BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Hubungan manajer dengan pemegang saham di dalam agency theory digambarkan sebagai hubungan antara agent dan principal (Schroeder et al. 2001 dalam Yulius dan Josua, 2007). Manajer sebagai agent dan pemegang saham sebagai principal. Manajer harus mengambil keputusan bisnis terbaik untuk meningkatkan kekayaan pemegang saham. Namun demikian pemegang saham tidak dapat mengawasi semua keputusan dan aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Suatu ancaman bagi pemegang saham jika manajer akan bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan pemegang saham. Inilah yang menjadi masalah dasar dalam agency theory yaitu adanya konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi jika keputusan manajer hanya akan memaksimalkan kepentingannya dan tidak sejalan dengan kepentingan pemegang saham Keputusan dan aktivitas manajer yang memiliki saham perusahaan tentu akan berbeda dengan manajer yang murni sebagai manajer. Manajer yang memiliki saham perusahaan berarti manajer tersebut sekaigus adalah pemegang saham. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannnya dengan kepentingannya sebagai pemegang saham. Sementara manajer yang tidak memiliki saham perusahaan, ada kemungkinan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Kepemilikan saham perusahaan oleh manajer disebut dengan kepemilikan manajerial (Yulius dan Josua, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengawasi dan memonitor perilaku manajer, pemegang saham harus bersedia mengeluarkan biaya pengawasan yang disebut agency cost. Untuk mengurangi agency cost dapat dilakukan dengan meningkatkan kepemilikan manajerial. Dengan memberikan kesempatan manajer untuk terlibat dalam kepemilikan saham dengan tujuan untuk menyetarakan kepentingan dengan pemegang saham. Dengan keterlibatan kepemilikan saham, manajer akan bertindak secara hati-hati karena mereka ikut menanggung konsekuensi atas keputusan yang diambilnya. Selain itu dengan adanya keterlibatan kepemilikan saham, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengelola perusahaan. Agency cost juga dapat dikurangi dengan kepemilikan institusional dengan cara mengaktifkan pengawasan melalui investor-investor institusional. Dengan kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan terhadap kinerja manajerial (Sisca, 2008). Selain itu, Agency Cost juga dapat dikurangi melalui peningkatan hutang yang akan menurunkan konflik keagenan dan excess cash flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan pemborosan yang dilakukan oleh manajer ( Wahidahwati, 2002 dalam Yeniate dan Nicken, 2010). Dengan adanya hutang maka perusahaan harus melakukan pembayaran secara periodic terhadap bunga dan pinjaman pokoknya sehingga dapat mengurangi keinginan manajer untuk menggunakan free cash flow guna membiayai kegiatan- kegiatan yang tidak optimal (Jensen, 1986) yang dikutip Sisca (2008)
Universitas Sumatera Utara
A. Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial dan Free Cash Flow 1. Kepemilikan Institusional a. Menurut Mello dan Pearson dalam Etty Widyastuti (Balance, 2004), Kepemilikan Luar (Outsider Ownership Concentration) adalah persentase kepemilikan pihak luar (non manajemen) atas saham perusahaan (Priyo Widodo, 2010). b. Menurut Wahidahwati (2001) dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IV, Institutional Ownership yaitu proporsi saham yang dimiliki institusional pada akhir tahun yang diukur dalam persentase (%) Jensen dan Meckling (1976) yang dikutip Sisca (2008) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Menurut Tarjo (2008) dalam Wien (2010) kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal.
Universitas Sumatera Utara
Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Wien (2010) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain: 1) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi. 2) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
2.
Kepemilikan Manajerial a. Menurut Mello dan Pearson dalam Etty Widyastuti (Balance, 2004),
Kepemilikan Dalam (Insider Ownership Concentration) adalah persentase kepemilikan dewan direksi dan dewan komisaris atas saham perusahaan (Priyo Widodo, 2010). b. Menurut Agus Sartono (2004) dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Insider Ownership didefinisikan sebagai persentase suara yang berkaitan dengan saham dan option yang dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan. Secara matematik nilai Insider Ownership (IO) diperoleh dari persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh direksi dan komisaris (Priyo Widodo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
c. Menurut Wahidahwati (2001) dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IV, Manajerial Ownership adalah pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan Kepemilikan manajerial menunjukkan adanya peran ganda seorang manajer, yakni manajer bertindak juga sebagai pemegang saham. Sebagai seorang manajer sekaligus pemegang saham tidak ingin perusahaan dalam keadaan kesulitan keuangan bahkan mengalami kebankrutan. Keadaan ini akan merugikan baik sebagai manajer atau sebagai pemegang saham. Sebagai manajer akan kehilangan insentif dan sebagai pemegang saham akan kehilangan return ataupun dana yang diinvestasikannya (Diah, 2009). Menurut Sofiana (2009) dalam Diah (2009) peran struktur kepemilikan manajerial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: pendekatan keagenan (agency
approach)
dan
pendekatan
informasi
asimetri
atau
ketidakseimbangan informasi (asymmetric information approach). Dimana pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holder) terhadap perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Sedangkan menurut pendekatan kedua, informasi asimetri menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya kepemilikan saham oleh pihak insiders, maka insiders akan ikut memperoleh manfaat langsung atas keputusan-keputusan yang diambilnya, selain itu para manajer juga akan semakin hati-hati dalam menentukan hutang perusahaan karena mereka akan memeperoleh manfaat langsung dari keputusan yang mereka ambil serta akan menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Sehingga kebangkrutan perusahaan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemilik utama. Trisyanti (2009) dalam Diah (2009) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial itu sendiri dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan atau prosentase saham yang dimiliki oleh dewan direksi dan manajemen. Prosentase tersebut diperoleh dari banyaknya jumlah saham yang dimiliki oleh manajerial. Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih giat untuk kepentingan pemegang saham dimana pemegang saham adalah dirinya sendiri.
3.
Free Cash Flow Free cash flow merupakan kas lebih perusahaan yang dapat
didistribusikan kepada kreditor atau pemegang saham yang tidak diperlukan lagi untuk modal kerja atau investasi pada asset tetap (Ross et al, 2000) dalam Tarjo dan Jogiyanto (2003). Aliran kas bebas merupakan bagian arus kas perusahaan yang tidak diinvestasikan secara menguntungkan (Keown et al, 2000). Kas tersebut biasanya akan menimbulkan konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham.
Universitas Sumatera Utara
Konsep free cash flow (FCF) adalah perluasan dari konsep biaya keagenan ke dalam manajemen struktur modal dengan pengertian sebagai berikut. ”Arus kas bebas adalah arus kas lebih yang dibutuhkan untuk mendanai semua proyek yag memiliki nilai sekarang (NPV) positif saat diskonto dengn biaya modal yang relevan. ” (Jensen, 1986: 323). Penman (2001) mendefinisikan ” free cash flow sebagai kas dari laba operasi setelah menahan sebagian laba tersebut sebagai asset dan merupakan kas bersih yang dihasilkan dari operasi yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar klaim atas hutang dan ekuitasnya”. Arus kas bebas yang besar akan mengarah pada perilaku manajer yang salah dan keputusan yang buruk yang bukan demi kepentingan pemegang saham biasa perusahaan. Dengan kata lain, manajer memiliki kecenderungan untuk menggunakan
kelebihan
keuntungan
untuk
konsumsi
dan
perilaku
opportunistik yang lain karena mereka menerima manfaat yang penuh dari kegiatan tersebut tetapi kurang mau menanggung resiko dari biaya yang dikeluarkan. Ini mengarah pada yang disebut sebagai hipotesis kontrolnya untuk penciptaan maupun peningkatan hutang (Jensen, 1986). Cara mengatasi dugaan penggunaan free cash flow oleh manajer seperti yang diuraikan di atas, Jensen (1986) mengusulkan perlunya pembentukan hutang yab disebut ”control hypothesis”.
Dengan demikian, pemegang
saham perusahaan akan memiliki control yang meningkat atas tim manajemen mereka. Sebagai contoh, jika perusahaan mengeluarkan hutang baru dan menggunakan hasilnya untuk menarik saham yang beredar atau
Universitas Sumatera Utara
membayar deviden, manajemen diwajibkan untuk mengeluarkan uang kas untuk membayar bunga dan pokok atas hutang tersebut yang secara bersamaan mengurangi jumlah free cash flow (Isrina, 2006).
B. Kebijakan Hutang 1.
Defenisi Hutang Semua perusahaan baik kecil maupun perusahaan yang besar mempunyai
hutang.
Hutang adalah kewajiban suatu perusahaan yang timbul dari
transaksi pada waktu lalu dan harus dibayar dengan kas, barang, atau jasa di waktu yang akan datang (Jusup, 2001). Menurut Nurwahyudi dan Mardiyah (2004:
117) bahwa hutang adalah pengorbanan ekonomi yang harus
dilakukan perusahaan di masa yang akan datang karena tindakan atau transaksi sebelumnya. Pengorbanan ekonomi dapat berbentuk uang, aktiva, jasa-jasa atau dilakukannya pekerjaan tertentu.
Hutang mengakibatkan
adanya ikatan yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengklaim aktiva perusahaan.
2.
Klasifikasi Hutang Hutang dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu hutang lancar
dan hutang jangka panjang.
Hutang jangka pendek adalah kewajiban-
kewajiban yang penyelesaiannya harus dilakukan dengan penggunaan aktiva lancar atau pembentukan aktiva lainnya atau dapat diartikan pula sebagai kewajiban akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Hutang yang jatuh
Universitas Sumatera Utara
temponya lebih dari satu tahun diklasifikasikan sebagai hutang jangka panjang. Hutang lancar yang biasanya terdapat dalam perusahaan adalah : hutang dagang, hutang wesel, hutang biaya (hutang gaji, hutang bunga, hutang pajak penghasilan).
Hutang jangka panjang biasanya terdiri dari
hutang obligasi, hutang bank, dan hutang sewa jangka panjang. Pendanaan perusahaan pada dasarnya terdapat dua sumber, yaitu berasal dari pemilik dan kreditur. Umumnya kebutuhan dana untuk tujuan jangka pendek didanai oleh sumber-sumber jangka pendek (hutang dagang, wesel bayar jangka pendek atau pinjaman bank jangka pendek). Kebutuhan dana yang bersifat permanen didanai dengan sumber-sumber jangka panjang (obligasi, hutang bank, hutang sewa jangka panjang).
3.
Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang Faktor- faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang adalah sebagai
berikut : a.
Kepemilikan Institusional Kepemilikan institutional merupakan persentase kepemilikan saham oleh
investor-investor institutional seperti perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi maupun berupa kepemilikan lembaga dan perusahaan-perusahaan lain. Dengan peningkatan mekanisme pengawasan dalam perusahaan yaitu dengan mengaktifkan monitoring melalui investor-investor institutional dapat mengurangi agency cost.
Dengan adanya kepemilikan institutional akan
mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja
Universitas Sumatera Utara
manajemen.
Semakin tinggi kepemilikan institusional maka diharapkan
semakin kuat kontrol internal terhadap perusahaan dimana akan dapat mengurangi agency cost pada perusahaan. Adanya kontrol ini akan membuat manajer menggunakan hutang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya financial distress dan kebangkrutan perusahaan. b.
Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan persentase kepemilikan saham oleh
pihak manajerial.
Kepemilikan manajerial akan dapat mensejajarkan
kepentingan manajemen dan pemegang saham sehingga manajer akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dengan benar dan merasakan kerugian jika keputusan yang diambil salah terutama pada pengambilan keputusan mengenai hutang. c.
Kebijakan Pengambilan Resiko Pada kondisi risiko tinggi manajer memilih proyek berisiko tinggi dengan
tujuan mendapat return tinggi.
Pengurangan risiko dilakukan dengan
menggunakan pendanaan hutang dari pihak kreditur. Namun penggunaan hutang pada tingkat risiko tinggi dapat mengurangi biaya keagenan ekuitas namun memicu biaya keagenan hutang. d.
Kebijakan Dividen Kebijakan dividen merupakan bagian yang menyatu dengan keputusan
pendanaan perusahaan. Dividen mempengaruhi hutang dengan hubungan yang positif. Perusahaan yang membagikan dividennya dalam jumlah besar memerlukan tambahan dana melalui hutang untuk membiayai investasinya.
Universitas Sumatera Utara
4.
Teori Kebijakan Hutang a.
Agency Theory Agency theory menyebutkan bahwa sebagai agen dari pemegang
saham, manajer tidak selalu bertindak demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu, diperlukan biaya pengawasan yang dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap pengambilan keputusan oleh manajemen. Kegiatan pengawasan yang dilakukan memerlukan biaya keagenan. Biaya keagenan digunakan untuk mengontrol semua aktivitas yang dilakukan manajer sehingga manajer dapat bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual antara kreditor dan pemegang saham (Diah, 2009). Menurut Horne dan Wachowicz (2007) dalam Diah (2009) salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, biaya yang timbul pasti menjadi tanggungan pemegang saham. b. Signaling Theory Isyarat atau signal menurut (Brigham dan Houston, 2001) adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan
Universitas Sumatera Utara
hutang yang melebihi target struktur modal yang normal. Sedangkan, perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. c.
Static Trade Off Theory Static trade off berasumsi bahwa struktur modal suatu perusahaan
ditentukan dengan mempertimbangkan manfaat pengurangan pajak ketika hutang meningkat di satu sisi dan meningkatnya agency cost (biaya agensi) ketika hutang meningkat pada sisi yang lain. Ketika manfaat pengurangan pajak masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan agency cost maka perusahaan masih bisa meningkatkan hutangnya dan peningkatan hutang harus dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan hutang tersebut sudah lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost. Model Static Trade off
ini merupakan evolusi atau pengembangan dari teori
irrelevance-nya Modigliani dan Miller dan saat ini merupakan mainstream dari teori struktur modal (Diah, 2009).
d. Pecking Order Theory Secara singkat teori ini menyatakan bahwa : (a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan), (b) Apabila pendanaan dari luar (eksternal financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan (Diah, 2009).
Universitas Sumatera Utara
C. Hubungan Kepemilikan Institusional dan Kebijakan Hutang Menurut Crutchley et al (1999), pengaruh kebijakan hutang terhadap kepemilikan institusional adalah positif. Kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak debtholders. Karena monitoring dalam perusahaan yang ketat tadi menyebabkan manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan debtholders dan shareholders, sehingga kondisi ini akan menarik masuknya kepemilikan institusional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahidahwati (2001) menunjukkan bahwa kehadiran kepemilikan institutional pada industri manufaktur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan. Hal ini konsisten dengan Moh’d et al (1998) bahwa para investor institutional pada industri manufaktur yang terdaftar di BEJ sadar bahwa keberadaan mereka dapat memonitor perilaku manajer perusahaan secara efektif sehingga pihak manajemen akan bekerja untuk kepentingan para pemegang saham. Adanya monitoring yang efektif oleh investor institutional menyebabkan penggunaan hutang untuk pendanaan menurun sehingga mengurangi biaya agensi hutang. Namun penelitian Faisal (2000) dalam Ramadhan (2009) menunjukkan hasil yang berbeda bahwa kepemilikan institutional berhubungan negatif dengan kebijakan hutang perusahaan.
D. Hubungan Kepemilikan Manajerial dan Kebijakan Hutang Kepemilikan manajerial dengan hutang memiliki hubungan timbal balik, berarti peningkatan persentase kepemilikan manajerial akan mengurangi penggunaan hutang dan sebaliknya penurunan kepemilikan manajerial akan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan penggunaan hutang. Penggunaan hutang pada tingkat tinggi menyebabkan beban perusahaan semakin tinggi menyebabkan risiko perusahaan semakin tinggi sehingga manajerial mengurangi kepemilikan saham untuk memperkecil risiko (Diah, 2009). Kontras dengan pernyataan diatas, Fitri dan Mamduh (2003) dalam Ramadhan menyatakan adanya pengaruh positif. Pernyataan ini berdasarkan pada asumsi bahwa penggunaan hutang akan mengurangi kebutuhan penerbitan saham baru sehingga meningkatkan proporsi kepemilikan manajerial.
E. Hubungan Free Cash Flow dan Kebijakan Hutang Dengan adanya hutang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow yang berlebihan oleh manajer (Aryadi, 2009). Selain itu pemegang saham juga akan menikmati kontrol yang lebih atas tim manajemennya misalnya, jika perusahaan menerbitkan hutang baru dan menggunakan hasilnya untuk membeli kembali saham biasa yang terhutang maka manajemen wajib membayar tunai untuk menutupi hutang ini, secara simultan mengurangi jumlah arus kas yang ada pada manajemen untuk dipermainkan. Dengan adanya hutang ini, manajemen akan bekerja lebih efisien agar tidak terjadi kegagalan keuangan sehingga akan mengurangi biaya agensi arus kas bebas. Hal ini sesuai dengan teori arus kas bebas struktur modal (Keown et al, 2000). Perusahaan yang mempunyai IOS rendah dalam hubungannya dengan free cash flow yang tinggi akan meningkatkan hutang. Hal ini berarti bahwa perusahaan tidak mempunyai kesempatan untuk bertumbuh sehingga manajer sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berinvestasi. Manajer cenderung akan
Universitas Sumatera Utara
berperilaku opportunistik dengan tujuan untuk memuaskan kepentingan pribadinya. Dengan meningkatkan hutang maka manajer harus menyisihkan dana yang lebih besar untuk membayar bunga dan pinjaman pokoknya secara periodik sehingga dana yang tersisa menjadi kecil. Hal ini dapat mengurangi kontrol manajer terhadap aliran kas perusahaan (Isrina, 2006).
F. Teori Keagenan Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi principal (Jensen dan Meckling, 1976) yang dikutip Wahyuning (2007). Teori agensi terfokus pada dua individu, yaitu principal dan agent. Principal adalah pemegang saham dan agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Tarjo (2002) dalam Aryadi (2009) menjelaskan bahwa kepentingan manajemen sering kali bertentangan dengan kepentingan pemegang saham, sehingga sering terjadi konflik di antaranya Konflik tersebut terjadi karena manajer cenderung berusaha mengutamakan kepentingan pribadi.
Pemegang
saham sering kali tidak menyukai kepentingan pribadi manajer, karena hal tersebut akan manambah cost bagi perusahaan sehingga menurunkan keuntungan yang diterima. Akibat dari perbedaan kepentingan itulah maka terjadi konflik yang biasa disebut konflik agensi. Berbagai konflik kepentingan dalam perusahaan baik antara manajer dengan pemegang saham, manajer dengan kreditur atau antar pemegang saham, kreditur
Universitas Sumatera Utara
dan manajer disebabkan adanya hubungan keagenan atau agency relationship. Pihak prinsipal dapat membatasi perbedaan kepentingannya dengan memberikan tingkat insentif yang layak kepada agen dan harus bersedia mengeluarkan biaya pengawasan atau monitoring cost untuk mencegah penyimpangan (hazard) dari agen. Hal tersebut dinamakan dengan biaya keagenan atau agency cost (Hendriksen, 2000: 221). Secara umum tidak mungkin bagi prinsipal atau agen, pada tingkat biaya sebesar nol, dapat menjamin bahwa agen akan membuat keputusan optimal dari sudut pandang prinsipal. Pada suatu perusahaan, konflik kepentingan ini terjadi antara manajemen dan pemegang saham atau stock holders. Konflik kepentingan tersebut dapat timbul dari adanya kelebihan aliran kas atau excess cash flow. Kelebihan arus kas cenderung akan diinvestasikan melebihi tingkat yang optimum dan sering digunakan untuk konsumsi secara berlebihan yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama perusahaan atau excessive perquisites. Konflik tersebut juga dapat disebabkan perbedaan antara pemegang saham yang lebih menyukai investasi yang berisiko tinggi dengan harapan memperoleh return yang tinggi, sementara manajemen lebih memilih investasi dengan resiko lebih rendah untuk melindungi posisinya (Keown, 2000: 609)
G. Cara-cara Mengatasi Konflik Agensi Ada beberapa alternatif untuk mengurangi konflik kepentingan dan biaya keagenan atau agency cost :
Universitas Sumatera Utara
1.
Meningkatkan kepemilikan dari dalam (insider ownership) atau kepemilikan
manajerial, menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Imanda dan Nasir (2006). 2.
Dengan menggunakan kebijakan hutang. Easterbrook (1984) dalam Imanda
dan nasir (2006) berargumen bahwa pemegang saham akan melakukan monitoring terhadap manajemen namun bila biaya monitoring terssebut terlalu tinggi maka mereka akan menggunakan pihak ketiga untuk membantu mereka melakukan monitoring. 3.
Melalui peningkatan Divident Payout Ratio (DPR) atau rasio terhadap laba
bersih. Crutchley dan Hansen (1989) menyatakan bahwa pembayaran dividen akan menjadi alat monitoring sekaligus bonding bagi manajemen. 4.
Dengan cara mengaktifkan monitoring
melalui investor- investor
institusional. Adanya kepemilikan oleh institusional investor akan mendorong pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen (Imanda dan Nasir, 2006) Konflik agensi antara pemilik dengan manajer menurut Mardiyah (2002) dalam Shelly (2009) dapat diatasi dengan beberapa cara : pemilik menempatkan fungsi monitoring/pemantauan yaitu dengan penyusunan laporan keuangan periodik untuk kepentingan pemilik, dan menempatkan fungsi auditing yang bersifat independen dalam menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan perusahaan. Menurut Irfan (2002) dalam Shelly (2009), ada beberapa mekanisme yang dapat digunakan untuk memotivasi para manajer agar mereka bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham, diantaranya adalah : a. ancaman pemecatan; b. ancaman pengambilalihan (takeover); dan c. kompensasi manajerial. Alternatif yang pertama pemecahan mungkin sulit dilakukan dalam sebuah perusahaan yang telah benar-benar go public dan tidak ada pemegang saham yang
Universitas Sumatera Utara
mayoritas. Namun dalam kondisi yang sebaliknya (ada pemegang saham yang mayoritas) maka mekanisme bisa dijalankan. Biasanya perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki struktur seperti kondisi yang kedua. Alternatif yang kedua yaitu takeover juga merupakan motivasi bagi manajer. Oleh karena itu, jika sampai terjadi pengambilalihan perusahaan oleh pihak lain karena kinerjanya yang buruk maka mungkin sekali ia tidak dipakai oleh pemilik baru di perusahaan tersebut dan sebaliknya jika masih dipakai oleh pemilik baru, kewenangannya mungkin akan jauh berkurang atau tidak lagi seperti sebelumnya. Namun pada sisi lain manajer dimungkinkan juga melakukan strategi perlawanan dengan melakukan taktik poison pill atau greenmail. Poison pill adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen untuk membuat sebuah perusahaan menjadi tidak menarik bagi calon pembeli sehingga terhindar dari pengambilalihan. Greenmail adalah
situasi
dimana
perusahaan
dengan
maksud
untuk
mencegah
pengambilalihan membeli kembali saham dari pihak penyerangnya dengan harga di atas harga pasar. Alternatif yang ketiga sebagai sarana untuk mengendalikan manajemen dapat dijalankan dengan melakukan suatu paket kompensasi berupa program exsecutive stock option, yaitu penawaran insetif yang memungkinkan para manajer untuk membeli saham perusahaan pada waktu tertentu di masa yang akan datang dengan harga tertentu atau bisa juga dalam bentuk alternatif lainnya, yaitu performance share, dimana manajer diberi imbalan berupa saham atau imbalan lainnya berdasarkan kinerja perusahaan pada suatu waktu tertentu.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu tersebut dapat diuraikan melalui tabel berikut : Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No .
Nama Peneliti
Judul Penelitian
1.
Isrina Damayanti (2006)
Analisa Pengaruh Free Cash Flow dan Struktur Kepemilikan Saham terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Manaufaktur di Indonesia
2.
Variabel Penelitian
Hasil penelitian
Variabel independen Free cash flow dan struktur kepemilikan saham Variabel dependen Kebijakan hutang, growth, risiko dan kemampulabaan Imanda dan Analisis Persamaan Kepemilikan Moh. Nasir Simultan Manajerial, (2006) Kepemilikan Kepemilikan Manajerial, Institusional, Kepemilikan Risiko, Kebijakan Institusional, Hutang dan Risiko, Kebijakan Kebijakan Hutang dan Dividen Kebijakan Dividen dalam Perspektif Teori Keagenan
Free cash flow berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang, tetapi kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara signifikan kepemilikan manajerial secara statistik berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang, kepemilikan institusional secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang, Free cash flow (FCF) secara statistik berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang
Universitas Sumatera Utara
3.
Wahyuning Kurniati (2007)
Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan ( Studi Pada Perusahaan Textile/Garments di Bursa Efek Jakarta )
4.
Shelly (2009)
Pengaruh Free Cash Flow terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Food and Beverages di BEI
5.
Yeniatie dan Nicken (2010)
FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang pada Perusahaan Non-Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Variabel independen Kepemilikan saham oleh pihak manajemen dan institusional ownership Variabel dependen Penggunaan hutang perusahaan Variabel independen adalah Free Cash flow. Sedangkan Variabel dependen adalah Kebijakan Hutang
kepemilikan saham oleh manajemen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang, sedangkan kepemilikan saham oleh institusi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang
Variabel Independen adalah Kepemilikan institusional, struktur aset, profitabilitas, pertumbuhan perusahaan, kepemilikan manajerial, kebijakan deviden dan kebijakan resiko bisnis Variabel Dependen adalah Kebijakan Hutang
Kepemilikan institusional, struktur aset, profitabilitas perusahaan dan pertumbuhan perusahaan mempengaruhi kebijakan hutang, sedangkan kepemilikan manajerial, kebijakan deviden dan kebijakan resiko bisnis tidak mempengaruhi kebijakan hutang
Free Cash Flow tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan hutang.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 1.
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan sintesa atau ekstrapolasi dari tinjauan
teori dan penelitian terdahulu yang mencerminkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis, (Fakultas Ekonomi, 2004:13) Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dibuat kerangka konseptual sebagai berikut :
Kepemilikan Institusional ( X1) Kepemilikan Manajerial ( X2 ) Free Cash Flow ( X3 )
H1
H2
Kebijakan Hutang (Y)
H3
H4 Gambar 7.1 Kerangka Konseptual Dengan peningkatan mekanisme pengawasan dalam perusahaan yaitu dengan mengaktifkan monitoring melalui investor-investor institutional dapat mengurangi agency cost. Kepemilikan institutional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
Universitas Sumatera Utara
Semakin tinggi kepemilikan institusional maka diharapkan semakin kuat kontrol internal terhadap perusahaan dimana akan dapat mengurangi agency cost pada perusahaan.
Adanya kontrol ini akan membuat manajer
menggunakan hutang pada tingkat rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya financial distress dan kebangkrutan perusahaan (Shelly, 2009). Kepemilikan manajerial dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan atau presentasi saham yang dimiliki oleh komisaris, dewan direksi dan manajemen yang tercantum dalam daftar pemegang saham. Dengan meningkatkan kepemilikan manajerial maka akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga manajemen akan termotivasi meningkatkan kinerja perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi keputusan pencarian dana melalui hutang atau right issue. Peningkatan presentase kepemilikan manajerial akan mengurangi hutang dan sebaliknya dengan penurunan kepemilikan manajerial akan meningkatkan penggunaan hutang (Fenny, 2007). Free cash flow yang besar akan mengarah pada perilaku manajer yang salah dan keputusan yang buruk yang bukan untuk kepentingan pemegang saham. Perusahaan dengan free cash flow besar cenderung akan mempunyai level hutang yang tinggi untuk menurunkan agency cost khususnya ketika perusahaan mempunyai kesempatan investasinya rendah dan perusahaan dengan free cash flow rendah akan mempunyai level hutang rendah sebab tidak mengandalkan hutang sebagai mekanisme untuk menurunkan agency cost (Damayanti, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan hutang dipandang sebagai mekanisme internal control yang dapat mengurangi konflik keagenan antara manajemen dan para pemegang saham, khususnya biaya keagenan dan penggunaan free cash flow. Dengan adanya hutang maka dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow yang berlebihan oleh manajer. Mekanisme pengurangan masalah keagenan dapat dilakukan dengan cara menggunakan free cash flow untuk membayar deviden sehingga manajemen terpaksa mencari pendanaan dengan hutang. Pada perusahaan yang mempunyai investasi lebih besar dari laba operasi sehingga FCF-nya bernilai negatif maka dibutuhkan penanaman kas ke dalam operasi melalui penjualan financial assets atau dilakukan pinjaman/ hutang (Shelly, 2009).
2.
Hipotesis Penelitian Hipotesis
merupakan
jawaban
sementara
terhadap
rumusan
masalahpenelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk pertanyaan (Sugiyono, 2007). Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis yang diajukan dari penelitian ini adalah: a.
Kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang Kepemilikan institusional mewakili sumber kekuasaan yang akan
mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja perusahaan. Hal ini berarti semakin besar presentase saham yang dimiliki investor institusional akan menyebabkan usaha monitoring menjadi efektif
Universitas Sumatera Utara
karena dapat mengendalikan perilaku opportunistik yang dilakukan oleh para manajer. Tindakan monitoring tersebut akan mengurangi biaya keagenan karena memungkinkan perusahaan menggunakan tingkat hutang yang lebih rendah (Damayanti, 2006). Menurut Crutchley et al (1999), pengaruh kebijakan hutang terhadap kepemilikan institusional adalah positif. Kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak debtholder. Karena monitoring dalam perusahaan yang ketat tadi menyebabkan manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan debtholders dan shareholders, sehingga kondisi ini akan menarik masuknya kepemilikan institusional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahidahwati (2001) menunjukkan bahwa kehadiran kepemilikan institusional pada industri manufaktur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijkan hutang perusahaan. Hal ini konsisten dengan Moh’d et al (1998) dalam Isrina (2006) bahwa para investor institusional pada industri manufaktur sadar bahwa keberadaan mereka dapat memonitor perilaku manajer perusahaan secara efektif. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang membuktikan pengaruh kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang perusahaan, maka hipotesis alternatif pertama yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H1 : Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang
Universitas Sumatera Utara
b.
Kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang Manajer mempunyai kecenderungan untuk menggunakan hutang yang
tinggi bukan atas dasar maksimalisasi nilai perusahaan melainkan untuk kepentingan opprtunistik mereka. Hal ini menyebabkan meningkatnya beban bunga perusahaan karena resiko kebangkrutan semakin tinggi sehingga biaya agensi hutang semakin tinggi (Damayanti, 2006). Wahidahwati (2001) menyatakan bahwa masalah agensi tersebut terjadi apabila proporsi kepemilikan atas manajer atas saham perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan perusahaan. Proporsi hutang yang besar akan menempatkan manajer di bawah pengawasan debtholders dan manajer cenderung tidak menyukai pengawasan tersebut, shingga pengaruh kebijakan hutang dalam kepemilikan manajerial adalah negatif (Imanda dan Nasir, 2006). Kontras dengan pernyataan tersebut, Fitri dan Mamduh (2003) yang dikutip Isrina (2006) menyatakan adanya pengaruh positif. Pernyataan ini berdasarkan pada asumsi bahwa penggunaan hutang akan mengurangi kebutuhan penerbitan saham baru sehingga meningkatkan proporsi kepemilikan manajerial. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menguji pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang perusahaan, maka hipotesis alternatif kedua yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
H2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang
c.
Free cash flow terhadap kebijakan hutang Free cash flow yang besar akan mengarah pada perilaku manajer yang
salah dan keputusan yang bururk. Dengan kata lain, para manajer mempunyai kecenderungan untuk menggunakan kelebihan keuntungan untuk konsumsi dan perilaku opprtunistik yang lain karena mereka menerima manfaat yang penuh dari kegiatan tersebut tapi kurang mau menanggung resiko. Dengan adanya hutang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan fre cash flow yang berlebihan oleh manajer dan manajer akan bekerja lebih efisien agar tidak terjadi kegagalan keuangan sehingga akan mengurangi biaya agensi arus kas bebas (Damayanti, 2006). Gull dan Jaggi (1999) yang dikutip Damayanti (2006) menyebutkan bahwa free cash flow berpengaruh signifikan dan memiliki arah hubungan yang posititf terhadap hutang perusahaan dengan pertumbuhan rendah. Tarjo dan Jogiyanto (2003) menunjukkan hasil analisis bahwa perilaku perusahaan publik di Indonesia yang memiliki IOS (Invesment Opportunity Set) rendah, ketika free cash flow tinggi cenderung menggunakan hutang untuk kegiatan pendanaan perusahaan. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa free cash flow mempengaruhi kebijkan hutang perusahaan, maka hipotesis alternatif ketiga yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
H3 : Free cash flow berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang
d.
Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan free cash flow terhadap kebijakan hutang Kepemilikan institusional dan kepemilikan manajer yang merupakan
struktur kepemilikan saham perusahaan sering kali menimbulkan konflik. Perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen dapat berpengaruh terhadap keputusan pencarian dana dan menimbulkan adanya agency cost.
Demikian juga dengan free cash flow, di mana manajer
berkeinginan dana tersebut digunakan untuk investasi pada proyek- proyek yang pada masa mendatang akan menambah insentif bagi manajer, sedangkan pemegang saham menginginkan dana tersebut untuk dibagikan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Damayanti (2006) menyebutkan bahwa dari tiga variabel independent dan dua variabel kontrol yang digunakan hanya dua variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang yaitu kepemilikan manajerial dan kepemilikan institutional namun arah hubungannya sesuai dengan teori, sedangkan free cash flow mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kebijakan hutang. Dari hal tersebut maka tiga variabel tersebut dapat dijadikan indikasi dalam menentukan kebijakan hutang perusahaan.
Berdasarkan
penelitian
sebelumnya
yang
membuktikan
bahwa
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan free cash flow mempengaruhi kebijkan hutang perusahaan, maka hipotesis alternatif keempat yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
H4 : Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan Free cash flow berpengaruh simultan terhadap kebijakan hutang
Universitas Sumatera Utara