermat dalam mengatisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiyainya. Non Performing Loan/financing pada dasarnya disebaban oleh faktor intern dan ektern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari memngingat adanya berbagai kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank/ atau lembaga keuangan.
2.2.3 Gejala Timbulnya Non Performing Financing Jika bank tidak mau rugi karena pembiayaan yang diberikan menjadi bermasalah, bank harus dapat mengidentifikasi gejala-gejala dininya sehingga dapat segera mengambil langkah penanganan sebelum masalahnya semakin parah. Pada umumnya pembiayaan berkembang menjadi bermasalah melalui tahapan- tahapan yang ada gejala-gejalanya. Bank dapat mendeteksi adanya gejala-gejala dini dengan selalu memeriksa fortofolio pembiayaannya yang dipusatkan pada faktor-faktor kunci yang merupakan indikator-indikator penurunan kualitas pembiayaan. Adapun gejala dini tersebut menurut (Rivai, 2007) dapat dideteksi dari keadaan-keadaan sebagai berikut : 1. Adanya tunggakan 2. Mengajukan perpanjangan 3. Kondisi keuangan menurun
24
4. Laporan keuangan terlambat atau yang tadinya selalu diaudit akuntan menjadi tidak 5. Saldo rata-rata giro menurun dan sering overdroft 6. Hubungan dengan banksemakin renggang, menghindari setiap kali dihubungi 7. Penurunan nilai/hilangnya jaminan 8. Penggunaan kredit tidak sesuai dengan rencana 9. Kehilangan langganan utama 10. Informasi negatif 11. Konflik interen 12. Masalah keluarga 13. Menurunnya kesehatan nasabah, meninggal 14. Bencana alam, perubahan peraturan. 15. Keterlibatan usaha lain secara diam-diam. 16. Enggan dikunjungi tempat usahanya. 17. Memberikan laporan tidak benar. Menurut (Rivai, 2007), disebutkan pada sumber – sumber informasi dan cara mendeteksi hal-hal tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Manajemen : di deteksi dari pertemuan dengan nasabah secara periodik. 2. Keuangan : dideteksi dengan menganalisis laporan keuangan nasabah secara kontinu bandingkan dengan laporan-laporan sebelumnya, cross
25
check dengan informasi dari kreditor-kreditor dan sumber lain, periksa catatan nasabah. 3. Operasi : dideteksi dari kunjungan on the spot dengan mengevaluasi peralatan dan persediaan, sikap / kemampuan karyawan, kelengkapan fasilitas. 4. Hubungan dengan bank : dideteksi dengan mengadakan loan review, yaitu selalu melihat kembali file kredit. 5. Jaminan : dideteksi dari file dan kunjungan on the spot. Mutu pembiayaan tidak dapat berantakan begitu saja tanpa memberi tanda-tanda sebelumnya. Dengan demikian, pembiayaan bermasalah (non performing financing) juga tidak muncul secara mendadak. Pada sebagian besar kejadian, berbagai macam gejala penurunan mutu pembiayaan secara bertahap telah bermunculan jauh sebelum kasus pembiayaan bermasalah itu sendiri muncul ke permukaan. Para banker yang secara cermat memonitori perkembangan mutu pembiayaan mereka dapat mendeteksi gejala-gejala tersebut. Mengenai gejala timbulnya Non performing financing menurut (Sutojo, 2008), bahwa banyak sekali jenis gejala bakal timbulnya kredit bermasalah, namun gejala umum yang sering kali muncul adalah : 1. Penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit. 2. Penurunan kondisi keuangan debitur. 3. Penyajian laporan dan bahan masukan lain secara tidak benar. 4. Menurunnya sikap kooperatif debitur. 5. Penurunan nilai jaminan yang disediakan.
26
6. Tingginya frekuensi penggantian tenaga inti, dan 7. Timbulnya problem keluarga atau pribadi debitur yang serius.
2.2.4 Dampak Non Performing Financing terhadap Bank Syariah Non Performing Financing dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan baik bagi pemberi pembiayaan, dunia perbankan pada umumnya, maupun terhadap kehidupan ekonomi/moneter negara. Menurut (Sutojo,2008), disebutkan bahwa dampak terhadap kelancaran operasi bank pemberi kredit, yaitu mempengaruhi tingkat profitabilitas usaha bank yang bersangkutan. Sebab untuk menjaga keamanan dana para deposan, bank sentral mewajibkan bank umum menyediakan cadangan penghapusan kredit bermasalah. Dengan demikian, semakin besar jumlah saldo kredit bermasalah yang dimiliki bank, akan semakin besar pula biaya yang harus mereka tanggung untuk mengadakan dana cadangan itu. Selain itu nilai kesehatan operasi mereka di masyarakat dan di dunia perbankan pada khususnya akan ikut menurun juga dan akan mengurangi jumlah modal sendiri yang berimbas pada capital adequancy ratio (CAR). Sedangkan dampak pada perbankan yaitu, apabila penurunan mutu kredit dan profitabilitas bank yang bersangkutan demikian parahnya sehingga mempengaruhi likuiditas keuangan dan lovabilitas mereka, maka kepercayaan penitip dana pada bank tersebut akan merosot. Secara serentak para penitip dana akan menarik dana mereka dari bank, dengan akibat likuiditas keuangan bank
27
yang bersangkutan menjadi lebih parah lagi, sehingga kesehatan mereka merosot ke tingkat bank bermasalah. Adapun dampak terhadap kehidupan ekonomi / moneter negara disebutkan pula oleh siswanto sutojo, yaitu tidak lancarnya perputaran uang. Dengan demikian, perputaran dana bank berhenti dan seluruh dampak yang dapat ditimbulkan oleh penyaluran kredit dapat terjadi. Dengan terhentinya perputaran dana tersebut, peranan bank sebagai lembaga perantara (intermediary) antar para pemilik dana surplus yang menitipkan dananya pada bank dengan mereka yang membutuhkan dana juga tidak dapat berfungsi secara penuh. Hilangnya kesempatan bank membiayai operasi debitur lain, karena berhentinya perputaran dana yang mereka pinjaman, akan memperkecil kesempatan para pengusaha untuk memanfaatkan peluang bisnis dan investasi yang ada. Dengan demikian, dampak positif dari perluasan usaha bisnis atau investasi proyek baru, termasuk penyediaan lapangan kerja baru, peningkatan penerimaan devisa, subsitusi impor dan sebagainya, juga tidak akan muncul. Hal itu kan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sedangkan menurut (Antonio, 2007), bahwa gejala yang dapat timbul dari risiko ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilandasi krisis atau resensi. Turunnya penjualan mengurangi penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Hal ini semakin diperberat oleh meningkatnya tingkat bunga, ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak akan memperoleh hasil yang memadai karena jaminan yang tidak ada sebanding dengan besarnya kredit yang diberikan.
28
Tentu saja bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang berat jika ia mempenyai kredit macet yang cukup besar.
2.2.5 Upaya Penyelamatan Non Performing Financing Menurut (Rivai, 2006), bahwa penyelamatan kredit adalah upaya yang dilakukan di dalam pengelolaan kredit bermasalah yang masih mempunyai prospek didalam usahanya dengan tujuan untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya kerugian bagi bank, menyelamatkan kembali kredit yang ada agar menjadi lancar atau dengan kata lain, kualitas nasabah meningkat, serta usahausaha lainnya yang ditunjukan untuk memperoleh kualitas usaha yang nasabah. Untuk menyelamatkan non performing financing, menurut (Sutojo, 2008), bank dapat melakukan berbagai macam upaya. Adapun upaya-upaya umum yang dilakukan bank untuk menyelamatkan kredit bermasalah adalah : 1.
Penjadwalan kembali pelunasan kredit (rescheduling) Dengan penjadwalan kembali pelunasan kredit, bank memberi kelonggaran
debitur membayar utangnya yang telah jatuh tempo, dengan jalan menunda tanggal jatuh tempo tersebut. Apabila pelunasan kredit dilakukan dengan cara mengangsur, dapat juga bank menyusun jadwal baru angsuran kredit yang dapat meringankan kewajiban debitur untuk melaksanakannya. Jumlah pembayaran kembali setiap angsuran dapat disesuaikan dengan perkembangan likuiditas keuangan (cash ending balance) debitur tiap akhir bulan atau kuartal. Dengan demikian, diharapkan nasabah mampu melunasi pembiayaan yang tertunggak tanpa harus mengorbankan kelancaran operasi bisnis perusahaan mereka.
29
2. Penataan kembali persyaratan kredit (reconditioning) Tujuan utama penataan kembali persyaratan kredit adalah memperkuat posisi tawat menawar bank dengan debitur. Dalam rangka penataan kembali persyaratan kredit itu, isi perjanjian kredit ditinjau kembali, bilamana ditambah atau dikurangi. Apabila kredit diberikan tanpa jaminan, dengan munculnya kredit bermasalah, bank wajib meminta debitur menyediakan jaminan yang sejenis dan nilai jualnya dapat diterima bank. Jaminan tersebut pengadaannya tidak harus dari perusahaan debitur yang bermasalah, melainkan dapat saja diberikan oleh pihak ketiga, misalnya para pemegang saham, anak perusahaan atau perusahaan induk. Dalam penataan kembali pesyaratan pembiayaan, bnk wajib meneliti kembali semua ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pembiayaan lama. Apabila kemudian ditemukan hal-hal tertentudalam ketentuan khusus tadu yang perlu diperbaiki guna memperkuat posisi tawar-menawar bank, hendaknya diusahakan agar nasabah menyetujui perbaikan ketentuan khusus tersebut. 3. Reorganisasi dan rekapitulasi (reorganization and recapitulazation) Dengan memperbaiki struktur pendanaan (rekapitulasi) dan reorganisasi bisnis debitur, kadang-kadang bank dapat membantu debitur memperbaiki kondisi dan likuidasi keuangan mereka. Dengan demikian diharapkan sedikit demi sedikit debitur mampu melunasi kredit yang tertunggak. Tujuan utama reorganisasi bisnis adalah menurunkan beban biaya tetap dan meningkatkan efesiensi kegiatan operasi perusahaan. Tertanggung dari besar kecilnya skala perusahaan dan tingkat kegawatan masalah yang sedang dihadapi, bentuk penataan kembali perusahaan debitur dapat berupa (Sutojo, 2008) :
30
1. Pengawasan ketat akan pengeluaran operasional guna mencegah pemborosan. 2. Menekan jumlah biaya tetap. 3. Menghapus atau mengurangi jenis usaha yang kurang menguntungkan 4. Konsolidasi bagian dan atau seksi perusahaan yang ada. 5. Mengurangi jumlah dan jenis fasilitas produksi yang tidak efisien. 6. Memperbaiki manajemen persediaan, antara lain dengan jalan lebih selektif
dalam
pemberian
kredit
penjualan
pelanggan
dan
meningkatkan kegiatan penagihan saldo piutang dagang. Menurut (Sutojo, 2008), rekapitulasi atau upaya penyehatan struktur pendanaan perusahaan (corporate financial restructuring) bertujuan meringankan beban biaya keuangan dan cicilan utang debitur. Bentuk upaya penyelamatan melalui penyehatan strktur pendanaan, antara lain adalah : 1. Penerbitan saham biasa atau saham preferen baru Saham baru tersebut kemudian ditawarkan kepada para pemegang saham lama dan investor baru. Selanjutnya, hasil penjualan saham dipergunakan untuk melunasi sebagian dari saldo kredit yang tertunggak dan menambah modal kerja perusahaan. 2. Mengkonversi saldo kredit yang tertunggak menjadi modal saham, bank akan menjadi pemegang saham perusahaan debitur. Konversi saldo kredit tertunggak menjadi modal saham dapat dilakukan baik secara keseluruhan atau hanya sebagian dari jumlah kredit tertunggak. Manfaat konversi kredit yang segera dirasakan debitur adalah berkurangnya angsuran kredit. Dengan demikian, jumlah kas keluar untuk tiap masa tertentu dapat diperkecil
31
2.3 Modal Bank 2.3.1 Modal menurut jenis Bank
Menurut SK direksi Bank Indonesia No.26/20/kep/Dit tanggal 29 mei 1993 mengenai ketentuan modal bank, dibedakan antara modal bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia dengan modal bank asing yang beroperasi di Indonesia. Modal/ekuitas bank atau equity capital bagi bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia adalah dana yang berasal dari pemilik (pemegang saham) bank. Komponen modal itu sendiri : 1. Modal Inti (primary capital) yang terdiri dari : 1. modal disetor, yaitu dana yang benar-benar telah disetor ke dalam bank untuk modal usaha. Modal disetor merpakan selisih antara modal dasar dengan modal yang belum disetor. 2. Cadangan – cadangan, rekening cadangan merupakan bagian dari laba/keuntungan bank yang disisihkan untuk memperkuat modal membiayaai kegiatan-kegiatan tertentu atau untuk menutupi kebutuhan bank yang bersifat khusus, seperti untuk pembiayaan pembangunan / pembelian gedung kantor dan harta tetaplainnya. 3. Sisa laba tahun-tahun yang lalu, yaitu sisa laba tahun atau tahun – tahun yang lalu karena alasan-alasan tertentu, yang belum dibagikan atau dibebankan ke rekening lain, seperti rekening cadangan. Rekening ini hanya sebagian (50%) diperhitungkan sebagai modal inti.
32
4. Laba tahun berjalan, yaitu laba yang diperoleh bank dalam kegiatan usahanya pada tahun buku berjalan, rekening ini juga hanya 50% diperhitungkan sesuai modal inti. 5. Agio saham, adalah selisih lebih antara harga jual saham dengan harga nominalnya. 6. Laba ditahan atau (retained earning) juga merupakan bagian dari modal inti. 7. Bagian kekayaan bersih anak perusahaan bank yang bersangkutan, yaitu yang laporan keuangannya dikonsolidasi (digabungkan) dengan laporan keuangan bank yang bersangkutan. 2. Modal pelengkap (secondary capital) yang terdiri dari : 1. cadangan revaluasi aktiva lengkap, apabila harta tetap bank yang bersangkutan direvaluasi (dinilai kembali) melalui perusahaan appraisal resmi, maka selisih nilai (lebih besar) appraisal setelah dipotong pajak merupakan bagian dari modal pelengkap. 2. Cadangan
penghapusan
aktiva
produktif
(aktiva
yang
diklasifikasikan), bank diwajibkan untuk membuat cadangan dalam jumlah tertentu bagi aktivanya terutama lazim dikenakan pada kredit/pinjaman yang diberikan yang statusnya bermasalah seperti kredit-kredit macet, diragukan, kurang lancar, dan dalam perhatian khusus. Cadangan tersebut
merupakan sniking fund yang
memperkuat modal. Jumlah maksimum cadangan penghapusan aktiva produktif yang diizinkan untuk diperhitungkan sebagai
33
modal pelengkap maksimal 1,25% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). 3. Modal kuasi (hybrid capital), atau disebut debt/equity, capital instrument,ialah modal yang didukung oleh instrument atau warkat yang memiliki ciri-ciri sifat modal : tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan, dipersamakan dengan modal (subordinated) dan telah dibayar penuh, tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik tanpa persetujuan bank indonesia. 4. Pinjaman subordinasi, adalah pinjaman yang memenuhi syaratsyarat sebagian berikut : adanya perjanjian tertulis antar bank dengan pemberi pinjaman, mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia, tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan telah terima secara penuh, minimal berjangka waktu 5 tahun. Jumlah pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai modal untuk sisa jangka waktu 5 tahun terakhir adalah jumlah pinjaman subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus protate. Maksimum pinjaman subordinasi yang dapat dijadikan komponen modal pelengkap tersebut hanya dapat diperhitungkan sebagai modal setinggitingginya 100% dari jumlah modal inti.
3. Modal kantor bank asing adalah dan bersih kantor pusat dan kantor cabangnya diluar Indonesia (net head office funds). Dana bersih
34
tersebut merupakan selisih antar saldo penanaman kantor pusat dan atau kantor cabangnya diluar indonesia (passiva), dengan saldo penanaman kantor-kantor cabangnya di Indonesia pada kantor pusat dan atau kantor cabangnya diluar Indonesia (aktiva). Menurut surat edaran Bank Indonesia no.21/17/BPPP tertanggal 25 maret 1988, komponen modal bank terdiri dari : modal disetor, cadangan modal, cadangan umum, cadangan tujuan, cadangan revaluasi aktiva tetap dan cadangan piutang ragu-ragu yang dibentuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku, laba yang ditahan (retained earning), sisa laba tahun berjalan, saldo rugi dan pinjaman subordinasi.
2.3.2 Dasar Perhitungan Penyediaan Modal Minimum Bank Berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia No.23/67/kep/Dir tanggal 28 februari 1992, bahwa guna memenuhi ketentuan tentang CAR yang ditetapkan oleh BIS, maka bank indonesia telah mengeluarkan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. Sedangkan menurut (Sinungan, 2008), bahwa kewajiban penyediaan modal minimum bank diukur dari presentase tertentu terhadap aktiva tertimbang menurut risiko. Sejalan dengan standar yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement terhadap seluruh bank bank di indonesia diwajibkan menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus). Menurut (Hasibuan, 2006), bahwa kewajiban penyediaan modal minimum atau CAR (Capital Adequancy Ratio) atau BIS (Befor Internasional Settlement)
35
sebesar 8%. Kewajiban penyediaan modal minimum adalah kebutuhan modal minimum bank dihitung berdasarkan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).
2.3.3 Tingkat Kecukupan Modal (CAR) Capital Adequancy ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yag mengandung unsur risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) yang ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber – sumber diluar bank (Yuliani, 2007). Dengan kata lain, Capital Adequancy ratio adalah risiko kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko. CAR =
x 100%
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecukupan modal bank antara lain sebagai berikut : 1. Tingkat kualitas aset. Misalnya suatu bank yang banyak memiliki debitur bermasalah (non performing loan) dan aktiva tidak produktif (non earning assets), dapat dipastikan bank tersebut tidak dapat melaksanakan kegiatannya dengan lancar, dan mengikis bank tersebut tidak dapat melaksanakan kegiatannya dengan lancar, dan mengikis dana modal bank untuk menutupi kerugian-kerugian yang dideritanya. 2. Struktur dana yang dihimpun. Apabila struktur dana yang dihimpun oleh bank didominasi oleh deposito yang berjangka serta dana-dana mahal
36
lainnya maka cost of fund bank yang bersangkutan akan tinggi. Hal tersebut berdampak pada daya saing bank yang cenderung lemah, sehingga sulit untuk mendapat keuntungan yang memadai, kemudian pada gilirannya juga akan membebani modal atau sekurang-kurangnya modal sulit bertambah sehingga tidak memungkinkan bank tersebut untuk mengadakan ekspansi usahanya. 3. Efisiensi dalam system and operating procedure. Sistem dan prosedur operasi yang efisien akan mendorong bank untuk meraih keuntungan laba yang tinggi. Laba yang tinggi akan memperkuat modal bank bersangkutan. 4. Tingkat kualitas manajemen. Manajemen yang kurang baik akan membawa bak kearah kerugian. Bank yang rugi akan menggerogoti modalnya. Modal yang terus menerus menggerogoti akan semakin berkurang, dan lama kelamaan akan habis bahkan menjadi minus yang akhirnya bank harus dilikuidasi. 5. Tingkat likuidasi yang terpelihara. Manakala bank selalu menggunakan dananya untuk keperluan pemberian kredit shingga dana masyarakat 9dana pihak ketiga), habis tersalurkan kepada earning asset atau non earning asset, maka likuiditas (primary reserve) harus disediakan dari modal bank. Dengan demikian modal bank menjadi berkurang. 6. Sikap para pemegang saham. Sikap para pemegang saham yang selalu membagi habis laba yang bersangkutan (deviden), maka modal bank tersebut tidak akan bertambah, sehingga sulit untuk melakukan pengembangan usaha.
37
2.3.4 Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004tanggal 12 April 2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum mencangkup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri atas : 1. Permodalan (Capital) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan komponen sebagai berikut (Dendrawijaya, 2009): 1. Kecukupan Pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPPM) melalui penilaian terhadap ketentuan yang berlaku. Pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum tersebut sebesar 8% diberi predikat “sehat” dengan nilai kredit 81 didapat dari (80 + 1). Setiap kenaikan 0,1% dari KPMM 8% nilai kredit ditambah 1maksimal 100. Pemenuhan KPMM kurang dari 8% sampai dengan 7,99% diberi predikat “kurang sehat” dengan nilai kredit 65. Setiap penurunan 0,1% dari pemenuhan kpmm 7,99% nilai kredit dikurangi 1 minimum 0. 2. Komposisi permodalan 3. Trend ke depan/proyeksi KPMM 4. Aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal bank 5. Kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan)
38
6.
Rencana permodalan bank untuk mendukung pertumbuhan usaha
7. Akses kepada sumber permodalan 8. Kinerja permodalan bank keuangan pemegang saham untuk meningkatkan Rasio dan nilai kredit poin permodalan sebagai berikut : Rasio
Nilai kredit poin
Sehat
8.00 – 10.00
20.25 – 25.00
Kurang sehat
6.50 - < 8.00
12.75 – 16.25
Tidak sehat
0.00 -< 6.50
0.00 - < 12.75
Sumber : www.bi.go.id
2. Kualitas aset (Asset Quality) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas asset antara lain dilakukan komponen sebagai berikut (Dendrawijaya, 2009): 1. Aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva produktif (APYD : AP). Untuk rasio 15.5% atau lebih, nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 0.15% mulai dari 15.5% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Nilai presentase = Rasio APYD terhadap AP Rasio
Nilai kredit poin
Sehat
0,50 – 3,35
20,25 – 25,00
Cukup Sehat
>3,35 – 5,60
16,50 - < 20,25
39
Kurang sehat
>5,60 – 7,80
12,75 - <16,50
Tidak Sehat
>7,80
0,00 - < 12,75
Sumber : www.bi.go.id
2. Debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit 3. Perkembangan aktiva produktif bermasalah/non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif 4. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk oleh bank (PPAP bank : PPAP seharusnya). 5. Kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif. 6. Sistem kajian ulang (review) internal terhadap aktiva produktif. 7. Dokumentasi aktiva produktif 8. Kinerja penanganan akiva produktif bermasalah. Rasio PPAP bank terhadap PPAP seharusnya Rasio
Nilai kredit poin
Sehat
81,00 – 100,00
4,05 – 5,00
Cukup sehat
66,00 - <81
3,30 - <4,05
Kurang sehat
51,00 - <66,00
2,55 - <3,30
Tidak Sehat
0,00 - < 51,00
0,00 - < 2,55
Sumber : www.bi.go.id
40
3. Manajemen (Management) Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian
terhadap
komponen-komponen
sebagai
berikut
(Dendrawijaya, 2009) : 1. Manajemen umum 2. Penerapan sistem manajemen risiko 3. Kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya. Penilaian manajemen terdiri mencangkup 2 komponen, yaitu : 1. Manajemen umum, yang terdiri dari : 1. Strategi/sasaran 2. Struktur 3. Sistem 4. Sumber daya manusia 5. Kepemimpinan 6. Budaya 2. Manajemen risiko, yang dinilai dalam manajemen risiko terdiri dari : 1. Risiko likuiditas 2. Risiko pasar 3. Risiko kredit 4. Risiko operasional 5. Risiko hukum
41
6. Risiko pemilik dan pengurus 3. Rentabilitas (Earning) Penilaian
pendekatan
kuantitatif
dan
kualitatif
faktor
rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut (Dendrawijaya, 2009) : 1. Return on assets (ROA) 2. Return on equity (ROE) 3. Net interest margin (NIM) 4. Biaya Operasional (BOPO) 5. Perkembangan laba operasional 6. Komposisi portofolio aktiva produktif dan diversifikasi pendapatan 7. Penerapan prinsip akuntamsi dalam pengakuan pendapatan dan biaya 8. Prospek laba operasional. 4. Likuiditas (liquidity) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut (Dendrawijaya, 2009) : 1. Aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid kurang dari 1 bulan 2. I-month maturity mismatch ratio 3. Loan to Deposit Ratio (LDR)
42
4. Proyeksi cash flow 3 bulan mendatang 5. Ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti 6. Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management/ALMA) 7. Kemampuan bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya 8. Stabilitas dana pihak ketiga (DPK). 5. Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitiitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut (Dendrawijaya, 2009) : 1. Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar 2. Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.
2.4 Profitabilitas Laporan keuangan memperlihatkan kinerja suatu perusahaan selama periode tertentu yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif. Melalui analisis laporan keuangan dapat diukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan selama periode tertentu.
43
Profitabilitas adalah mengukur efectivitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan dari volume penjualan, total aktiva dan modal secara kuantitatif dengan menggunakan rasio-rasio
yang disebut
rasio
profitabilitas. Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa rasio profitabilitas memperlihatkan keseluruhan keefektifan operasi yang dilakukan perusahaan. (Brigham dan Weston, 2007). Penggunaan rasio profitabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara berbagai komponen yang ada di laporan keuangan, terutama laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi. Penggunaan seluruh atau sebagian rasio profitabilitas tergantung dari kebijakan manajemen (Munawir, 2010). Secara umum terdapat empat jenis analisis utama yang digunakan untuk menilai tingkat profitabilitas yakni terdiri dari (Kasmir, 2012): 1. Net Profit Margin (NPM) Net Profit Margin (NPM), merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur margin laba atas penjualan, rasio ini akan menggambarkan penghasilan bersih perusahaan berdasarkan total penjualan.
Net Profit Margin =
Earning after tax (EAT)
x100%
Sales
2. Return On Assets (ROA) Return On Assets (ROA) merupakan pengukuran kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan.
44
ROA
=
Earning after tax (EAT) Total Asset
x100%
3. Earnings Per Share (EPS) Earning Per Share merupakan rasio yang menggambarkan jumlah uang yang akan dihasilkan dari setiap lembar saham biasa yang dimiliki investor. EPS =
Laba Saham Biasa Jumlah Saham yang Beredar
*100%
4. Return On Equity (ROE) Return on equity merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik. Artinya posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya. ROE =
Earning after tax (EAT) Equity
x100%
Profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan dengan ROE (Return on Equity) menurut (Kasmir, 2012), pengembalian ekuitas (ROE) merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukan efisiensi pengguna modal sendiri. Semakin tingggi rasio ini, semakin baik. Artinya posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Tingkat pengembalian merupakan total keuntungan atau kerugian yang dialami pemilik modal (investor) dalam suatu periode tertentu yang dihitung
45
dengan membagi perubahan nilai aktiva ditambah pengeluaran kas dalam periode tersebut dengan nilai awal periode. Rasio yang rendah menunjukan para pemilik / investor sebenarnya biasa menghasilkan lebih banyak keuntungan jika melakukan investasi ditempat lain. Namun demikian, rasio ini harus dipertimbangkan dalam sudut pandang apa yang terjadi selama siklus usaha yang sedang berlangsung seperti perluasan usaha, hutang atau perubahan ekonomi. (Gill, 2006). Menurut (Kuncoro, 2011), bahwa pemakaian model ROE (return on equity) adalah untuk menganalisis tingkat profitabilitas bank. Untuk mencari hasil pengembalian ekuitas (ROE), selain dengan cara yang dikemukakan diatas, juga dapat pula digunakan pendekatan Du Pont. Hasil ROE dengan pendekatan Du Pont sama dengan ROI untuk mencari hasil pengembalian ekuitas, selain dengan cara yang sudah dikemukakan di atas juga dapat pula digunakan pendekatan Du Pont. (Kasmir, 2012) Rumus : ROE = margin laba bersih x perputaran total aktiva x pengganda ekuitas
2.5 Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Profitabilitas dapat dilihat tabel 2.3 di bawah ini:
46
TABEL 2.3 PENELITIAN TERDAHULU NO
Peneliti
Judul
Variabel
Terdahulu
Penelitian
Penelitian
1.
Syahril dan Trini Saptarini (2006)
Pinjaman Macet (PM) dan Rasio kecukupan modal (RKM) Terhadap Pengembalian Ekuitas (PE)
- Pinjaman macet - Rasio Kecukupan Modal - Pengembalian Ekuitas
2.
Hiras Pasaribu dan Rosa Luxita Sari (2011)
Analisis Tingkat Kecukupan Modal dan Loan to deposit ratio terhadap profitabilitas
- Tingkat kecukupan modal - Loan to deposit ratio - Profitabilitas
Persamaan
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian oleh Syahril dan Trini Saptarini (2006), variabel penelitian samasama meneliti pinjaman macet (NPF), Rasio kecukupan modal (CAR), dan Pengembalian ekuitas (ROE) Variabel Pinjaman Macet sama-sama dihitung menggunakan NPF. Variabel Rasio kecukupan Modal samasama dihitung menggunakan RKM (CAR). Variabel Pengembalian ekuitas samasama dihitung dengan ROE. - Persamaan penelitian penulis dengan penelitian oleh Hiras Pasaribu dan Rosa Luxita Sari (2011), variabel penelitian samasama meneliti Tingkat kecukupan modal. Variabel Tingkat
Perbedaan
Hasil Penelitian
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian oleh Syahril dan Trini Saptarini (2006), objek penelitian terdahulu dilakukan pada perusahaan Perbankan Muamalat tahun 2001-2005. sedangkan obyek penelitian penulis dilakukan pada perusahaan perbankan syariah di Indonesia periode 20092013.
pinjaman macet memiliki pengaruh yang cukup kuat signifikan terhadap pengembalian ekuitas Bank Muamalat. Sedangkan rasio kecukupan modal memiliki pengaruh yang kurang kuat (tidak signifikan) terhadap pengembalian ekuitas Bank Muamalat.
-Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian oleh Hiras Pasaribu dan Rosa Luxita Sari (2011), variabel LDR dan Profitabilitas (ROA) tidak digunakan oleh penulis. -penulis menggantikannya dengan variabel NPF dan
- Secara simultan CAR dan LDR berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, ada pengaruh antara CAR dan LDR bersama-sama terhadap perubahan laba.
47
kecukupan modal samasama dihitung dengan CAR
3.
Defri (2012)
Pengaruh CAR dan LDR terhadap ROA
- CAR - LDR - ROA
4.
Thyas Rafelia dan Moh.Didik Ardiyanto (2013)
Pengaruh CAR, FDR, NPF dan BOPO terhadap ROE
- CAR - FDR - NPF - BOPO - ROE
Profitabilitas (ROE) - -objek penelitian dilakukan di perusahaan perbankan syariah mandiri tahun 2009-2013, sedangkan penulis melakukan penelitian pada perusahaan perbankan syariah di Indonesia periode 2009-2013 Persamaan Perbedaan penelitian penelitian penulis penulis dengan dengan penelitian penelitian oleh oleh Defri (2012), Defri (2012), variabel LDR dan variabel ROA tidak penelitian sama- digunakan oleh sama meneliti penulis. CAR. Penulis Variabel CAR menggantikan sama-sama variabel NPF dan dihitung dengan ROE CAR Persamaan Perbedaan penelitian penelitian penulis penulis dengan dengan penelitian penelitian oleh oleh Thyas Rafelia Thyas Rafelia dan Moh.Didik dan Moh.Didik Ardiyanto (2013), Ardiyanto variabel FDR dan (2013), variabel BOPO tidak penelitian sama- digunakan oleh sama meneliti penulis. CAR,NPF,dan Objek penelitian ROE. dilakukan pada Variabel CAR perusahaan sama-sama perbankan bank dihitung dengan syariah mandiri CAR tahun 2008-2012, Variabel NPF sedangkan penulis sama-sama melakukan dihitung dengan penelitian pada NPF. pebankan Syariah di Variabel indonesia tahun Profitabilitas 2009-2013. sama-sama dihitung dengan ROE
menunjukkan bahwa CAR dan LDR berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ROA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa CAR, FDR, NPF dan BOPO berpengaruh secara bersama-sama terhadap ROE. Sedangkan, berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa keempat variabel diterima berpengaruh terhadap ROE. Dimana terdapat tiga variabel yang signifikan berpengaruh yaitu FDR yang berpengaruh signifikan positif dan NPF yang berpengaruh signifikan positif serta BOPO yang berpengaruh signifikan negatif.
48
2.6 Kerangka Pemikiran 2.6.1 Hubungan Non Performing Financing terhadap Profitabilitas Kredit adalah sumber pendapatan utama bagi bank, kinerja bank yang baik ditandai dengan lancarnya penyaluran kredit perbankan kepada masyarakat. Tetapi tingginya penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank akan memberikan resiko yang tinggi pula bagi bank yaitu akan terjadinya kredit/pembiayaan bermasalah. Jika debitur tidak dapat membayar kembali pinjaman kredit tepat waktu maka akan menimbulkan kredit/pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF). NPF (Non Performing Financing) merupakan rasio yang dipergunakan untuk mengukur risiko terhadap kredit yang disalurkan dengan membandingkan kredit macet dengan jumlah kredit yang disalurkan. Semakin tinggi rasio NPF yang dimiliki oleh bank akan berpengaruh terhadap nilai pengembalian modal dan kemampuan bank dalam menghasilkan laba, maka semakin kecil pula perubahan labanya. sehingga pengambil kebijakan perlu menjaga agar jumlah NPF tidak membengkak atau maksimal sebesar ketentuan Bank Indonesia yakni 5% (Wisnu Mawardi, 2005). Hal ini dikarenakan pendapatan yang diterima bank akan berkurang dan biaya untuk pencadangan penghapusan piutang akan bertambah yang mengakibatkan laba menjadi menurun atau rugi menjadi naik (Kasmir, 2012). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Syahril
dan Trini Saptarini
(2006), dan Thyas Rafelia dan Moh.Didik Ardiyanto (2013) menunjukan bahwa
49
pinjaman macet (NPF) memiliki pengaruh yang cukup kuat signifikan terhadap pengembalian ekuitas Bank Syariah. 2.6.2 Hubungan Tingkat Kecukupan Modal (CAR) terhadap Profitabilitas Capital Adequancy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang) dan lain-lain (Dendrawijaya, 2009).
CAR
mencerminkan modal sendiri perusahaan, menurunnya jumlah presentase (CAR). Akibatnya, guna mempertahankan jumlah presentase CAR mereka, bank yang bersangkutan harus memasukan dana modal segar. Apabila bank tidak mampu memasukan dana modal segar, maka tingkat nilai kesehatan operasi mereka akan menurun. (Sutojo, 2008). Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, bank yang sehat harus memiliki CAR paling sedikit 8%. Dengan CAR yang cukup dan memenuhi ketentuan akan meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
sehingga
dapat
meningkatkan
profitabilitas. Hubungan kecukupan modal dengan profitabilitas berbanding terbalik. Semakin tinggi CAR berarti semakin tinggi modal sendiri untuk mendanai aktiva produktif, semakin rendah biaya dana (bunga dana) yang dikeluarkan oleh bank. Semakin rendah biaya dana akan semakin meningkatkan perubahan laba bank. Demikian sebaliknya semakin rendah dana sendiri maka akan semakin tinggi biaya dana dan semakin rendah perubahan laba bank.
50
Penelitian Defri (2012) menyimpulkan bahwa CAR berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba sehingga CAR dapat digunakan untuk mengukur proyeksi pertumbuhan laba bank dalam periode setahun yang akan datang. Penelitian ini diperkuat oleh Hiras Pasaribu dan Rosa Luxita Sari (2011) dimana, profitabilitas bank berpengaruh signifikan oleh salah satu variabel yaitu CAR. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian terdahulu, berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model penelitian pada gambar 2.3 Kerangka pemikiran tersebut menunjukkan pengaruh non performing financing dan tingkat kecukupan modal terhadap profitabilitas Bank Syariah.
Non Performing Financing (X1)
Profitabilitas Y
Tingkat Kecukupan Modal (X2)
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
51
2.7 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan peneliti terdahulu, penulis mencoba merumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara dari penelitian sebagai berikut: H1
: Non performing financing, dan Tingkat kecukupan modal secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap Profitabilitas.
H2
: Non performing financing berpengaruh negatif terhadap Profitabilitas.
H3
: Tingkat Kecukupan Modal berpengaruh positif terhadap profitabilitas.