BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kepribadian Menurut Robbins dan Judge (2015) kepribadian (personality) merupakan jumlah total cara-cara di mana seorang individu beraksi atas dan berinteraksi dengan orang lain. Karakteristik-karakteristik kepribadian (personality traits) merujuk pada karakteristik-karakteristik yang bertahan yang menjelaskan perilaku seorang individu seperti rasa malu, agresif, penyerahan diri, malas, ambisius, setia, dan takut. Menurut Robbins dan Judge (2015) terdapat beberapa indikator untuk mengukur kepribadian seseorang, diantaranya adalah indikator tipe Myers-Briggs. Indikator tipe Myers-Briggs (Myers-Brigg Type Indicator – MBTI) merupakan sebuah tes kepribadian
yang
mengelompokkan
empat
karakteristik
dan
mengklasifikasikan orang dalam 1 dari 16 tipe kepribadian. Keempat karakteristik tersebut yaitu: 1. Ekstrovert (E) versus Introvert (I). Individu – individu ekstrovert ramah, pandai bersosialisasi, dan percaya diri. Introvert tenang dan pemalu. 2. Sensing (S) versus Intuitive (N). Tipe sensing praktis serta memilih rutin dan urutan. Mereka fokus pada detail. Intuitive bergantung pada proses tidak sadar dan melihat pada apa yang dia pikirkan. 3. Thinking (T) versus Feeling (F). Tipe yang thinking biasanya menggunakan penalaran dan logika untuk menangani masalah.
11
12
Tipe yang feeling berpegang pada nilai-nilai dan emosi pribadi mereka. 4. Judging
(J)
versus
perceiving
(P).
Tipe
yang
judging
menginginkan kendali dan memilih urutan pada struktur. Tipe yang perceiving fleksibel dan spontan. Robbins dan Judge (2015) menjelaskan bahwa selain indikator tipe Myers-Briggs, terdapat indikator lain untuk mengukur kepribadian, yaitu model lima besar (Big-Five Model) yang merupakan sebuah penilaian yang mencakup lima dimensi dasar. Kelima dimensi dasar tersebut adalah extraversion, openness to experience, emotional stability, conscientiousness
dan
agreeableness.
Di
dalam
penelitian
ini,
menggunakan ketiga dimensi dari Big-Five Model, yaitu: a. Emotional stability (Kestabilan emosi) Emotional stability menunjukkan kemampuan seseorang untuk menghadapi stress. Individu dengan tingkat emotional stability yang tinggi cenderung tenang, percaya diri dan merasa aman. Di sisi lain, individu dengan tingkat emotional stability yang rendah cenderung gugup, cemas, depresi dan tidak merasa aman (Robbins dan Judge, 2015). Individu dengan emotional stability yang tinggi akan lebih sedikit memiliki pikiran negatif dan emosi negatif serta lebih tidak waspada secara berlebihan. Hal ini akan mempengaruhi kepuasan hidup dan kerja yang lebih tinggi serta level stres yang lebih rendah. Menurut teori presipitasi, individu yang memiliki kestabilan emosi lebih rendah akan lebih mudah terprovokasi suatu keadaan (Aquino dan Thau 2009). Individu tersebut mudah terpengaruh pada aspek-aspek
13
negatif dari pekerjaan dan tempat kerja mereka serta
lebih sering
mengalami gangguan emosi. Hal tersebut menyebabkan kinerja menurun pada tugas-tugas yang berhubungan dengan pekerjaan dan hubungan interpersonal. b. Conscientiousness (Kehati-hatian) Bligh
(2009)
mendefinisikan
conscientiousness
sebagai
kecenderungan seseorang untuk lebih terorganisasi, teliti, terkontrol, tegas, dan dapat dipercaya. Goldberg (1990) menjelaskan bahwa conscientiousness merupakan sebuah karakteristik yang memotivasi individu untuk mencapai sesuatu dan memiliki karakteristik yang terorganisasi, sistematik, efisien, praktis dan tidak mudah goyah. Menurut Robbins dan Judge (2015) individu dengan tingkat conscientiousness tinggi merupakan individu yang bertanggung jawab, teratur, dapat diandalkan, dan persisten. Hal ini akan mempengaruhi kinerja dan kepemimpinan yang lebih baik serta cenderung memiliki umur yang panjang. Di sisi lain, individu dengan tingkat conscientiousness rendah merupakan individu yang mudah dialihkan, tidak teratur, dan tidak dapat diandalkan. McCrae dan Costa (2006) mengungkapkan bahwa individu dengan tingkat conscientiousness yang tinggi merupakan individu yang berkompeten, memiliki disiplin diri yang baik, gigih dal mencapai tujuan, dan berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam segala hal. Mereka juga mempertimbangkan segala hal, membuat rencana secara terstruktur dan selalu berpikir sebelum bertindak.
14
c. Agreeableness (Keramahan) Ahadi
dan
Rothbart
(dalam
Graziano
et.
al.,
2006)
mengungkapkan bahwa agreeablenesss adalah suatu motivasi dalam menjaga hubungan positif dengan orang lain. Robbins dan Judge (2015) menjelaskan bahwa
agreeableness
merujuk pada kecenderungan
seorang individu untuk memahami orang lain. Individu dengan tingkat agreeableness tinggi merupakan seorang yang kooperatif, hangat, dan mempercayai. Di sisi lain, individu dengan tingkat agreeableness rendah merupakan seorang yang dingin, tidak ramah, dan antagonis. Hal ini akan mempengaruhi kinerja yang lebih baik dan level perilaku menyimpang yang lebih rendah. Havill, et. al (dalam Jensen-Campbell et. al., 2007) menyatakan bahwa agreeableness merupakan kemampuan untuk menghambat perilaku yang kurang menyenangkan yang mungkin diterima oleh individu tersebut. 2. Negative Emotions (Emosi Negatif) Negative emotion (emosi negatif), merupakan tingkat emosi yang negatif yang merujuk kepada ketidakstabilan emosi yang di milki oleh individu dalam pekerjaan (Griffin, 2000). Frijda (dalam Henle dan Gross, 2014) menjelaskan bahwa emosi mengacu pada kuatnya perasaan yang sesaat atau perasaan yang mempengaruhi diri (misalnya marah, sedih, iri hati, bahagia, dan kebanggan) yang cenderung mengganggu fungsi normal dari perasaan yang biasanya dirasakan. Hal ini berbeda dengan suasana hati berbeda dengan suasana hati atau perasaan yang lebih tahan lama yang tidak berhubungan dengan penyebab tertentu sehingga tidak mengganggu rutinitas sehari-hari (Clark dan Isen, 1982).
15
Teori presipitasi berpendapat bahwa individu-individu tertentu lebih mungkin menjadi korban bullying daripada yang lainnya karena kecenderungan mereka untuk menampilkan emosi, kognisi, atau perilaku yang kurang pantas sehingga mereka lebih berpeluang besar untuk mendapatkan bullying (Henle dan Gross, 2014). 3. Abusive Supervision Tepper (2000) mendefinisikan abusive supervision sebagai persepsi bawahan terkait sejauh mana atasan melakukan perilaku yang dianggap kurang baik oleh mereka secara verbal maupun non verbal yang dilakukan secara terus menerus, tetapi tidak melibatkan kontak fisik. Menurut Ashfort (1997) abusive supervision menggunakan kekuasaan mereka untuk menindas dan menyiksa bawahan. Mereka memarahi, mengintimidasi dengan ejekan dan mempermalukan bawahan mereka (Mitchell dan Ambrose, 2007). Sehingga abusive supervision merupakan persepsi dari bawahan apakah mereka merasa mengalami abusive supervision atau menurut mereka hal tersebut memang wajar untuk dilakukan (Tepper, 2007) Menurut Tepper (2007) ada beberapa hal penting yang terkait dengan definisi abusive supervision. Pertama, abusive supervision adalah penilaian subjektif bawahan atas dasar pengamatan mereka dari perilaku atasan mereka. Penilaian ini dapat dipengaruhi oleh karakteristik dari bawahan seperti kepribadian dan profil demografis serta dari konteks dari mana penilaian tersebut dibuat, misalnya lingkungan kerja, dan persepsi rekan kerja. Kedua, abusive supervision mengacu pada permusuhan yang berkelanjutan tanpa adanya kontak fisik. Abusive supervision terjadi
16
karena atasan mengalami hal yang kurang menyenangkan yang dialami di luar pekerjaan atau bersifat pribadi tetapi mereka melampiaskan emosinya kepada para bawahan mereka. Hal ini akan dianggap sebagai abusive supervision kecuali jika hal tersebut memang sudah biasa dilakukan. Konseptualisasi Tepper (2000) menyatakan bahwa abusive supervision merupakan sesuatu yang disengaja, yang berarti bahwa atasan berprilaku seperti itu karena memiliki tujuan tertentu. Akan tetapi tidak
untuk
hasil
yang
akan
menyebabkan
kerusakan.
Abusive
supervision mungkin memperlakukan bawahannya untuk mencapai tujuan tetapi tidak menyebabkan terjadinya cidera. Sebagai contoh, seorang supervisor dapat memperlakukan bawahan untuk memperoleh kinerja tinggi dengan mengirim peringatan bahwa mereka tidak mentolelir adanya kesalahan. Perilaku semacam ini termasuk kepada abusive supervision, tetapi atasan melakukan tersebut bukan untuk membahayakan bawahan.
B. PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1. Hubungan Emotional Stability dengan Abusive Supervision Henle dan Gross (2014) menyatakan bahwa kepribadian terdiri dari keseluruhan karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu. Ciri-ciri ini mengakibatkan pola diprediksi dari pikiran, sikap, emosi, dan perilaku dari waktu ke waktu dan di seluruh konteks. Dengan demikian, kepribadian dapat mempengaruhi peluang karyawan untuk lebih mungkin untuk mengalami abusive supervision daripada yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Wu dan Hu (2009) mengenai abusive supervision
meneliti
kepribadian
korban
sebagai
anteseden
dari
17
penyalahgunaan kekuasaan. Penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) menyelidiki apakah kepribadian dapat memprediksi abusive supervision serta alasan yang mendasari terjadinya abusive supervision tersebut. Menurut teori presipitasi, individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah sesuai dengan deskripsi korban provokatif (Aquino dan Thau 2009, Bowling dan Beehr 2006). Individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah cenderung memiliki hubungan yang kurang baik dengan rekan kerja dan atasan mereka (George, 1992). Dengan kata lain, kinerja karyawan yang dibawah standar ditambah dengan kecenderungan perilaku mereka yang kurang baik serta cenderung bermusuhan, dan menggunakan cara-cara yang konfrontatif (Watson dan Clark, 1984). Milam et. al (2009) menemukan bahwa karyawan yang memiliki emotional stability yang lebih rendah cenderung dianggap sebagai pemicu ketidaksopanan yang mereka terima dari rekan kerja mereka. Henle dan Gross (2014) mengemukakan karyawan dengan emotional stability yang lebih rendah lebih menuntut dan sulit untuk bekerja sesuai dengan porsinya. Hal tersebut kemudian berhubungan dengan tingkat pengawasan yang lebih tinggi oleh atasan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) menunjukkan bahwa emotional stability memiliki hubungan yang negatif dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Emotional stability berhubungan negatif dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan.
18
2. Hubungan Conscientiousness dengan Abusive Supervision Individu yang memiliki tingkat conscientiousness yang tinggi cenderung menunjukkan sikap lebih disiplin diri dan memiliki tujuan untuk meningkatkan prestasi dan kompetensi. Mereka dicap sebagai pekerja keras, bertujuan, bertanggung jawab, gigih, terorganisasi dengan baik, kompeten, tertib, dan patuh (Costa dan McCrae dalam Henle dan Gross, 2014). Manajer menghargai dan memiliki hubungan yang baik dengan bawahan yang teliti karena karyawan tersebut cenderung lebih kompeten (Bowling
dan
Beehr
2006).
Sebaliknya,
individu
dengan
conscientiousness yang rendah dilihat sebagai individu yang ambisius, tidak teratur, impulsif, ceroboh, dan mudah terganggu. Artinya, sikap impulsif dan tidak dapat diandalkan mereka tersebut dapat menyebabkan pelanggaran norma-norma sosial serta dapat terjadi permusuhan. Mereka akan menjadi beban bagi atasan mereka dengan melebihkan diri, mengganggu atau melepaskan diri dari sikap kerja, emosi, yang dengan demikian akan lebih mungkin untuk melihat bahwa mereka adalah target abusive supervision (Henle dan Gross, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Barrick dan Mount (1991) menunjukkan bahwa conscientiousness merupakan prediktor kuat dari kinerja yang efektif. Karyawan dengan tingkat conscientiousness yang rendah akan menciptakan lebih banyak pekerjaan bagi atasan mereka karena kecerobohan, tidak teratur dengan baik dan kebodohan yang dilakukan oleh bawahan yang dapat membuat mereka menjadi korban provokasi dan menyebabkan meningkatnya abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. Dengan demikian, berdasarkan teori presitipasi
19
korban dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Glasø et al. (2007) menunjukkan adanya hubungan negatif antara conscientiousness dan bullying. Penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) menunjukkan bahwa conscientiousness memiliki hubungan yang negatif dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H2 : Conscientiousness berhubungan negatif dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. 3. Hubungan Agreeableness dengan Abusive Supervision Menurut Bowling dan Beehr (2006) karyawan dengan tingkat agreeableness yang tinggi akan berpeluang kecil untuk mengalami abusive
supervision
karena
mereka
merupakan
pribadi
yang
menyenangkan dan membuat orang lain merasa nyaman jika berada di dekatnya. Individu ini merupakan karyawan yang kompeten, terutama berkaitan dengan hubungan interpersonal dan tugas. Di sisi lain, orangorang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung sering egois, agresif, sombong, bermusuhan, egois, dengki, marah, tidak kooperatif, tidak fleksibel, tidak peduli, dan tidak toleran (Costa dan McCrae dalam Henle dan Gross, 2014). Dengan demikian, karyawan dengan tingkat agreeableness yang rendah akan menjadi korban provokasi karena kecenderungan mereka untuk menjadi kasar, tidak percaya, antagonis, skeptis dan egosentris yang dapat diartikan ke dalam sikap, perasaan, atau perilaku yang tidak dapat diterima dan dianggap mengganggu di tempat kerja (McCrae dan Costa, 1987). Individu dengan tingkat agreeableness yang rendah yang frustasi akan berpeluang besar
20
mengalami abusive supervision yang dilakukan oleh atasan (Henle dan Gross, 2014) Milam et. al (2009) menemukan bahwa karyawan dengan tingkat agreeableness yang rendah lebih cenderung dilihat sebagai provokatif, yang pada akhirnya mendapatkan perlakuan yang tidak sopan oleh rekan kerja mereka. Graziano et., al (1996) menemukan bahwa individu dengan tingkat agreeableness yang rendah akan menampilkan perilaku yang provokatif. Dengan demikian, individu dengan tingkat agreeableness yang rendah akan berpeluang besar untuk mengalami abusive supervision yang dilakukan oleh atasan mereka. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H3 :
Agreeableness
berhubungan
negatif
dengan
abusive
supervision yang dilakukan oleh atasan. 4. Hubungan
Emotional
Stability,
Conscientiousness,
Agreeableness, dan Negative Emotions dengan Abusive Supervision Menurut teori diferensiasi emosi, terdapat hubungan yang kuat antara kepribadian dan emosi (Izard dalam Henle dan Gross, 2014). Ciriciri kepribadian mempengaruhi individu untuk mengalami emosi tertentu, beberapa di antara hal tersebut dianggap menjengkalkan karena melanggar norma-norma sosiaal (Milam et. at, 2009). Karyawan diharapkan menunjukkan emosi yang positif di tempat kerja untuk membentuk kerja sama tim, komunikasi dan interaksi interpersonal yang efektif (Staw et. al, 1994; Sutton dan Rafaeli, 1988). Akan tetapi beberapa karyawan memiliki kecenderungan yang merupakan sifat alami mereka
21
untuk melanggar norma-norma yang ada dan menunjukkan emosi negatif di tempat kerja yang membuat mereka menjadi target perilaku yang bersifat provokatif (Henle dan Gross, 2014) Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa korban provokasi akan lebih mungkin untuk melanggar norma-norma sosial dengan menampilkan emosi negatif. Misalnya, individu dengan tingkat emotional stability yang rendah akan memiliki kecenderungan untuk mengalami dan mengkspresikan berbagai negative emotions termasuk permusuhan, kecemasan, depresi (Brief dan Weiss, 2002; Watson dan Clark, 1984), rasa takut, marah, sedih dan malu (Trierweiler et., al, 2002). Individu dengan tingkat agreeableness dan conscientiousness yang rendah akan cenderung cenderung menampilkan negative emotions di tempat kerja karena kedua sifat tersebut berhubungan dengan kurangnya pengendalian diri (Jensen-Campbell et., al, 2007). Individu dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung tidak mampu untuk mematuhi norma sosial yang berlaku dan tidak menampilkan emosi yang positif (Mount et., al 2006) serta tidak mampu mengontrol ekspresi mereka dari negative emotions (Tobin et., al, 2000). Di sisi lain, individu dengan tingkat conscientiousness yang rendah akan kurang memiliki pengaturan diri untuk mengendalikan emosi negatif di tempat kerja karena kecenderungan mereka untuk menjadi impulsif, cerboh dan tidak dapat dipercaya (Jensen-Campbell et., al, 2007) . Karyawan dengan tingkat emotional stability, agreeableness, dan conscientiousness yang rendah cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan ekspresi mereka dari negative emotions di tempat
22
kerja dan untuk mengikuti norma sosial yang membutuhkan ekspresi yang positif. Hal tersebut akan memicu terjadinya abusive supervision yang akan diterima oleh bawahan (Henle dan Gross, 2014). Teori presipitasi korban dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa emotional stability, agreeableness, dan conscientiousness akan memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan negative emotions di tempat kerja dan negative emotions memiliki hubungan positif dengan abusive supervision (Henle dan Gross, 2014). Meta-analisis yang dilakukan oleh Bowling dan Beehr (2006) menunjukkan bahwa negative emotions di tempat kerja berhubungan positif dengan bullying di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) bahwa negative emotions akan memediasi hubungan antara emotional stability dan abusive supervision serta memediasi hubungan antara conscientiousness dan abusive supervision. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H4a
: Negative emotions memediasi hubungan negatif antara emotional
stability
dan
abusive
supervision
yang
dilakukan oleh atasan. H4b
: Negative emotions memediasi hubungan negatif antara conscientiousness
dan
abusive
supervision
yang
dilakukan oleh atasan. H4c
: Negative emotions memediasi hubungan negatif antara agreeableness dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan.
23
C. KERANGKA PENELITIAN Penelitian ini merupakan replikasi penuh dari penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014). Variabel independen dalam penelitian ini adalah emotional stability, conscientiousness, dan agreeableness. Variabel mediasi dalam penelitian ini adalah negative emotions dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah abusive supervision. Kerangka pemikiran dari hubungan antar variabel tersebut dijelaskan dalam gambar berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Karyawan yang memiliki emotional stability yang rendah maka akan membuat peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan abusive supervision, sedangkan karyawan yang memiliki emotional stability yang tinggi maka akan membuat peluang yang lebih rendah untuk mendapatkan abusive supervision. Karyawan yang memiliki conscientiousness yang rendah akan membuat peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan abusive supervision, sedangkan karyawan yang memiliki conscientiousness yang tinggi akan membuat peluang yang lebih rendah untuk mendapatkan abusive supervision. Karyawan yang memiliki agreeableness yang rendah maka akan membuat peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan
abusive
supervision,
sedangkan
karyawan
yang
memiliki
24
agreeableness yang tinggi maka akan membuat peluang yang lebih rendah untuk mendapatkan abusive supervision. Karyawan yang memiliki tingkat emotional stability yang rendah maka akan membuat karyawan tersebut mudah untuk terpengaruh atau menunjukkan negative emotions sehingga akan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan abusive supervision, sedangkan karyawan yang memiliki tingkat emotional stability yang tinggi akan tidak mudah untuk terpengaruh atau menunjukkan negative emotions sehingga akan memiliki peluang yang lebih rendah untuk mendapatkan abusive supervision. Karyawan yang memiliki tingkat conscientiousness yang rendah maka akan membuat karyawan tersebut mudah untuk terpengaruh atau menunjukkan negative emotions sehingga akan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan abusive supervision, sedangkan karyawan yang memiliki tingkat conscientiousness yang tinggi akan tidak mudah untuk terpengaruh atau menunjukkan negative emotions sehingga akan memiliki peluang yang lebih rendah untuk mendapatkan abusive supervision. Karyawan yang memiliki tingkat agreeableness yang rendah
maka akan membuat
karyawan tersebut mudah untuk terpengaruh atau menunjukkan negative emotions sehingga akan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan abusive supervision, sedangkan karyawan yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi akan tidak mudah terpengaruh atau menunjukkan negative emotions sehingga akan memiliki peluang yang lebih rendah untuk mendapatkan abusive supervision.