14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KAJIAN TEORETIS
2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian tradisi batagak pangulu dan analisis teks dengan menggunakan pendekatan analisis wacana teori van Dijk sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan terutama yang berkenaan dengan teks pasambahan (persembahan) dan teks pidato adat dengan menggunakan pendekatan lain sudah pernah dilakukan. Rosa (2001) menulis sebuah makalah berjudul “Berpidato yang Sarat Formula dalam Tradisi Lisan ‘Batagak Gala’ di Minangkabau” dan Rosa (2015) menulis disertasi dengan judul “Struktur, Makna, dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau.” Penelitian yang dilakukan Rosa (2015) mengambil empat pidato adat malewakan gala, yaitu tiga pidato adat batagak gala pangulu diambil dari tiga luhak di Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dan satu pidato adat malewakan gala (memberikan gelar) kepada laki-laki di Minangkabau yang mau berumah tangga sesuai pepatah di Minangkabau ketek banamo gadang bagala (kecil bernama besar bergelar)12. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti tradisi batagak pangulu di Minangkabau dengan memfokuskan kepada tradisi lisan itu sendiri mulai dari performansi, analisis teks, ko-teks, dan konteks untuk 12
Ketek banamo gadang bagala (kecil bernama besar bergelar) artinya laki-laki di Minangkabau semasa kecil diberi nama kemudian setelah besar ketika berumah tangga diberi gelar. Misalnya, nama kecilnya Safrizal ketika dia berumah tangga diberi gelar Sutan Marajo sehingga menjadi S. Sutan Marajo.
Universitas Sumatera Utara
15
mendalami tradisi batagak pangulu tersebut, menemukan makna dan fungsi, nilai dan norma serta kearifan lokal tradisi batagak pangulu dan membuat model revitalisasi tradisi batagak pangulu dalam hal pengelolaan agar tradisi ini tetap berjalan dalam masyarakat Minangkabau. Untuk analisis teks penulis menggunakan teori analisis wacana yang dikemukakan oleh van Dijk (1987) sedangkan Rosa (2001 dan 2015) menganalisis teks menggunakan teori formula yang dikemukakan oleh Lord. Penelitian lain dengan menggunakan pendekatan lain yang mengkaji pidato pasambahan adat Minangkabau baik pidato pasambahan batagak pangulu maupun pidato pasambahan yang lain seperti pidato pasambahan kematian dan pasambahan perkawinan juga sudah pernah dilakukan seperti dilakukan oleh Kasih (1993) dengan pendekatan etnolinguistik, Kasih (1994) dengan teori implikatur, Hasanuddin (1996) dengan tinjauan refleksi budaya, dan Dhamayanty (2008) dengan pendekatan estetika. Penelitian lain yang berkaitan dengan gelar-gelar penghulu dan peran penghulu dalam masyarakat Minangkabau dilakukan oleh Noverita (2005) mengkaji nama gelar-gelar penghulu di Minangkabau dari kajian semantik, Zulhelmi (2006) mengkaji etika kepemimpinan penghulu di Minangkabau dari perspektif filsafat, dan Hestia (2008) mengkaji peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa tanah adat di Minangkabau. Penelitian yang berkaitan dengan disertasi ini adalah penelitian yang penulis lakukan sendiri. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Isman (2014) dalam bentuk makalah dengan judul The Minangkabau’Tradition of Batagak
Universitas Sumatera Utara
16
Pangulu, Local Wisdom, and Model of Inheritance. Makalah ini disajikan di International Conference Empowering Local Wisdom in Support of Nation Identities tanggal 28 – 19 November 2014 kerjasama Program Studi Linguistik FIB USU dengan Balai Bahasa Sumatera Utara dan makalah ini dimuat di Proceding International Conference Empowering Local Wisdom in Support of Nation Identities. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kearifan lokal dalam tradisi batagak pangulu di Minangkabau. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Isman (2015) dalam bentuk makalah berjudul Pemberdayaan Kembali Peran Pangulu (Penghulu) sebagai Penyelesai Konflik Kaum (Suku) di Minangkabau. Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional “Tradisi Lisan dalam Sistem Matrilineal” yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang pada 26 – 27 Oktober 2015 dan makalah ini dimuat dalam Prosiding Seminar International Tradisi Lisan dalam Sistem Matrilineal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghulu sebagai penyelelesai konflik harus diberdayakan kembali untuk menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi oleh anggota kaum atau suku di Minangkabau.
2.2 Konsep 2.2.1 Tradisi Lisan Finnegan (1992:6) menyatakan tradisi merupakan istilah yang banyak digunakan oleh para antropolog, folkloris, dan sejarawan lisan. Istilah tradisi ini memiliki banyak arti yang berbeda, namun digunakan untuk budaya secara keseluruhan. Sesuatu yang disebut tradisi diambil dari milik seluruh komunitas
Universitas Sumatera Utara
17
bukan milik individu atau kelompok kepentingan tertentu menjadi tidak tertulis, berharga, dan menandai identitas kelompok tersebut. Tradisi lisan juga mempunyai pengertian yang beragam sesuai dengan latar belakang ahli yang mengemukakannya. Finnegan (1992:6) menyatakan tradisi lisan adalah tradisi yang lebih spesifik lisan atau dari mulut yang ditandai dengan (1) lisan, (2) tidak ditulis, (3) milik orang atau rakyat (4) fundamental dan dihargai serta diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sebelumnya Vansina (1985:27-28) mendefinisikan tradisi lisan sebagai pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan verbal ini haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Pernyataan ini disampaikan melalui tutur kata dari mulut sekurangkurangnya sejarak satu generasi. Kemudian Sibarani (2012:47 dan 2015:71) menyatakan tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya baik tradisi itu berupa susunan kata-kata maupun tradisi lain yang bukan lisan/nonverbal. Sejalan dengan itu, Pudentia (2015:3) menyatakan tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan beraksara atau dikatakan juga sistem wacana yang bukan aksara. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan merupakan kegiatan budaya tradisional suatu komunitas masyarakat tertentu yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui media lisan seperti ucapan, pidato, dan nyanyian baik tradisi itu berupa susunan kata-kata maupun tradisi lain yang bukan lisan/nonverbal.
Universitas Sumatera Utara
18
Dengan pengertian tersebut, harus dibedakan antara tradisi lisan dengan tradisi kelisanan. Menurut Sibarani (2012:47) tradisi kelisanan adalah tradisi menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi lisan, sedangkan tradisi lisan adalah tradisi kegiatan tradisional yang disampaikan secara lisan seperti kebiasaan menari dan bermain gendang atau yang menggunakan kata-kata lisan seperti kebiasaan mendongeng. Tradisi lisan sebagai objek penelitian memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan konteks. Teks memiliki struktur, koteks memiliki elemen, dan konteks memiliki kondisi yang formulanya dapat diungkapkan dari kajian tradisi lisan. Teks merupakan unsur verbal baik bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi. Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, prosemik, kenetik, dan unsur materil lainnya. Konteks merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi. Isi tradisi lisan berupa nilai atau norma yang dikristalisasi dari makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai dan norma tradisi lisan dapat digunakan menata kehidupan sosial atau disebut juga dengan kearifan lokal. Tingkatan pertama isi adalah makna atau maksud dan fungsi atau peran. Tingkatan kedua adalah nilai dan norma yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya keyakinan terhadap nilai atau norma itu. Tingkatan ketiga
Universitas Sumatera Utara
19
adalah kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif. Sibarani (2012:242-243) menyatakan agar tradisi lisan sebagai warisan leluhur bermanfaat untuk masa depan generasi berikutnya untuk membangun karakter dan identitas dalam rangka tercapainya perdamaian dan peningkatan kesejahteraan bangsa, penelitian tradisi lisan harus mampu menjelaskan tiga komponen besar tradisi lisan yaitu bentuk, isi, dan model revitalisasi. Sebagai bidang kajian yang multidisiplin, komponen bentuk (struktur, koteks, dan konteks), komponen isi (makna dan fungsi, nilai dan norma, kearifan lokal), dan komponen revitalisasi (penghidupan/pengatifan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan) menjadi objek kajian tradisi lisan. Ketiga komponen tradisi lisan itulah yang dikaji dari latar belakang bidang ilmu setiap peneliti dengan atau tanpa bantuan bidang ilmu lain.
2.2.2 Performansi Duranti (1997:14-16) menyatakan istilah performansi digunakan dalam berbagai bidang seperti linguistik dan seni serta dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Karena penelitian tradisi batagak pangulu fokus pada jalannya acara tersebut, pengertian performansi penulis ambil dari pendapat ahli yang mendukung penelitian tersebut yaitu pendapat Finnegan (1992). Finnegan (1992:86) menyatakan performansi adalah elemen dalam setiap pertunjukan dan merupakan salah satu fokus utama dari penelitian seni dan tradisi lisan. Selanjutnya Finnegan (1992:90) menyatakan performansi juga digunakan untuk merujuk ke acara pertunjukan berdasarkan urutan waktu yang mencakup
Universitas Sumatera Utara
20
pertunjukan berlangsung sebagai peristiwa yang sebenarnya dan terorganisir. Di samping itu, Finnegan juga menyatakan performansi adalah praktik komunikasi dalam proses pertunjukan. Sejalan dengan pendapat Finnegan, sebelumnya Lord (1981) menyatakan performansi adalah proses pertunjukan sastra lisan (tradisi lisan) itu sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa performasi adalah proses pertunjukan atau praktik komunikasi tradisi lisan sebagai suatu peristiwa berdasarkan urutan waktu dan terorganisir. Komponen-komponen dalam performansi menurut Finnegan (1992:8997) mencakup komponen utama dan komponen lainnya. Komponen utama mencakup (1) pelaku (pemain) dan (2) penonton (khalayak) dan peserta sedangkan komponen lainnya mencakup (1) situasi dan organisasi pertunjukan, (2) organisasi internal, (3) media pertunjukan, dan (4) keterampilan pertunjukan dan konvensi. Performansi batagak pangulu yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah prosesi acara batagak pangulu dan komponen-komponen yang terdapat dalam acara batagak pangulu tersebut mulai dari acara pembukaan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Acara dimulai dengan arak-arakan dari Balai Adat Gando ke Balai Adat Piobang yang berjarak lebih kurang 1,5 km untuk menjeput penghulu pucuk dan penghulu empat suku. Acara ini diikuti oleh penghulu yang akan dilewakan, manti, malin, dubalang (hulubalang), dan anggota kaum penghulu yang akan diresmikan dan sampai berakhirnya acara batagak pangulu ini setelah selesainya kata sambutan oleh Bupati Lima Puluh Kota sekaligus sebagai Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
Universitas Sumatera Utara
21
(LKAAM) yang dilanjutkan dengan peresmian Balai Adat Gando oleh staf ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat Adat Prof. Dr. Rahman Sani, M. Sc. dan ditutup dengan makan bersama seluruh undangan serta masyarakat yang hadir.
2.2.3 Teks Teks dalam tradisi lisan dapat dipandang sebagai unsur verbal baik sebagai bahasa yang tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi (Sibarani, 2012:242). Struktur teks dapat dilihat dari struktur makro, superstruktur atau struktur alur, dan struktur mikro (van Dijk, 1987:1-8). Ketiga struktur tersebut saling mendukung dalam membangun sebuah teks sehingga kajian ketiganya sangat penting untuk memahami sebuah teks seperti teks tradisi lisan batagak pangulu di Minangkabau. Struktur makro merupakan makna keseluruhan sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Topik atau tema merupakan
unsur
yang
dikedepankan
dalam
sebuah
teks.
Topik
ini
menggambarkan apa yang ingin diungkapkan dalam sebuah teks. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu teks. Superstruktur atau struktur alur merupakan kerangka dasar sebuah teks meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk suatu kesatuan yang koheren. Superstruktur atau struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Analisis struktur harus
Universitas Sumatera Utara
22
mampu mengungkap pesan-pesan yang ada dalam setiap elemen teks itu (Sibarani, 2012:314-315). Struktur mikro merupakan struktur teks secara linguistik seperti fonem, kata, frase, kalimat, makna, wacana, maksud, gaya bahasa, dan bahasa kiasan atau figuratif. Kajian struktur mikro dapat dilakukan bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih tataran tertentu sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji (Sibarani, 2012:316). Kajian struktur mikro ini akan merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa sehari-hari dan bahasa susastra mulai dari tataran bahasa yang paling rendah seperti bunyi sampai dengan tataran bahasa yang paling tinggi seperti wacana. Ketiga struktur teks tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan, dan saling mendukung. Ketiga struktur itu memiliki elemen masing-masing dan merperlihatkan kaidah masing-masing. Tema merupakan makna keseluruhan teks dalam tataran struktur makro didukung oleh kerangka atau skema teks dalam tataran struktur alur dan juga didukung oleh tataran struktur mikro.
2.2.4 Ko-teks Ko-teks merupakan tanda-tanda lain yang muncul mendampingi teks saat berkomunikasi. Ko-teks tersebut berupa paraliguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material (Sibarani, 2012:319). Ko-teks ini berfungsi untuk memperjelas pesan atau makna sebuah teks. Unsur-unsur koteks tersebut mendampingi teks dalam proses penciptaan, penyampaian, dan penafsiran wacana tradisi lisan.
Universitas Sumatera Utara
23
Unsur-unsur paraliguistik atau suprasegmental dapat berupa intonasi, aksen, jeda, dan tekanan. Unur-unsur paralinguistik ini mendampingi penggunaan teks dalam komunikasi dan berfungsi sebagai memperjelas makna atau maksud unsur-unsur
segmental.
Perbedaan
penempatan
paralinguistik
akan
mengakibatkan perbedaan makna sehingga akan mengganggu kelancaran komunikasi. Di samping unsur paralinguistik, unsur lain yang muncul dalam komunikasi mendampingi teks verbal adalah kinetik. Unsur-unsur kinetik yang muncul saat berkomunikasi berupa gerakan tangan, ekspresi wajah, anggukan kepala, dan gerakan badan. Apabila penggunaannya bersamaan dengan teks verbal dalam tindak komunikasi, kinetik berfungsi memperjelas teks verbal. Bentuk ko-teks lain yang perlu dikaji dalam tradisi batagak pangulu di Minangkabau adalah unsur material atau benda yang mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur yang digunakan seperti pakaian, warna, penataan lokasi dan dekorasinya, serta berbagai properti dengan fungsinya masing-masing. Semuanya itu merupakan benda-benda simbolik yang perlu dikaji secara semiotik untuk memperkaya interpretasi makna tradisi lisan (Sibarani, 2012:322-323).
2.2.5 Konteks Menurut Kleden (dalam Sudaryat, 2009:141) konteks adalah ruang dan waktu spesifik yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Setiap kreasi budaya selalu lahir dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konteks tersebut memerlukan tinjauan yang bersifat kontekstual. Namun, konteks bukanlah sesuatu pengertian yang statis. Setiap konteks selalu dapat
Universitas Sumatera Utara
24
didekontekstualisasikan dan direkontekstualisasikan oleh setiap orang pada masanya. Konteks menjadi penting kalau dihayati secara tekstual sehingga menjadi terbuka untuk pembacaan dan penafsiran oleh siapa saja. Halliday dan Hassan (1977) membedakan dua macam konteks, yaitu konteks budaya (context of culture) dan konteks situasi (context of situation). Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai tujuan komunikasi, sedangkan konteks situasi merupakan konteks yang mempengaruhi berbagai pilihan penutur bahasa, antara lain: pokok bahan, hubungan penyapa dan pesapa, serta saluran komunikasi yang digunakan. Dalam hal pemahaman tradisi lisan, konteks tidak hanya terbatas pada konteks budaya dan situasi, tetapi juga terdapat konteks sosial dan ideologi. Menurut Sibarani (2012:324-331) kesemua konteks itu sangatlah penting untuk dikaji. Keberadaan konteks tersebut dalam rangka memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada gilirannya diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya. Berkaitan dengan penelitian ini, konteks yang dikaji adalah konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi. Konteks budaya bertujuan untuk melihat tujuan budaya apa yang terdapat dalam tradisi batagak pangulu, konteks sosial bertujuan untuk melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tradisi batagak pangulu, konteks situasi bertujuan untuk melihat waktu, tempat, dan cara pelaksanaan tradisi batagak pangulu, serta konteks ideologi bertujuan untuk
Universitas Sumatera Utara
25
melihat ideologi yang mendominasi dan mengusai pikiran masyarakat. Ideologi ini dapat dilihat secara positif dan dapat pula dilihat secara negatif.
2.2.6 Kearifan Lokal (Lokal Wisdom) Kearifan lokal (local wisdom) pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai ini diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam tingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu, sangat beralasan Greertz (dalam Ridwan, 2007) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komuditasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur-unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya. Penyebutan istilah kearifan lokal setiap ahli juga berbeda. Ada yang menyebutnya dengan istilah local wisdom (Sartini, 2004 dan Ridwan, 2007) dan para ahli antropologi lebih cenderung menyebutnya dengan istilah local genius (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia yang disusun oleh Echols dan Syadily (1992), local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian, pengertian local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (lihat juga Sartini, 2004 dan Sibarani, 2012:112). Sedangkan pengertian local genius (kecerdasan lokal) merupakan kemampuan dan kecerdasan pikiran masyarakat lokal untuk menghadapi suatu komunitas
Universitas Sumatera Utara
26
berkenaan dengan kehidupan sehari-hari dengan ciri-ciri: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomudasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengendalikan; (4) dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya (Sibarani, 2012:122). Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang didam-idamkan (Sibarani, 2012:111). Lebih lanjut (Sibarani, 2012:112) menyatakan kearifan lokal tersebut dapat diperoleh dari tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas. Dalam tradisi lisan atau tradisi budaya terdapat berbagai nilai dan norma sebagai warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam menata masyarakatnya dapat diklasifikasikan sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal ini menurut Sibarani (2012:133) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (1) kearifan lokal untuk kemakmuran atau kesejahteraan dan (2) kearifan lokal untuk kedamaian atau kebaikan. Yang termasuk ke dalam kearifan lokal untuk kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat adalah (a) kerja keras, (b) disiplin, (c) pendidikan, (d) kesehatan, (e) pelestarian dan kreativitas budaya, (f) gotong royong, (g) pengelolaan gender, dan (f) peduli lingkungan, sedangkan yang termasuk kearifan lokal untuk kedamaian atau kebaikan agar kepribadian masyarakat menjadi baik adalah (a) kesopansantunan, (b) kejujuran, (c) kesetiakawanan
Universitas Sumatera Utara
27
sosial, (d) kerukunan dan penyelesaian konflik, (e) komitmen, (f) pikiran positif, dan (g) rasa syukur. Pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai sebagai nilai-nilai budaya luhur bangsa dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Dampak dari manusia berkarakter atau mengamalkan kearifan lokal sangat besar untuk keberhasilan seseorang individu bahkan keberhasilan suatu bangsa. Karakter bangsa yang diharapkan adalah karakter yang berbasis kesejahteraan dan kedamaian. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan diharapkan seorang anak cerdas akan emosinya. Kecerdasan emosional ini adalah bekal yang penting dalam mempersiapkan anak menyonsong masa depan karena seorang yang memiliki kecerdasan emosional akan lebih mudah dan lebih berhasil menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan (Sibarani, 2012:148-149).
2.2.7 Revitalisasi Siabarani (2012:292) menyatakan sebagian besar tradisi lisan di Indonesia telah mengalami kemunduran bahkan kepunahan. Kemunduran itu ditandai oleh semakin sedikitnya pengemar tradisi lisan, sedangkan kepunahan ditandai oleh banyaknya tradisi lisan yang tidak lagi hidup di masyarakat. Padahal berdasarkan Convention for the Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Berwujud) tradisi lisan perlu dilindungi (UNESCO, 2003). Hal ini juga dikuatkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada BAB VI tentang pelestarian. Dalam Pasal 10 dinyatakan pelestarian budaya tak
Universitas Sumatera Utara
28
benda Indonesia meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan (Depdikbud, 2013). Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah untuk melakukan revitalisasi budaya. Chaedar (2006:18) mengatakan adanya tiga langkah yang bisa dilakukan dalam merevitalisasi budaya, yaitu: (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, dan (2) pembangkitan kreativitas kebudyaaan. Revitalisasi itu sendiri menurut Chaedar (2006:18) adalah sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi maka ayat-ayat kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru akan mencerahkan manakala ada kaji banding secara kritis dengan berbagai budaya asing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1172) dijelaskan revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya dan kurang mendapat perhatian dihidupkan atau digiatkan kembali sehingga menjadi penting dan perlu sekali. Di sisi lain Keesing (1999:257) menyatakan revitalisasi adalah perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru
Universitas Sumatera Utara
29
terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah dituruntemurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Konsep revitalisasi juga diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia untuk lebih menyejahterakan masyarakat. Budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari zaman lampau sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi keberadaan, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal, maka munculnya kekuatan yang disebut kearifan lokal atau lebih tegasnya revitalisasi kearifan lokal. Revitalisasi juga dapat difungsikan untuk memperkokoh jati diri bangsa yang didalamnya meliputi kesadaran sejarah memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan jati diri dan identitas bangsa sehingga penghayatan kebersamaan di masa lampau dapat membangkitkan rasa kepemilikan terhadap kearifan lokal. Selain itu, kesatuan dan persatuan akan terus terpelihara dalam
Universitas Sumatera Utara
30
mempersiapkan masa yang akan datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi pendahulu. Gagasan revitalisasi mengandung pikiran jernih yang mengisaratkan adanya pandangan positif tentang beberapa strateginya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Konsep revitalisasi yang ditawarkan dalam tradisi lisan menurut Sibarani (2012:292) adalah memperdayakan pelaku tradisi lisan dan pendukung atau tradisi lisan secara bersama-sama. Pelaku tradisi lisan diperdayakan untuk mengelola dan menghasilkan tradisi lisan yang baik, berkenaan dengan bentuk dan isi tradisi lisan. Sedangkan pendukung atau penonton tradisi lisan dipersiapkan dengan memberi penyuluhan, sosialisasi, dan penerangan kepada masyarakat agar tertarik pada tradisi. Model revitalisasi tradisi lisan membutuhkan perencanaan dan penelitian yang khusus karena menyangkut komunitas pemiliknya. Salah satu metode kombinasi penelitian dan perencanaan yang dapat diterapkan dalam metode revitalisasi adalah participatory planning and research (PPR). Dalam revitalisasi tradisi lisan dengan model PPR ini, ada dua kegitan yang dilakukan, yaitu (a) penelitian tradisi lisan (bentuk dan isi) secara partisipatoris serta (b) perencanaannya dan pendukung secara partisipatoris. Penelitian bentuk dan isi tradisi lisan yang akan direvitalisasi dilakukan secara emik dengan observasi partisipatoris dan langsung, wawancara terbuka dan mendalam, diskusi kelompok terarah, kepustakaan atau dokumen tertulis. Perencaan tradisi lisan dan pendukungnya mengikutsertakan masyarakat setempat dalam (1) menetapkan prioritas terhadap tradisi lisan yang akan direvitalisasi; (2) merencanakan dan
Universitas Sumatera Utara
31
menyusun program revitalisasi; (3) membentuk kelompok tradisi lisan dengan program pelatihan dan pembelajaran; (4) mengelola kelompok tradisi lisan secara terus-menerus; (5) mensosialisasikan tradisi lisan kepada pendukungnya dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai kandungan tradisi lisan; dan (6) merancang regenerasi pelaku dan pendukung tradisi lisan sebagai bagian dari pewarisan budaya. Keenam langkah perencanaan tersebut menurut Sibarani (2012:294) dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen revitalisasi, yaitu (1) penghidupan atau pengaktifan kembali; (2) pengelolaan; dan (3) pewarisan tradisi lisan. Penghidupan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang sudah punah, sedangkan pengaktifan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang masih hidup, tetapi sudah tidak aktif lagi atau tidak lagi menjadi bagian hidup masyarakatnya. Pengelolaan merupakan hal yang penting agar tradisi lisan menjawab kebutuhan masyarakat sedangkan pewarisan diperlukan untuk menjamin tradisi lisan. Dalam hal revitalisasi tradisi batagak pangulu di Minangkabau, komponen pengelolaan yang perlu direvitalisasi. Komponen penghidupan atau pengaktifan dan pewarisan untuk saat sekarang ini belum perlu direvitalisasi karena tradisi batagak pangulu masih hidup dan diwariskan. Namun, dalam hal pengelolaan perlu direvitalisasi karena penyelenggaraan upacara batagak pangulu tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar bisa mencapai seratus juta rupiah bahkan lebih tergantung pada besarnya acara yang dilaksanakan. Hal ini tentu memberatkan bagi kaum yang akan melakukan batagak pangulu. Bagi penghulu
Universitas Sumatera Utara
32
dan kaum yang kaya, biaya yang besar itu tidak ada masalah, tetapi bagi penghulu dan kaum yang miskin (kurang mampu) tentu akan menimbulkan masalah karena mereka tidak akan mampu melaksanakannya sehingga gelar kebesaran penghulunya tidak akan pernah dikukuhkan atau diresmikan. Perumusan model revitalisasi tradsisi lisan harus dilakukan secara seksama agar benar-benar dapat diterapkan dan diterima oleh komunitasnya. Hal ini perlu apalagi kalau tradisi lisan itu telah lama ditinggalkan oleh komunitasnya. Penelitian dan perencanaan dilakukan secara bersama-sama dan seimbang dengan tujuan utama menghidupkan kembali suatu tradisi lisan atau membuat tradisi lisan itu lebih digemari oleh komunitas pendukungnya. Penelitian melibatkan pengumpulan data secara kualitatif. Informasi yang dikumpulkan berkenaan dengan model revitalisasi yang akan dilakukan sesuai dengan pandangan komunitas pemiliknya. Informasi itu bermanfaat untuk merencanakan program revitalisasi. Dalam perencanaan partisipatoris ini, masyarakat setempat harus diikutsertakan, bahkan merekalah yang menentukan mereka pulalah yang menentukan program dan mengimplementasikan kegiatan revitalisasi tradisi lisan itu (Sibarani, 2012:297).
2.2.8 Pidato Adat dan Pidato Pasambahan (Persembahan) Pidato adat adalah pidato yang dipergunakan dalam upacara adat yang tersusun, teratur, dan berirama serta dikaitkan dengan tambo dan asal-usul untuk menyatakan maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda kemuliaan (Djamaris, 2002:51). Pidato adat ini dipakai pada perhelatan peresmian pengangkatan penghulu, upacara kematian penghulu, upacara melekatkan gelar,
Universitas Sumatera Utara
33
dan pesta perkawinan. Pidato adat biasanya dilaksanakan secara berdiri. Sedangkan pasambahan adalah bentuk bahasa seperti dalam pidato adat, tetapi tidak dikaitkan dengan asal-usul dan tambo Minangkabau. Pidato pasambahan biasanya dilakukan bersila dalam tiap upacara yang dikemukakan di atas (Djamaris, 2002:51). Namun, ada juga pasambahan dilakukan berdiri seperti yang penulis temukan di Jorong Gando, Nagari Piobang. Pasambahan dilakukan berdiri karena tukang sembah duduk di kursi bukan duduk bersila. Selanjutnya Djamaris (2002:51) menyatakan struktur pasambahan terdiri atas: Pertama, struktur pasambahan si pangka (tuan rumah) terdiri atas: (1) pembukaan kata oleh tuan rumah (P1) dan tamu (P2), maksudnya adalah juru sambah sebagai tuan rumah menyapa semua tamu yang hadir, satu per satu yang dalam penyampaian sapaan ini terlihat fungsi pasambahan itu adalah untuk menghargai dan menghormati orang lain; (2) pernyataan sembah (P1) dan (P2); (3) penyampaian maksud (P1); (4) mengakhiri sembah (P1); (5) penegasan (P2) dan (P1), dan (6) penangguhan sementara (mufakat (P1) dan (P2). Kedua, struktur pasambahan si alek (tamu) terdiri atas: (1) pembukaan kata (P2) dan (P1); (2) pernyataan sembah (P2) dan (P1); (3) penyampaian ulang maksud (P2); (4) penegasan (P2) dan (P1); (5) jawaban persembahan dan mengakhiri sembah (P2); dan (6) penyesuaian (P1) dan (P2). Lebih lanjut Djamaris (2002:64) menyatakan nilai-nilai budaya yang menonjol dalam acara pasambahan sebagai berikut. Pertama, nilai kerendahan hati, orang yang rendah hati selalu menghargai orang lain, ini dapat dilihat pada
Universitas Sumatera Utara
34
awal acara pasambahan dimulai. Juru sambah dari tuan rumah menyapa semua tamu satu pe rsatu dengan menyebut gelar adatnya. Hal ini sebagai tanda bahwa semua tamu dihargai oleh tuan rumah. Sesudah itu barulah juru sambah tuan rumah memulai sambutannya, menyampaikan maksud dan tujuan kepada para tamu. Kedua, nilai musyawarah, segala sesuatu yang dilakukan dan diputuskan selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Juru sambah yang akan tampil ditentukan terlebih dahulu melalui musyawarah. Demikian pula jawaban yang akan disampaikan oleh juru sambah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Ketiga, nilai ketelitian dan kecermatan, dalam hal ini juru sambah dalam upacara pasambahan itu harus teliti dan cermat mendengarkan apa yang diucapkan oleh juru sambah lawan bicaranya. Keempat, terungkap dalam upacara pasambahan adalah nilai budaya ketaatan dan kepatuhan terhadap adat yang berlaku. Dalam upacara pasambahan itu segala sesuatu yang akan dilakukan ditanyakan dulu, adakah sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu syarat pokok permintaan dapat disetujui adalah permintaan itu sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Begitu juga dengan adat batagak pangulu, tata cara sambahmanyambah juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di nagari masingmasing. 2.2.9 Pangulu (Penghulu) Pangulu (penghulu)13 dalam masyarakat Minangkabau merupakan sebutan kepada niniak mamak, pemangku adat yang bergelar datuak (datuk). 13
Panggilan penghulu di berbagai daerah bermacam-macam pula menurut kelaziman daerah serperti di Luhak Agam dipanggilkan datuak, inyiak, atau angku dan di Luhak Tanah Datar dengan datuak (Dirajo, 1985:72-73).
Universitas Sumatera Utara
35
Istilah penghulu berasal dari kata “hulu” yang artinya kepala atau pemimpin (Amir M.S., 2011:67). Jadi, pengertian penghulu adalah sama dengan pemimpin. Dengan demikian, seorang penghulu dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin. Sebagai pemimpin penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagari serta harta pusaka yang dimiliki oleh kaumnya. Penghulu bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini dikatakan sebagai kewajiban pangulu, seperti kata pepatah kusuik manyalasaikan, karuah mampajaniah (kusut menyelesaikan dan keruh memperjenih). Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal. Penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal, tetapi oleh kemenakannya yang bertali darah. Jabatan penghulu yang diperoleh seseorang karena diangkat oleh kaumnya sendiri tumbuahnyo ditanam, gadangnya diamba, tingginyo dianjuang (tumbuhnya ditanam, besarnya diambar, tingginya dianjung). Artinya, seseorang diangkat jadi penghulu karena kesepakatan kaumnya sendiri dan sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi pula di dalam kaumnya. Karena kelebihannya itu pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga tingginyo manyintak rueh/tingginya menyentak ruas (Dirajo, 2009:172). Dalam hal penetapan seseorang menjadi penghulu terlebih dahulu ditetapkan siapa orangnya berdasarkan alua jo patuik (alur dengan patut). Ada dua sistem dalam menetapkan calon penghulu tersebut yaitu warih bajawek (waris yang berterima) dan gadang bagilia (besar bergilir). Meskipun berbeda,
Universitas Sumatera Utara
36
penetapan calon penghulu tersebut tidak terlepas dari syarat pokok yaitu masih kamanakan di bawah daguak atau kamanakan batali darah/kemenakan di bawah dagu atau kemenakan bertali darah (Dirajo, 2009:181-183). Dalam sistem warih bajawek (waris yang berterima), kemenakan yang akan menggantikan gelar penghulu yang lama adalah kemenakan yang terdekat tali darahnya yaitu nan sajari, nan sajangka, atau nan saeto, (yang sajari, yang sejengkal, atau yang sehasta). Kamanakan nan sajari maksudnya anak laki dari saudara perempuan yang seibu dengan penghulu yang akan digantikan. Jika kemenakan lebih dari satu orang, calon penghulu harus dipilih berdasarkan kepatutan. Jika tidak ada atau tidak patut, calon penghulu yang dipilih kamanakan nan sajangka yaitu kamanakan nan saparuik (ibu calon penghulu tidak lagi seibu dengan penghulu yang digantikan). Jika tidak ada atau tidak patut, calon penghulu yang dipilih kamanakan nan saeto yang hubungannya dengan penghulu yang akan digantikan nan saninik (yang satu ninik). Dalam gadang bagilia (besar bergilir) penggantian penghulu tidak dapat dapat diturunkan langsung kepada kemenakan terdekat, tetapi harus pada jurai14 yang lain. Penghulu yang akan diangkat harus berlainan jurai dengan penghulu yang akan digantikan. Jika pada kepenghuluan itu terdapat beberapa jurai harus
14
Susunan masyarakat Minangkabau terkecil disebut paruik (perut). Yang dimaksud paruik di sini adalah suatu keluarga besar atau famili yang semua anggota keluarganya berasal dari satu perut. Setiap anggota yang berasal dari satu perut dinamakan saparuik. Apabila anggota paruik telah bertambah banyak dan berkembang, paruik itu akan membelah diri menjadi unit-unit yang berdiri sendiri yang disebut dengan jurai. Ia merupakan satu kesatuan keluarga kecil yang sedapur (Sati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
37
terlebih dahulu dicari kesepakatan kepada jurai mana jatuhnya pengganti penghulu tersebut. Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang (beralam lebar, berdada lapang). Artinya, seorang penghulu haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah dan mempunyai prinsip tak ado kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah (tidak ada kusut yang tidak selesai, keruh yang tidak kejernih). Dalam menyelesaikan masalah ini harus bijaksana dan diumpamakan seperti menarik rambut dalam tepung, tepung tidak berserak dan rambut tidak putus. Karena itu, tugas seorang penghulu penuh dengan kesadaran, kejujuran, dan tanggung jawab. Dalam memimpin suku terutama penghulu pucuk atau penghulu tua, penghulu dibantu oleh empat orang pembantu, yaitu panungkek (penongkat), manti (mentri), malin (malim), dan dubalang/hulubalang (Navis, 2015:167). Pertama, panungkek (penongkat). Panungkek (penongkat) merupakan pembantu utama penghulu. Ia dapat mewakili penghulu, bila penghulu berhalangan. Namun, dalam kerapatan nagari, ia boleh mewakili selaku pendengar dan boleh menyampaikan pendapat apabila diminta anggota kerapatan. Ia juga menjadi calon utama pengganti penghulu. Kedua, manti (menteri). Manti (menteri) merupakan pembantu penghulu dalam bidang pemerintahan nagari. Dia dibaratkan sebagai seorang menteri. Tugas dan tanggung jawab seorang manti (mentri) menurut adat, antara lain: (1) Memegang bidang tata laksana dan organisasi kepenghuluan yang diembannya; (2) Sebagai pembawa informasi dan penghubung antarkaum atau antarpenghulu
Universitas Sumatera Utara
38
yang berada dalam lingkup kepenghuluan yang diembannya; (3) Menerima laporan dan pengaduan serta menindaklanjutinya; (4) Menangani dan berusaha menyelesaikan silang selisih atau sengketa antarkaum; (5) Dalam bersikap dan berbuat berpedoman kepada ajaran-ajaran agama dan adat serta kepada apa yang sudah diadatkan; dan (6) Secara umum manti (mentri) bertugas mengurus kegiatan sehari-hari. Ketiga, malin (malim). Malin (malim) merupakan pembantu penghulu di bidang agama. Tugas dan tanggung jawab seorang malin (malim) menurut adat, antara lain: (1) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, seorang malin (malim) harus selalu teguh menegakkan agama; (2) Harus berusaha memelihara dan mengembangkan ajaran-ajaran agama kepada seluruh kaum serta anak dan kemenakan yang ada di dalamnya; (3) Mengurus masalah ibadah, keguruan, keagamaan dalam acara-acara adat; dan (4) Dengan syariat agama, malin (malim) juga bertugas mencuci segala yang kotor dan kumuh dalam kaum serta anak dan kemenakan. Keempat,
dubalang
(hulubalang).
Dubalang
(hulubalang)
adalah
pembantu penghulu dalam bidang keamanan. Tugas dan tanggung jawab seorang dubalang (hulubalang) menurut adat, antara lain: (1) Penghulu sebagai atasannya; (2) Bersama-sama dengan dengan dubalang-dubalang kepenghuluan yang lain baik sesuku maupun tidak sesuku membentuk dubalang nagari; (3) Dia dapat memanfaatkan pemuda-pemuda yang ada dalam setiap kaum sebagai anggota atau pasukan tambahan jika diperlukan; (4) Bertindak seabagai eksekutor jika ada kesepakatan atau keputusan diambil oleh musyawarah penghulu atau nagari
Universitas Sumatera Utara
39
mendapat hambatan atau ada pihak-pihak lain yang tidak mengindahkannya; (5) Ke dalam berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ke luar dubalang berfungsi sebagai penjaga pertahanan. Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat mulai dari tingkat kaum, suku, dan nagari, tidak semua kemenakan laki-laki bisa menjadi penghulu. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang penghulu yang telah digariskan oleh adat, yaitu: (1) baligh berakal; (2) berilmu; (3) kaya budi dan baso15; (4) adil dan pemurah; (5) selalu ingat dan jaga, maksudnya orang selalu waspada; dan (6) sabar dan pemurah ( Toeah, 1985:63 dan Piliang dan Sungut, 2014:194). Di sampaing syarat yang harus dipenuhi seorang penghulu, penghulu juga mempunyai martabat. Martabat penghulu adalah (1) kuat pendirian atas kebenaran; (2) kuat pekerjaan atas kebaikan; (3) suka memperbaiki pagar nagari; (4) kuat produksi dalam nagari; (5) tahu akan salah dan benar; dan (6) tahu menyelesaikan yang kusut (Toeah, 1985:63). Selain itu, ada lagi empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu, yaitu: (1) sidik, (2) tabhlig, (3) amanah, dan (4) fatonah (Toeah, 1985:63). Dalam memimpin kemenakan penghulu mempunyai pula tugas dan kewajiban yang telah digariskan oleh adat. Ada empat tugas dan kewajiban yang dimiliki oleh penghulu dalam memimpin anak dan kemenakan yaitu: Pertama, menuruik alua nan luruih (menurut alur yang lurus), maksudnya adalah tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu hendaklah menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat. Penghulu
15
Baso artinya tata tertib atau sopan santun seseorang dalam pergaulan (Bapayuang, 2015:56)
Universitas Sumatera Utara
40
berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan kebenaran itu dapat dibuktikannya. Alur yang lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian, yaitu alur adat dan alur pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat Minangkabau yang asalnya peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh penghulu-penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka artinya semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek moyang Dt. Katumanggungan dan Dt. Perpatih Nan Sabatang. Alur pusaka ini di dalam adat dikatakan utang babaia, piutang batarimo; salah batimbang, mati bakubua (utang dibayar, piutang diterima; salah ditimbang, mati dikubur). Kedua, manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar), maksudnya seorang penghulu hendaklah meletakkan atau melaksanakan apa yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang dari yang telah digariskan adat, yaitu balimbago, bacupak, dan bagantang (berlembaga, bercupak, dan bergantang). Ketiga,
mamaliharo
harato
pusako
(memelihara
harta
pusaka),
maksudnya penghulu berkewajiban memelihara harta pusaka seperti dikatakan warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong). Harta pusaka merupakan kawasan tempat anak dan kemenakan berketurunan mencari kehidupan, tempat beribadah, dan berkubur. Harta pusaka yang dipelihara seperti pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong dengan kampung, rumah tangga, balai adat, dan mesjid. Harta pusaka yang berupa adat istiadat yang telah diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga dipelihara dan ditolong untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
41
Keempat,
mamaliharo
kemenakan), maksudnya
anak
kamanakan
(memelihara
anak
dan
penghulu berkewajiban memelihara anak
dan
kemenakan seperti kata pepatah siang mancaliak-caliakkan, malam mandangadangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari, tabanam basilami (siang melihat-lihat, malam mendengar-dengarkan, berubah disapa, bertukar dipindah/digeser, hilang dicari, terbenam disilami). Menurut Penghulu (1982:26) tugas seorang penghulu bukan hanya terbatas pada anak dan kemenakan semata, tetapi juga mencakup mayarakat kampung dan nagari. Tugas seorang penghulu tersebut mencakup segala bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, keamanan, dan agama serta menyelesaikan sebaik-baiknya jika terjadi perselisihan dalam lingkungan anak kemenakan dan masyarakat nagari. Tugas-tugas penghulu tersebut menurut Penghulu (1982:20) merupakan suatu karya penghulu dalam memberikan bantuan dan partisipasi terhadap lancarnya jalannya pembangunan dan roda pemerintahan di nagari. Penghulu juga berkewajiban memikirkan dan memecahkan persoalan pembangunan nagari seperti pembanguanan sekolah, mesjid, surau, irigasi, rumah, dan jalan raya. Karena itu, seorang penghulu tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat kampung dan nagari. Di samping tugas dan kewajiban yang dilaksanakan penghulu dalam memimpin kaum, penghulu juga mempunyai hak. Hak penghulu tersebut adalah sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
42
Pertama, memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di tengah-tengah kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak ditinggalkan unsur-unsur musyawarah dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak ragu-ragu bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan kaum. Seorang penghulu tidak menerima saja apa yang diingini oleh anggota kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjukkan dalam sikap dan tindakannya. Kedua, memperoleh sawah kebesaran. Karena tugas penghulu tersebut cukup sibuk, baik urusan ke dalam maupun ke luar yang menyangkut dengan kaumnya, sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah, maka penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kebesaran milik kaumnya. Hasil sawah kagadangan (kebesaran) ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketiga, menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan suku dan nagari seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan sesuatu berupa usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari, dan anak serta kemenakan pada umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan bersamasama pada tingkat nagari menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan diberlakukan kepada anak dan kemenakannya. Keempat, memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari, seagaimana dikatakan: karimbo babungo kayu, ka sawah babungo ampiang,
Universitas Sumatera Utara
43
kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, ke sawah berbunga emping, ke laut berbunga karang). Penghulu sebagai pemangku adat yang didahulukan selangkah dan yang ditinggikan seranting mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukannya. Pantangan ini gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu itu di tengah-tengah anggota kaumnya. Pantangan-pantangan penghulu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, marah. Penghulu harus bersifat sabar sebab dalam kehidupan sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajaran adat dan moral. Dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik ini, seorang penghulu harus bijaksana dan pandai membawakan diri, seperti dikatakan juga harimau dalam paruik, kambiang juo nan dikaluakan (harimau dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan). Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju karena sifatsifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju untuk menentang seseorang berkelahi. Biasanya seorang penghulu yang bijaksana kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan persoalannya kepada dubalang (hulubalang). Kedua, berlari-lari. Walau bagaimanapun terburu-burunya seorang penghulu karena sesuatu hal, penghulu dilarang berlari-lari apalagi berlari kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti anak-anak. Seorang penghulu dapat menyuruh anak dan kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dituruti dengan segera.
Universitas Sumatera Utara
44
Ketiga, menjinjing dan memikul beban. Menjinjing dan memikul beban tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi akan hilang wibawa penghulu tersebut karena dia mempunyai anak dan kemenakan yang dapat membantunya. Keempat, memanjat-manjat. Pantangan bagi seorang penghulu memanjat pohon apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan. Penghulu sebagai pemimpin kaum harus menjaga perangai dan kelakuan agar tidak menurunkan wibawanya di hadapan anak dan kemenakan. Ada enam macam perangai buruk penghulu di Minangkabau, yaitu: Pertama, pangulu nan di tanjuang (penghulu yang di tanjung), artinya penghulu yang diibaratkan tinggal di tanjung sehingga ia dapat berenang ke sebelah kanan dan kiri. Situasi ini menggambarkan seorang penghulu dengan mudah memberi alasan atau dalih apabila ada orang tidak bisa menemuinya. Hal ini mengiaskan sikap penghulu yang mengelak dari tanggung jawab. Kedua, pangulu ayam gadang (penghulu ayam jago), yaitu penghulu yang diibaratkan seperti ayam jago yang berkokok merdu. Hal ini mengiaskan sikap penghulu yang pandai berbicara, tetapi tidak mau bekerja. Ketiga, pangulu balah batuang (penghulu belah bambu), yaitu penghulu yang sikapnya seperti orang membelah bambu yang sebelah ditekan dan sebelah ditarik. Hal ini mengiaskan sikap penghulu yang tidak adil. Keempat, pangulu katuak-katuak (penghulu ketuk-ketuk), yaitu penghulu yang sikapnya seperti gong yang berbunyi bila diketok. Hal ini mengiaskan penghulu yang tidak mempunyai inisiatif.
Universitas Sumatera Utara
45
Kelima, pangulu tupai tuo (penghulu tupai tua), yaitu penghulu yang sikapnya seperti tupai tua. Hal ini mengiaskan penghulu yang tidak mau berusaha karena takut salah, seperti orang tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Keenam, pangulu busuak hariang (penghulu busuk haring), yaitu penghulu yang sikapnya seperti orang yang bau kencing. Hal ini mengiaskan penghulu yang bertingkah laku seperti orang yang membawa keresahan ke manamana.
2.2.10 Batagak Pangulu (Pengangkatan Penghulu) Batagak pangulu adalah upacara pengukuhan atau peresmian gelar kebesaran penghulu. Upacara ini bertujuan untuk memberitahu masyarakat ramai mengenai diri seseorang yang telah memakai gelar kebesaran kaumnya. Acara peresmian atau pengukuhan penghulu merupakan acara adat terbesar di Minangkabau karena dalam peresmian atau pengukuhan ini menyembelih kerbau dan bisa dilaksanakan sampai berhari-hari tergantung pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut. Makna tersirat dari kerbau yang disembelih tanduak ditanam, dagiang dilapah, kuah dikacau (tanduk ditanam, daging dipotong-potong, kuah dikacau), yaitu tanduak ditanam punya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang sifat-sifat buruk yang mungkin melukai orang. Dagiang dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti bahwa dalam diri seseorang penghlu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatunya menurut sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai
Universitas Sumatera Utara
46
santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik (tidak enak karena santan, tidak kuning karena kunyit), artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri (Attubani, 2012:118). Acara batagak pangulu merupakan tradisi adat yang sangat sakral karena bersumber dari kearifan budaya lokal dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Seluruh masyarakat Minangkabau mengetahui bahwa tugas seorang penghulu tersebut sangat mulia yang dikenal dengan martabat yang enam, yaitu kusuik nan akan manyalasaikan, karuah nan akan manjaniahkan, manjunjuang tinggi undang–undang, mamaliharo anak kamakan, mamaliharo nagari, mamaliharo adaik (kusut yang akan manyelesaikan, keruh yang akan menjernihkan, menjunjung tinggi undang–undang, memelihara anak kamenakan, memelihara nagari, memelihara adat). Upacara batagak pangulu dilaksanakan di rumah gadang atau di balai adat yang dihadiri oleh ninik mamak pucuk adat, ninik mamak empat suku, ninik mamak di lingkungan kegarian tersebut, manti, malin, bundo kanduang, dan undangan serta anak nagari tanpa pengeculian sesuai dengan ketentuan yang berlaku di nagari tersebut karena setiap nagari mempunyai kesepakatan tersendiri dalam menyelenggarakan batagak pangulu seperti dikatakan adaik salingka nagari (adat selingkar negeri)16.
16
Adaik salingka nagari artinya aturan lahir dari hasil kesepakatan ninik mamak dalam suatu nagari yang menampung segala segala kebutuhan anak nagari sebagai aturan pelaksanaan dari adat yang diadatkan (Marajo, 2006:14).
Universitas Sumatera Utara
47
Ada beberapa sebab diadakan upacara peresmian atau pengukuhan penghulu baru, yaitu: Pertama, mati batungkek budi (mati bertongkat budi). Artinya, apabila seorang penghulu meninggal dunia pada hari itu juga dicarikan gantinya. Penyelenggaraan pengangkatan penghulu baru itu dilakasanakan di tanah tasirah (perkuburan). Syarat pengangkatan penghulu di tanah tasirah ini adalah sepakat kaum dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari. Kedua, iduik bakarilaan (hidup berkerelaan). Artinya, penghulu yang akan digantikan mengundurkan diri. Ada beberapa sebab penghulu lama mengundurkan diri karena (1) sudah tua (uzur) sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya; (2) sakit; (3) yang menggantikan dapat didampingi, dibimbing, dan dibekali dengan ilmu pengetahuan sehingga kelak bisa mandiri apabila yang digantikan sudah menggal dunia; dan (4) agar lebih lancar karena ada karisma dan kewenangan penghulu menunjuk pengganti selagi masih hidup. Ketiga, baju salai dibagi duo (baju sehelai dibagi dua). Artinya, pengangkatan penghulu terjadi karena kesepakatan untuk membelah kaum satu menjadi dua. Hal ini terjadi karena warga kaum sudah berkembang sehingga satu penghulu tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya seperti kata pepatah lurah tak taturuni bukik tak tadaki (lurah tidak terturuni dan bukit tidak terdaki) sehingga dibutuhkan penghulu yang baru. Pembelahan penghulu satu menjadi dua diikuti dengan pembelahan kaum dan harta pusaka. Pembelahan harta pusaka berdasarkan ganggam bauntuak (genggam beruntuk) yang sudah berada dan melekat pada masing-masing anggota keluarga pembelahan kaum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
48
Sedangkan kalau ada tanah ulayat atau harta pusaka yang belum dibagi ditetapkan melalui musyawarah dan kesepakatan. Keempat, mangambang nan talipek (mengembang yang terlipat). Artinya, ketika penghulu meninggal dunia belum ada kesepakatan kaum siapa penggantinya, pengangkatan penghulu tertunda sampai ada kesepakatan baru. Karena tidak ada kesepakatan kaum, gelar penghulu dilipek (dilipat) dahulu. Penghulu baru bisa diangkat apabila sudah ada kesepakatan kaum. Kelima, gadang menyimpang (besar menyimpang). Artinya, sebagian anggota kaum memisahkan diri dari kaum yang sudah ada dan meminta kepenghuluan yang baru. Hal ini terjadi karena jumlah anggota keluarga dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Di samping itu, bisa juga terjadi karena kaum hidup di pememukiman baru. Gelar penghulu yang diberikan bisa gelar penghulu yang asli dan bisa juga gelar penghulu yang baru sesuai dengan kesepakatan menurut adat yang berlaku. Keenam, mangguntiang siba baju (menggunting sebar baju). Artinya, pengangkatan penghulu baru berawal dari tidak ada kesepakatan dan bahkan menjurus kepada sengketa yang tidak bisa didamaikan antara dua atau lebih kubu yang bersangkutan. Gelar penghulu yang lama masih tetap berjalan menurut jalurnya, sedangkan gelar penghulu yang baru masih tetap dalam rumpun gelar yang asli. Penghulu yang baru mendapat pengikut para kemenakan yang melekat menurut tali darah sesuai dengan asas kekerabatan dan harta pusaka yang telah menjadi ganggam bauntuak (genggam beruntuk).
Universitas Sumatera Utara
49
Tujuh, manurunkan nan tagantuang (menurunkan yang tergantung). Artinya, pengangkatan penghulu yang tertunda sudah cukup lama walaupun calonnya sudah ada. Penundaan terjadi karena kaum belum siap untuk meyelenggarakan upacara batagak pangulu karena dana belum ada atau bisa juga terjadi karena calon penghulu yang diangkat berhalangan. Delapan, mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam). Artinya, pengangkatan penghulu yang sudah puluhan tahun terendam atau tersimpan. Tersimpanya gelar penghulu disebabkan oleh (1) calon pengganti penghulu yang meninggal tidak ada (belum ada kemenakan laki-laki bertali darah yang ada hanya kemenakan perempuan). Penggantinya ditunggu lahir kemenakan laki-laki yang memenuhi syarat menurut adat dan (2) Gelar penghulu terlipat sejak lama karena pihak-pihak yang bersengketa tidak mau damai dan tidak ada kesepakatan mencari jalan keluarnya. Kesepakatan muncul setelah ada generasi baru dan bentuk kesepakan itu bisa berupa baju salai babagi duo (baju sehelai dibagi dua) dan kembali ke jalur semula. Kesembilan, baju basasah (baju disasah/dicuci). Artinya, pengangkatan penghulu baru menggantikan penghulu yang lama karena penghulu yang lama membuat maksiat seperti mencuri, menipu, mabuk-mabukan, dan kejahatan lainnya. Perangai penghulu yang seperti ini sudah merusak martabat dan kebesaran penghulu itu sendiri serta kaum. Bagi kaum yang arif akan segera mengganti penghulunya dengan penghulu yang baru. Kesepuluh, rabuak bagantiak (debu dijentik). Artinya, pengangkatan penghulu yang baru karena penghulu yang lama sudah melanggar larangan-
Universitas Sumatera Utara
50
larangan adat yang sangat berat sehingga diputuskan untuk diganti berdasarkan Peradilan Adat Nagari. Hukuman yang diberikan kepada penghulu yang melanggar larangan-larangan adat oleh peradilan adat berupa (1) memperbaiki atau membetulkan kembali apa yang dilanggar itu disertai dengan mengadakan perjamuan dengan memotong ternak berkaki empat seperti kambing, sapi, atau kerbau sesuai dengan ketentuan adat nagari yang berlaku dan (2) mengganti penghulu tersebut kalau pelanggarannya sudah sangat berat. Kesebelas, bungo bakarang (bunga dikarang). Artinya, pengangkatan penghulu baru karena berkembangnya anggota kaum dan penyebaran pemukiman sehingga
dimungkinkan
untuk
menata
kembali
kepenghuluan.
Dalam
kepenghuluan nan saindu (yang seinduk), misalnya, dua kepenghuluan ditata menjadi tiga kepenghuluan atau tiga kepenghuluan ditata menjadi empat kepenghuluan. Penataan tersebut disertai dengan perpindahaan kepenghuluan kemenakan dari satu penghulu (datuk) ke penghulu (datuk) yang lain. Hal ini memungkin karena kondisi alam dan letak pemukiman. Sebelum pengangkatan pangulu bungo bakarang ini, calon penghulu sudah disepakati kaum dan persetujuan lembaga kerapatan adat di tingkat nagari (Dirajo, 2009:183-188; lihat juga Toeah, 1985:66-67; Piliang dan Sungut, 2014: 217-222).
2.3 Kajian Teori 2.3.1 Teori Analisis Wacana Wacana merupakan salah satu cabang bidang linguistik yang relatif baru dan kurang mendapat perhatian para ahli bahasa pada umumnya. Karena itu, dapat dimaklumi kalau sampai sekarang pembahasan dan rujukan tentang wacana
Universitas Sumatera Utara
51
masih jarang terutama dalam bahasa Indonesia (Darma, 2013:2). Di samping itu, dilihat dari awal kemunculannya istilah wacana bukan muncul dari ahli ilmu bahasa, melainkan dipopulerkan oleh psikolog, antropolog, dan sosiolog. Mereka beranggapan bahwa kenyataan kegunaan pemakaian bahasa di lapangan bukan dilihat dari struktur bahasa, melainkan dari konteks pemakaian bahasa, yaitu wacana (Darma, 2013:2) Tarigan (1987:27) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Pemahaman ini menurut (Darma, 2013:2) pada wacana kohesi dan koheren. Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif dan mengandung satu ide. Ditinjau dari kelengkapan unsurnya, wacana merupakan unit bahasa yang paling lengkap unsurnya karena bahasa didukung oleh unsur-unsur nonsegmental dan suprasegmental. Hal ini ditegaskan oleh Kridalaksana (1993:231) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap; dalam hirarkis gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti buku, novel, dan seri ensiklopedia. Kemudian Alex (dalam Darma, 2013:3) menyatakan bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkap suatu hal
Universitas Sumatera Utara
52
(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam kesatuan yang koheren, dibentuk baik oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana, pesan-pesan komunikasi seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingankepentingan, dan lain-lain (Darma, 2013:3). Analisis wacana kritis merupakan teori yang memfokuskan kajian pada ketidakadilan dalam masyarakat ketika wacana digunakan untuk menentukan kekuasaan dan ideologi. Analisis wacana kritis tidak semata dipahami sebagai studi bahasa, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai dengan tujuan dan praktik tertentu seperti ideologi dan kekuasaan (Eriyanto, 2008:7). Dalam analisis wacana kritis, analisis wacana dipakai untuk meneliti ideologi yang tersembunyi di dalam teks, bagaimana di dalam teks terdapat sebuah dominasi ideologi, kekuasaan, dan ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang berkuasa tersebut menggunakan media wacana yang ada dalam masyarakat untuk menghegemoni dan mempengaruhi kesadaran
Universitas Sumatera Utara
53
mental masyarakat. Berikut beberapa pendapat ahli yang mendefinisikan analisis wacana kritis. Fowler (1996) menyatakan dengan analisis wacana kritis bahasa dapat dipahami sebagai representasi yang berperan untuk membentuk subjek, tema, dan strategi wacana tertentu. Karena itu, bahasa tidak hanya dikaji berdasarkan penggunaan bahasa melalui teks tertentu, tetapi wacana dapat juga dikaji berdasarkan konteksnya. Perpaduan kajian kedua kedua sudut pandang tersebut memberi peluang pada pembongkaran makna sebuah teks. Dalam hal ini wacana sebagai pembungkus teks. Setiap analisis bahasa dalam teks selalu dihubungkan dengan konteks penggunaannya seperti koneks budaya dan konteks situasi. Van Dijk (1987) menyatakan sebuah wacana bisa dikaji atau dianalisis secara kritis. Analisis yang dimaksud adalah analisis yang menyangkut aspekaspek sebuah wacana secara mendalam dan menyeluruh, baik aspek struktur maupun maknanya. Menurut van Dijk, penelitian wacana tidak cukup hanya analisis teks semata, tetapi juga meneliti mengapa wacana itu diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial (Eriyanto, 2008:221). Selanjutnya van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan, yaitu: teks, kognisi sosial, dan analsis sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.
Universitas Sumatera Utara
54
Dalam level dimensi teks yang diteliti adalah struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu, dalam level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks, sedangkan dalam level analisis sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis van Dijk (Eriyanto 2008:225). Van Dijk membagi struktur wacana atas: (1) struktur makro, (2) superstruktur atau struktur alur, dan (3) struktur mikro. Struktur makro merupakan tema global sebuah wacana. Struktur makro ini memberikan informasi yang penting
dari
sebuah wacana
dan memainkan
peran penting
sebagai
pembentuk kesadaran sosial. Superstruktur atau struktur alur merupakan struktur skematik atau kerangka sebuah wacana. Kerangka yang dimaksud adalah penyusunan elemen-elemen wacana secara utuh dan menyeluruh dalam sebuah wacana. Kerangka wacana secara umum adalah pendahuluan, isi, dan penutup. Sedangkan struktur mikro merupakan struktur pemaknaan wacana terutama apabila dilihat melalui penganalisisan kata, frasa, kalimat, proposisi, paragraf, dan makna sebuah wacana. Cara kerja analisis wacana kritis van Dijk merupakan analisis pemakaian bahasa, baik dalam tulisan maupun lisan. Karena itu, yang menjadi objek penganalisisan
dalam penelitian ini adalah wacana lisan teks pidato
meresmikan gelar penghulu yang ditulis kembali sedemikian rupa tanpa mengurangi
kesahihan
dan direstrukturisasi
dan keaslian data yang
Universitas Sumatera Utara
55
diperoleh. Dengan demikian, cara seperti ini sudah sejalan dengan pemikiran van Dijk. Penganalisisan suatu wacana secara kritis atas dasar pemakaian bahasa oleh sekelompok masyarakat erat kaitannya dengan suatu peristiwa komunikasi
yang
didasarkan
pada
praktik-praktik
sosial
etnografis.
Pengembangan penganalisisan bahasa dalam penggunaannya lebih lanjut sangat bergantung pada konteks budaya dan situasi atau konteks di luar bahasa. Van Dijk mengisyaratkan bahwa bahasa bukan semata-mata berfungsi sebagai alat komunikasi dan sebuah sistem kode, melainkan bahasa merupakan kegiatan sosial yang dikonstruksi secara khusus oleh latar sosial dan budaya. Oleh karena itu, sebagai wujud representasi latar dan hubungan sosial tersebut, bahasa yang direpresentasikan melalui wacana senantiasa digunakan untuk membentuk subjek-subjek, topik-topik, tema-tema, dan ideologi-ideologi tertentu. Analisis wacana merupakan suatu upaya untuk mengungkapkan makna dan maksud yang tersembunyi dari komunikator (penutur) yang mengungkapkan suatu pernyataan. Dengan demikian, penyingkapan pengungkapan yang tersirat dalam sebuah wacana dapat dipahami. Pemahaman seperti ini juga mengiring pemahaman terhadap ideologi pencipta secara lebih baik. Tanen (1989:6-8) menyatakan wacana adalah sesuatu yang agak susah untuk dikaji. Hal ini disebabkan oleh sebuah wacana tidak hanya bisa dikaji dari aspek bentuk, makna, dan proses mentalnya, tetapi wacana bisa juga dikaji dari aspek struktur dan hierarki interaksi yang kompleks dan sebagai praktik sosial yang berhubungan dengan konteks budaya dalam masyarakat. Pendapat Tanen ini
Universitas Sumatera Utara
56
senada dengan pendapat Fowler yang menekakan pada aspek-aspek yang dikaji dari sebuah wacana secara mendalam. Ahli lain yang memberikan pandangannya tentang analisis wacana kritis adalah Fairclough (1997). Fairclough (1997) menyatakan bahwa analisis wacana kritis merupakan analisis penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa menurut Fairclough bisa terjadi dalam wujud tuturan dan tulisan. Penggunaan bahasa tersebut merupakan bentuk praktik sosial. Dari beberapa pendapat dan definisi tentang analisis wacana kritis yang telah dikemukan di atas, penulis menggunakan pendapat van Dijk (1987) untuk menganalisis teks pidato batagak pangulu karena pendapat van Dijk sangat sederhana dan tidak serumit pendapat yang lainnya. Ketiga dimensi analisis wacana yang mencakup teks, kognisi sosial, dan analisis sosial menjadi pertimbangan akademik dalam penelitian ini. Dengan demikian, analisis wacana kritis digunakan dalam penelitian ini untuk membongkar dan membedah struktur wacana teks pidato adat dan pasambahan tradisi batagak pangulu di Minangkabau. Ketika dimensi analisis wacana teks pidato adat dan pasambahan tradisi bagagak pangulu atau malewakan gala pangulu telah dianalisis dengan lengkap berarti bentuk bahasa telah mampu menyigi bagaimana bahasa dipergunakan sebagai alat untuk mempengaruhi, menyebarkan ideologi, dan menanamkan norma dan nilai-nilai budaya.
Universitas Sumatera Utara
57
2.3.2 Semiotika Kata semiotika berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Dengan demikian semiotika adalah ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993:3). Semiotika menganggap bahwa fenomena sosial dan fenomena kebudayaan merupakan tanda-tanda. Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu yang lain dalam kapasitas atau pandangan tertentu. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, atauran-aturan, konvensi-konsvensi yang memungkinkan tandatanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2001:71; Danesi, 2012:8). Pierce menyatakan sesuatu itu dapat dikatakan sebagai tanda jika mewakili sesuatu yang lain. Tanda yang mewakilinya disebut dengan representamen (referent). Jika sebuah tanda mewakilinya, hal ini adalah fungsi utama tanda. Misalnya, gelengan kepala mewakili ketidaksetujuan dan anggukan kepala mewakili persetujuan. Agar berfungsi tanda harus ditangkap dan dipahami dengan bantuan kode. Proses perwakilan tersebut disebut semiosis, yaitu suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandai. Pierce membedakan tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu: Pertama, ikon adalah tanda yang menjadi penghubung antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau hubungan antara tanda dan
Universitas Sumatera Utara
58
objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Misalnya, foto, gambar, dan peta geografis. Kedua, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Misalnya, asap menandakan adanya kebakaran dan wajah ceria menandakan hati yang senang. Ketiga, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat atbitrer, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan prosedural antara tiga titik, yaitu representamen (R), objek (O), dan interpretan (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental yang merujuk pada sesuatu yang mewakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Karena itu, tanda bagi Pierce tidak hanya representatif, tetapi juga interpretatif (Christomy, 2010:117).
2.3.3 Fungsi Teori fungsi yang digunakan sebagai acuan dalam mengkaji fungsi tradisi batagak pangulu adalah teori fungsi folklor yang dikembangkan oleh Bascom. Menurut Bascom (dalam Danandjaya, 1991:74-75) suatu tradisi lisan atau folklor diminati oleh para pemiliknya karena dianggap berguna untuk menunjang keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Beberapa fungsi folklor dalam tautan dengan konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi pemiliknya adalah
Universitas Sumatera Utara
59
sebagai (1) sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan pemiliknya;
(2) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; (3) alat pendidikan anak; dan (4) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Analisis fungsi tradisi batagak pangulu berusaha menggali fungsi tradisi batagak pangulu bagi masyarakat Minangkabau. Dengan menganalisis fungsi tardisi batagak pangulu di Minangkabau akan diungkap angan-angan masyarakat Minangkabau tentang penghulu, pranata-pranata
dan
lembaga-
lembaga apa yang disahkan, nilai-nilai pendidikan apa yang ada di dalamnya, dan norma-norma apa yang harus dipatuhi oleh kaum yang penghulunya diresmikan.
2.4 Bagan Konsep dan Teori Analisis Data Penelitian Berikut bagan 2.1 konsep dan teori yang digunakan untuk menganalisis data penelitian tradisi batagak pangulu di Minangkabau.
Universitas Sumatera Utara
60
Performansi (Finnegan)
Teks (Struktur Makro, Alur, Mikro), Kognisi Sosial, Analisis Sosial (van Dijk) Ko-teks: (Pierce)
Paralinguistik,
Konteks: Budaya, Ideologi (Sibarani)
Tradisi Lisan (Finnegan)
Sosial,
Material
Situasi,
Makna dan Fungsi (Pierce dan Bascom) Nilai dan Norma (Theodorson)
Kearifan Lokal: Kemakmuran dan Kedamaian (Sibarani)
Revitalisasi: Penghidupan/Pengaktifan, Pengelolaan, Pewarisan (Sibarani)
Bagan 2.1 Konsep dan Teori Analisis Data Penelitian
Universitas Sumatera Utara