BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Penetapan Harga Pada dasarnya, ada 2 kekuatan besar yang berpengaruh pada pembentukan harga komoditas kelapa sawit, yaitu kekuatan pasar (marketing forces) dan pengendalian oleh pemerintah/kebijakan pemerintah. 1. Kekuatan Pasar Melalui kekuatan pasar, harga
di sepanjang rantai supply berpengaruh karena
permintaan di industri hulu merupakan turunan permintaan dari permintaan di industri hilir. Harga produk di industri hulu dipengaruhi oleh harga produk di industri hilir atau dengan kata lain harga TBS dipengaruhi oleh harga CPO (Chalil dan Zen, 2009). 2. Kebijkan Pemerintah Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat melindungi petani. Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 395//Kpts/OT.140/11/2005. Rumus Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut: HTBS = K (HCPO x RCPO + HIS x RIS) dimana: HTBS : Harga TBS acuan yang diterima oleh Petani di tingkat pabrik, dinyatakan dalam Rp/kg dan merupakan harga pabrik pengolahan
K : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan setiap bulan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berdasarkan Tim Penetapan Harga Pembelian TBS HCPO : Harga rata-rata minyak sawit (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/Kg dan ditetapkan setiap bulan RCPO : Rendemen minyak sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan sebagai Lampiran SK Menbutbun HIS : Harga rata-rata tertimbang minyak inti sawit realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/Kg dan ditetapkan setiap bulan RIS : Rendemen minyak inti sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan sebagai Lampiran SK Menbutbun (Anonymous, 2007). Harga TBS dipengaruhi oleh harga rata-rata tertimbang dari harga CPO Internasional dan harga CPO Domestik, serta faktor lain yang terjadi dilapangan. Mutu dan rendemennya ditentukan oleh jenis bibit, umur tanaman dan mutu panen (Bangun, 1989). Baik melalui kekuatan pasar dan kebijakan pemerintah, harga TBS di pengaruhi oleh harga CPO.
2.1.2. Penelitian Terdahulu Arifandi (2008), menunjukkan bahwa ketika harga CPO Internasional naik sebesar 1 %, maka harga CPO Domestik naik sebesar 0,983 %, sedangkan harga minyak goreng Domestik naik sebesar 1,016 %. Jaldi (2007), menunjukkan bahwa (1) perubahan harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34% di tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO ekspor PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku (TBS), harga solar dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV, serta hal-hal yang bersifat
politis, yaitu hubungan diplomatik indonesia dengan negara pengimpor CPO. (2) perubahan harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0,59% di tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO Domestik PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena adanya kenaikkan input, seperti bahan baku (TBS), harga solar pabrik dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV.
2.2.
Landasan Teori
2.2.1
Supply Chain Konsep supply chain (rantai penawaran) merupakan konsep baru dalam melihat
persoalan logistik. Konsep lama melihat logistik sebagai persoalan intern masing-masing perusahaan dan pemecahannya dititik beratkan pada pemecahan secara intern di perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas dan terbentang sangat panjang mulai dari bahan baku sampai produk jadi yang digunakan oleh konsumen akhir Konsep rantai penawaran yang relatif baru sebetulnya tidak sepenuhnya baru karena
konsep
tersebut
merupakan
perpanjangan
dari
konsep
logistik.
Hanya
manajemen logistik lebih terfokus pada pengaturan aliran di dalam suatu perusahaan, sedangkan manajemen rantai penawaran
menganggap bahwa integrasi dalam suatu
perusahaan tidaklah cukup. Integrasi harus dicapai
untuk seluruh mata rantai
pengadaan barang, mulai dari yang paling hulu sampai dengan yang paling hilir. Oleh karena itu, rantai penawaran terfokus pada pengaturan aliran barang antar perusahaan yang terkait, dari hulu sampai hilir bahkan sampai pada konsumen terakhir (Isnanto, 2009).
2.2.2. Rantai Pemasaran Kohl dan Uhl (1980) mendefinisikan pemasaran sebagai tampilan aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus barang dan jasa dari pintu gerbang usahatani sampai ke tangan
konsumen. Menurut Saefuddin (1982) bahwa pemasaran merupakan aktivitas yang berkaitan dengan bergeraknya barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Berdasarkan definisi tersebut, maka tujuan dari pada pemasaran adalah agar barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh petani
maupun perusahaan sebagai produsen sampai ke konsumen.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan agar barang dan jasa dapat berpindah dari sektor produksi ke sektor konsumsi disebut sebagai fungsi pemasaran. Rantai
pemasaran
yang
semakin
panjang
yang
memungkinkan terjadinya
akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Rantai pemasaran yang semakin panjang antara lain dapat disebabkan oleh jarak pemasaran yang semakin jauh antara daerah produsen dan daerah konsumen. Jarak pemasaran yang lebih jauh dapat terjadi karena produksi komoditas terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar dalam lingkup wilayah yang lebih luas (Nasruddin, 2002).
2.2.3. Integrasi Pasar Integrasi pasar merupakan suatu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi pada pasar acuan (pasar di tingkat pedagang pengecer, Pr) akan menyebabkan terjadi perubahan pada pasar pengikutnya (pasar di tingkat petani, Pf) (Nasruddin, 2002). Integrasi pasar tergolong menjadi 2, yaitu yang meliputi integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal merupakan penggabungan proses dan fungsi dua atau lebih lembaga pemasaran pada tahap distribusi ke dalam satu sistem manajemen. Sedangkan integrasi horizontal adalah penggabungan dua atau lebih lembaga pemasaran yang melakukan fungsi yang sama pada tahap distribusi yang sama pula ke dalam satu sistem manajemen. Dua pasar dikatakan terintegrasi secara vertikal apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan atau di transmisikan ke pasar lain. Hal tersebut sesuai dengan struktur
pasar persaingan sempurna, dimana perubahan harga acuan diteruskan secara sempurna ke pasar pengikut (tingkat petani). Dengan demikian, integrasi vertikal dapat digunakan sebagai indikator. Sedangkan integrasi pasar secara horizontal digunakan untuk melihat apakah mekanisme harga berjalan secara serentak atau tidak (Kusnadi dkk, 2009).
2.2.4. Law Of One Price Law of one price mengungkapkan bahwa pada pasar persaingan yang bebas biaya transportasi dan hambatan perdagangan resmi (seperti tarif), komoditi yang identik yang dijual di negara yang berbeda harus dijual dengan harga yang sama jika harga barang tersebut dikonversikan ke dalam mata uang yang sama (Kougmen dan Obstfeld, 2000). Contoh : Harga sepotong roti di amerika adalah US$1 apabila nilai tukar Rp terhadap US$ yang berlaku saat ini adalah Rp 8000/US$, menurut asumsi the asumsi The Law of One Price, harga sepotong roti di Indinesia harus Rp 8000/US$. Jadi,dimana pun kita membeli roti, apakah itu di Amerika atau di Indonesia, harganya adalah sama, sesuai dengan perbandingan tingkat nilai tukar yang berlaku antar kedua negara tersebut (Frensidy, 2008).
2.2.5. Elastisitas Transmisi Harga Elastisitas transmisi harga merupakan perbandingan perubahan persentase dari harga di
tingkat pengecer/ pemasar/konsumen (Y) dengan perubahan harga di tingkat
petani/produsen (X), yang bertujuan untuk mengetahui melihat berapa besar perubahan harga di pasar pengecer/ pemasar/konsumen (Y) akibat terjadinya perubahan harga sebesar satu satuan unit di pasar petani/produsen (X). Dari perubahan/hubungan tersebut secara tidak langsung dapat diperkirakan tingkat keefektifan suatu informasi pasar, bentuk pasar dan efektifan sistem pemasaran. Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et < 1) dapat diartikan bahwa
perubahan
harga
sebesar
1%
di
tingkat
pengecer
akan mengakibatkan
perubahan Monopsoni.
harga kurang
dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasar mengarah ke
Apabila elastisitas transmisi harga sama dengan satu (Et = 1), maka
perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat petani dan merupakan pasar persaingan sempurna. Apabila elastisitas transmisi harga lebih besar dari satu (Et > 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasarnya mengarah ke Monopoli. Rumus elastisitas transmisi harga sebagai berikut : ∆Y Et =
∆X
X x Y
Dimana : Et ∆Y ∆X X Y
= = = = =
Elastisitas Transmisi Harga Perubahan Harga di tingkat pengecer (∆Rp/∆Kg) Perubahan Harga di tingkat petani (∆Rp/∆Kg) Harga di tingkat petani (Rp/Kg) Harga di tingkat pengecer (Rp/Kg) (Sudiyono, 2004)
Elastisitas transmisi harga umumnya bernilai lebih kecil satu. Apabila nilai Et suatu pasar lebih tinggi dari pasar yang lain, berarti pasar tersebut lebih efisiensi karena perubahan harga (fluktuasi) di tingkat produsen ditransmisikan dengan lebih sempurna ke konsumen (Silitonga, 1999).
2.3. Kerangka Pemikiran Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati kelapa sawit yang disebut dengan CPO (Crude Palm Oil). CPO merupakan hasil olahan dari TBS (Tandan Buah Segar), yang dimana CPO dan TBS mempunyai nilai yang disebut dengan harga. Dalam kaitannya dengan pemasaran, harga ini di indikasikan mengalami perubahan harga. Suatu pasar dapat dikatakan sempurna dilihat dari integrasi pasar dan elastisitas transmisi harga yang terjadi. Dimana integrasi harga dikatakan sempurna, jika pembentukan harga ditingkat petani dengan ditingkat PKS bernilai sama dengan satu. Sama halnya dengan elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap TBS di tingkat petani yang mengacu pada harga CPO Internasional bernilai sama dengan satu. Ini di karenakan harga CPO Domestik di pengaruhi oleh harga internasional, dimana ketika harga CPO Internasional mengalami peningkatan harga jual, maka harga CPO Domestik akan mengalami peningkatan harga jual pula sesuai dengan harga dalam satu mata uang (kurs). Jika ini berjalan dengan baik, maka akan terbentuk keadaan harga yang seimbang, sehingga elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS ditransmisikan dengan sempurna. Apabila hukum ini tidak berjalan baik, maka elastisitas transmisi harga yang terjadi tidak ditransmisikan dengan sempurna dan akan mengakibat dampak pada harga TBS yang diterima oleh petani kelapa sawit.
Harga CPO Internasional
Harga CPO Domestik
Harga TBS Sumatera Utara
Harga TBS Petani Kelapa Sawit
Keterangan : : Dampak : Transmisi
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Sesuai dengan landasan teori yang telah dijelaskan, maka penulis menganggap hipotesis penelitian yang akan diteliti adalah 1. Adanya hubungan yang erat antara harga CPO Internasional dengan CPO Domestik, harga CPO Internasional dengan harga TBS Sumatera Utara, dan harga CPO Domestik dengan harga TBS Sumatera Utara pada periode yang sama 2. Harga CPO Domestik ditransmisikan dengan sempurna terhadap harga TBS di tingkat petani