BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengendalian Internal 1. Pengertian Pengendalian Internal Pengendalian
internal
merupakan
kebijakan
dan
prosedur
yang
melindungi aktiva dari penyalahgunaan, memastikan bahwa informasi usaha akurat, dan memastikan bahwa perundang-undangan serta peraturan dipatuhi sebagai mana mestinya. Menurut Mulyadi (2002:180), pengendalian internal adalah suatu proses sampai yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tujuan. 2. Tujuan Pengendalian Internal Tujuan pengendalian internal adalah untuk memberikan keyakinan memadai dalam pencapaian tiga tujuan: a. Keandalan informasi keuangan. b. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. c. Efektivitas dan efisiensi operasi. 3. Keterbatasan Pengendalian Internal Pengendalian internal memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, diatas telah disebutkan bahwa pengendalian internal hanya memberikan keyakinan memadai, bukan muntlak, kepada manajemen dan dewan komisaris tentang pencapaian tujuan entitas. Berikut ini adalah keterbatasan bawaan yang melekat dalam setiap pengendalian internal:
Universitas Sumatera Utara
a. Kesalahan dalam pertimbangan Seringkali,
manajemen
dan
personel
lain
dapat
salah
untuk
mempertimbangkan keputusan bisnis yang diambil atau dalam melaksanakan tugas rutin karena tidak memadai informasi, keterbatasan waktu atau tekanan lain. b. Gangguan Gangguan dalam pengendalian yang telah ditetapkan dapat terjadi karena personel secara keliru memahami perintah atau membuat kesalahan karena kelalaian, tidak adanya perhatian, atau kelelahan. c. Kolusi Tindakan bersama beberapa individu untuk tujuan kejahatan disebut dengan kolusi. d. Pengabaian oleh manajemen Manajemen dapat mengabaikan kebijakan atau prosedur yang telah ditetapkan untuk tujuan yang tidak sah seperti keuntungan pribadi manajer. 4. Unsur Pengendalian Mulyadi (2002:183) memperkenalkan ada lima unsur pokok pengendalian a. Lingkungan pengendalian. b. Penaksiran risiko. c. Informasi dan komunikasi. d. Aktivitas pengendalian. e. Pemantauan. 5. Penerapan Pengendalian Internal Pengendalian Intern mempunyai beberapa pengertian, yaitu pengendalian internal dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit istilah tersebut
Universitas Sumatera Utara
sama dengan pengertian internal check, yaitu dengan membentuk prosedurprosedur mekanis untuk memeriksa ketelitian data administrasi seperti misalnya catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang harus dibuat dalam pembukuan. Dalam arti luas pengendalian internal tidak hanya meliputi pengecekan saja tetapi meliputi semua alat-alat yang digunakan oleh perusahaan atau pimpinan perusahaan untuk mengadakan pengawasan, baik pengawasan fisik, pengawasan akuntansi maupun pengawasan mutu. Pengendalian intern dibidang akuntansi meliputi sistem rencana organisasi dan prosedur-prosedur serta catatan-catatan yang berhubungan dengan pengamanan harta milik dan dapat dipercayanya data keuangan. Pengawasan administrasi meliputi rencana organisasi dan semua cara serta prosedur yang terutama menyangkut efisiensi usaha dan ketaatan terhadap kebijaksanaan pimpinan perusahaan dan pada umumnya tidak langsung berhubungan dengan catatan keuangan.
B. Pengertian dan Penggologan Persediaan Pengertian Persediaan Untuk dapat lebih memahami persediaan maka terlebih dahulu diuraikan apa yang dimaksud persediaan tersebut. Secara singkat Thodorus (2000:2) mengemukakan bahwa “Inventory terdiri dari barang-barang dagangan yang dimaksudkan untuk diperjualbelikan, serta bahan baku dan bahan pembantu yang dipakai dalam produksi dari barang yang akan dijual”. Kieso dan Waygant (1995:491) mengemukakan sebagai berikut : “Persediaan adalah pos harta yang ditahan untuk dijual dalam kegiatan
Universitas Sumatera Utara
usaha yang biasa atau yang akan digunakan untuk dikonsumsi dalam produksi barang yang akan dijual”. Sedangkan Sudarsono (1993:106) mengemukakan yang dimaksud dengan persediaan adalah “suatu jenis aktiva/barang yang dimiliki suatu perusahaan atau badan usaha (saat) tertentu, yang akan dijual kembali atau dikonsumsi (dipakai) dalam operasi normal perusahaan”. Sesuai dengan penjelasan yang telah diuraikan diatas, jelaslah bahwa persediaan itu merupakan faktor yang sangat penting dapat mempengaruhi kelancaran aktivitas perusahaan.
Penggolongan persediaan Penggolongan
persediaan
akan
berbeda
sesuai
dengan
jenis
perusahaannya. Pada perusahaan dagang biasanya hanya memiliki satu golongan persediaan yaitu persedian barang dagangan, walaupun persediaan tersebut mempuyai jenis yang sangat beragam tanpa memerlukan proses produksi karena telah siap untuk dijual. Sedangkan untuk perusahaan industri penggolongan perediaan secara umum terdiri dari: 1. Persediaan bahan mentah atau baku (raw material) 2. Persediaan barang dalam proses (work in process) 3. Persediaan barang jadi (finished goods) 4. Persediaan bahan pembantu dan perlengkapan (factory of manufacturing supplies) Untuk lebih memahaminya, akan diuraikan penggolongan persediaan dari beberapa literatur. Dyckman (1996:377) mengemukakan, persediaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Persediaan barang dagang (merchandise inventory). Barang yang digudang (goods on hand) dibeli oleh pengecer atau perusahan perdagangan seperti importir atau exportir untuk dijual kembali. Biasanya, barang yang diperoleh untuk dijual kembali secara fisik tidak diubah oleh perusahaan pembeli; barang-barang tersebut tetap dalam bentuk yang telah jadi ketika meninggalkan pabrik pembuatnya. 2. Persediaan manufactur (manufacturing inventory). Persediaan gabungan dari entitas manufactur, yang terdiri dari; a. Persediaan bahan baku, barang berwujud yang dibeli atau diperoleh dengan cara lain (misalnya,dengan menambang)dan disimpan untuk penggunaan langsung dalam membuat barang untuk dijual kembali. b. Persediaan barang dalam proses. Barang-barang yang membutuhkan pemprosesan lebih lanjut sebelum penyelesaian dan penjualan. c. Persediaan barang jadi. Barang –barang manufactur yang telah disesuaikan dan disimpan untuk dijual. d. Persediaan perlengkapan manufaktur. Barang-barang seperti minyak pelumas untuk mesin-mesin, bahan pembersih dan barang lainnya yang merpakan bagian yang kurang penting dari produk jadi. 3. Persediaan rupa-rupa. Barang –barang seperti perlengkapan kantor, kebersihan dan penggiriman.
C. Akuntansi Persediaan 1. Biaya-Biaya Yang Berhubungan Dengan Persediaan Menurut Skousen (2001:521) mengemukakan : ”Biaya persediaan terdiri dari seluruh pengeluaran, baik yang lansung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan pembelian, persiapan dan penempatan persediaan untuk dijual. Dalam kasus bahan baku atau barang yang dibeli untuk dijual kembali, biaya termasuk harga pembeliaan, pengiriman, penerimaan, penyimpanan dan seluruh biaya yang terjadi sampai barang siap untuk dijual”. Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan adanya perolehan persediaan merupakan seluruh pengorbanan yang dilakukan sampai persediaan tersebut siap untuk dijual. Biaya yang berhubungan dengan persediaan pada perusahaan
Universitas Sumatera Utara
dagang berbeda dengan perusahaan manufaktur. Pada perusahaan manufaktur biaya persediaan dimulai dengan biaya pengadaan bahan baku yang meliputi biaya pemesanan, biaya pembelian dan biaya penyimpanan. Kemudian biayabiaya yang timbul sehubungan dengan pengolahan bahan baku sampai menjadi barang jadi dan biaya penyimpanan persediaan barang jadi sampai barang tersebut terjual.
2. Sistem Pencatatan Persediaan Sistem pencatatan persediaan merupakan pengelolaan persediaan melalui proses pencatatn sehingga data tentang persediaan dapat tersedia dengan benar. Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan dengan dua cara, yaitu: a. Sistem Periodikal b. Sistem Perpetual
Sistem Periodikal Pada sistem ini tidak ada catatan rinci mengenai berapa banyak unit dari jenis persediaan tertentu yang telah terjual. Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui persediaan apa yang terjual dan persediaan apa yang tersisa serta jumlahnya adalah dengan melakukan perhitungan fisik secara periodik. Pembelian dicatat dengan mendebit Pembelian dan mengkredit Kas atau Piutang Usaha dan mengkredit Penjualan. Dalam sistem periodik, persediaan akhir hanya diketahui dari perhitungan fisik. Mengenai sistem periodikal ini Niswonger (1997:392) mengemukakan sebagai berikut: “Apabila sistem persediaan periodik yang digunakan setiap terjadi penjualan, hanya pendapatan dari penjualan itu yang dicatat. Pada
Universitas Sumatera Utara
saat penjualan itu tidak dibuat jurnal untuk mencatat harga pokok barang yang
dijual.
Akibatnya
harus
diadakan
perhitungan
fisik
untuk
menentukan harga pokok pada akhir periode”. Dari pengertian dan ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa semua pemasukan barang (pembelian) dan semua pengeluaran barang (penjualan) tidak dibukukan ke dalam perkiraan Inventory dari barang yang bersangkutan.
Sistem Perpetual Dalam sistem persediaan perpetual setiap terjadi mutasi barang dilakukan pencatatan setiap jenis barang yang terjual. Jumlah persediaan barang dagang pada awal periode akuntansi mengindikasikan jumlah stok pada tanggal tersebut. Pembelian dicatat dengan mendebit Persediaan Barang Dagang dan mengkredit Kas atau Utang Usaha. Pada tanggal penjualan, harga pokok barang yang terjual dicatat dengan mendebit Harga Pokok Penjualan dan mengkredit Persediaan Barang Dagang. Dengan sistem perpetual dapat diketahui barang yang terjual dan jumlah barang yang seharusnyamasih ada dalam persediaan setiap waktu. Bila dihubungkan dengan pengawasan
persediaan
maka
sistem
pencatatan perpetual dapat menentukan setiap transaksi persediaan akan langsung berpengaruh pada perkiraan persediaan, sehingga jumlah persediaan dapat diketahui setiap saat baik jumlah kuantitas unit maupun total nilai dari setiap jenis persediaan ataupun setiap tingkat harga perolehan yang berbeda. Adikoesoemah dan Manaris (1997:131) mengemukakan sebagai berikut: “Jika dipergunakan sistem perpetual inventory, maka pada setiap transaksi penjualan harus dicatat harga pokok dari bahan-bahan yang dijual sehingga pada setiap saat dapat diketahui jumlah harga pokok dan barang-
Universitas Sumatera Utara
barang yang sudah dijual, maupun jumlah harga pokok dari barangbarang yang belum dijual, yang masih ada dalam persediaan”. Sedangkan Skousen (2001:516) secara singkat mengemukakan: “Sistem persediaan perpetual sistem persediaan dimana detail pencatatan pembelian dan penjualan dibuat”. Pada sistem pencatatan perpetual tidak diadakan jurnal penyesuaian karena jumlah persediaan akhir langsung dapat diketahui serta bagian persediaan yang telah menjadi biaya (harga pokok penjualan) juga dapat diketahui. Dari pengertian dan ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa semua pemasukan barang (pembelian) dan semua pengeluaran barang (penjualan) dibukukan ke dalam perkiraan Inventory dari barang yang bersangkutan, masingmasing sebesar harga pembeliannya. Dengan demikian perkiraan Inventory senantiasa menunjukkan keadaan jumlah sisa persediaan barang yang masih ada, beserta mutasi perubahannya. Oleh sebab itu dengan hanya melihat catatan dalam perkiraan ini perusahaan sudah dapat mengetahui beberapa sisa persediaan yang masih ada di gudang tanpa harus menghitung dan menilai secara fisik.
3. Metode Penilaian Persediaan Tujuan penilaian persediaan adalah untuk menentukan berapakah nilai persediaan yang akan dicantumkan ke dalam laporan keuangan yakni Neraca dan Laporan Laba Rugi. Agar suatu laporan menggambarkan nilai realisasi bersih maka harus ditetapkan secara konsisten dan sesuai dengan penilaian persediaan yang berlaku umum.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penilaian persediaan, baik pencatatan menurut sistem perpetual maupun sistem periodikal, keduanya akan menghadapi masalah penilaian persediaan, karena pada umumnya harga pembelian barang berubah. Sistem perpetual akan memiliki kelemahan penilaian pada setiap kali perusahaan melakukan pembelian, perusahaan harus menghitung harga pokok penjualannya. Sedangkan sistem periodikal akan memiliki kelemahan pada penilaian pada setiap akhir periode. Hal ini disebabkan karena pada akhir periode tersebut perusahaan harus menghitung harga pokok penjualan melalui suatu jurnal penyesuaian yang didasarkan pada hasil perhitungan persediaan secara fisik. Untuk dapat memahami metode penilaian persediaan tersebut, ada beberapa metode penilaian persediaan yang dapat dikenal sebagai berikut: a. Metode Identifikasi Spesifik b. Metode Rata-Rata Tertimbang c. Metode First In First Out (FIFO) d. Metode Last In First Out (LIFO) e. Metode Lower Of Cost Or Market (LOCOM) f. Metode Base Stock g. Metode Gross Profit h. Metode Lieftinck Last In First Out (LILIFO)
a. Metode Identifikasi Spesifik Menurut cara ini,setiap barang yang dibeli perusahaan dan dimasukkan ke gudang penyimpanan, diberi tanda pengenal, dimana dalam tanda pengenal tersebut dicantumkan harga pembelian barang yang bersangkutan. Metode
Universitas Sumatera Utara
identifikasi spesifik membutuhkan sebuah cara untuk mengidentifikasi biaya historis dari setiap unit persediaan. b. Metode Rata-Rata Tertimbang Metode ini di dasarkan pada asumsi bahwa barang yang terjual harus dibebankan pada biaya rata-rata sesuai dengan unit yang dibeli pada tiap harga. Niswonger (1997:398) merumuskan metode rata-rata tertimbang sebagai berikut: “Metode rata-rata tertimbang (weighted avarage method) didasarkan atas asumsi bahwa harga pokok harus dibebankan ke pendapatan menurut harga rata-rata tertimbang per unit dari barang yang dijual. Harga pokok rata-rata tertimbang per unit digunakan juga untuk menentukan harga pokok barang yag masih ada dalam persediaan. Harga pokok rata-rata tertimbang per unit diperoleh dari hasil bagi antara jumlah harga pokok barang yang tersedia untuk dijual dalam satu periode tertentu dengan jumlah unitnya”.
Sedangkan Skousen (2001:526) mengemukakan secara singkat mengenai metode rata-rata tertimbang sebagai berikut: “ Metode nilai rata-rata merupakan metode penilaian persediaan yang memasukkan nilai rata-rata yang sama terhadap setiap unit yang terjual dan terhadap setiap item di dalam persediaan”. Berdasarkan rumusan di atas maka penetapan biaya persediaan dengan menggunakan cara ini adalah persediaan yang ada di gudang dihitung harga rataratanya. Jadi apabila setiap kali terjadi pembelian, dengan harga pokok persatuannya berbeda dari harga rata-rata persediaan yang ada di gudang, maka harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata persatuan yang baru. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pemakaian metode rata-rata tertimbang dapat kita lihat pada ilustrasi berikut:
Universitas Sumatera Utara
Januari 3 persediaan 750 kg @ Rp. 110 Januari 12 pembelian 90 Kg @ Rp. 105 Januari 18 penjualan 500 Kg Januari 20 pembelian 650 Kg @ Rp.105 Januari 21 penjualan 300 Kg Januari 27 pembelian 750 Kg @ Rp.100 Januari 30 penjualan 750 Kg Dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang, maka persediaan akhir dapat dilihat pada table 1 sebagai berikut: TABEL 1 Metode Penilaian: Rata-rata tertimbang
Tgl
Pembelian Kuantitas
Harga
Penjualan Jumlah Kuantitas
Per Kg Rp
Harga
Sisa Jumlah Kuantitas
Per Kg Rp
Rp
Harga
Jumlah
Per Kg Rp
Rp
3
Rp
750
110
82,500
12
900
105
94,500
-
-
-
1,650
107.27
177,000
18
-
-
-
500
107.27
53,635
1,150
107.27
123,365
20
650
105
68,250
-
-
1,800
106.45
191,615
21
-
-
-
300
31,935
1,500
106.45
159,680
27
750
100
75,000
-
-
2,250
104.30
234,680
30
-
-
-
750
78,225
1,500
104.30
156,455
106.45 104.30
c. Metode FIFO (First In First Out) Menurut cara ini, barang yang masuk (dibeli) lebih awal, dianggap dikeluarkan (dijual) lebih awal pula. Niswonger (1997:396) mengemukakan sebagai berikut: “ Metode first-in first-out (fifo) untuk menetapkan harga
Universitas Sumatera Utara
pokok persediaan didasarkan atas asumsi bahwa harga pokok harus dibebankan pada pendapatan sesuai dengan urutan pembelian barang tersebut. Jadi, persediaan yang masih ada dianggap berasal dari pembelian barang terakhir”. Sedangkan Mardiasmo (1995:120) mengemukakan sebagai berikut: “Menurut metode yang dikenal dengan singkatan MPKP atau FIFO ini unit barang yang dijual atau dikeluarkan pertama kali dibebani dengan harga pokok dari pembelian yang pertama kali”. Pada hakekatnya kebanyakan perusahaan cenderung untuk menjual barang menurut urutan pembelian, hal ini terutama untuk barang dagangan yang mudah rusak dan barang-barang yang corak atau modelnya sering berubah. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai metode ini maka dapat dilihat pada tabel 2 dari ilustrasi berikut sesuai dengan transaksi sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
TABEL 2 Metode Penilaian: FIFO ( First In First Out)
Tgl
Pembelian Kuantitas Harga
Penjualan Jumlah Kuantitas
Per Kg Rp
Harga
Sisa Jumlah Kuantitas
Per Kg Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
750
110
82,500
-
750
110
82,500
-
-
-
12
900
105
94,500
-
-
-
900
105
94,500
18
-
-
-
500
110
55,000
250
110
27,500
-
-
-
-
-
-
900
105
94,500
-
-
-
-
-
-
250
110
27,500
20
21 27
30
-
Jumlah
Per Kg
3 -
Harga
-
-
-
-
-
-
900
105
94,500
650
105
68,250
-
-
-
650
105
68,250
-
-
-
250
110
27,500
850
105
89,250
750 -
100 -
75,000 -
50 750 -
105 105 -
5,250 78,750 -
650 850 650 750 100 650
105 105 105 100 105 105
68,250 89,250 68,250 75,000 10,500 68,250
d. Metode LIFO ( Last In First Out) Menurut cara ini, barang yang masuk (dibeli) lebih awal, dianggap dikeluarkan (dijual) lebih akhir. Dengan demikian sisa persediaan barang pada akhir periode adalah barang-barang yang masuknya (dibeli) paling awal. Niswonger (1997:397) merumuskan metode LIFO sebagai berikut: “ Untuk menetapkan harga pokok persediaan di dasarkan atas anggapan bahwa harga pokok barang dari pembelian terakhir harus dibebankan ke pendapatan. Jadi, persediaan yang ada dianggap berasal dari harga pokok paling awal”.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Skousen (2001:528) mengemukakan sebagai berikut: “metode Last In First Out ( LIFO). Suatu metode penilaian persediaan yang mengasumsikan produk yang terjual adalah unit yang paling akhir dibeli atau dimanufactur”. Selain itu Theodorus (2000:37) mengemukakan bahwa, metode LIFO dianggap cocok apabila: 1. Inventory terdiri dari barang-barang homogeny. 2. Barang-barang ini merupakan bagian yang penting dalam cost dari produk akhir yang dihasilkan. 3. Inventory ini besar jumlahnya dihubungkan dengan total asset perusahaan. 4. Perputaran
inventory
ini
adalah
lambat,
umumnya
karena
diperlukan waktu untuk melakukan processing. 5. Perubahan dalam harga-harga bahan baku cenderung dicerminkan secara cepat di dalam harga barang-barang. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pemakaian metode LIFO dapat kita lihat pada tabel 3 dari ilustrasi berikut sesuai dengan transaksi terdahulu.
e. Metode Lower Of Cost Or Market (LOCOM) Metode LOCOM (Lower Of Or Market) merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan harga mana yang lebih rendah antara harga pasar dengan harga pembelian barang tersebut. Sehingga pada penilaiannya tidak hanya berdasarkan harga historis barang yang akan dinilai tetapi diperlukan suatu pengamatan harga pasar yang dilakukan oleh perusahaan sebagai pembanding
Universitas Sumatera Utara
dalam menetapkan nilai persediaan akhir. Sebagai contoh, harga komputer dan printer secara dramatis turun belakangan ini. Sementara persediaan akhir komputer dan printer yang ada, masih dengan harga lama. Dengan keadaan ini, maka digunakan harga penggantian untuk menilai barang-barang tersebut. Harga penggantian yang digunakan haruslah tidak lebih tinggi daripada nilai bersih yang dapat direalisasi (harga tertinggi) dan tidak lebih rendah dari nilai bersih yang dapat direalisasi setelah dikurangi keuntungan normal (harga terendah). Nilai bersih yang dapat direalisasi merupakan harga jual yang diharapkan setelah dikurangi dengan biaya penjualan. Dalam menerapkan metode LOCOM ada beberapa hal yang perlu di perhatikan: 1. Menggunakan nilai pasar : a. Menggunakan harga pengganti bila harga tersebut terletak di antara harga tertinggi dan terendah. b. Menggunakan harga terendah bila harga pengganti lebih kecil dari harga terendah. c. Menggunakan harga tertinggi bila harga penggantian lebih tinggi dari harga tertinggi 2. Membandingkan nilai pasar dengan harga perolehan dan memilih jumlah yang lebih rendah. Sebagai illustrasi, dimisalkan sisa persediaan akhir barang adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Jenis Barang
Jumlah ( Kg )
Harga Beli
Pasar ( Rp/Kg) Harga Harga Bersih Penggantian yang dapat direalisasi
Harga bersih yang dapat direalisasi dikurangi Laba Normal
Gula pasir Kualitas 1 Kualitas 2
10,000 8,000
170 210
160 180
150 230
100 160
30,000 20,000
260 190
210 160
310 340
220 250
Beras Kualitas 1 Kualitas 2
Dari data di atas, akan ditunjukkan bagaimana LOCOM diterapkan ke setiap jenis persediaan yang terpisah dan ke jumlah persediaan akhir secara keseluruhan.
Jenis Barang Jumlah ( Kg ) Gula Pasir Kualitas 1 Kualitas 2
Harga Perolehan (Rp)
10.000 10.000 x 170 = 1.700.000 8.000
Harga Pasar (Rp)
10.000 x 150 = 1.500.000
8.000 x 210 = 1.680.000
8.000 x 180 = 1.440.000
Kualitas 1
30.000 30.000 x 260 = 7.800.000
30.000 x 220 = 6.600.000
Kualitas 2
20.000 20.000 x 190 = 3.800.000
20.000 x 250 = 5.000.000
14.980.000
14.540.000
Beras
Dari data di atas dapat dilihat bahwa harga pasar lebih rendah dari harga perolehan, sehingga nilai persediaan akhir akan dinilai sebesar harga pasar.
f. Metode Base Stock Metode base stock merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan pada suatu jumlah persediaan tertentu sebagai suatu persediaan dasar (base stock) beserta harganya. Jadi bilamana persediaan yang terdapat pada akhir periode jumlahnya ternyata lebih besar dari jumlah persediaan dasar
Universitas Sumatera Utara
yang telah ditetapkan maka kelebihannya dinilai dengan harga pasar pada saat itu. Sedangkan bilamana persediaan akhir pada periode yang bersangkutan ternyata lebih kecil dari jumlah yang ditetapkan sebagai jumlah persediaan dasar maka selisih perbedaannya juga dinilai sesuai dengan harga pasar pada saat itu. Sebagai illustrasi dimisalkan perusahaan menetapkan Base Stock untuk persediaan akhir salah satu jenis persediaan sebesar 3000 Kg dengan harga Rp. 250/Kg, sedangkan harga pasar dari jenis persediaan tersebut adalah Rp. 260/Kg. Jadi apabila persediaan akhir aktual dari jenis persediaan tersebut sebesar 4.000 Kg, maka akan dinilai sebagai berikut: 3.000 Kg x Rp. 250
Rp.
750.000
1.000 Kg x Rp. 260
Rp.
260.000 +
Rp. 1.010.000 Sedangkan apabila persediaan akhit aktual dari jenis persediaan tersebut sebesar 2.500 Kg, maka akan dinilai sebagai berikut: 3.000 Kg x Rp. 250 Rp. 750.000 500 Kg x Rp. 260 Rp. 130.000 – Rp. 620.000
g. Metode Gross Profit Metode gross profit merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan selisih antara nilai barang yang siap untuk dijual (available for sale) dengan harga beli barang yang benar-benar terjual (cost of good sold). Adapun nilai barang yang siap untuk dijual tersebut adalah jumlah antara persediaan awal dengan jumlah pembelian bersih yang dilakukan selama periode tersebut. Sedangkan nilai barang yang benar-benar terjual dapat diperhitungkan dari
Universitas Sumatera Utara
penjualan bersih selama periode tersebut dikurangi dengan laba kotor yang diperoleh pada periode tersebut. Sebagai illustrasi dimisalkan selama bulan Pebruari terjual barang dengan penjualan bersih sebesar Rp. 100.000.000, saldo persediaan 1 Pebruari sebesar Rp. 15.000.000. Pembelian bersih selama bulan Pebruari sebesar Rp. 65.000.000. Persentase margin kotor (secara historis) sebesar 40 % dari penjualan bersih, maka persediaan akhir dinilai sebagai berikut: Penjualan bersih …………………………………………Rp. 100.000.000 Harga pokok yang dijual: Persediaan awal ………….Rp 15.000.000 Pembelian bersih ……… ..Rp. 65.000.000 + Jumlah harga pokok yang Tersedia dijual ………… ..Rp. 80.000.000 Margin kotor:……..Rp. 100.000.000 x 40 % = …….……..Rp. 40.000.000 Harga pokok barang yang dijual ……………………………Rp. 60.000.000 Maka persediaan akhir …Rp. 80.000.000 – Rp. 60.000.000 = Rp. 20.000.000
h. Metode Lieftinck Last In First Out (LILIFO) Metode LILIFO (Lieftinck Last In First Out) merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan jumlah persediaan awal suatu periode beserta harganya dijadikan persediaan dasar. Jadi bilamana persediaan akhir periode yang bersangkutan ternyata lebih besar jumlahnya dari jumlah persediaan dasar tersebut, maka kelebihannya dinilai berdasarkan harga pasar pada saat itu, namun apabila jumlah persediaan akhir dari periode yang bersangkutan ternyata lebih kecil dari jumlah persediaan dasar tersebut maka seluruh persediaan
Universitas Sumatera Utara
tersebut dinilai sesuai dengan harga persediaan dasar tersebut. Sebagai illustrasi dimisalkan persediaan awal pada bulan Januari sebesar 20.000 Kg dengan harga Rp.250/Kg (sebagai persediaan dasar) dan harga pasar Rp. 260/Kg. Apabila persediaan akhir aktual sebesar 4.000 Kg, maka dinilai seharga harga dasar tersebut: 4.000 Kg x Rp 250 ….Rp. 1.000.000. Apabila persediaan akhir aktual sebesar 25.000 Kg. Maka persediaan akhir dinilai sebagai berikut: 20.000 x 250 5.000 x 260
Rp. 5.000.000 Rp. 1.300.000 + Rp. 6.300.000
D. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual penelitian ini dapat disajikan dalam gambar berikut ini: PT. Pioneerindo Gourmet International, Tbk Cabang Medan.
Pengendalian Intern Persediaan
Berdasarkan Gambar diatas, bahwa pengendalian intern merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalankan roda perusahaan dan proses pencapaian tujuannya. Apabila pengendalian intern dikelola dengan baik akan mencegah adanya kecurangan dalam persediaan, sehingga dapat menghasilkan sistem pengendalian yang baik dengan memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara