BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah merupakan aparat yang melakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah melakukan pengawasan intern melalui audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah terdiri atas: a) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). b) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern. c) Inspektorat Provinsi. d) Inspektorat Kabupaten/Kota. Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat
8
9
daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota. Arens et al. (2009) menyebut auditor yang bekerja untuk melayani kebutuhan-kebutuhan pemerintah sebagai auditor internal pemerintah. 2.1.2. Kinerja Menurut Mangkunegara (2014) istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Sedangkan Hasibuan (2008) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku yang nyata yang ditampilkan sesai dengan perannya dalam organisasi. Menurut
Mahmudi
(2007)
kinerja
merupakan
suatu
konstruk
multidimensional yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja adalah: 1) Faktor
personal/individu,
meliputi:
pengetahuan,
ketrampilan,
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu; 2) Faktor
kepemimpinan,
meliputi:
kualitas
dalam
memberikan
dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manager dan team leader;
10
3) Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim; 4) Faktor
sistem,
meliputi:
sistem
kerja,
fasilitas
kerja
atau
infrastrukturyang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi; 5) Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. Campbell (1990) dalam Mahmudi (2007) menyatakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor knowledge, skill, dan motivasi. Knowledge mengacu pada pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai (knowing what to do), skill mengacu pada kemampuan untuk melakukan pekerjaan (the ability to do well), motivasi adalah dorongan dan semangat untuk melakukan kerja. Menurut Simamora (1995) yang dikutip oleh Mangkunegara (2014), kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) Faktor individual yang terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang, dan demografi; 2) Faktor psikologis yang terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran, dan motivasi; 3) Faktor organisasi yang terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, dan job design.
11
Timple (1992) yang dikutip oleh Mangkunegara (2014) menyatakan bahwa faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Mangkunegara (2014) menyimpulkan bahwa faktor-faktor penentu prestasi kerja adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasinya. Konsentrasi yang baik merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran / Intelegence Quotiont (IQ) dan kecerdasan emosi / Emotional Quotiont(EQ). Pada umumnya, individu yang mampu bekerja dengan penuh konsentarasi apabila ia memiliki tingkat intelegensi minimal normal (average, above average, superior, very superior, dan gifted) dengan tingkat kecerdasan emosi baik (tidak merasa bersalah yang berlebihan, tidak mudah marah, tidak dengki, tidak benci, tidak iri hati, tidak pendendam, tidak sombong, tidak minder, tidak mudah cemas, memiliki pandangan dan pedoman hidup yang jelas, dan sebagainya).
12
Faktor lingkungan kerja organisasi sendiri sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja yang efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja yang dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang memadai dan sebagainya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil, kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja. Sasaran Kerja Pegawai (SKP) adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS. Perilaku kerja adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja APIP adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seorang APIP dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas, sikap dan perilaku berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.1.3. Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (2003) keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan berdasarkan kecerdasan intelektual (IQ) semata. Kemampuan akademik, nilai rapor, dan kelulusan pendidikan tinggi tidak dapat digunakan untuk memprediksi
13
seberapa baik kinerja seseorang setelah bekerja. Keberhasilan seseorang 20% dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, 80% dipengaruhi oleh kecerdasan lain, diantaranya kecerdasan emosional. Emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran yang khas, sebagai reaksi terhadap rangsangan dari dalam maupun dari luar pribadi individu. Goleman (2003) membagi lima dimensi utama kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. 1) Kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri akan membantu untuk melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengelola diri serta menyadari emosi dan pikiran sendiri. 2) Pengaturan diri, yaitu kemampuan menangani emosi diri sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Hal ini dapat mendorong seseorang berpikir sebelum bertindak, mengendalikan amarah, kecemasan, sedih, dan ketergesa-gesaan. 3) Motivasi, yaitu menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu diri mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
14
4) Empati, yaitu merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. 5) Keterampilan sosial, yaitu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampialn-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah
dan
menyelesaikan
perselisihan
serta
untuk
bekerjasama dan bekerja dalam tim. Goleman (2003) mendefinisikan kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan atau kemampuan sosial. 2.1.4. Gaya Kepemimpinan Kartono (2002) menyebut pemimpin sebagai pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu. Pemimpin mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, sehingga tingkah laku dan gayanya itulah yang membedakan dirinya dari orang
15
lain. Gaya atau style hidupnya ini pasti akan mempengaruhi perilaku dan tipe kepemimpinannya, sehingga muncul beberapa tipe kepemimpinan. Robbins dan Judge (2015) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju pencapaian visi atau tujuan yang ditetapkan. Para pemimpin diperlukan untuk menciptakan visi masa depan dan menginspirasi para anggota organisasi untuk mencapai visi. Gaya kepemimpinan (leadership style) merupakan cara pimpinan mempengaruhi bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan organisasi, meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi (Luthans, 2002:575 dalam Trisnaningsih, 2007). Ronald Lippit dan Ralph White (1939) dalam Winardi (2000) mengemukakan tiga gaya kepemimpinan, yaitu: 1) Gaya
kepemimpinan
otoriter,
yaitu
gaya
pemimpin
yang
memusatkan segala keputusan, rencana, dan kebijakan untuk kelompoknya, yang diambilnya sendiri secara penuh, tanpa berkonsultasi dengan para anggotanya. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh pemimpin tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan. Tipe kepemimpinan ini baik digunakan pada bawahan yang kurang disiplin, kurang kecakapan (unskilled), kurang inisiatif, bergantung pada atasan saja.
dan
16
2) Gaya kepemimpinan demokratis, yaitu gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Pemimpin sering
mengadakan
konsultasi
dengan
bawahannya
dalam
menentukan rencana kerja yang berhubungan dengan kelompok. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis, pemimpin sering mendorong bawahan untuk menyokong ide-ide dan saran-saran. Pemimpin melakukan komunikasi dua arah dan mengutamakan hubungan antar manusia (human relation). 3) Gaya kepemimpinan bebas (Laissez Faire), yaitu pemimpin hanya terlibat dalam kuantitas yang kecil atau pasif, di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Pemimpin meletakkan tanggung jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahan, dan kurang mengontrol bawahannya. Pemimpin adalah pemain utama yang bertanggungjawab terhadap berhasil atau tidaknya suatu organisasi. Dengan cara atau gaya tertentu, pemimpin dapat memberikan pengaruh dalam menanamkan perilaku kerja para anggota organisasi untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan
seorang
pemimpin
dalam
mengelola
pegawainya
berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan kinerja pegawai tersebut.
akan
17
2.2.
Penelitian Sebelumnya Yang Relevan Penelitian-penelitian mengenai pengaruh kecerdasan emosional dan gaya
kepemimpinan terhadap kinerja pegawai antara lain sebagai berikut: Menurut penelitian Pratiwi dan Harmeidiyanti (2012) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pemeriksa Internal Inspektorat di Wilayah Kabupaten Banyumas”, menunjukkan hasil bahwa secara simultan kecerdasan emosional, pengetahuan, Locus of Control, independensi dan komunikasi berpengaruh terhadap kinerja pemeriksa internal Inspektorat. Secara parsial variabel kecerdasan emosional, Locus of Control, independensi berpengaruh positif terhadap kinerja pemeriksa internal Inspektorat, sedangkan variabel pengetahuan dan komunikasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja pemeriksa internal Inspektorat. Muajiz (2009) yang meneliti pengaruh pelatihan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jendral Pajak menunjukkan hasil bahwa pelatihan, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual memiliki pengaruh yg positif terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jendral Pajak. Jadmiko (2015) yang meneliti mengenai pengaruh kecerdasan emosional pada kinerja dan kepuasan kerja dengan menggunakan moderasi dukungan organisasional, menunjukkan hasil bahwa secara langsung kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja dan kepuasan kerja karyawan. Julianingtyas (2012) yang meneliti pengaruh locus of control, gaya kepemimpinan dan komitmen organisasi terhadap kinerja auditor, menunjukkan
18
hasil bahwa variabel locus of control, gaya kepemimpinan, dan komitmen organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja auditor. Menurut penelitian Arianti (2015) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Auditor (Studi Empiris Pada KAP di Surakarta dan Yogyakarta)”, menunjukkan hasil bahwa struktur audit, konflik peran, ketidakjelasan peran, pemahaman good governance, gaya kepemimpinan, budaya organisasi, dan komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Nugroho (2015) yang meneliti pengaruh gaya kepemimpinan dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai Dinas Pariwisata DIY, menunjukkan hasil bahwa gaya kepemimpinan dan disiplin kerja berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. 2.3.
Perumusan Hipotesis
2.3.1. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja APIP Emotional Quotient/EQ (kecerdasan emosional) terdiri dari lima dimensi, yaitu kesadaran emosi, mengendalian diri, motivasi diri, empati, keterampilan sosial. Seseorang dengan pengendalian diri yang baik akan mudah dalam menerima gagasan atau ide-ide, sehingga berdampak pada pemikiran yang positif dan jernih sehingga dapat memunculkan inovasi yang dapat meningkatkan kualitas kinerjanya. Jadi kecerdasan emosional dapat mempengaruhi prestasi dan kinerja yang akan dihasilkan oleh seseorang. Menurut hasil penelitian Wibowo (2014) dan Jatmiko (2015), kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muazis (2009) serta Pratiwi dan Hermeidiyanti (2012) juga
19
membuktikan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja auditor internal. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu dan kajian teoritis tersebut di atas, peneliti menganggap kecerdasan emosional dapat mempengaruhi kinerja APIP dalam melaksanakan tugasnya, sehingga hipotesis yang dikembangkan peneliti sebagai berikut : H1: Kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja APIP. 2.3.2. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja APIP Seorang pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan tertentu sebagai cara untuk mempengaruhi bawahannya supaya bawahannya tersebut melakukan kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin dalam mengelola pegawainya akan berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan kinerja pegawai tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya, Trisnaningsih (2007), Julianingtyas (2012), dan Arumsari (2014) membuktikan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif kuat terhadap kinerja auditor. Penelitian Nugroho (2015) juga membuktikan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa seorang bawahan yang dipimpin oleh seorang pimpinan yang memiliki gaya kepemimpinan yang baik, yang mampu mendukung dalam dia melaksanakan pekerjaannya, akan merasa senang dalam bekerja sehingga kinerjanya akan meningkat. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu dan kajian teoritis tersebut di atas, peneliti menganggap gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja
20
APIP dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota organisasi, sehingga hipotesis yang dikembangkan peneliti sebagai berikut : H2: Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja APIP. 2.4.
Rerangka Teoritis Rerangka teoritis adalah suatu diagram yang menjelaskan secara garis
besar alur logika berjalannya sebuah penelitian (Sekaran dan Bougie, 2013). Variabel dependen penelitian ini adalah kinerja APIP Inspektorat Daerah Kabupaten Kulon Progo, sedangkan variabel independennya adalah gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional. Rerangka teoritis penelitian ini digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.1 Rerangka Teoritis Variabel independen Kecerdasan Emosional (X1)
Variabel Dependen H1 + Kinerja APIP (Y) H2 +
Gaya Kepemimpinan (X2)
Variabel kontrol
Jenis Kelamin Usia Pendidikan Masa Kerja