BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
A. Tinjauan Pustaka Suatu penelitian tentu mengacu pada penelitian lain yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam penelitian selanjutnya. Setiap penelitian yang dilakukan tidak dapat dipungkiri memiliki hubungan yang relevan terhadap penelitian sebelumnya. Penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis sebagai berikut. Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2014) yang berjudul Kajian Psikologi Sastra dan Nilai-nilai Pendidikan pada novel Lalita karya Ayu Utami. Penelitian tersebut berisi pula analisis struktural novel secara keseluruhan meliputi tema, penokohan, alur, setting, dan amanat. Bila dibandingkan dengan penelitian yang akan dilakukan, penelitian Intan Saraswati memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini yaitu mengkaji aspek kepribadian tokoh utama dan nilainilai pendidikan karakter dalam sebuah novel. Perbedaannya novel yang dikaji dalam penelitian ini adalah novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak. Bila dibandingkan dengan penelitian tersebut, penelitian yang akan dilakukan akan direlevansikan sebagai bahan ajar di SMA sehingga akan terlihat manfaatnya dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Intan Saraswati menyebutkan bahwa tokoh utama dalam novel Lalita mengalami konflik batin secara internal dan eksternal. Sama halnya dengan novel Di Kaki Bukit Cibalak, terlihat begitu kuat konflik yang terjadi pada tokoh utamanya. Bila dalam penelitian terdahulu menyebutkan nilai-nilai pendidikan secara umum, namun dalam penelitian ini akan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter apa saja yang terkandung dalam novel tersebut tercermin dari tokoh-tokohnya. Penelitian yang sama dilakukan oleh Marsanti (2012), penelitian tersebut berjudul Aspek Kejiwaan Tokoh dalam Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata. Penelitian tersebut dianggap relevan karena memiliki kajian yang sama, yaitu mengaji sebuah novel dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian tersebut mendeskripsikan aspek kejiwaan yang dialami oleh tokoh-tokoh pada novel Sebelas Patriot.
9
10
Senada dengan penelitian sebelumnya, penellitian Sulistianingsih (2013) yang berjudul Analisis Psikologis Watak Tokoh Utama dalam Novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami Karya Damien Dematra dianggap relevan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah membahas mengenai keadaan batin yang dialami oleh sang tokoh utama. Penelitian tersebut mendeskripsikan aspek kebribadian id, ego, dan super ego. Bedanya dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah
analisis
watak
dilakukan
pada
semua
tokoh
untuk
mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung pada novel yang akan dikaji yaitu novel karya Ahmad Tohari berjudul Di Kaki Bukit Cibalak. Seperti penelitian sebelumnya, bila dibandingkan penelitian yang akan dilakukan memiliki keunggulan. Penelitian yang akan dilakukan menghasilkan bentuk relevansi hasil penelitian terhadap novel sebagai bahan ajar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Penelitian yang dilakukan oleh Salmanpour (2012) yang berjudul Religiosity Orientations and Personality Trains with Death Obsession juga relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini berkaitan dengan struktur psikologi seseorang yang memiliki perasaan negatif dan emosi yang tidak stabil. Di sisi lain, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa antara dimensi kepribadian yang terdiri dari empat fakor meliputi neurotik, keramahan, kesadaran, dan keterbukaan. Ada persamaan antara penelitian Salmanpour dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini sama-sama mngulas mengenai kepribadian seseorang dalam masyarakat. Penelitian ini memiliki keterkaitan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Manimozi dan Shanthi (2013) berjudul The Psycological Fallout Of Vasu Master In Githa Hariharan’s The Ghost Of Vasu Master. Penelitian tersebut mendeskripsikan keadaan psikologis atau kejiwaan seorang yang mengalami kejatuhan atau pensiun sebagai seorang guru. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa Vasu (objek penelitian) mengalami berbagai konflik psikologis. Sama halnya penelitian yang akan dilakukan bertujuan mendeskripsikan bentuk psikologis kejiwaan tokoh utama pada novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Senada dengan penelitian Flannery yang berjudul Psycological Trauma and
Posttraumatic
Stress
Disorder:
A
Review.
Penelitian
tersebut
11
mendeskripsikan keadaan psikologis yang dialami oleh sesorang yang mengalami trauma. Bila dibandingkan, penelitian yang sebelumnya menganalisis keadaan psikologis seseorang dalam objek yang nyata. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, menganalisis bentuk psikologis seseorang dalam keadaan fiktif atau tidak sebenarnya. Penelitian lain yang memiliki kesamaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Watz (2011) yang berjudul An Historical Analysis of Character Education. Penelitian tersebut mendeskripsikan apakah itu pendidikan karakter, dan bagaimana pendidikan karakter itu diterapkan dalam likngkungan pendidikan baik formal maupun non formal. Bila dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan, penelitian tersebut memiliki keterkaitan. Persamaannya penelitian yang akan dilakukan adalah mendeskripsikan bentuk pendidikan karakter. Hanya saja penelitian ini menganalisis pendidikan karakter pada sebuah novel yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Benigna (2003) yang berjudul The Relationship Of Character Education Implementation And Academic Achievement In Elementary Schools. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya yaitu mendeskripsikan bentuk pendidikan karakter yang diterapkan di linkungan sekolah, dalam penelitian tersebut adalah sekolah dasar. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah bagaimanakah pentingnya pendidikan karakter di lingkungan pendidikan baik formal maupun non formal.
B. Landasan Teoritis 1. Hakikat Novel a.
Pengertian Novel Secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru yang kecil”, dan
kemudian diartikan sebagai, “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams, 1981: 119).
Senada dengan penjelasan Abrams, Nurgiantoro mengatakan
bahwa istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiantoro, 2005: 9).
12
Selain itu, Nurgiyantoro (2005:5) juga mengatakan bahwa “novel adalah sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia imajinatif yang dibangun melalui unsur-unsur intrinsiknya seperti peristiwa, tokoh, plot, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya bersifat imajinatif.” Waluyo (2002, 36-37) menyatakan bahwa istilah novel mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadimenggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah. Dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati. Meisuri (2012) juga mengemukakan bahwa: novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspekaspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini. Dengan demikian, dapat disintesiskan bahwa pengertian novel adalah suatu karangan atau karya fiksi (imajinatif) yang melukiskan perbuatan pelakunya yang mengandung unsur-unsur intrinsik, serta digunakan sebagai alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. b. Ciri-ciri Novel Novel merupakan salah satu karya sastra fiksi yang memiliki perbedaan dengan karya-karya fiksi lainnya. Novel memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan karya fiksi lainnya. Nurgiyantoro (2005) menyebutkan ciri-ciri novel yaitu: sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman, biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian, bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang, penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri), tema sebuah novel terdiri atas
13
tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut, dan karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak tetap sejak awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya, ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap. Dengan demikian dapat disintesiskan bahwa ciri-ciri novel adalah sebuah cerita pendek yang berupa cerita fiksi, memiliki unsur-unsur intrinsik (tema, alut, plot, penokohan, amanat, sudut pandang) dan ekstrinsik. c. Fungsi Novel Pada umumnya, fungsi novel adalah untuk menghibur pembaca karena novel hakikatnya adalah sebuah cerita yang di dalamnya mengandung sebuah tujuan untuk menghibur para pembaca. Fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel juga berfungsi untuk menyuarakan aspirasi dan ekspresi suatu komunitas karya seni, khususnya karya sastra dianggap suatu ekspresi suatu komunitas tertentu dalam suatu periode tertentu. Sebagai fakta kultural, karya sastra sebagian atau seluruhnya, dianggap representasi kolektivitas, yang secara esensial berfungsi untuk
memperjuangkan
aspirasi
dan kecenderungan komunitas
yang
bersangkutan. Novel yang merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan dengan konflik kehidupan baik berasal dari diri sendiri maupun lingkungan pada saat itu. Melalui novel, kita dapat mengetahui kegiatan pengarang dalam menceritakan tokoh yang ada dalam kehidupan. Karya sastra dalam hal ini novel juga dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sejarah karena di dalamnya juga terkandung fakta. Karya sastra yang demikian menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 4) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografis (biographical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis, dan fiksi sains (science fiction), jka yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi
14
tersebut dikenal dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction). Dikatakan pula bahwa novel historis terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian. Dari beberapa pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa fungsi novel adalah sebagai penghibur bagi pembaca karena novel biasanya berisi suatu kisah yang dapat diambil hikmahnya. Novel juga dibuat oleh pengarang yang tujuannya untuk menghibur pembaca. Selain itu, novel juga dapat menjadi sumber ilmu. Karena dengan membaca novel, pembaca akan mendapatkan ilmu-ilmu yang tidak mereka temukan di kehidupan sehari-hari. Novel juga dapat dijadikan bahan ajar pada pembelajaran bahasa Indonesia. 2. Struktur Novel Cerita rekaan (novel) adalah sebuah struktur yang diorganisasikan oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya. Unsur-unsur pembangun novel memiliki banyak aspek. Waluyo (2006: 4) menyebutkan bahwa: Unsur-unsur pembangun novel meliputi: (1) tema cerita; (2) plot atau kerangka cerita; (3) penokohan dan perwatakan; (4) setting atau latar; (5) sudut pandang pengarang atau point of view; (6) latar belakang atau background; (7) dialog atau percakapan; (8) gaya bahasa atau gaya bercerita; (9) waktu cerita dan waktu penceritaan; dan (10) amanat. Sebuah karya sastra atau karya fiksi memiliki elemen-elemen yang dapat membengun karya tersebut. Elemen-elemen pembangun fiksi meliputi fakta cerita, sarana cerita, dan tema Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Fakta cerita dalam karya fiksi meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita merupakan hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detil-detil cerita. Sarana cerita meliputi unsur judul, sudut pandang, gaya dan nada. Tema merupakan makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Secara garis besar berbagai macam unsur pembangun fiksi secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak benar-benar pilah, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik meliputi
15
keyakinan,
pandangan
hidup,
psikologi,
lingkungan,
dan
sebagainya
(Nurgiyantoro, 2005: 23; Semi, 1993: 35). Sementara itu, Kenney (1966: 8) menyebutkan bahwa unsur pembangun fiksi, meliputi: (1) plot (alur); (2) character (perwatakan); (3) setting (latar); (4) point of view (sudut pandang pengarang); (5) style and tone (gaya bercerita dan nada); (6) structure and technique (struktur dan teknik); dan (7) theme (tema). 1) Tema Setiap novel mengandung gagasan pokok yang lazim disebut tema. Tema adalah gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema merupakan suatu gagasan sentral yang menjadi dasar. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca untuk menentukan tema suatu karya sastra. Tema selalu berkaiatan dengan pengalaman hidup manusia. Sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 25) menyatakan “tema adalah sesuatu kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita. Setiap karya fiksi pasti mengandung tema, namun untuk mengetahui suatu tema cerita harus dipahami atau ditafsirkan terlebih dahulu melalui cerita-cerita atau unsur-unsur pengembang cerita lainnya. Tema dapat ditafsirkan melalui sejumlah kriteria. Pertama, penafsiran hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang dikedepankan. Kedua, penafsiran hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detail cerita. Ketiga, penafsiran hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Keempat, penafsiran tema haruslah mendasarkan pada bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita. Sementara itu, menurut Firdaus Zulfahnur Z., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji (1997: 25), “tema mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita, sasaran atau tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu alur.”
16
Tema dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi probadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tata cara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu, sedangkan tema divine atau ketuhanan menyangkut renungan yang bersifat religius, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Waluyo, 2006: 4). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa tema merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra yang berupa ide, gagasan utama yang diungkapkan dan dituangkan oleh pengarang dalam karya sasra yang dihasilkan, baik secara eksplisit maupun eksplisit. Tema yang digunakan pengarang biasanya berhubungan dengan pengalaman hidup manusia dan digunakan pengarang sebagai pedoman dan acuan dalam membuat suatu karya sastra. 2) Alur/ Plot Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan perperan dalam peristiwa yang itu semuanya terkait dalam suatu kesatuan waktu. Alur atau plot cerita sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2006: 5). Sejalan dengan pendapat di atas,
17
dikemukakan oleh Semi (1993: 43) bahwa “alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.” Alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam pengertian ini, alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. Rangkaian kejadian yang menjalin
plot secara lebih rinci, yaitu
meliputi: (1) eksposisi, paparan awal cerita; (2) inciting moment, mulainya problem cerita itu muncul; (3) rising action, konflik dalam cerita meningkat; (4) complication, konflik semakin ruwet; (5) climax, puncak penggawatan; (6) falling action, peleraian; dan (7) denouement, penyelesaian (Waluyo, 2006: 5). Sementara itu, Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149-150) membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Pertama tahap Situation (tahap penyituasian), yaitu tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Kedua adalah tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik), yaitu tahap awal munculnya konflik, konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Ketiga adalah t ahap Rising Action ( tahap peningkatan konflik), yang berarti tahap pada saat konflik yang muncul mulai berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. Tahap keempat yaitu Climax (tahap klimaks), tahap ini merupakan penggambaran konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau dilimpahkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. Tahap terakhir yaitu Denouement (tahap penyelesaian), tahap ini disebut juga penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan mengendorkan ketegangan.
18
Konflik-konflik yang lain yaitu sub-subkonflik, konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula (Nurgiyantoro, 2005: 153-157; Waluyo, 2006: 6). Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi tiga yaitu plot lurus (progresif), plot sorot-balik (flash-back), dan plot campuran. Plot dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa
yang dikisahkan bersifat
kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Plot dikatan flash-back jika memiliki urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang beralur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), tetapi mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak beralur lurus-kronologis atau sebalinya sorot-balik. Secara garis besar, plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adeganadegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya, bahkan sebenarnya boleh dikatakan tidak mungkin ada sebuah ceritapun yang mutlak flash-back. Hal itu disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit mengikuti cerita yang dikisahkan yang secara terus-menerus dilakukan secara mundur Dari beberapa pendapat di atas mengenai alur, dapat disintesiskan bahwa alur atau plot merupakan suatu rangkaian peristiwa dalam suatu cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional dan sekaligus menandai urutanurutan bagian dalam sebuah cerita yang membentuk sebuah cerita baik secara lurus, sorot-balik, maupun keduanya. Alur merupakan hal yang penting dalam suatu cerita, karena alur yang menentukan jalannya sebuah cerita. 3) Penokohan dan Perwatakan pada Novel Membicarakan suatu fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh
19
pembaca, yaitu pada kualitas pribadi seorang tokoh. Jones dalam Nurgiyantoro (2005: 165) mengatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. “Tokoh dapat dibedakan menurut peranannya terhadap jalan cerita dan peranan serta fungsinya dalam cerita” (Waluyo, 2002: 16). Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita tokoh dibedakan menjadi tiga, pertama tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama, yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita. Kedua tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita. Ketiga tokoh tritagonis yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh triagonis. Sementara itu (Waluyo, 2002: 16), berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut. (1) Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak cerita. Tokoh sentral merupakan pusat perputaran cerita. Dalam hal ini, tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis. (2) Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh tritagonis. (3) Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkai cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak semua cerita menampilkan kehadiran tokoh pembantu. Setiap pengarang ingin para pembaca memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Ada banyak cara yang digunakan oleh pengarang dalam menampilkan tokoh dalam suatu cerita. Menurut Semi (1993: 39-40), ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakannya, yaitu sebagai berikut. (1) Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala,
20
penyayang, dan sebagainya. (2) Secara dramatis, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal ini disampaikan melalui: (a) pilihan nama tokoh, misalnya nama Mince untuk gadis yang agak genit atau Bonar untuk nama tokoh yang garang; (b) melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya; (c) melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan maupun dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain. Pengarang dalam setiap ceritanya menggambarkan watak para tokohnya dengan begitu kompleks. Ada tiga dimensi dalam penggambaran watak tokoh pada suatu cerita. Waluyo (2002: 17-19; 2006: 9) menyebutkan bahwa watak para tokoh dalam fiksi digambarkan dalam tiga dimensi. (1) Dimensi Fisiologis, yaitu keadaan fisik tokoh misalnya umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. (2) Dimensi Psikologis, yaitu keadaan psikis tokoh meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, temperamen, ambisi, kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosinya, dan sebagainya. (3) Dimensi Sosiologis, yaitu keadaan sosiologis tokoh meliputi pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa penokohan dan perwatakan adalah cara pengarang dalam menggambarkan watak, sifat, dan karakter masing-masing tokoh yang terdapat pada sebuah cerita. Dalam memberikan watak pada setiap tokohnya, pengarang bebas menggambarkannya. Watak juga dapat merupakan sungguh-sungguh ada atau mewakili diri pribadi pengarang maupun orang-orang di sekitar pengarang. 4) Latar/ Setting Latar atau setting pada seuatu cerita merupakan lingkungan tempat terjadinya suatu peristiwa dalam sebuah cerita. Artinya bahwa latar itu meliputi tempat maupun waktu terjadinya peristiwa. latar/setting disebut
21
juga sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Senada dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2005: 227) menyebutkan bahwa “unsur latar dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi.” Berikut rincian unsur-unsur latar. a) Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar dengan namanama
tertentu
haruslah
bertentangan dengan
mencerminkan
sifat
atau
paling
tidak,
tidak
atau keadaan geografis tempat
yang
bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain. Penggunaan banyak atau sedikitnya latar tempat tidak berhubungan dengan kadar kelitereran karya yang bersangkutan. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar itu sendiri antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan. b) Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-petistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian digunakan untuk mencoba masuk dalam suasana cerita. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika
22
dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain. c) Latar Sosial Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Tata cara tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan sebagainya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau kaya. Latar sosial berperan menentukan sebuah latar, khususnya latar tempat, akan menjadi khas dan tipikal atau hanya bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan. 5) Amanat Apabila tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, amanat berhubungan dengan makna (significance) dari karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbedabeda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan semuanya cenderung dibenarkan (Waluyo, 2002: 28). Amanat dalam karya sastra sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Wujud amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasihat, firman Tuhan, dan sebagainya. Amanat merupakan bagian integral dari dialog dan tindakan tokoh cerita. Jadi, amanat bukan merupakan bagian yang seakan-akan lepas dari kedua unsur tersebut, yaitu unsur dialog dan tindakan tokoh cerita.
23
3. Pendekatan Psikologi Sastra a. Hakikat Psikologi Psikologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu psycology. Istilah ini pada mulanya berasal dari kata dalam bahasa Yunani “psyche” yang berarti roh, jiwa atau daya hidup, dan “logos” yang berarti ilmu. Jasi, secara harfiah “psycologyi” berarti “ilmu jiwa” (Desmita, 2010:1). Sadhono mendefinisikan bahwa psikologi berkaitan dengan masalah proses mental individu, seperti inteligensi, minat, sikap, kepribadian dan semacamnya (2014:10). Walgito lebih rinci menjelaskan bahwa psikologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi jiwa itu tidak menampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah perilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan penjelmaan kehidupan jiwa itu. Psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas, dan perilaku serta aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan. Perilaku dalam hal ini adalah dalam pengertian yang luas, yaitu meliputi perilaku yang tampak dan tidak tampak. Psikologi itu sendiri mencakup perilaku dan jiwa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa psikologi berarti ilmu jiwa. Psikologi adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari pola dan tingkah laku manusia. b. Hakikat Sastra Sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, berbicara dan memperjuangkan kepentingan hidup manusia. Sastra merupakan media bagi manusia untuk berkekspresi sesuai dengan keinginannya. Tidak ada batasan bagi siapa pun dan kapan pun dalam sastra, karena siapa pun boleh ambil bagian dalam sastra. Manusia mempunyai tanggung jawab yang penuh dan peran yang sangat penting. Sastra akan berkembang bila manusia atau masyarakatnya mempunyai daya kreasi yang tinggi. Kreasi adalah karya cipta yang murni, yaitu menciptakan suatu karya yang baru atau belum pernah ada sebelumnya. Kenyataannya manusia adalah tokoh utama sebagai pencetus ide atau gagasan dalam menciptakan suatu hasil sastra. Berbagai permasalahan kehidupan individu atau masyarakat dapat dijadikan sebagai bahan atau ide dalam penciptaan suatu karya sastra. Manusia
24
menciptakan suatu karya sastra dalam dan berdasarkan kehidupannya. Manusia, karya sastra, dan kehidupannya berjalan secara beriringan, ketiganya memiliki hubungan timbal balik yang saling berpengaruh. Sastra
lahir
disebabkan
oleh
dorongan
dasar
manusia
untuk
mengungkapkan dirinya dan menaruh perhatian padadunia realitas yang berlangsung setiap waktu dan setiap zaman. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra adalah karya seni yang harus diciptakan dengan suatu daya kreativitas sastra dan keindahan. Karya sastra adalah seni yang mempersoalkan kehidupan (dalam Semi, 1993: 8). Suatu karya sastra diharapkan dapat memberikan kepuasan bagi pembacanya. Tujuan utama dari penciptaan suatu karya sastra bagi pembacanya adalah menciptakan kesan estetik dan kepuasan. Sastra adalah ungkapan ekspresi jiwa yang dimuat dalam bentuk buku yang didalamnya mengungkapkan tentang perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral, keluasan pandangan yang mempesona, ekspresi atau ungkapan manusia adalah upaya untuk mengeluarkan suatu bakat yang tertanam didalam dirinya bisa berupa luapan emosi yang tiba-tiba atau spontan. Bentuk dari diri manusia dapat diekspresikan dalam bentuk karena tanpa bentuk tidak akan mungkin isi dari ungkapan tersebut disampaikan kepada orang lain, misalnya dalam bentuk bahasa, bahasa merupakan bahan utama untuk mengungkapkan karya yang indah seperti apa yang dinyatakan oleh Fananie (2000: 6) menyatakan bahwa “Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetika baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna”. Berdasarkan pendapat beberapa ahli mengenai sastra, dapat disintesiskan bahwa sastra merupakan sebuah karya seni hasil ekspresi atau pemikiran manusia dalam bentuk suatu karya sastra fiksi. Sebuah karya sastra merupakan buah pikiran dari pengarang. Proses penciptaan suatu karya sastra tidak terlepas dari pengaruh keadaan atau lingkungan seorang pengareng, tidak dipungkiri dapat berupa ungkapan hati seorang pengarang.
25
c. Hakikat Psikologi Sastra Psikologi sastra adalah analisis teks sastra dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Manusia dijadikan objek sastrawan sebab manusia merupakan gambaran tingkah laku yang dapat dilihat dari segi kehidupannya. Tingkah laku merupakan bagian dari gejolak jiwa sebab dari tingkah laku manusia dapat dilihat gejalagejala kejiwaan yang pastinya berbeda satu dengan yang lain. Pada diri manusia dapat dikaji dengan ilmu pengetahuan yakni psikologi yang membahas tentang kejiwaan. Oleh karena itu, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala kejiwaan (Ratna, 2011: 62). Karya sastra yang merupakan hasil dari aktivitas penulis sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan sebab karya sastra merupakan hasil dari penciptaan seorang pengarang yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori psikologi. Dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalau mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra. Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan ketika menciptakan karyatersebut (Endraswara, 2011:26). Psikologi sastra menjasi sebuah bahan kajian atau telaah yang menarik. Hal itu disebabkan karena sastra bukan sekadar telaah teks yang menjemukan, tetapi menjadi bahan kajian yang melibatkan perwatakan atau kepribadian tokoh
26
rekaan, karya sastra, dan pembaca (Minderop, 2011: 3). Sebagai hasil rekonstruksi proses mental, karya sastra mengandung berbagai masalah yang berkaitan dengan gejala-gejala kejiwaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penokohan dalam suatu karya sastra yang paling banyak menampilkan aspek kejiwaan. Pemahaman mengenai psikologi sastra diperlukan pada saat manusia berhadapan dengan berbagai permasalahan kejiwaan. Dua hal dasar penelitian psikologi sastra tersebut merupakan aspek psikologi pengarang, sehingga kejwaan dan pemikiran pengarang sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra tersebut. Pengarang dalam menuangkan ideidenya kedalam karyanya terkadang terjebak dalam situasi tak sadar atau halusinasi yang dapat membelokan rencana pengarang semula. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” didalamnya terkandung fenomena-fenomena yang terkait dengan psikis atau kejiwaan. Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan
menggunakan
pendekatan
psikologi.
Penelitian
psikologi
sastra
merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu kejiwaan baik pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya sastra. Penelitian psikologi sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan dalam membaca supaya dapat menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan. Perbedaan gejala-gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah gejala kejiwaan pada manusia riil (Endraswara, 2011: 97). Antara psikologi dan sastra akan saling melengkapi dan saling berhubungan sebab hal tersebut dapat digunakan untuk menemukan proses penciptaan sebuah karya sastra. Psikologi digunakan untuk menghidupkan karakter para tokoh yang tidak secara sadar diciptakan oleh pengarang. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa psikologi sastra merupakan salah satu ilmu untuk memahami kejiwaan tokoh dalam suatu karya sastra. Psikologi sastra berusaha menggali bagaimanakah kejiwaan tokoh berkaitan dengan karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh dalam sebuah karya sastra.
27
d. Struktur Kepribadian Sigmund Freud Sigmund Freud (1856) adalah seorang keturunan Yahudi, yang lahir di Austria dan meninggal dunia di London pada usia 83 tahun. Ia dianggap sebagai tokoh yang diperdebatkan di lingkungannya karena ajaran-ajaran yang terkait dengan masalah seksual. Freud yang seorang neurolog membangun gagasan tentang teori psikologi berdasarkan pengalamannya menghadapi para pasien yang mengalamiproblem mental. Freud juga seorang tokoh pertama yang menyelidiki kehidupan jiwa manusia berdasarkan pada hakikat ketidaksadaran. Tingkah laku menurut Freud, merupakan hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian adalah faktor historid masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faaktor bawaan dan faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu. Ketiga sistem kepribadian yang dikemukakan oleh Freud yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga aspek itu masing-masing mempunyai fungsi, sifat komponen, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri, namun ketiganya saling berhubungan sehingga sukar (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, tingkah laku selalu merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek itu. Ketiga sistem itu diuraikan sebagai berikut. 1) Id Id dalam bahasa Jerman adalah Das es. Id atau Das Es merupakan wadah dari jiwa manusia yang berisi dorongan primitif. Dorongan primitif adalah dorongan yang ada pada diri manusia yang menghendaki untuk segera dipenuhi atau dilaksanakan keinginan atau kebutuhanya. Apabila dorongan tersebut terpenuhi dengan segera maka akan menimbulkan rasa senang, puas serta gembira. Sebaliknya apabila tidak dipenuhi atau dilaksnakan dengan segera maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Id (terletak di bagian tak sadar) yang merupakan reservoir dan menjadi sumber energi psikis. Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar, misalnya kebutuhan makan dan sebagainya. Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010:21).
28
Senada dengan pendapat Minderop, Endraswara mengemukakan Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan aspek kepribadian yang paling gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energy buta” (2011: 101). Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa id merupakan dorongan di alam bawah sadar dari aspek biologis yang terjadi secara spontan. 2) Ego Ego dalam bahasa Jerman disebut dengan Das Ich. Ego terbentuk dengan diferensial dari dorongan Id karena kontaknya dengan dunia luar. Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme yang memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan yang objektif. Orang yang lapar harus mencari, menemukan, dan memakan makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Hal itu berarti orang harus belajar membedakan antara makanan dan persepsi aktual terhadap makanan seperti yang ada didunia aktual terhadap makanan seperti yang ada di dunia luar. Setelah melakukan pembedaan makanan perlu mengubah gambaran ke dalam persepsi yang terlaksana dengan menghadirkan makanan di lingkungan. Dengan kata lain, orang mencocokan gambaran ingatan tentang makanan dengan penglihatan atau penciuman terhadap makanan yang dialaminya dengan panca indera. Das ich atau The ego merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga, serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh relitas. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar, tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama misalnya penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan keputusan. Endraswara menambahkan bahwa Ego merupakan kepribadian implementatif yaitu berupa kontak dengan dunia luar (Endraswara, 2011: 101). Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa ego timbul karena dorongan dari aspek psikologis yang memerlukan sebuah proses.
29
3) Super Ego Struktur yang ketiga ialah superego yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (Minderop, 2010: 22). Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Super ego merupakan penyeimbang dari id. Semua keinginan-keinginan id sebelum menjadi kenyataan, dipertimbangkan oleh super ego. Apakah keinginan id itu bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Super ego berisi nilai-nilai moral yang ditanamkan pada diri seseorang. Pada dasarnya, super ego sama dengan kesadaran. Aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
4. Pendidikan Karakter a. Hakikat Pendidikan Pendidikan merupakan bagian kebutuhan penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “educare” berarti memasukkan sesuatu (Hasan Langgulung, dalam Hadi dkk, 1992: 17). Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogike” terdiri dari kata “paris” yang berarti anak dan kata “ago” yang berarti aku. Jadi paedagogike berarti aku membimbing anak. Jika kata tersebut diartikan secara simbolis, maka perbuatan membimbing seperti dikatakan di atas merupakan inti perbuatan mendidik yang tugasnya hanya membimbing saja. UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal I menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Danin (2010: 5) mengatakan bahwa pendidikan adalah proses katografi kognitif, pemetaan pengalaman dan menemukan berbagai
30
rute yang dapat diandalkan untuk mengoptimasi pemikiran dan potensi yang belum optimal. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disintesiskan bahwa pendidikan adalah proses membimbing anak didik serta menanamkan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. Pendidikan perlu dilaksanakan atau ditanamkan sejak dini oleh orang tua dan lingkungan sekitar, agar hal tersebut dapat menjadi bekal kelak sebelum berada dalam pendidikan formal seperti sekolah.
a. Hakikat karakter Karakter merupakan salah satu hal yang melekat pada diri manusia sejak kecil. Depdiknas (2008) definisi karakter merupakan sifat-sifat kewajiban, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seeorang dengan yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-unik yang terpati dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kemendikanas, 2010). Samami dan Haryanto (2011: 42) mendefinisikan karakter sebagai “atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan ciri kompleksitas mental seseorang, suatu kelompok atau bangsa.” Senada dengan Hernawan Kertajaya (2010: 3) mengemukakan bahwa karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Robert Marine (dalam Samami dan Haryanto, 2011: 42) mengambil pendekatan yang berbeda terhadap makna karakter, menurutnya, karakter adalah gabungan yang samar-samar antara sikap, perilaku bawaan, dan kemampuan yang membangun pribadi seseorang. Hidayatullah (2010: 16) menyimpulkan bahwa “karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain.” Samami dan Haryanto (2011:43) yang menyatakan bahwa “karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya
31
dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.” Pike (dalam Agboola, 2012) berpendapat bahwa: Character has from the time immemorial been perceived as a word that is acclaimed with special connotations. In other words, when someone is attributed as having a good character as it is commonly used, that person also possesses some other qualities such as trustworthiness, integrity, passionate, reliable, and dependable. Bahwa karakter telah dikenal sejak lama sebagai ciri khas dan menunjukkan kepripadian seseorang. Ketika seseorang memiliki sifat yang baik, berarti orang tersebut juga memiliki karakter yang baik. Selain itu, seseorang juga harus memiliki suatu kualitas sebagai seseorang yang memiliki sifat dapat dipercaya, memiliki
kejujuran,
penuh
semangat,
dapat
diandalkan,
serta
dapat
mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat. Douglas mengatakan bahwa “Character isn’t inherited. One builds its daily by the way one thinks and acts, thought by thought, action by action.” Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan (Samami dan Haryanto, 2011:41). Dengan demikian, dapat disintesiskan bahwa karakter adalalah adalah bentuk sikap atau karakter yang dimiliki oleh seseorang sejak kecil dan menjadi ciri khas dari orang tersebut. Karakter dapat membentuk dirinya sendiri, kepribadian seseorang dapat terlihat melalui karakter yang dimilikinya.
b. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah proses tranformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Kesuma (2011: 5) mendefinisikan pendidikan karakter dalam setting sekolah sebagai “Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.”
32
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan, didorong, diberdayakan melalui keteladanan, kajian, serta praktik emulasi. Sejalan dengan hal itu, Samani (2011: 45) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Berkowitz (dalam Agboola, 2012) berpendapat bahwa “Character education is a growing discipline with the deliberate attempt to optimize students’ ethical
behavior.”
Pendidikan
Karakter
adalah
berusaha
menanamkan
kedisiplinan dengan sengaja kepada peserta didik agar memiliki sifat percaya diri dan kepribadian yang baik. Definisi pendidikan karakter adalah sebagai pengatur kepribadian siswa, agar dapat hidup dan bermanfaat bagi dirinya sendiri serta orang lain di masa depan. Adanya pendidikan karakter pada diri siswa akan membenuk kepribadiannya di kehidupan sekarang dan mendatang. John Childs (dalam Benninga, 2003) menyatakan bahwa: The child who is learning through empirical procedures to di scriminate the better from the worse in the different mundane spheres of human a ctivity is, at the same time, growing in capacity for moral judgment. It is in and through these varied and interrelated life activities that the real occasions for moral decisionarise, and the child grows in his capacity to function as a responsible moral agent as he grows in his ability to make judgments of the good and the bad in terms of concrete consequences. Moral be havior is thus a function of theentire experience of the child, and all education is inescapably a form of character education. Seorang anak yang mengerti bahwa untuk hidup harus bisa belajar dari pengalaman. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan bervariasi dan saling belajar di setiap kesempatan nyata untuk moral. Anak yang tumbuh dengan nilai moral yang baik, bertanggung jawab untuk dapat menilai yang baik dan yang buruk dalam hidupnya. Moral menjadi modal utama, dengan demikian fungsi pengalaman anak dan semua pendidikan ada untuk membentuk pendidikan karakter pada anak. Meisusri Silvi, Yasnuar Asri, dan M. Ismail (2012) menjelaskan bahwa “pendidikan berkarakter merupakan pendidikan yang mengembangkan nilai dan karakter pada diri peserta didik sehingga
33
mereka memiliki nilai dan karakter dirinya dan menerapkannya dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat.” Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang bertujuan memberikan tuntunan kepada peserta didik untuk mengembangkan nilai-nilai dan karakter yang telah tertanam pada diri masing-masing dirinya secara sadar baik di sekolah ataupun di lingkungan sekitar. Serta menerapkannya pada kehidupan sehari-hari agar dapat berguna bagi dirinya dan bagi lingkungan sekitar. Saat ini pendidikan karakter mulai diperhatikan oleh pemerintah, sehingga begitu penting pendidikan tersebut.
c. Tujuan Pendidikan Karakter di Sekolah Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk dapat bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya. Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya memberikan pencerahan yang menandai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia. Fungsi ini amat berat dipikul oleh pendidikan nasional, terutama apabila dikaitkan dengan siapa yang bertanggung jawab untuk keberlangsungan fungsi ini. Menurut Kesuma (2011: 9) pendidikan karakter dalam setting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut: 1) menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/ kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan,
34
2) mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilainilai yang dikembangkan oleh sekolah, dan 3) membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Konteks
pendidikan
karakter
bahwa
kemampuan
yang
harus
dikembangkan pada peserta didik melalui persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan dan mengemban amanah sebagai pemimpin Kesuma (2011: 7). Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik adalah kemampuan mengabdi pada Tuhan yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmonis dengan sesame manusia dan makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana kesejahteraan bersama. Tujuan tiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat.
Pendidikan
bertugas
mengembangkan
potensi
individu
semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, tahu kemampuan dan batasnya serta mempunyai kehormatan diri. Dengan demikian, pembinaan watak merupakan tugas utama pendidikan. Senada
denganpendapat
sebelumnya,
Hidayatullah
(2010:
25)
berpendapat bahwa “pendidikan di sekolah tidak lagi cukup hanya dengan mengajar peserta didik membaca, menulis, dan berhitung, kemudian lulus ujian, dan nantinya mendapatkan pekerjaan yang baik.” Itu berarti bahwa sekolah juga harus mampu mendidik peserta didik agar mampu memutuskan apa yang salah dan benar. Sekolah juga perlu membantu orang tua untuk menemukan tujuan hidup setiap peserta didik, dalam konteks ini adalah pendidikan karakter. Di tengah-tengah perkembangan dunia yang begitu cepat dan kompleks, prinsip-prinsip pendidikan untuk membangun etika, nilai dan karakter peserta didik tetap harus dipegang. Di sisi lain, Hidayatullah (2010) mengatakan bahwa “guru harus memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan pendidikan secara holistic
35
yang berpusat pada peserta didik.”dalam hal ini pendidik harus mampu menyiapkan peserta didik agar dapat menangkap peluang dan kemajuan dunia dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus diarahkan agar mampu mengembangkan dirinya dan mampu menghadapi permasalahanpermasalahan dalam hidupnya. Hidayatullah berpendapat bahwa “lembaga pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa.
b. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Dari masalah
tersebut,
munculah
berbagai
nilai
pendidikan
karakter
yang
dikembangkan. Nilai-nilai yang dikembangkan tersebut diidentifikasi dari empat sumber, yakni agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Sumber yang pertama yakni agama, masyarakat indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama (Kemendiknas, 2010: 8). Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam
36
hubungannya dengan Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan (Kemendiknas, 2010). Berikut adalah daftar nilainilai yang dimaksud. a. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan, meliputi: taat kepada Tuhan YME, syukur (berterima kasih), ikhlas, sabar (kepada Tuhan), dan tawakkal (berserah diri kepada Tuhan) . b. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri, meliputi: reflektif, percaya diri, rasional, logis dan kritis, kreatif dan Inovatif, mandiri, hidup sehat, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif , disiplin, antisipatif, menghargai waktu, ramah, cinta keindahan (estetis), serta sportif. c. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama, meliputi: taat peraturan, toleran, peduli, kooperatif, demokratis, apresiatif, santun, bertanggung jawab, menghormati orang lain, menyayangi orang lain, pemurah (dermawan), mengajak berbuat baik, berbaik sangka, empati, dan konstruktif. d. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan, meliputi: peduli dan bertanggung jawab terhadap pelestarian tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam sekitar; peduli dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam sekitar; serta peduli dan bertanggung jawab terhadap pemanfaatan tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam sekitar. e. Nilai-nilai kebangsaan, meliputi: cinta tanah air, cinta damai, tidak rasis, menjaga persatuan, memiliki semangat membela bangsa/Negara, berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bangga sebagai bangsa Indonesia, mencintai produk sendiri, mencintai budaya sendiri, dan emiliki semangat untuk berkontribusi kepada bangsa Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku atau karakter dari berbagai pihak. Berikut beberapa nilai yang ada di kehidupan saat ini.
37
Tabel 1. Nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupan manusia saat ini (dalam Kesuma, 2011) Nilai yang terkait Nilai yang terkait dengan Nilai yang terkait dengan dengan diri sendiri
orang/makhluk lain
ketuhanan
Jujur
Senang membantu
Ikhlas
Kerja keras
Toleransi
Ikhsan
Sabar
Murah senyum
Iman
Ulet
Pemurah
Takwa
Ceria
Kooperatif
Teguh
Komunikatif
Terbuka
Amar maruf
Visioner
Nahi munkar
Mandiri
Peduli
Tegar
Adil
Pemberani Reflektif Tanggung
Jawab,
dan disiplin Menurut Lickona (dalam Kesuma, 2011) “nilai yang dianggap penting untuk dikembangkan menjadi karakter ada dua, yaitu respect (hormat) dan responsibility (tanggung jawab).” Hal itu dianggap penting, karena kedua nlai tersebut untuk pembangunan kesehatan pribadi seseorang, menjaga hubungan interpersonal, sebuah masyarakat yang manusiawi dan demokratis, serta dunia yang lebih adil dan damai.
5. Pembelajaran Sastra di SMA (Sekolah Menengah Atas) Sastra merupakan sesuatu yang dinamis dan memuat apa saja yang yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh manusia dalam kehidupannya (Sangidu, 2004: 10). Sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, berbicara dan memperjuangkan kepentingan hidup manusia. Sastra merupakan media bagi manusia untuk berkekspresi sesuai dengan keinginannya. Sastra juga berkaitan erat dengan dengan ciri khusus bangsa atau kelompok masyarakat tertentu.
38
Dengan membaca sastra kita dapat memahami kebudayaan kelompok atau bangsa lain. Pembelajaran sastra pada umumnya membicarakan nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia. Dengan kata lain bahwa pembelajaran sastra pada hakikatnya mengenalkan siswa atau mahasiswa nilai-nilai yang terkandung dan mengajak mereka untuk ikut menghayati segala hat termasuk pengalaman yang terdapat dalam karya sastra. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan apresiasi terhadap suatu karya sastra. Kepekaan siswa akan meningkat dan mengembang saat mempelajari suatu karya sastra.
Sastra melalui unsur imajinasinya mampu
membimbing siswa pada keluasan berpikir, bertindak, berkarya, dan sebagainya (Wibowo, 2013:20). Rahmanto (1988: 16-25) menyatakan bahwa pembelajaran sastra dapat membentu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Melalui pembelajaran sastra siswa diharapkan mampu dan memiliki kepekaan perasaan yang tajam dan mampu menghadapi permasalahan-permasalahan hidupnya dengan wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam. Pembelajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting dan patut mendapat posisi yang selayaknya. Jika suatu pembelajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pembelajaran sastra itu dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam suatu kelompok masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pembelajaran atau pengajaran sastra sangatlah penting Artinya pengajaran sasrta selain digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dan pengembangan sasta, tetapi dapat pula dijadikan sebagai pemecahan masalah sosial. Pembelajaran sastra di SMA merupakan pembelajaran yang sangat penting peranannya untuk membentuk daya nalar siswa dan mengenalkan sastra sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Indonesia kepada siswa. Pembelajaran sastra di SMA diarahkan pada aktivitas mental yang lebih tinggi. pembelajaran sastra seharusnya tidak terlepas dari kurikulum yang berlaku pada suatu sekolah.
39
Kurikulum merupakan pedoman dan media yang harus dijadikan patokan dalam pembelajaran. Materi sastra yang tertuang dalam kurikulum akan menjadi bermakna bila dalam penyampaiannya sesuai dengan indikator yang telah ditentukan. Berdasarkan kurikulum 2013 di SMA, pembelajaran sastra merupakan salah sau komponen dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis teks, materi sastra yang berkaitan dengan apresiasi sastra adalah teks sejarah. Salah satu kompetensi dasar yang membahas sastra ini muncul pada silabus SMA kelas XII semester gasal. Kompetensi dasar ini berisi Memahami struktur, menganalisis, dan mengintepretasi kaidah teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan maupun tulisan. Berdasarkan pemaparan mengenai pengajaran sastra dia tas dapat disintesiskan bahwa kegiatan pengajaran sastra cukup penting peranannya dalam pembentukan karakter siswa. Pembelajaran sastra merupakan bagian dari materi bahasa Indonesia di SMA. Kegiatan pengajaran sastra harus disesuaikan dengan kurikulum dan berdasar pada silabus yang menuntut siswa untuk memahami sastra secara baik. Dengan begitu akan dapat membantu siswa menanamkan nilainilai kehidupan dan kemanusiaan pada dirinya.
C. Kerangka Berpikir Kekayaan sebuah karya atau tulisan kreatif terletak pada unsur-unsur bahasa dan bentuk yang menimbulkan keragaman dan kompleksitas, serta interaksi yang baik antara unsur-unsur tersebut dengan sesamanya dan dengan dunia nyata yang berada di lingkungan karya itu sendiri. Salah satunya adalah novel. Novel merupakan satu karya sastra yang memiliki nilai guna dan indah, dulce et utile. Novel dapat merekam berbagai realitas sosial masyarakat. Novel karya Ahmad Tohari dengan judul Di Kaki Bukit Cibalak ini merupakan sebuah karya luar biasa dari pengarang. Penggambaran tokoh dan konflik di dalamnya begitu kompleks, serta pembentukan karakter pada masingmasing tokohnya sangat jelas. Sehingga akan menarik sekali dikaji kepribadian
40
tokoh utama dan bentuk nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada novel tersebut. Langkah pertama dalam pengkajian psikologi sastra dan nilai pendidikan karakter adalah mengkaji sastra yang otonom (faktor objektif) sebagai bentuk ekspresi pengarang. Kajian psikologi sastra difokuskan pada aspek kepribadian tokoh utama. Sedangkan pendidikan karakter itu sendiri, terdapat delapan belas aspek yang dapat dikaji. Hasil penelitian sastra biasanya bersifat subjektif, tetapi analisanya berdasarkan data-data yang objektif. Hasil penelitian yang subjektif tersebut disebabkan oleh bekal yang dimiliki oleh masing-masing peneliti yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain. Hasil penelitian sastra yang dipandang subjektif itu justru menunjukkan kedinamisan sastra sebagai ilmu. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut: Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari
Analisis tokoh utama novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari
Analisis kepribadian (id, ego, dan superego) tokoh utama dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari
Analisis Nilai-nilai pendidikan karakter berdasarkan tokoh pada novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari
Menjelaskan bentuk implementasi novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari sebagai bahan ajar bahasa Indonesia di SMA Simpulan, yang meliputi: 1) kepribadian (id, ego, superego) tokoh Pambudi, Pak Dirga, Sanis, dan Mulyani. 2) nilai-nilai pendidikan karakter yang dominan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari.
Gambar 1. Kerangka berpikir