BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sejarah System of Rice Intensification (SRI) Metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 - 1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris, populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar dan hasil metode SRI sangat memuaskan (Mutakin, 2013).
Berdasarkan hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh hasil input produksi yang cukup signifikan, hasil produksi tanaman padi dapat dilihat sebagai berikut (Saragih, 2011) : 1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 %. Saat ini input produksi padi sekitar 13 ton/ha. 2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7 ton/ha dengan input produksi tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha. 10
3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 % dan pendapatan naik sebesar 74 %. 4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 %, efisiensi air 90 %, pendapatan bersih 112 %, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 %. 5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD, 2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani terbaru SRI memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.
2.1.2 Metode System of Rice Intensification (SRI) System of Rice Intensification (SRI) merupakan suatu metode budidaya tani padi yang intensif ruang dan efisien bahan berbasis pengelolaan interaksi tanaman dengan bioreaktornya yang mencakup mekanisme siklus ruang yang dibangun oleh bahan organik kompos dan siklus kehidupan yang dibangun oleh semaian mikoorganisme lokal (MOL) ( Purwasasmita dan Alik, 2012). Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan ”Hukum Pengembalian (Law of Return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Filosopi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip – prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman (Susanto, 2002).
Kegunaan budidaya organik sistem SRI pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya
kimiawi. Beberapa hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan resiko terhadap lingkungan, adalah (Rachmiyanti, 2009) : a. Menghemat penggunaan hara tanah, b. Melindungi tanah terhadap kerusakan dan mencegah degradasi tanah. c. Meningkatkan
penyediaan
lengas
tanah
sehingga
menghindarkan
kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan hara yang berasal dari pupuk mineral, d. Menghindarkan terjadinya ketimpangan (unbalance) hara, bahkan dapat memperbaiki neraca (balance) hara dalam tanah. e. Tidak membahayakan kehidupan Flora dan Fauna tanah, bahkan dapat menyehatkan. f. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas sumberdaya air. g. Merupakan teknologi berkemampuan ganda yaitu sumber hara dan pembenah tanah.
Pelaksanaan System of Rice Intensification melalui penerapan komponen teknologi secara terpadu berupa paket rekomendasi yang berlaku umum, antara lain meliputi penanaman bibit muda umur 8 – 15 hari saat tanaman berdaun dua helai dan satu tanaman per lubang yang dilakukan segera setelah dipindah dari persemaian,
pengairan
berselang
(intermitten),
pengaturan
jarak
tanam,
penyiangan gulma dengan landak 2 – 4 kali sebelum fase primordia, penggunaan kompos sebanyak mungkin sebelum tanam, pemupukan anorganik dapat juga ditambahkan dengan rekomendasi pemupukan setempat. Model ini mampu memberikan hasil padi antara 7 – 12 ton ha (Rochayati, 2011).
2.1.3 Input Produksi Pertanian Dalam sistem pertanian membutuhkan input untuk berproduksi. Input produksi sangat berperan mulai dari pertumbuhan tanaman padi sampai dengan perkembangan tanaman tersebut. Terdapat beberapa jenis input produksi yang biasa digunakan oleh petani seperti benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana metode SRI tersebut mampu menghemat penggunaan input - input produksi pada usahatani padi sawah.
a. Pupuk Pembudidayaan tanaman dengan menggunakan sistem pertanian organik mulai dari input hingga outputnya harus menerapkan sistem organik pula, salah satu inputnya yaitu pupuk. Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam pemeliharaan yang menggunakan sistem pertanian organik ini. Pupuk yang digunakan juga harus pupuk organik (Rachmiyanti, 2009). Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam perkembangan dan pemeliharaan tanaman. Pada umumnya pupuk yang digunakan dalam budidaya padi sawah ada dua jenis, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Definisi yang dikemukakan oleh International Organization for Standardization (ISO) dalam Sutanto (2002) menyatakan bahwa pupuk organik merupakan bahan organik atau bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan. Pupuk kimia adalah pupuk yang berasal dari proses rekayasa secara kimia, fisik atau biologis yang merupakan hasil industri atau hasil dari pabrik pembuat pupuk. Pada
umumnya jenis pupuk kimia yang digunakan dalam budidaya meliputi (Saragih, 2011) : a. pupuk hara makro primer yaitu pupuk yang mengandung unsur hara utama N, P atau K baik tunggal maupun majemuk seperti Urea, TSP, SP-36, ZA, KCl, Phospat Alam, NP, NK, PK dan NPK; b. Pupuk hara makro sekunder, yaitu pupuk yang mengandung unsur Calsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S) seperti Dolomit, Kiserit; c. Pupuk hara makro campuran yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara utama N, P dan K yang dilengkapi unsur-unsur hara mikro seperti Seng (Zn), Boron (B), Tembaga (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn), Molibdenum (Mo). Pupuk hara campuran tersebut dapat berbentuk padat atau cair d. Pupuk hara mikro yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara mikro Zn, B, Cu, Co, Mn dan Mo; e. Pupuk anorganik lainnya. b. Benih Pada sistem SRI semua varietas padi bisa digunakan. Namun, sebaiknya dalam budidaya padi digunakan benih unggul. Untuk mendapatkan benih unggul, perlu dilakukan uji viabilitas (daya kecambah) dan vigoritas benih dengan merendamnya dalam larutan garam. Hal ini dilakukan utuk mendapatkan benih yang paling bermutu (Trubus, 2013). Umumnya benih dikatakan bermutu jika jenisnya murni (lokal), beras nasional (bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji rerumputan yang tidak dikehendaki, dan daya kecambahnya paling tidak mencapai 90 %.
Menurut Boer (2009) ada beberapa klasifikasi benih yang bersertifikat sesuai dengan keturunan dan mutunya (Saragih, 2011) : 1. Benih Penjenis (Breeder seed) adalah benih pembiak vegetatif yang dihasilkan langsung oleh pemulia tanaman yang digunakan untuk menghasilkan benih dasar. 2. Benih dasar (foundation seed) merupakan turunan pertama dari benih penjenis, identitas genetif dan kemurniannya dijaga baik. 3. Benih pokok, merupakan turunan dasar dari benih dasar, identitas dan kemurniannya dipertahankan sebaik mungkin. 4. Benih sebar, turunan dari benih pokok untuk memproduksi tanaman. c. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu input produksi penting dalam setiap usahatani. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah (Rachmiyanti, 2009).
d. Pestisida Pestisida merupakan salah satu input produksi yang digunakan oleh para petani untuk menjaga tanaman dari serangan hama penyakit. Namun pada umumnya penggunaan pestisida digunakan pada pertanian Konvensional, sedangkan pada pertanian organik tidak menggunakan pestisida kimia. Pestisida terdiri dari pestisida kimia dan pestisida alami. Pestisida kimia terdiri dari dua jenis yaitu pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida tergantung dari kondisi lingkungan dan hama yang menyerang tanaman tersebut. Pada umumnya pestisida yang digunakan oleh petani padi Konvensional adalah pestisida cair. Pada pertanian organik menggunakan pestisida alami yang dibuat oleh petani dengan menggunakan bahan-bahan yang alami dan ramah lingkungan. 2.1.4 Prinsip Dasar Budidaya SRI Secara umum dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini karena SRI menerapkan konsep sinergi, dimana semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling menunjang sehingga hasil secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing-masing bagian. Terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan SRI yaitu (Trubus, 2013) : 1. Pemakaian benih 1 lubang 1 tanaman 2. Umur bibit di persemaian sekitar 5 – 12 hari (daun) 3. Bibit ditanam maksimal 30 menit setelah dicabut dari persemaian
4. Sawah ditanami dalam kondisi macak – macak (tinggi air maksimum 2 cm) 5. Penyiangan dilakukan setiap 10 hari dengan terlebih dahulu memasukkan air hingga setinggi 5 cm selama 2 hari 6. Struktur tanah sawah harus gembur dan kaya bahan organik. Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi intermiten, artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah dan ketersediaan air. Selama waktu penanaman lahan tidak tergenang tetapi macakmacak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat 46% air dan juga mencegah kerusakan akar tanaman. Penggenangan air menyebabkan kerusakan jaringan perakaran akibat terbatasnya suplai oksigen. Semakin tinggi air semakin kecil oksigen terlarut, dampaknya akar tanaman tidak mampu mengikat oksigen sehingga jaringan perakaran rusak. Disamping menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat penggunaan bibit, sebab satu lubang tanam hanya ditanam satu bibit. Dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan cahaya atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Sebaliknya jika penanaman terdiri atas 9 bibit per lubang menyebabkan terjadinya kompetisi hara pada tanaman (trubus, 2008). Dalam pertanian SRI digunakan bibit muda berumur 5 - 12 hari pasca semai dan terdiri atas dua daun. Penggunaan bibit muda berdampak positif karena lebih mudah beradaptasi dan tidak gampang stres, ini dikarenakan perakaran belum panjang maka penanaman pun tidak perlu terlalu dalam cukup 1-2 cm dari permukaan tanah. Untuk menghasilkan bibit muda yang berkualitas petani mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50 gr/m2 dimaksudkan agar bibit cepat besar, karena tidak terjadi persaingan unsur hara, dengan
demikian bibit sudah siap tanam pada umur 5-12 hari. Transplantasi saat bibit muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga jumlah anakan/ batang yang muncul lebih banyak dalam satu rumpun, dan bulir padi yang dihasilkan oleh malai padi juga lebih banyak. Petani SRI menanam bibit muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm, total populasi dalam satu hektar mencapai 83.000 tanaman, sementara pada sistem Konvensional berjarak tanam 20 cm x 20 cm terdiri atas 250 ribu tanaman. Pada jarak tanam longgar sinar matahari dapat menembus sela - sela tanaman dengan baik. Tanaman memerlukan sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis yang bertujuan unutk menjaga pasokan makanan tercukupi. Dengan demikian dalam umur 30 hari, dari satu bibit sudah menghasilkan 65 anakan (Saragih, 2011). 2.1.5 Teknik Budidaya Padi SRI Pertanian padi metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi Konvensional. Usahatani padi metode SRI diberikan masukan bahan organik baik pupuk dan pestisidanya. Sedangkan usahatani padi Konvensional masukannya berupa bahan kimia sintetik. Namun dari pola tanam padi SRI sedikit berbeda dengan padi Konvensional, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah, penanaman, dan pengaturan air (Mutakin, 2007).
a.
Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang
tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm (Nampan) selama 7 hari. Setelah umur 7 - 10 hari benih padi sudah siap ditanam (Mutakin, 2005). b. Pengolahan Lahan Pengolahan tanah untuk tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air. c. Pemupukan Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem Konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah. d. Pemeliharaan Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk
mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi SRI dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1 - 10 hari tanaman padi digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi air. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang air. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenangi air dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi air kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik.
2.1.6 Perbedaan Pertanian SRI dengan Pertanian Konvensional Dalam pelaksanaannya, ada beberapa perbedaan pertanian sistem SRI dengan sistem Konvensional seperti pada tabel 4. Pada sistem Konvensional benih disemai selarma 30 hari, kemudian dilakukan penanaman dengan menanam 6 bibit dalam satu bak. Penggenangan secara terus menerus dengan ketinggian air 5 cm, selanjutnya dilakukan pengeringan dilakukan 2 minggu menjelang panen. Sedangkan pada sistem SRI Benih disemai hingga berumur 10 hari, lalu ditanam 1 bibit dalam satu loban. Pengairan diatur dalam kondisi macak-macak selama waktu pertumbuhannya. Dua minggu menjelang panen pengairan dihentikan.
Tabel 3. Perbedaan Pertanian SRI dengan Konvensional SISTEM No. KONVENSIONAL 1.
Lahan : Olah Tanah Intensif
SISTEM SRI Lahan :
- Olah Tanah Minimum - Olah Tanah Bermulsa - Olah Tanah Konservasi - Tanpa Olah Tanah
2.
Benih :
Benih :
- Varietas unggul
- Varietas Lokal
- Benih Transgenik
- Varietas unggul aman
3.
Pupuk/ Bahan Kimia :
Pupuk :
- Urea
- Pupuk hijau
- TSP
- Pupuk kandang
- NPK
- Guano
- ZPT
- Bokasi
- KCL 4.
5.
Pestisida Kimia :
Pestisida alamai :
- Insektisida
- Pestisida hayati
- Herbisida
- Pengendalian hama terpadu
- Rodentisida
- Agensi hayati
Tenaga Kerja :
Tenaga kerja/ Energi
- Manusia
- Manusia
- Traktor
- Hewan ternak
- Energy minyak bumi
- Traktor ringan - Energy matahari, air angin dan biomassa
6.
Manajemen :
Manajemen :
- Orientasi jangka pendek
- Orientasi jangka panjang
- Product oriented
- Economic oriented
- Manajemen industrial
and
ecological
- Manajemen global indegenius local.
dan
Sumber : Rachmiyanti (2009)
2.2 Landasan Teori Analisis komparasi atau perbedaan merupakan prosedur statistik untuk menguji perbedaan diantara dua data (variable) atau lebih. Analisis perbedaan atau uji perbedaan ini sangat tergantung pada jenis data (nominal, ordinal, interval, dan rasio) dan kelompok sampel yang diuji. Jenis teknik Statistik yang digunakan untuk menghitung hipotesis komparatif harus sesuai dengan jenis data atau variabel berdasarkan skala pengukuran (Sunyoto, 2011). Produk hasil pertanian sering disebut korbanan produksi karena input produksi dikorbankan untuk menghasilkan komoditas pertanian, untuk menghasilkan suatu produk diperlukan hubungan antara input produksi dan komoditas, hubungan antara input dan output disebut dengan factor relationship (FR). Secara sistematik dapat ditulis dengan analisis fungsi Coob-Douglas. Fungsi Coob-Douglas adalah salah satu fungsi persamaan non-linier yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas dan variabel tidak bebas) misalnya input produksi antara lain, Pupuk (X1), benih (X2), pestisida (X3), tenaga kerja (X4). Secara sistematis pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut : Y = β0 .
Untuk menaksir parameter – parameter, persamaan harus ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural (ln) sehingga menjadi bentuk linier berganda (multiple linear), yang kemudian pengujian dilakukan dengan metode kuadrat kecil dengan bentuk matematis : Y = Ln
+
+
+
+
+e
Dimana : Y
: Produksi : Konstanta : Koefisien regresi terhadap X : Pupuk : Benih : Pestisida : Tenaga kerja
Berdasarkan persamaan maka dapat dilihat bahwa besar kecilnya produksi sangat tergantung dari peranan
sampai dengan
dan input lain yang tidak ada dalam
persamaan (Daniel, 2002). Biaya usahatani biasanya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besar biaya ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. 2. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh.
Biaya tetap ini umumnya didefenisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Contoh biaya tetap antara lain: sewa tanah, pajak, alat pertanian dan iuran irigasi. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefenisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (Kasmir, 2003). Biaya usahatani atau disebut dengan total biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya tidak tetap, dengan rumus sebagai berikut: TC= FC + VC Keterangan: TC = Total Biaya (Rp) FC = Biaya Tetap (Rp) VC = Biaya Variabel (Rp) Pendapatan dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai hasil berupa uang atau hal materi lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa manusia bebas. Kondisi seseorang dapat di ukur dengan menggunakan konsep pendapatan yang menunjukkan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang selama jangka waktu tertentu (samuelson dan Nordhaus,1995). Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya sehingga dapat ditulis dengan rumus : Pd = TR – TC Keterangan: Pd = Pendapatan usahatani (Rp)
TR = Total penerimaan (Rp) TC = Total biaya (Rp) Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut: TR = Y. PY Keterangan: TR = Total Penerimaan (Rp) Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani PY = Harga (Rp) ( Soekartawi, 2002). Dalam melakukan analisis usahatani, seseorang dapat melakukannya menurut kepentingan untuk apa analisis usahatani yang dilakukannya. Dalam banyak pengalaman analisis usahatani yang dilakukan oleh petani atau produsen memang dimaksudkan untuk tujuan mengetahui atau meneliti : a. Keunggulan komparatif (comparative advantage) b. Kenaikan hasil yang semakin menurun (law of diminishing returns) c. Substitusi (substitution effect) d. Pengeluaran biaya usahatani (farm expenditure) e. Biaya yang diluangkan (opportunity cost) f. Pemilikan cabang usaha (tanaman lain yang dapat diusahakan) g. Baku-timbang tujuan (goal trade-off). Menurut Hernanto (1991) bentuk keperluan analisis pendapatan petani diperlukan empat unsur, yaitu: (1) rata-rata inventaris, (2) penerimaan usahatani, (3)
pengeluaran usahatani, dan (4) penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan ratarata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir dibagi dua. Untuk menilai aset benda pada usahatani dapat dilakukan dengan: harga pembelian, nilai penjualan setelah waktu tertentu, nilai penjualan pada saat pencatatan atau perhitungan, dan harga pembelian dikurangi dengan penyusutan (Rachmiyanti, 2009). Perlunya analisis usahatani memang bukan untuk kepentingan petani saja tetapi juga untuk para penyuluh pertanian seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan Penyuluh Petanian Analisis (PPA), para mahasiswa atau pihak lain yang berkepentingan untuk melakukan analisis usahatani dengan sasaran petani adalah sebagai sumber informasi yang sangat penting (Soekarwati, 1995). 2.3 Kerangka Pemikiran Petani adalah orang yang menjalankan dan mengelola usahatani. Di kecamatan Teluk Mengkudu ada 2 sistem usahatani padi sawah yang dibudidayakan yaitu sistem SRI dan sistem Konvensional. Dalam pelaksanaanya, ada beberapa perbedaan dalam aspek penggunaan input produksi antara kedua sistem tanam tersebut. Sistem Konvensional menggunakan benih varietas unggul sedangkan sistem SRI menggunakan varietas lokal dan varietas unggul yang aman. Dalam hal penggunaan pestisida, sistem Konvensional biasanya menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi sedangkan sistem SRI menggunakan pupuk organik seperti pupuk hijau, pupuk kandang dan pestisida alami seperti pestisida hayati, pengendalian hama terpadu, dan agensi hayati. Perbedaan lainnya adalah dalam
aspek penggunaan tenaga kerja. Sistem Konvensional menggunakan tenaga kerja berupa manusia dan traktor sedangkan sistem SRI tenaga kerja yang digunakan berupa manusia, hewan ternak, dan traktor tangan ringan (Rachmiyanti, 2009). Perbedaan tersebut juga mengakibatkan adanya perrbedaan jumlah hasil produksi padi dan biaya produksi usahatani antara sistem SRI dengan sistem Konvensional yang berujung pada terjadinya perbedaan tingkat produksi padi di kedua sistem tanam padi yakni sistem SRI dengan sistem Konvensional. Perbedaan produksi dan biaya produksi juga akan mengakibatkan perbedaan pendapatan petani di setiap sistem tanam. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang perbedaan – perbedaan yang terjadi akibat perbedaan sistem tanam padi tersebut.
Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 : Petani Padi Sawah
Usahatani
Sistem SRI
Sistem Konvensional
Input Produksi
Input Produksi -
Benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja
-
Benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja
Produksi
Produksi
Input produksi
Input produksi
Biaya Produksi
Biaya Produksi
Pendapatan
Pendapatan
Keterangan : : Mempengaruhi Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
2.4 Penelitian Terdahulu Analisis perbandingan usahatani padi organik Metode System Of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional oleh Rachmiyanti (2009) diperoleh kesimpulan bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi Konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI ( Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani
padi Konvensional, yaitu Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani padi Konvensional. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp 1,54 sedangkan petani padi Konvensional lebih besar dari petani padi organik tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini bermakna bahwa penerimaan yang diperoleh padi Konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.
2.5 Hipotesis Penelitian 1. Ada perbedaan yang nyata antara penggunaan input produksi (Pupuk, Benih, Tenaga Kerja, Pestisida) usahatani padi sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional. 2. Ada perbedaan yang nyata antara tingkat produksi usahatani padi sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional. 3. Pupuk, Benih, Tenaga Kerja dan Pestisida berpengaruh nyata terhadap hasil Produksi padi sawah pada usahatani sistem SRI dan sistem Konvensional. 4. Ada perbedaan yang nyata antara biaya produksi usahatani padi sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional.