BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber utama untuk penyediaan bahan pangan. Peningkatan pendapatan merupakan salah satu cara untuk memampukan masyarakat mempunyai kemampuan untuk memilih (ability
to
choose),
karena
mempunyai
pendapatan
yang
mencukupi
memungkinkan mereka untuk memilih jenis makanan yang lebih beragam. Selanjutnya, dengan peningkatan pendapatan maka kemampuan untuk membeli bahan pangan sumber protein dan vitamin seperti daging, ikan, telur, susu, sayur dan buah-buahan akan dapat terpenuhi. Dengan demikian, tekanan permintaan terhadap beras secara lambat laun akan berubah ke non-beras, dan secara lambat laun akan berkurang dan berubah ke pola makan yang lebih seimbang sesuai sesuai dengan persyaratan gizi. Dengan demikian, tekanan terhadap upaya-upaya peningkatan produksi secara lambat laun berubah dan menyesuaikan dengan perubahan pola konsumsi tersebut. Strategi ini bukan merupakan hal baru, namun selama ini kurang mendapat perhatian yang memadai untuk menandingi promosi konsumsi bahan pangan dari gandum dan terigu yang banyak dilakukan oleh industri berbasis pertanian di luar negeri. Dengan semakin maraknya impor beras dan bahan pangan lain sebagai akibat makin terbukanya pasar global, sementara kita secara
hukum belum dapat menghentikan arus perdagangan ilegal, maka strategi pengendalian dari sisi pola konsumsi menjadi semakin penting (Soesastro, 2005). Dalam menentukan alternatif pangan pokok non beras pada level nasional, semestinya tidak terlampau sulit. Seperti kita ketahui Indonesia kaya beragam sumber pangan dari jenis umbi-umbian dan serelia (biji-bijian). Dari jenis umbiumbian yang berpotensi besar untuk diproduksi secara nasional adalah ubi kayu dan ubi jalar, karena ketersediaanya relatif besar. Adapula jenis umbi-umbian lain misal, garut, ganyong, dan kimpul. Namun, data produksi nasional untuk yang disebutkan terakhir ini belum bisa dimunculkan karena sifat produksinya sangat terbatas dan lokal. Sedangkan, alternatif pangan pokok non beras dari jenis serelia (biji-bijian) tentu bisa diandalkan adalah jagung (Djuwardi, 2009). Pangan atau makanan merupakan kebutuhan dasar dalam hidup manusia, oleh karenanya di negara kita maupun dunia urusan pangan diatur oleh negara. Meskipun di indonesia telah ada Undang-Undang Pangan, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 dan kemudian direvisi dengan UUNo. 18 Tahun 2012, namun masyarakat belum mendapatkan makanan yang cukup terjamin keamanan dan mutunya. Hal ini antara lain disebabkan masih kurangnya pemahaman konsumen akan sifat, manfaat dan cara menentukan kebutuhan makanan agar dirinya menjadi individu yang sehat, produktif, kreatif dan inovatif (Indrati, 2014). Ketahanan pangan menurut Undang-Undang No.7 tahun1996 adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup yang menghasilkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia baik dalam jumlah maupun mutunya, aman dan merata dengan harga terjangkau dan berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab dan kewajibannya, Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional telah menempatkan pembangunan ketahanan pangan sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Selanjutnya untuk mengimplementasikan inpres tersebut, Gubernur Sumatera Utara melalui Surat Edaran Nomor 521.2348 tanggal 7 April 2011 tentang Peningkatan Fungsi Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota meminta perhatian kepada Bupati/Walikota se-Sumatera Utara untuk memberikan prioritas utama program peningkatan ketahanan pangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten/Kota. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta kekuatan dan kekuasaan. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pola konsumsi masyarakat ini dapat menunjukan tingkat keberagaman pangan masyarakat yang selanjutnya dapat diamati dari parameter pola pangan harapan (PPH).
Pola Pangan Harapan (PPH) Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. Defenisi PPH menurut FAO-RAPA (1989) adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dengan demikian, PPH adalah suatu komposisi norma (standar) pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), kuantitas dan kemampuan daya beli (affortability) (Khomsan, 2004).
Tabel 2.1 Susunan dan Jumlah Pangan Ideal Per Kapita Per Hari Kelompok Berat % AKE Energi(kkal/kap/hari) Pangan (gram/kap/hari) 1 Padi-padian 50 1000 275 2 Umbi-umbian 6 120 100 3 Pangan hewani 12 240 150 Minyak dan 4 10 200 20 lemak Buah/biji 5 3 60 10 berminyak Kacang6 5 100 35 kacangan 7 Gula 5 100 30 8 Sayur dan buah 6 120 250 Lain-lain 9 3 60 (Bumbu) Total 100 2000 Skor PPH 100 Sumber : Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan-BKP, Deptan No
Susunan menu pada setiap waktu makan sebaiknya terdiri dari makanan pokok, satu jenis lauk hewani, satu jenis lauk nabati, satu jenis hidangan sayur, dan satu jenis buah. Untuk mempermudah dalam menyusun menu, digunakan Ukura Rumah Tangga (URT) dan Daftar Bahan Penukar Pangan (DBPP) (Murdiati, dkk.2013).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Tingkat Pendapatan Pada umumnya, jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik juga. Akan tetapi, mutu makanan tidak selalu membaik kalau diterapkan tanaman perdagangan. Tanaman perdagangan menggantikan produksi pangan untuk rumahtangga dan pendapatan yang diperoleh dari tanaman perdagangan itu atau upaya peningkatan pendapatan yang lain mungkin tidak digunakan untuk membeli pangan atau bahan-bahan pangan berkualitas gizi tinggi (Suhardjo, 2006). Besar Keluarga Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo, 2006).
Tingkat Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Dalam memilih menu makan yang mempunyai kandungan energi dan protein yang memadai serta pemilihan komposisi jenis makanan yang tepat, diperlukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi, terutama tingkat pengetahuan kepala keluarga dan istri yang berperan sangat tinggi dalam menentukan keputusan konsumsi rumah tangga.
2.2 Landasan Teori Teori Konsumsi Keynes Fungsi konsumsi Keynes sering disebut hipotesis pendapatan absolut, dimana dalam bentuk konsumsi yang dikeluarkannya berdasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut : • Fungsi konsumsi Keynes menunjukan hubungan antara pendapatan nasional dengan
pengeluaran
konsumsi
yang
keduanya
dinyatakan
dengan
menggunakan harga yang konstan (harga tetap). • Pendapatan yang terjadi adalah pendapatan nasional yang sebenarnya (riil) bukan pendapatan yang lalu atau yang akan datang. • Pendapatan absolut, fungsi konsumsi Keynes variabel pendapatan nasionalnya adalah pendapatan absolut.
Jumlah Tabungan S SF S1 SF
Gambar 1. Fungsi Tabungan Keynes Yo Y1 Pendapatan Nasional
Y2
Gambar di atas menerangkan pandangan Keynes mengenai penentuan tabungan masyarakat. Kurva S adalah fungsi tabungan, yaitu suatu garis yang menggambarkan hubungan di antara jumlah tabungan dan pendapatan nasional. Kurva S bermula dari nilai tabungan negative, dan S bentuknya menaik dari kiri bawah ke kanan atas. Bentuk kurva S menggambarkan sifat tabungan masyarakat yang berikut : -
Apabila tingkat pendapatan nasional rendah, tabungan masyarakat negatif. Keadaan ini berarti masyarakat menggunakan tabungan di masa lalu untuk membiayai hidupnya. Setelah pendapatan nasional melebihi Yo masyarakat menabung sebagian dari pendapatannya.
-
Semakin tinggi pendapatan nasional, semakin banyak tabungan masyarakat. Apabila pendapatan nasional adalah Y1 tabungan adalah S1 dan apabila pendapatan nasional YF jumlah tabungan adalah SF (Sukirno, 2004).
Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin
besar pendapatan mereka maka makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka. Sifat penting lainnya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran konsumsi. Oleh Keynes perbandingan di antara pengeluaran konsumsi pada suatu tingkat
pendapatan
tertentu
dengan
pendapatan
itu
sendiri
dinamakan
kecondongan mengkonsumsi. Apabila kecondongan mengkonsumsi adalah tinggi, bagian dari pendapatan yang digunakan untuk konsumsi adalah tinggi. Dan sebaliknya pula, apabila kecondongan mengkonsumsi adalah rendah, maka makin sedikit pendapatan masyarakat yang akan digunakan untuk konsumsi (Sukirno, 2010). Teori Konsumsi Engel Hukum engel, berbunyi : “semakin besar pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi, dan semakin kecil pendapatan semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi.
Y3 X3 X2 X1
Y2 Y1
I1
I2
I3
I1
(a)
I2 (b)
Gambar 2. Kurva Engel
I3
Kurva Engel menggambarkan hubungan antara pengeluaran total dengan jumlah suatu barang tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dimana kedua barang adalah barang normal karena jumlah yang dibeli naik kalau pendapatan naik. Barang dalam gambar (a) adalah suatu kebutuhan pokok dalam arti bahwa bagian dari pengeluaran yang disediakan oleh X menurun kalau pendapatan naik. Sebaliknya, barang Y pada gambar (b) merupakan barang mewah (Nicholson, 1991).
Kurva Engel adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara pendapatan dan kuantitas yang diminta. Pada barang normal, kurva engel berlereng menanjak karena kenaikan pendapatan akan menambah kemampuan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi lebih banyak barang dan jasa.
2.3 Penelitian Terdahulu Ratna Cahyaningsih (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pola Konsumsi Pangan Di Provinsi Jawa Barat menyimpulkan bahwa konsumsi beras masih mendominasi pola konsumsi sumber karbohidrat, baik di pedesaan, perkotaan, maupun wilayah jawa barat. Apabila dilihat dari tipe daerah terlihat bahwa rata-rata konsumsi beras rumah tangga di pedesaan lebih tinggi dari perkotaan. Selain itu, terigu juga menjadi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di pedesaan, perkotaan maupun wilayah Jawa Barat.
Febriana Ira Dewi (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pola Konsumsi Pangan Sumber Kafein dan Analisis Dampaknya Berdasarkan Persepsi Mahasiswa TPB-IPB Tahun Ajaran 2007/2008 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dan kafein dengan konsumsi kopi. 2.4 Kerangka Pemikiran Karakteristik sosial seperti pendapatan rumah tangga, jumlah tanggungan, umur, dan tingkat pendidikan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan non beras dan disesuaikan dengan Pola Pangan Harapan (PPH). Berikut ini adalah skema yang mempengaruhi pola konsumsi pangan non beras :
Jumlah Pendapatan R hT
Jumlah Tanggungan Pola Konsumsi Pangan Non Beras
Umur Pola Pangan Harapan (PPH)
Tingkat Pendidikan
Sesuai
Tidak Sesuai
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Pola Konsumsi Pangan Non Beras Sumber Karbohidrat di Kecamatan Medan Tuntungan Keterangan : = Hubungan = Pengaruh
2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : Jumlah pendapatan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, umur, dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan non beras masyarakat di Kecamatan Medan Tuntungan baik secara agregat maupun parsial.