11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa Dalam keseharian kita selalu melakukan aktivitas berkomunikasi. Baik secara langsung maupun tidak secara langsung (menggunakan media). Proses komunikasi ini selalu kita jalani tanpa ada hentinya. Bahkan, proses berkomunikasi ini sudah kita lakukan sejak kita masih kecil. Memang tidak segamblang seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, namun bentuk komunikasi yang berlangsung yakni berupa tangisan. Seorang bayi yang menangis dapat diartikan banyak hal, misalnya saja ia kelaparan, haus, atau tanda bahwa dirinya mengantuk. Beranjak keusia anak-anak, maka ia sudah mulai bisa untuk berbicara bahkan sudah bisa merasakan senang atau sedih sesuai dengan apa yang ia rasakan. Dan memasuki usia dewasa, maka kita sudah mengenal bahkan akrab dengan komunikasi yang banyak sekali jenisnya. Baik itu komunikasi antar pribadi, komunikasi intrapribadi, komunikasi organisasi, komunikasi antar budaya, bahkan komunikasi massa. Semua jenis komunikasi tadi terjadi seiring dengan berkembangnya pergaulan dari seseorang tersebut dan juga berdasarkan pengalaman yang sudah ia alami sebelumnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
12
Yang akan diperdalam pada bahasan ini adalah mengenai komunikasi massa. Komunikasi massa menjadi hal yang menarik untuk diselami konsepnya, karena pada saat ini teknologi komunikasi sedang menjadi primadona bagi semua kalangan. Tak peduli pria atau pun wanita, tak padang tua maupun muda, semua merasakan keberadaan dari komunikasi massa ini. Yang perlu dipahami lagi bahwa konsep komunikasi massa menurut Gerbner1 (1967) “Mass communication is the technologically and institutionally bases production and distribution of the most broadly shared continuous flow of message in industrial societies”. (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri (Rakhmat, 2003 : 188) . Selain itu, komunikasi massa juga dapat diartikan sebagai proses penciptaan makna bersama antara media massa dan khalayaknya.2 Berbeda dengan komunikasi pada umumnya, komunikasi massa memiliki karakteristik yang kompleks, dimana komunikasi massa ini dapat menguasai ruang. Yang dimaksud disini adalah komunikasi massa dapat memberikan informasi ataupun pesan kepada cangkupan orang yang sangat banyak. Kemudian komunikasi massa ini anomin, yakni pemberi informasi atau pesan tidak mengetahui siapa yang menerima pesan yang ia sampaikan tersebut dan penerima pesannya pun bersifat heterogen.
1
Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala dan Siti Karlinah. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. 2012. Hal.3 2 Baran, Stanley J. Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya. Jakarta : Erlangga. Hal. 7
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
13
Lalu, komunikasi massa mempunyai konsep komunikasi yang satu arah. Yakni komunikator hanya bisa menyampaikan pesan tanpa mengetahui respon dari komunikannya. Namun, komunikasi massa juga memiliki kemungkinan untuk menerima umpan balik tambahan, biasanya dalam bentuk kritis di media yang lain, seperti kritikus televisi menulis kolom dalam surat kabar. Bahkan seiring perkembangan zaman, maka kritik ataupun respon balik komunikator kepada komunikan dapat disampaikan melalui media social yang marak saat ini.
2.2 Film Untuk kali ini rasanya tepat jika kita berpegang pada sebuah pepatah lama yang berbunyi “Tak Kenal Maka Tak Sayang”, maka dari itu sebelum kita beranjak jauh mempelajari film, alangkah baiknya kalau kita mengenal lebih dekat terlebih dahulu “Apa itu film?”. Istilah film awalnya dimaksudkan untuk menyebut media penyimpanan gambar atau biasa disebut Celluloid, yaitu lembaran plastik yang dilapisi oleh Emulasi (lapisan kimiawi peka cahaya).3 Bertitik tolak dari situ, maka film dalam arti tayangan audio-visual dipahami sebagai potongan-potongan gambar bergerak. Kecepatan perputaran potonganpotongan gambar itu dalam satu detik adalah 24
gambar (24-25 frame per
second/fps). Ada banyak sekali literature yang menjelaskan film, berdasarkan banyak pengertian “film” semuanya mengerucut pada suatu pengertian universal.
3
Panca Javandalasta. 5 Hari Mahir Bikin Film hal 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
14
Film adalah rangkaian gambar yang bergerak membentuk suatu cerita atau juga biasa disebut Movie atau video. Film, secara kolektif, sering disebut „sinema‟. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis, yang diperankan oleh tokoh-tokoh sesuai karakter direkam dari benda/lensa (kamera) atau animasi. 2.2.1 Fungsi Film Berbicara soal seni, maka film ada didalam bagian dari seni itu. Berbeda dengan pendahulunya seperti sastra, film menghadirkan nuansa baru bagi pecinta seni. Keberadaan film sendiri masih terbilang dini, bila dibandingkan dengan karya seni lainnya. Meski diusia yang belum genap satu abad, film sudah mampu membawa dampak besar bagi khalayak dan mempunyai sifat yang sangat dinamis. Hal inilah yang membuat karya seni film sangat digemari oleh khalayak untuk dinikati atau bahkan untuk ikut memproduksinya. Sejalan dengan eksistensinya, maka produk film pun menuai berbagai pandangan dari banyak lapisan masyarakat. Pandangan yang tercetus pun beragam, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Namun dari fenomena ini, kemudian kita dapat mengidentifikasi beberapa hal yang selanjutnya dapat kita kategorikan sebagai fungsi dari film tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
15
I. Film sebagai Suatu Realitas Film yang berisi kombinasi dari rekaman gambar (visual) dan rukaman suara (audio) dapat dinikmati oleh semua golongan, kecuali orang buta. Tidak pandang tua ataupun muda, kaya atau miskin, film dapat masuk dalam masingmasing bagian tersebut. Karena sangatlah fleksibel, maka tak heran terdapat banyak cara untuk menikmati karya seni yang satu ini. Namun, ditengah kepopulerannya tersebut, ada yang terang-terangan mengatakan bahwa film adalah “penemuan setan yang menjerumuskan orang ke neraka.” Orang-orang seperti ini tentu akan selalu menjauhkan diri bahkan berusaha untuk melenyapkan film. Layaknya seperti dua mata logam berbeda, maka ada pula yang secara gamblang menyebutkan bahwa “film merupakan karunia Tuhan.” Berbeda dengan sebelumnya, golongan ini justru mengakui bahwa film adalah penemuan yang paling hebat dalam sejarah manusia. Dari perbedaan pandangan ini, maka dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa yang paling penting dan positif ialah mengambil manfaat yang sebesarbesarnya dari film dengan mengeksploitir segi-seginya yang positif dan mengabaikan segi-seginya yang negatif, karena kita berada dalam posisi memilih dan menentukan.4
4
Siagiana, Gayus. Menilai Film. Jakarta : Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). 2006. Hal 3
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
16
Segala hal yang ada dimuka bumi ini sudah tentu memiliki sisi positif dan sisi negatif. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, sisi mana yang akan kita terima dan kita ikuti? Semua keputusan ada ditangan kita, tinggal bagaimana kita bersikap bijak dengan diri kita sendiri. Pun halnya dengan film, semua film punya sisi positif dan negatif, namun kita punya keteguhan hati dan pikiran yang dapat memilih yang terbaik untuk diri kita. II. Film sebagai Karya Seni dan Barang Dagangan Bicara film sebagai karya seni, maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan sebuah nilai estetika yang terkandung didalamnya. Karya seni berupa film memanglah berbeda dengan karya seni lainnya. Di film, kita dapat menemukan banyak sekali kombinasi seni-seni lainnya yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan utuh dan sangat berkesinambungan. Disamping material film, cineast pun memerlukan bantuan-bantuan pihak lain seperti cameramen, editor, komponis, pemain, perias wajah dan lain-lain. Keahlian pembantu-pembantu ini turut menentukan mutu karyanya dan oleh sebab itu bagian ini memerlukan penilaian tersendiri. Melihat peluang bisnis dibidang film terbuka lebar, maka fungsi film dapat berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi saat itu. Konten yang terdapat pada film pun tidaklah mempertimbangkan aspek seninya, namun lebih menitik beratkan genre apa yang sedang diminati khalayak. Hal ini sesuai dengan semboyan orang berdagang, yakni de klant is koning (langgan adalah raja).
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
17
Karena berpegangan dengan simbol tersebut, maka produksi film akan sangat memperhatikan minat pasar (khalayak) terhadap cerita / genre yang sedang digemari, bukan lagi soal seni yang terkandung dalam film tersebut. Hal ini sengaja dilakukan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi pembuat karya film. III. Film sebagai Suatu Kebutuhan Seiring dengan perkembangan film, maka muncullah berbagai cerita yang ditawarkan oleh pembuat film itu sendiri kepada khalayaknya. Cerita yang menjadi kekuatan dalam film tak jarang mengundang decak kagum. Pasalnya, cerita yang umum bahkan cerita yang diluar akal manusia, dapat tampil dilayar bioskop. Kenyataan ini pun senada dengan pernyataan Ehrenburg yang menyebutkan bahwa bioskop merupakan “pabrik impian”. Karena itu, kehadiran film kini tidak hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai kebutuhan. IV. Film Untuk Pendidikan Apabila sebuah propaganda telah berhasil dijalankan pada saat Perang Dunia I, maka sudah sewajarnya bila film dijadikan media dalam dunia pendidikan. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, 70 tahun lebih sudah berlalu, namun untuk sistem pendidikan di Indonesia belumlah kuat. Selama ini, anak-anak di Indonesia, selalu dijejali oleh metode pembelajaran lisan dan tertulis. Padahal, pemerintah bisa saja memanfaatkan film sebagai media untuk belajar yang lebih menyenangkan bagi anak-anak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
18
V. Film sebagai Hiburan Apabila kita tinggal di kota-kota besar, maka sudah tidak asing lagi dengan keberadaan film. Film bukanlah lagi barang langka yang sulit untuk ditemui, bahkan tak jarang orang-orang yang tinggal di kota besar ini ikut membuat film itu sendiri. Kesibukan yang padat di hari Senin hingga Jumat membuat orangorang mencari kesibukan di hari Sabtu dan Minggu untuk me-refresh otak dan pikiran mereka dengan bertamasya. Bagi penduduk yang tinggal di kota besar khususnya Jakarta, mungkin bisa memilih Puncak, Bogor, ataupun Bandung untuk tempat mereka bertamasya. Selain menawarkan tempat wisata yang banyak, disana pun menawarkan udara sejuk yang jarang ditemui di kota besar. Namun, apabila ingin pergi kesana, kita juga perlu mempertimbangkan waktu tempuh dalam perjalanan. Pasalnya, kota-kota kecil sekitar Jakarta pun punya intensitas macet yang tinggi, sehingga kita perlu bersabar untuk sampai disana. Jadi konsidinya tidak jauh berbeda dengan di kota Jakarta sendiri.
Apabila sudah seperti ini, kita tidak perlu khawatir. Di kota Jakarta pun masih banyak tempat wisata alternatif yang bisa untuk jadi pilihan, seperti Mall. Di Jakarta saja terdapat 74 mall yang tersebar di Jakarta bagian Barat, Selatan, Timur, Utara dan Pusat.5
5
Wiyanti, Sri (2013, 31 Maret). Ada 240 mal dan pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia. Merdeka.com (on-line). Diakses pada tanggal 12 Desember 2016 dari http://www.merdeka.com/uang/ada-240-mal-dan-pusat-perbelanjaan-di-seluruh-indonesia.html
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
19
Bagi orang-orang yang tinggal di Jakarta dan ingin berlibur tapi tidak mau kerepotan dengan permasalahan akomodasi dan lain-lain, dapat mengunjungi mall untuk menonton film. Tak tanggung-tanggung, setiap minggu pasti selalu ada film baru yang bermunculan di bioskop baik itu film produksi dalam negeri atau pun luar negeri. Menonton film menjadi satu aktivitas yang sangat simpel, murah dan juga punya dampak yang baik bagi mengisi waktu luang ditengah padanya aktivitas kita selama satu minggu belakangan. Untuk jenisnya sendiri bermacam-macam, mulai dari drama romantik, komedi hingga horor dapat kita pilih untuk tontonan kita selama kurang lebih 90 menit lamanya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
20
2.3 Film Dokumenter Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere Bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata, dokumenter kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat bahwa dokumenter merupakan cara kreatif mempresentasikan realitas. Sekalipun Grierson mendapat tantangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan hingga saat ini. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai tujuan. Film Dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan prpoganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin. Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Bahkan sekarang cukup banyak stasiun televisi yang menayangkan film-film dokumenter seperti National eographic, Discovery Channel, dan Animal Planet. Selain untuk konsumsi televisi, film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam dan di luar negeri, seperti Eagle Awards di Metro Tv.6
6
Panca Javandalasta. 5 Hari Mahir Bikin Film hal 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
21
2.3.1 Pandangan Ahli Mengenai Definisi Film Dokumenter John Grierson adalah orang pertama yang menggunakan istilah dokumenter pada saat mengkritik film-film karya Robert Flaherty di New York Sun pada 8 Februari 1926. Dari situlah, kemudian muncul berbagai konsep mengenai film dokumenter menurut para ahli. Misalnya saja menurut Timothy Corrigan, menurutnya dokumenter adalah sebuah film nonfiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, sering kali mengabaikan struktur naratif yang tradisional.7 Disamping itu, Ira Konigsberg menjelaskan bahwa dokumenter adalah sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan nonfiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.8 Sedangkan definisi film dokumenter menurut Gerald Mast dan Bruce F. Kawn, menekankan dokumenter sebuah film nonfiksi yang menata unsur-unsur faktual dan menyajikannya, dengan tujuan tertentu.9
2.4 Teknik Penyutradaraan 7
Corrigan, Timothy. A Short Guide to Writing About Film, edisi ke-4. New Jersey : Pearson Education. 2007. Hal 206 8 Konigsberg, Ira. The Complete Film Dictionary, edisi ke-2. Penguin Paperbacks. 1998. Hal 103 9 Mast, Gerald, & Bruce F. Kawn. A Short History of The Movies, edisi ke-7. Longman. 2005. Hal 64
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
22
Produksi film dokumenter yang sangat mengutamakan fakta dan realita, bukan berarti tanpa ada rancangan. Sebuah rancangan mulai dari pra produksi, produksi hingga paska produksi sudah pasti harus dilakukan. Pasalnya, film dokumenter pun perlu memiliki alur yang jelas dan gambar yang baik. Oleh sebab itu, perancanga perlu dibuat. Yang membuat perancangan sendiri adalah seorang sutradara. Bila ditinjau dari Kamu Besar Bahasa Indonesia Online10, definisi sutradara ialah orang yang memberi pengarahan dan bertanggung jawab atas masalah artistik dan teknis dalam pementasan drama, pembuatan film, dan sebagainya. Sutradara mencoba membuat ide apa yang akan diproduksi menjadi sebuah karya film dokumenter. Kemudian, ia melakukan observasi atau riset secara langsung ke lapangan untuk memperoleh data. Tidak hanya datang langsung ke lokasi, sutradara pun perlu melakukan riset kepustakaan, wawancara dengan pihak terkait hingga menemukan satu karakter yang sesuai dengan ide yang akan diproduksi. Setelah menemukan ide, maka sang sutradara perlu memikirkan gambar apa yang sesuai denga cerita yang akan diangkat. Sutradara besar Indonesia pernah mengatakan bahwa membuat film bagaikan “menulis dengan gambar”. Oleh karena itu, seorang sutradara harus selalu berpikir lewat gambar.11 Terkait jumlah tim produksi, semakin sedikit kru yang terlibat, akan semakin efisien film 10
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa). Ebta Setiawan (online). Diakses pada tanggal 12 Desember 2016 pukul 15.46 WIB dari http://kbbi.web.id/sutradara 11 Nugroho, Fajar. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta : Penerbit Indonesia Cerdas. 2007. Hal 114
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
23
dokumenter yang dibuat. Hal ini karena, sutradara berperan dalam menciptakan point of view bagi karyanya dan berperan juga dalam menciptakan rasa nyaman bagi subyek filmnya. Pada kegiatan memproduksi film, seorang sutradara sudah pasti terlibat di semua tahap mulai dari pra produksi, produksi dan paska produksi. Bahkan, seorang sutradara ini sudah memiliki bayangan tentang seperti apa hasil jadinya dari film yang akan ia buat tersebut.
Kesabaran mengelola produksi, wawasan
luas tentang seluk beluk produksi, kejelian kontinyuitas, ketelitian sinkronisasi adalah beberapa kunci sukses diantaranya.12 2.4.2 Empat Konsentrasi Sutradara Sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada pembuatan film dokumenter, sudah pasti sutradara perlu memahami terlebih dahulu ide yang akan dibuat. Kemudian disusul dengan perancangan konsep yang matang. Konsep yang tidak matang sudah pasti berdampak buruk terhadap cerita yang dihasilkan. Perlu diingat bahwa film dokumenter tidaklah sama dengan film fiksi yang bisa dengan mudah kita arahkan ceritanya. Pada film dokumenter, kita perlu membatasi halhal apa saja yang kita butuhkan atau kita anggap perlu ada pada film dokumenter garapan kita. Selanjutnya, perlu juga diperhatikan untuk perbendaharaan gambar. Tidak disalahkan apabila sutradara meminta untuk memberikan gambar-gambar cantik
12
Widagdo, M. Bayu dan Winastwan Gora. Bikin Sendiri Film Kamu. Yogyakarta : PD Anindya. 2004. Hal 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
24
pada film dokumenternya. Gambar-gambar cantik tersebut sudah pasti menambah nilai estetika pada film dokumenter yang cenderung monoton. Tambahan gambar cantik ini sudah tentu memberi warna baru dan membangkitkan penonton agar tidak jenuh. Kemudian prnambahan gambar cantik ini pun sebagai pembeda bahwa film dokumenter tidaklah sama dengan film berita yang mempunyai gambar yang cenderung monoton. Agar lebih lengkap lagi, berikut adalah empat hal yang perlu menjadi sutradara dalam memproduksi film dokumenter .
1. Pendekatan Untuk jenis film dokumenter sendiri, terdapat dua pendekatan yang dapat dipilih, yakni esai atau naratif. Keduanya memiliki perbedaan yang spesifik dan menuntut daya kreatif tinggi sutradara. Pendekatan esai dapat dengan luas mencangkup isi peristiwa yang dapat diketengahkan secara kronologis atau tematis. Namun, menahan perhatian penonton untuk tetap menyaksikan sebuah pemaparan esai selama itu mungkin cukup berat, mengingat umumnya penonton lebih suka menikmati pemaparan naratif.
Sedangkan pendekatan naratif mungkin dapat dilakukan dengan konstruksi konvensional tiga babak penuturan. Pada bagian awal dapat dijabarkan tentang perkenalan sebuah konflik yang terjadi untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
25
merangsang rasa ingin tahu penonton. Kemudian pada bagian kedua dapat dipaparkan tentang tokoh-tokoh yang terlibat hingga klimaks dari konflik yang terjadi. Sedangkan pada bagian akhir, dapat ditampilkan dampak-dampak apa saja yang terjadi paska konflik tersebut dan bisa juga ditampilkan nilai-nilai moral yang dapat diambil oleh penonton. 2. Gaya Pada pembuatan film dokumenter sendiri, ada beberapa gaya yang dapat digunakan sesuai dengan kreativitas sang dokumenteris. Namun, ranah sosial sendiri selalu terbuka dengan perkembangan-perkembangan yang ada. Dalam gaya, ada tipe pemaparan eksposisi (expository documentary), (interactive
observasi
(observational
documentary),
refleksi
documentary),
(reflexive
interaktif
documentary),
dan
performatif (performative documentary). A. Eksposisi (expository documentary) adalah tipe pemaparan yang terhitung konvensional, umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi yang menggunakan narator sebagai penutur tunggal atau bisa disebut dengan Voice Of God. B. Observasi
(observational
documentary)
adalah
tipe
pemaparan yang hampir tidak menggunakan narator.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
26
Konsentrasinya pada dialog antar subjek, sedangkan sutradara menempatkan dirinya sebagai observator. C. Interaktif (interactive documentary) adalah tipe pemaparan yang dimana sutradara yang berperan aktif dalam filmnya. Komunikasi sang sutradara dengan subjeknya sengaja ditampilkan
(in
frame).
Tujuannya
sendiri
untuk
memperlihatkan adanya interaksi langsung antara sutradara dengan subjek. Jadi pada tipe ini, tidak hanya menampilkan kegiatan wawancara, namun sekaligus memperlihatkan bagaimana wawancara itu dilakukan. Sedangkan sutradara memosisikan diri sebagai partisipan. D. Refleksi (reflexive documentary) adalah tipe pemaparan yang sangat jarang ditemui. Gaya refleksi sendiri berbeda jauh dengan gaya interaktif, karena yang menjadi fokus utama adalah penuturan proses pembuatan syuting film ketimbang menampilkan keberadaan subjek atau karakter dalam film itu sendiri. E. Performatif
(performative
documentary)
adalah
tipe
pemaparan yang yang hampir mendekati film fiksi. Pasalnya pada film jenis ini sangat memperhatikan kemasan yang harus semenarik mungkin. Bila umumnya dokumenter tidak mementingkan alur penuturan atau plot, dalam gaya performatif malah lebih
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
27
diperhatikan. Sebagai pendapat mengategorikanya sebagai film semi-dokumenter. 3. Bentuk Prinsipnya setelah mendapatkan hasil riset, kita sudah dapat menggambarkan secara kasar bentuk penuturan yang akan dipakai. Dengan menentukan sejak awal bentuk yang akan dipilih sebagai kemasannya, selanjutnya pendekatan, gaya dan struktur akan mengikuti ide dari bentuk tersebut. Bentuk pun tidak harus berdiri sendiri secara baku, karena sebuah tema dapat merupakan gabungan dari dua bentuk penuturan. 4. Struktur Struktur merupakan kerangka rancangan untuk menyatukan berbagai anasir film sesuai dengan yang menjadi ide penulis atau sutradara. Struktur film memiliki makna estetika, psikologis, dan bahasa visual (sinematografi) yang lebih luas lagi. Harus diakui bahwa struktur lebih dipentingkan oleh film fiksi daripada film dokumenter, tapi seni tanpa struktur akan mengalami kekeringan estetika.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z