BAB II TINJAUAN PUSTAKA dan HIPOTESIS
1.1 Tinjauan Umum Tentang Sarang Semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) 2.1.1 Deskripsi Sarang Semut Sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit yang tergolong dalam family Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut (Subroto dan Saputro, 2008).
Gambar 1 : Myrmecodia pendens : Bagian dalam Myrmecodia pendens Sarang semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) memiliki keunikan dengan adanya semut yang bersarang pada umbi yang terdapat pada lorong-lorong di dalamnya. Suhu yang stabil di dalamnya membuat koloni semut dapat hidup dan bersarang di dalam umbi tersebut (Subroto dan Saputro, 2008). Secara ekologi, sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon di pinggir pantai hingga ketinggian 2400 m. Sarang semut jarang ditemukan di hutan tropis dataran rendah, namun lebih banyak ditemukan di hutan dan daerah pertanian
terbuka dengan ketinggian sekitar 600 m. Sarang semut banyak ditemukan menempel pada beberapa pohon, umumnya di pohon kayu putih, cemara gunung, kaha, dan pohon beech, tetapi jarang pada pohon-pohon dengan batang halus dan rapuh seperti Eucalyptus. Sarang semut juga tumbuh pada dataran tanpa pohon dengan nutrisi rendah dan di atas ketinggian pohon. Di habitat liarnya sarang semut dihuni oleh beragam jenis semut dan seringkali oleh tiga spesies dari genus Iridomyrmex. Identifikasi terhadap sarang semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) menunjukkan bahwa tumbuhan ini dihuni oleh koloni semut dari jenis Ochetellus sp (Subroto dan Saputro, 2008) 2.1.2 Komposisi Kimia Sarang Semut Berdasarkan aspek pemanfaatan untuk pengobatan maka tumbuhan sarang semut memiliki berbagai kandungan senyawa kimia. Kandungan senyawa kimia dari tumbuhan sarang semut diduga memiliki peranan dalam aktivitas resistensi patogen, alelopati dan pertahanan tubuh terhadap serangan hama. Senyawa yang mendapat perhatian luas adalah tiga golongan senyawa fenolik yaitu tanin terhodrolisa, flavonoid dan tanin terkondensasi. Senyawasenyawa tersebut digunakan oleh tanaman sebagai sistem pertahanan diri sedangkan bagi manusia dimanfaatkan sebagai bahan aktif untuk obat. Berdasarkan hasil uji penapisan kimia yang dilakukan oleh Subroto dan Saputro (2008) menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawasenyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Komposisi dan kandungan senyawa aktif tumbuhan obat sarang semut seperti disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan kandungan senyawa aktif tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) Parameter Satuan Nilai Energi
Kkal/100g
350,52
Kadar Air
g/100g
4,54
Kadar Abu
g/100g
11,13
Kadar Lemak
g/100g
2,64
Kadar Protein
g/100g
2,75
Kadar
g/100g
78,94
mg/100g
31,34
Total Fenol
g/100g
0,25
Kalsium (Ca)
g/100g
0,37
Natrium (Na)
mg/100g
68,58
Magnesium (Mg)
g/100g
1,50
Kalium (K)
g/100g
3,61
Seng (Zn)
mg/100g
1,36
Besi (Fe)
mg/100g
29,24
Fosfor (P)
g/100g
0,99
Karbohidrat Tokoferol
Sumber : Subroto dan Saputro (2008) Tumbuhan Sarang Semut mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
para peneliti yang mempelajari golongan senyawa ini dalam kaitannya dengan sistem pertahanan diri tumbuhan sarang semut. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang merupakan pigmen tumbuhan. Saat ini lebih dari 6.000 senyawa yang berbeda masuk ke dalam golongan flavonoid. Flavonoid merupakan bagian penting dari diet manusia karena banyak manfaatnya bagi kesehatan. Kebanyakan fungsi flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), antiinflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Subroto dan Saputro, 2008). Subroto dan Saputro (2008) mengungkapkan selain senyawa flavonoid, sarang semut juga mengandung senyawa tanin dan tokoferol serta beberapa mineral. Tanin merupakan astringen dan polifenol tanaman berasa pahit yang dapat mengikat dan mengendapkan protein. Tumbuhan sarang semut juga kaya akan antioksidan tokoferol (Vitamin E) dan beberapa mineral penting untuk tubuh seperti kalsium, natrium, kalium, seng, besi, fosfor dan magnesium. Dalam sistem metabolisme tubuh, kalsium berfungsi dalam kerja jantung, impuls saraf dan pembekuan darah. Besi berfungsi dalam pembentukan hemoglobin, transfer oksigen, dan aktivator enzim. Fosfor berfungsi dalam memproduksi energi. Natrium memiliki peranan dalam kesetimbangan elektrolit, volume cairan tubuh dan impuls saraf. Kalium berfungsi dalam ritme jantung, impuls saraf, dan keseimbangan asam-basa. Seng memiliki fungsi dalam sintesis protein, fungsi seksual, penyimpanan insulin, metabolisme
karbohidrat dan penyembuhan luka. Magnesium memiliki peranan dalam fungsi tulang, hati, otot, transfer air intraseluler, keseimbangan basa dan aktivitas neuromuskuler. 2.2 Tinjauan Tentang Viabilitas Spermatozoa Proses spermatogenesis merupakan siklus yang rumit dan teratur dalam pembentukan spermatozoa. Selama proses tersebut berlangsung, aktivitas sel spermatogenik sangat tinggi yaitu terjadi perubahan morfologi dan biokimia untuk membentuk spermatozoa yang fungsional. Spermatozoa ini dalam perjalanannya menuju vas deferens tidak semuanya dapat mempertahankan kehidupannya sehingga ada sebagian yang mati (Rusmiati, 2007). Viabilitas spermatozoa merupakan spermatozoa yang hidup, selama spermatozoa hidup lapisan pembungkusnya tidak dapat ditembus oleh sejumlah zat warna tetapi spermatozoa mati zat warna tersebut akan masuk sampai ke bagian tengah kepala spermatozoa (Andre, 2011). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas spermatozoa adalah tekanan osmotik dan cekaman dingin. Tekanan osmotik harus dipertahankan selama proses penyimpanan semen karena bila tidak dipertahankan dapat mengakibatkan tekanan osmotik di dalam dan di luar sel berbeda sehinggga air akan mengalir ke daerah yang bertekanan osmotik tinggi. Bila hal ini terjadi dapat menimbulkan cekaman osmotik pada spermatozoa dan menyebabkan spermatozoa mati. Gejala cekaman osmotik memainkan peranan yang sangat penting terhadap kerusakan membran sel selama proses penyimpanan semen (Sumardani, 2007).
Menurut Watson (1995) dalam Sumardani (2007) Cekaman dingin atau cold shock dapat juga terjadi karena adanya penurunan temperatur sehingga akan menurunkan viabilitas sel dan perubahan dalam struktur membran. Fenomena cekaman dingin pada sel belum jelas diketahui tetapi kemungkinan berkaitan erat dengan fase transisi dari membran lipid yang menyebabkan terjadinya fase pemisahan dan penurunan sifat-sifat permiabilitas secara efektif dari membran biologik sel hidup. Penurunan temperatur pada spermatozoa akan menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas flagella, kerusakan organel intraseluler dan kerusakan membran sel. Pengaruh utama dari cekaman dingin terhadap spermatozoa adalah penurunan motilitas, viabilitas, perubahan permiabilitas membran, dan perubahan komponen lipid membran atau struktur phospholipid membran plasma (Sumardani, 2007). 2.3 Radikal Bebas Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Wardatun, 2011). Radikal bebas sifatnya tidak stabil sehingga untuk memperoleh pasangan elektron, molekul ini cenderung bersifat sangat reaktif dan korosif bagi sel-sel yang sehat. Jumlah radikal bebas yang berlebihan akan mengganggu proses spermatogenesis yang ada karena radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan membran spermatozoa akibat terbentuknya lipid peroksida pada membran tersebut dan lama kelamaan spermatozoa akan mati yang nantinya akan menurunkan jumlah spermatozoa (Purnawati, 2006).
Radikal bebas dapat timbul dari proses metabolisme dalam tubuh dan dapat juga berasal dari lingkungan, seperti pencemaran udara, bahan kimia dari makanan dan air, alkohol, rokok, radiasi UV dan sebagainya. Radikal bebas ini bersifat reaktif dan tidak stabil sehingga untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul sel tubuh dengan cara mengikat elektron molekul tersebut. Proses ini pada akhirnya akan menimbulkan radikal bebas baru terhadap molekul yang elektronnya diambil sehingga jumlahnya terus bertambah. Oleh karena itu, reaksi radikal bebas cenderung berupa reaksi berantai. Reaksi berantai ini akan terus menerus berlangsung dalam tubuh dan bila tidak segera dicegah dapat merusak sel-sel penting dalam tubuh (Yanita, 2011). Menurut Kumalaningsih (2007) dalam Muhammad (2009) bahwa oksidasi lemak terjadi melalui beberapa tahap yaitu : 1. Tahap inisiasi dimulai dengan pembentukan radikal asam lemak yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom hidrogen, dengan reaksi sebagai berikut : ROOH + logam (n)+ X* + RH
ROO*+ logam (n)+ + H+
R* + XH
2. Tahap propagasi yaitu radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil dengan reaksi sebagai berikut: R*+ O2 ROO* + RH
ROO* ROOH + R*
3. Tahap terminasi yaitu radikal peroksil yang telah terbentuk kemudian menyerang asam lemak sehingga menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru, dengan reaksi sebagai berikut: ROO* + ROO* ROO* + R* R* + R*
ROOR + O2 ROO
RR
Prekursor molekul untuk memulai proses ini umumnya berupa produk hidroperoksida (ROOH), maka oksidasi lemak merupakan rangkaian reaksi bercabang dengan berbagai efek yang memiliki potensi untuk merusak. 2.4 Antioksidan Antioksidan dalam pengertian kimia, adalah senyawa-senyawa pemberi elektron. Dalam pengertian klasik, istilah antioksidan menunjukkan senyawa yang memiliki berat molekul rendah yang dapat menginaktivasi reaksi rantai dari peroksidasi lipid dengan mencegah terbentuknya radikal peroksida. Dalam arti biologi dan kedokteran, istilah tersebut digunakan dalam pengertian yang luas, meliputi enzim yang dapat mendetoksifikasi senyawa-senyawa oksigen reaktif (Kartikawati, (1999) dalam Muhammad 2009). Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa mengganggu dan memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif,
mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik dan memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan bekerja sebagai sebuah sistem untuk menghentikan kerusakan akibat radikal bebas (Muhammad, 2009). Berdasarkan penghasil, maka antioksidan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 1.
Antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang disebut juga antioksidan endogen yang berupa enzim antara lain; superoksida dismutase (SOD), glutathione peroxidase (GSH Px ) dan katalase.
2.
Antioksidan alami yang diperoleh dari tumbuhan atau hewan seperti tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik, dan
3.
Antioksidan sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia seperti butil hidroksianisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), tert butil hidroksi quinon (TBHQ), dan propil galat (PG) (Kumalaningsih (2007) dalam Muhammad, 2009). Dari berbagai macam tumbuhan mengandung antioksidan diantaranya vitamin
C, tokoferol, karotenoid, polifenolik diantaranya flavonoid, isoflavonoid. Senyawa fenolik sebagai antioksidan tersebar luas dalam dunia tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih efektif dari pada tokoferol, vitamin C dan antioksidan sintetik (Sidik, (1997) dalam Widowati dkk, 2005). Polifenol adalah senyawa fenolik yang memiliki lebih dari satu gugus hidroksil (OH), golongan senyawa ini terdapat pada berbagai jenis tumbuhan yang mempunyai berbagai macam aktivitas biologi salah satunya adalah aktivitas antioksidan. Flavonoid memiliki sejumlah kemampuan yaitu
dapat memerangkap menghambat pembentukan radikal bebas hidroksil (*OH), anion superoksida (O2*-), radikal peroksil (ROO*), radikal alkoksil, singlet oksigen, hidrogen peroksida (Shahidi, (1999) dalam Widowati, 2005). Menurut Halliwel dan Gutteridge, (1999) dalam Widowati, (2005) Mekanisme kerja antioksidan flavonoid meliputi : 1. Menekan pembentukan radikal bebas atau ROS dengan cara menghambat enzim, pengkelatan ion logam (metal ion chelating) yang terlibat produksi radikal bebas 2. Meredam radikal bebas ( free radicals scavengers) Peroksidasi lipid dapat dicegah pada tahap inisiasi dengan radical scavengers, sementara reaksi propagasi dapat dicegah dengan peroxyradical scavenger di antaranya dengan antioksidan flavonoid (Shahidi, (1999) dalam Widowati, 2005) : LOO* + FL - OH (Flavonoid)
LOOH + FL - O*
Terminasi radikal lipid (L*), radikal lipid peroksil (LOO*), radikal alkoksil (LO*) yang terbentuk melalui reinisiasi dari peroksidasi lipid, dapat dilakukan oleh antioksidan fenolik. LOO* /L/LO* + A – OH
LOOH/LH/LOH + AO*
A-OH : fenol (α-tokoferol, flavonoid) AO* : radikal fenoksi
Flavonoid dapat mereduksi radikal bebas seperti radikal anion superoksida (O2*-), radikal peroksil (ROO*), radikal alkoksil (RO*), radikal hidroksil (*OH) (Papas, (1999) dalam Widowati, 2005). Flavonoid menghambat enzim yang bertanggung jawab pada produksi radikal anion superoksida seperti xantin oksidase dan protein kinase. Flavonoid juga menunjukan penghambatan terhadap siklooksigenase, lipoksigenase, mikrosomal monooksigenase, glutathion S-transferase, suksinat oksidase mitokondria, dan NADH oksidase yang seluruhnya terlibat dalam pembentukan ROS (Pieta, (2000) dalam Widowati, 2005). Flavonoid merupakan antioksidan ‘kelas tinggi’ karena bekerja dengan memerangkap (scaveng-ing) radikal bebas dan ROS seperti radikal anion superoksida, dan radikal bebas hidroksil (Constantino et al., (1992) dalam Widowati, 2005). 2.5 Tinjauan Tentang Asap Rokok Merokok dapat menimbulkan dampak negatif bagi perokok pasif. Resiko yang ditanggung perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif karena daya tahan terhadap zat-zat berbahaya sangat rendah. Tidak ada yang memungkiri adanya dampak negatif dari perilaku merokok tetapi jumlah perokok bukan semakin menurun tetapi semakin meningkat mulai dari usia muda sampai orang dewasa (Komalasari dan Avin, 2005). Oksidan dalam rokok mempunyai jumlah yang cukup untuk memainkan peranan yang besar terjadinya kerusakan saluran napas. Telah diketahui bahwa oksidan asap tembakau menghabiskan antioksidan intraseluler dalam sel paru (in
vivo) melalui mekanisme yang dikaitkan terhadap tekanan oksidan. Diperkirakan bahwa tiap hisapan rokok mempunyai bahan oksidan dalam jumlah yang sangat besar, meliputi aldehida, epoxida, peroxida, dan radikal bebas lain yang mungkin cukup berumur panjang dan bertahan hingga menyebabkan kerusakan alveoli. Bahan lain seperti nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas, juga mengandung radikal lain yang relatif stabil dalam fase tar (Arief, 2006). Kandungan rokok sangat berbahaya bagi perokok maupun orang-orang di sekitarnya (perokok pasif). Asap rokok yang terhirup dapat menyebabkan penyakit berbahaya, yaitu kanker, penyakit jantung dan emfisema. Pada organ reproduksi akan menyebabkan gangguan seperti kemandulan (pria dan wanita), impotensi, gangguan kehamilan dan perkembangan janin (Aditama, (1992) dalam Fitriani, 2010). Setiap batang rokok mengandung banyak bahan kimia diantaranya adalah nikotin, karbon monoksida dan tar yang bersifat karsinogenik dan dapat membentuk radikal bebas, seperti nitrit oksida (NO) dan nitrit peroksida (NO2) (Widodo, (2006) dalam Muhammad, 2009). Rokok kretek bisa disamakan dengan sebuah pabrik bahan kimia. Rokok kretek lebih berbahaya daripada rokok putih, karena kandungan tar, nikotin, dan karbon monoksida di dalamnya lebih tinggi (Soesilo, 2012). Setiap batang rokok kretek yang dibakar akan menghasilkan berbagai macam bahan kimia. Secara umum bahan kimia yang dihasilkan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga golongan bahan yang berbahaya, yaitu nikotin, tar dan karbon monoksida (CO) (Muhammad, 2009).
2.6 Tinjauan Tentang Tikus Putih Tikus merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian. Tikus putih (Rattus norvegicus L) atau tikus albino merupakan tikus hasil breeding secara selektif sehingga memiliki karakter yang stabil. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5-3 tahun, lama kebuntingan berkisar 2123 hari, umur puberitas 50-60 hari, angka kelahiran 6-12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4-5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9-12 jam, interval antar generasi relatif pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam mengkonsumsi pakan, (Smith & Mangkoewidjojo dalam Azlina, 2009). 2.6 Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pemberian ekstrak sarang semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) terhadap viabilitas spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus L) yang dipapar asap rokok.