BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis. Perubahan ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika perubahan masyarakat berhenti maka berhenti pula kehidupan. Masyarakat yang mau menerima perubahan adalah masyarakat yang mau berkembang hidupnya artinya manusia tidak ingin berada pada suatu titik saja. Mengubah pola pikir seseorang atau kelompok dapat mengubah kehidupan manusia. Dalam hal perkembangan manusia, masyarakat tidak akan bisa berkembang apabila masyarakat tidak mengubah pola pikir mereka. Perkembangan masyarakat bersifat gradual atau bertahap, berjalan langkah demi langkah. Menurut Comte dalam
Maliki (2012 : 60) bahwa
perkembangan manusia berlangsung dalam 3 tahap diantaranya adalah teologis, metafisik, dan positivis. 2.1.1. Tahap Metafisik Menurut Comte dalam Maliki (2012 : 62) bahwa dalam tahap ini masyarakat percaya pada kekuatan abstrak dan bukan pada kekuatan yang meniru gambaran Tuhan (Personifikasi) sebagai sumber kekuatan atau realitas sosial. Dalam tahap ini bahwa sumber kekuatan dunia ini bersumber dari hasil spekulasi manusia dengan menggunakan akal budi yang mereka miliki, sehingga diperoleh pengertianpengertian metafisis. Prinsip-prinsip tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Tahap ini sebenarnya disebut tahap transisi, yaitu tahap peralihan dari teologi menjadi metafisis. Didalam tahap ini manusia hanya
Universitas Sumatera Utara
bisa berspekulasi atau berfikir abstraksi. Masyarakat dalam tahap ini belum bisa membuktikan (berfikir empiris) tentang apa yang mereka pikirkan. Dalam tahap ini kepercayaan kepada hal-hal yang bersifat abstrak dan spekulasi masih berkembang dalam kehidupan sehari-hari dikalangan sebagian besar masyarakat. Kepercayaan pada hal-hal yang bersifat spekulatif ini berkembang pada negara-negara yang belum modern, sebab mereka hanya memiliki akal budi untuk menyatakan suatu realitas sosial yang terjadi dan tidak memiliki kemampuan mencari suatu kebenaran.
2.2. Tindakan Sosial Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didasarkan pada perhitungan cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan. Menurut Weber dalam Santosa (2011: 212) bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu yang tidak dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Dilain pihak Weber dalam Sunarto (2000 : 14) menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Weber dalam Idianto (2002 :35) menyatakan bahwa tindakan sosial dibagi kedalam empat tindakan yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan tradional, dan tindakan afektif.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Tindakan Tradisional Menurut Weber dalam Sunarto (2000 : 16) tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. 2.3. Kearifan Lokal Dalam jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia ( 2011) menyatakan bahwa Kearifan lokal adalah sesuatu yang berkaitan dengan tradisi dan menggambarkan cara-cara hidup masyarakat tertentu yang memiliki nilai-nilai tradisi atau ciri-ciri lokalitas yang mempunyai daya guna untuk mencapai harapan atau nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat yaitu kebahagian dan kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal ini salah satu bentuk kearifan yang dilakukan oleh manusia untuk menjaga lingkungannya disuatu tempat atau daerah. Kearifan lokal ini tidak hanya diketahui, tetapi kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan, dan diwariskan dari generasi kegenerasi sekaligus untuk membentuk perilaku terhadap sesama manusia, alam, maupun gaib. Kearifan lokal dapat dikatakan sebuah religi (kepercayaan) dimana masyarakat tidak hanya berhenti pada etika yang ada, tetapi masyarakat harus melaksanakan norma yang berlaku dalam konteks kehidupan sehari- hari. Kearifan lokal sebagai sebuah strategi
masyarakat
untuk
menjaga
kelestarian
lingkungan
supaya
terjadi
keseimbangan ekologis dari bencana dan keteledoran manusia. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
Universitas Sumatera Utara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup meskipun bernilai lokal, tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal Menurut Haba dalam (Irwan Abdullah, 2008) kearifan lokal merupakan bagian dari kontruksi budaya. Kearifan lokal Ini merupakan kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu menguatkan kohesi sosial diantara warga masyarakat. Kearifan lokal memiliki 6 fungsi yang dapat digunakan sebagai alat ketika masyarakat mengalami masalah antara lain : 1. Sebagai alat untuk menunjukkan identitas suatu masyarakat atau komunitas masyarakat. 2. Sebagai perekat (aspek kohesi) lintas warga, lintas agama, Dan kepercayaan. 3. Kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dalam hidup masyarakat. 4. Kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. 5. Kearifan lokal akan mngubah pola pikir masyarakat baik individu maupun kelompok sesuai dengan budaya yang mereka miliki. 6. Kerifan
lokal
berfungsi
mendorong
terbentuknya
kebersamaan,
penghargaan (apresiasi), solidaritas komunal, dan komunitas yang terintegrasi. Hal ini dapat diartikan bahwa pentingnya pendekatan yang berbasis nilai- nilai atau kearifan lokal, dimana sumber-sumber budaya dapat dijadikan sebagai alat untuk mempublikasikan identitas suatu kelompok masyarakat bagi kelangsungan hidup masyarakat tersebut maupun aliran kepercayaan suatu kelompok masyrakat. Masalah yang ada akan mampu diselesaikan secara arif tidak harus berdasarkan politik ataupun
Universitas Sumatera Utara
hukum. Agama dan kearifan lokal menunjukkan bagaimana nilai-nilai dan kearifan lokal berfungsi sebagai pendekatan baru dalam studi agama. Kearifan lokal juga dinilai mampu mempertegas fungsi identitas teologis suatu kepercayaan agama tertentu. 2.4. Nilai Dan Norma Budaya 2.4.1. Nilai Nilai adalah sesuatu yang abstrak yang mempunyai harga, mutu penting, dan berguna bagi seseorang atau kelompok sehingga, dijadikan oleh seseorang atau kelompok sebagai pedoman serta prinsip-prinsip mereka dalam
bertindak dalam
kehidupan sehari- hari. Menurut Koenjaranigrat (1987:85) bahwa nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. a. Nilai tradisional Menurut Swarsono (1989 : 50) bahwa negara dunia ketiga memiliki sistem nilai yang heterogen. Di Negara Dunia Ketiga dapat dijumpai nilai tradisional kebesaran yang memiliki para elit masyarakatnya dan sekaligus juga nilai tradisional kebanyakan dimiliki oleh masyarakat banyak. Lebih dari itu masyarakat Dunia Ketiga tidak hanya memiliki berbagai sistem nilai dan budaya yang amat bervariasi, tetapi lebih dari itu, sistem budaya mereka penuh dengan konflik dan ketidakstabilan yang mewujud dalam protes petani, pergerakan nasional, dan peran agama.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat tradisional juga terdapat nilai-nilai modern. Disaat yang sama juga menekankan pentingnya kebutuhan berprestasi. Dilain pihak, nilai-nilai tradisional juga dijumpai dan hadir dengan tegar ditengah-tengah masyarakat modern. Nilai-nilai khusus seperti usia, suku, jenis kelamin, tidak mungkin dapat dihilangkan sama sekali. Oleh karena itu, nilai tradisional dan nilai modern akan selalu hidup berdampingan. Nilai-nilai tradisional memang masih akan selalu hadir ditengah modernisasi yang terkadang nilai-nilai tradisional sangat membantu dalam upaya modernisasi. Menurut Swarsono dalam (1989 : 51) seperti yang dijelaskan dalam teori kelambatan budaya (Cultur lag theory) bahwa nilai tradisional akan masih tetap hidup untuk menjaga waktu yang panjang sekalipun faktor dan situasi awal yang menumbuhkan nilai tradisional itu telah tiada. Kaitan antara nilai tradisional dan nilai modernisasi tidak hanya merupakan kaitan sepihak. Disatu sisi modernisasi mempengaruhi hilangnya sebagian nilai-nilai tradisional, tetapi disisi lain nilai-nilai tradisional juga mempengaruhi modernisasi dan terbentuknya nilai -nilai modern.s 2.4.2. Norma Dalam organisasi masyarakat terdapat nilai, norma, dan pranata sosial. Norma ini yang mengatur anggota masyarakat untuk bertingkah laku yang kesemuanya berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Summer dalam Soekanto (1983: 167) bahwa dorongan-dorongan dasar yang ada pada seseorang menimbulkan uruturutan perilaku yang menjadi norma-norma yang melembaga di dalam suatu kelompok. Kebanyakan perilaku dibentuk oleh sistem normatif tersebut walaupun demikian, norma-norma berasal dari dorongan-dorongan dasar atau kebutuhankebutuhan dasar. Meskipun norma dan nilai yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dengan tingkat peradaban berbeda namun, dapat dipastikan tidak akan pernah semua
Universitas Sumatera Utara
anggotanya mengetahui sekaligus menyetujuinya karena tidak mungkin semua orang akan begitu saja berperilaku sesuai denga nilai dan norma yang berlaku. Kenyataan inilah yang menyebabkan ketidaksetaraan atau konflik ditengah masyarakat. Hakikat manusia sebagai individu dan mahluk sosial dalam banyak hal akan mendatangkan ketidakselarasan apabila tidak diatur dan diarahkan sebagaimana mestinya. Nilai dan norma saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, norma mengandung sanksi yang relatif tegas memaksa seseorang untuk bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Basrowi ( 2005 : 88) secara sosiologis ada empat bagian- bagian norma sosial untuk membedakan kekuatan dari masing- masing norma yaitu Cara (Usage), Kebiasaan (Folkways), Tata kelakuan (Mores), Adatistiadat (Custom). a. Norma kebiasaan Menurut Idianto (2004 : 112) norma kebiasaan
merupakan suatu bentuk
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama yang dilakukan dengan sadar dan mempunyai tujuan yang jelas, yang dianggap baik dan benar. Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara. Jika orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu yang dilakukan seseorang maka, bisa jadi ukuran dalam masyarakat untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Universitas Sumatera Utara