EFEK TERATOGENIK EKSTRAK AIR SARANG SEMUT ( Myrmecodia pendens Merr. & Perry) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) GALUR WISTAR FASE ORGANOGENESIS
Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh: SYARIFA ZAHRAH M0404059
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN
NASKAH PUBLIKASI
EFEK TERATOGENIK EKSTRAK SARANG SEMUT ( Myrmecodia pendens ) PADA TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) GALUR WISTAR FASE ORGANOGENESIS
Oleh: SYARIFA ZAHRAH M0404059
telah disetujui untuk dipublikasikan
Surakarta, Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.Okid Parama Astirin, M.S.
Shanti Listyawati, M.Si
NIP. 131 569 270
NIP. 132 169 256
Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si NIP. 130 676 864
EFEK TERATOGENIK EKSTRAK AIR SARANG SEMUT ( Myrmecodia pendens Merr. & Perry) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) GALUR WISTAR FASE ORGANOGENESIS THE INFLUENCE OF WATER EXTRACT TERATOGENIK OF SARANG SEMUT (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) TO THE ALBINO RAT (Rattus norvegicus L.) GALUR WISTAR PHASE ORGANOGENESIS Syarifa Zahrah, Okid Parama Astirin, dan Shanti Listyawati. Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT Sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) is herbal medice that can be used as anti cancer because there are flavonoid compound. Anti cancer drugs have the character of teratogen surely. The aims of this research is to know the teratogenic influence of application on different doses sarang semut water extract toward intrauterine death, percentage of life foetus, body weight rats foetus, crown-rump length, and skeleton structure. This research uses thirty virgin female wistar rats weighing average 200 g and ten male matured rats. Female rats are divided randomly into six groups of five rats each. Each group is kept in a separate plastic cage and used different doses. First group is control and uses 3 ml aquades; second, third, fourth, fifth, and sixth group is uses 3 ml from 0.025%, 0.050%, 0.075%, 0.100%, 0.125% water extract of sarang semut. The rats are fed with Br II and tap water ad libitum. The experiment is given per oral on 7 – 17 gestation days (during organogenesis). The zero day of gestation will be known if both of them are mating, and female rats show vaginal plug. The result of research is analysed by one way anova. The result of research shows that application of sarang semut water extract is not significantly different for intrauterine death, percentage of life foetus, crown-rump length, and body weight rats foetus (P>0,05), but in structure of skeleteon happens lordosis skeleton to 0.025% doses with percentage 11.11% and osifikasi retardation to 0.025% and 0.125% doses with each percentage 11.11% and 5.88%. Demaged of cell is reversible. It can be categorated safe to consumsed by pregnant R. norvegicus galur wistar.
Keywords: Sarang semut extract, teratogenic influence, wistar rats.
Pendahuluan
Penyakit kanker merupakan penyakit ke dua terbesar di dunia setelah jantung yang menyebabkan kematian, sedangkan di Indonesia pada urutan keenam (Tjindarbudi dan Mangunkusumo, 2002; Fudholi, 2003). Kasus kanker di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Kanker mulut rahim dan payudara merupakan jenis kanker paling banyak ditemukan di Indonesia (Mangan, 2003). Tuchmann-duplesis (1975) menyatakan bahwa dalam bidang pengobatan tidak ada resiko yang lebih tinggi selain pengobatan terhadap wanita hamil. Seseorang yang sudah dewasa sebagian akan mampu mengatasi pengaruh obat pada dirinya, namun tidak demikian halnya dengan embrio yang dikandungnya. Dampak penggunaan obat-obatan pada wanita hamil sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada jenis obat dan umur kehamilan pada saat obat tersebut dikonsumsi. Wanita hamil yang mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat teratogenik dapat berakibat terjadinya abortus pada kehamilan muda, atau menyebabkan cacat lahir apabila dikonsumsi pada masa organogenesis, dan apabila dikonsumsi pada masa fetus atau beberapa minggu sebelum persalinan cenderung mempunyai dampak yang mempengaruhi fungsi organ-organ tertentu, sehingga akan nampak pengaruhnya pada masa neonatus (Datu, 2005). Obat anti kanker atau sitostatika adalah obat-obat yang dapat menghentikan pertumbuhan pesat dari sel-sel ganas (maligne) atau bahkan dapat membunuh sel-sel kanker (Anonimd, 2002; Tjay dan Rahardja, 2002). Pengaruh obat anti kanker tidak hanya dialami sel kanker tapi juga sel-sel normal yang memiliki aktivitas pembelahan sel tinggi, seperti pada sumsum tulang, sel akar rambut, epitel germinativum, mukosa saluran cerna, jaringan limfosit, sel kulit, sel kelenjar kelamin, dan sel-sel janin (Ariens dkk, 1986; Snyder, 1997; Fudholi, 2003). Obat-obat kemoterapi bersifat teratogenik (Anonim b, 2006). Toksisitas kemoterapi dan radioterapi terhadap jaringan normal dalam terapi kanker serta mahalnya biaya dan efek samping yang ditimbulkan (Harmanto, 2001), mendorong pengembangan anti kanker dari tanaman obat.
Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan lebih kurang 30.000 jenis tanaman yang 940 spesiesnya telah diketahui berkhasiat sebagai obat (Sulasmono, 2000), salah satunya adalah sarang semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry). Secara empiris tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat anti kanker karena terdapatnya senyawa-senyawa kimia seperti flavonoid, senyawa kimia golongan fenol ataupun polyfenol misalnya tanin (de Padua et al., 1999; Subroto dan Saputro, 2006). Senyawa flavonoid dapat menghambat enzim sitokrom P-450. Adanya hambatan pada enzim tersebut bisa meningkatkan bioavaibilitas obat sehingga meningkatkan efek dari obat tersebut dan juga dapat meningkatkan toksisitas dalam tubuh. Senyawa flavonoid juga dilaporkan dapat menyebabkan toksisitas pada mitokondria sel, kegagalan fungsi hati, dermatitis serta anemia hemolitik (Galati, 2004). Salah satu khasiat penting dari senyawa flavonoida adalah mampu menghambat induksi kimiawi dari tumor melalui stimulasi enzim yang menginaktifkan induktornya khususnya polifenol dengan rumus dihidroksinya (Tjay dan Rahardja, 2002). Sarang semut mampu mengatasi serangan kanker dengan menginaktifasi karsinogen atau menonaktifkan sel pembentuk kanker, menghambat siklus sel dan melakukan induksi apoptosis (merangsang sel kanker untuk membunuh dirinya sendiri) (Subroto dan Saputro, 2006). Semakin maraknya penggunaan sarang semut sebagai obat kanker serta berdasarkan sifat obat anti kanker sebagai agen alkilasi, anti metabolit, dan anti mitotik, maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang efek tanaman obat yang memiliki aktivitas anti kanker, salah satunya dengan dilakukannya uji teratogenesis yaitu suatu pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya kelainan kongenital atau kelainan fungsi organ pada fetus akibat paparan senyawa anti kanker
yang terkandung dalam
tumbuhan
sarang semut
selama
fase
organogenesis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak air tanaman sarang semut (M. pendens Merr & Perry) terhadap prosentase fetus hidup, kematian intrauterus, berat badan, panjang badan, keadaan morfologis, struktur skeleton fetus tikus putih (R. norvegicus L.) galur wistar serta untuk
mengetahui dosis ekstrak tanaman sarang semut (M. pendens Merr & Perry) yang memberikan efek teratogenik terparah terhadap fetus tikus putih (R. norvegicus L.) galur wistar.
Bahan dan Metode
A. Bahan Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Bahan untuk perlakuan : Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (R. norvegicus L. gallur wistar ) bunting hari ke nol umur tiga bulan dengan berat rata-rata 200 g, pellet Br 2 sebagai pakan sehari–hari, serbuk sarang semut (M. pendens Merr & Perry) yang diproduksi oleh Prima Solusi medika Wamenapapua di bawah pengawasan puslit Bioteknologi LIPI Cibinong, dan aquades. 2. Bahan kimia untuk pembuatan preparat wholemount fetus : Alkohol 95 %, aseton gliserin 100%, zat warna alcian blue dan alizarin red- S, asam asetat glasial, aquades, etanol, dan KOH 1 %. B. Cara Kerja Dalam penelitian ini digunakan rancangan percobaan berupa Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomized Design) yang menggunakan enam perlakuan dengan lima ulangan pada masing-masing perlakuan (Gomez, 1995). 1. Pra-perlakuan Tiga puluh tikus putih (R. norvegicus L.) betina dewasa pada fase siklus estrus disatukan dalam satu kandang dengan 10 tikus putih jantan. Pada hari berikutnya tikus-tikus betina tersebut diperiksa vaginal plug (sumbat vagina), apabila terdapat vaginal plug atau setelah dilihat secara mikroskopis dengan metode apus vagina dan terdapat spermatozoa maka hari tersebut ditetapkan sebagai hari ke nol kebuntingan. Selanjutnya tikus putih betina dipisahkan dari tikus putih jantan kemudian tikus betina dikelompokkan menjadi 6 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 tikus putih betina.
2. Perlakuan 1) Persiapan Hewan Percobaan i) Tikus bunting berumur tiga bulan dengan berat rata-rata 200 g dipelihara di dalam kandang, masing-masing kandang berisi lima tikus putih dengan kelompok perlakuan yang sama. Total jumlah tikus putih yang digunakan adalah 30 tikus dibagi dalam enam kelompok perlakuan. ii) Tikus putih sebelum di pergunakan untuk penelitian di aklimatisasi dahulu selama lima hari, diberi makan dan minum secara ad libitum 2) Cara Meramu Ekstrak Air Sarang Semut dan Dosis Pemakaian Sarang semut yang digunakan sudah dalam bentuk serbuk. Cara meramu sarang semut (Dekoktum) sebagai berikut : a) Serbuk sarang semut disiapkan b) Serbuk sarang semut diambil sebanyak 10g bubuk dan dimasukkan ke dalam panci yang terbuat dari stainless steel yang berisi 500 ml air (±2 gelas air). c) Serbuk sarang semut di masak sampai mendidih, api dikecilkan sambil diaduk sesekali selama 15 menit (500 ml menjadi 250 ml). d) Hasil rebusan didinginkan dan disaring kemudian dituang dalam gelas. Dosis pengkonsumsian sarang semut pada manusia untuk penyembuhan sebanyak 2-3 kali per hari masing-masing 250 ml atau 1-2 Kapsul per hari masing-masing 500mg (Subroto dan Saputro, 2006). Konsentrasi ekstrak air sarang semut adalah 2%, ini diperoleh dari 10 gr serbuk sarang semut dilarutkan dalam 500 ml. Kesetaraan dosis antara manusia dan tikus adalah 70 kg untuk manusia dan 200g untuk tikus. Berdasarkan Laurence dan Bacharach (1964) angka konversi dosis dari manusia 70 kg ke tikus 200 g sebesar 0,018. Jika manusia dengan berat 50 kg (Berat rata-rata tubuh manusia Indonesia) mengkonsumsi sarang semut sebanyak 250 ml dengan konsentrasi ekstrak air sarang semut sebanyak 2 % maka dosis lazim untuk tikus dengan perhitungan konversi berdasarkan nilai konsentrasi ekstrak air sarang semut adalah: 70kg/50kg X 0,018 X 2 % = 0,0504 %. Dosis lazim untuk tikus adalah 50,4 mg / 100 ml air. Tiap perlakuan diberi jumlah volume yang sama yaitu 3 ml tetapi dengan
konsentrasi yang berbeda. Selisih dosis untuk tiap perlakuan adalah 1/2 kali dosis lazim dengan range 0, -1/2, Dosis lazim, +1/2, + 1, +1½ dosis lazim. Dengan demikian pemberian dosis terendah: 0% ekstrak air sarang semut ( 3ml aquades), untuk dosis ke-2, ke-3, ke-4, ke-5 dan ke-6 adalah 0,025 %; 0,050%; 0,075%; 0,100%; 0,125% ekstrak air sarang semut. 3) Perlakuan Hewan Uji Tiga puluh tikus putih betina yang telah kawin di kelompokkan menjadi 6 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 tikus putih sebagai ulangan. Tikus putih diberi pakan dan minum secara ad libitum, serta diberi larutan ekstrak sarang semut secara oral dengan menggunakan kanula. Pemberian ekstrak air sarang semut dilakukan sebanyak dua kali per hari yaitu pada pagi dan malam hari. Dosis per hari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: a) Kelompok I
: 2 X 3 ml aquades / 200 g BB
b) Kelompok II : 2 X 3 ml dari 0,025 % ekstrak sarang semut / 200 g BB c) Kelompok III : 2 X 3 ml dari 0,050 % ekstrak sarang semut / 200 g BB d) Kelompok IV : 2 X 3 ml dari 0,075 % ekstrak sarang semut / 200 g BB e) Kelompok V : 2 X 3 ml dari 0,100 % ekstrak sarang semut / 200 g BB f) Kelompok VI : 2 X 3 ml dari 0, 125 % ekstrak sarang semut / 200 g BB 4) Pemberian Ekstrak Air Sarang semut Sebelum diberi perlakuan, semua tikus putih ditimbang. Penimbangan dilakukan pada hari ke-7 kebuntingan (hari kawin dianggap hari ke nol kebuntingan). Setelah itu, tikus tersebut diberi ekstrak air sarang semut secara oral sampai hari ke-17 kebuntingan (masa organogenesis), pada hari ke-18 tikus dikorbankan. 5) Pembedahan dan Pengamatan Sebelum dibedah, tikus ditimbang terlebih dahulu untuk diketahui bobot akhirnya. Pada hari ke-18 kebuntingan, hewan uji dibunuh dengan cara dislokasi servik dan dilakukan bedah Caesar untuk mengambil fetus dari uterus untuk diamati. Fetus-fetus tersebut kemudian di bersihkan dari selaput plasenta dan lendir yang menyelimutinya. Pengamatan eksternal fetus diawali
dengan menghitung dan mencatat jumlah implantasi yang terdiri jumlah fetus yang hidup, jumlah fetus yang mati, dan jumlah fetus yang resorbsi. Selanjutnya dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran panjang badan, dan pengamatan morfologi fetus meliputi : mata, telinga, ruas jari, tengkorak, ekor dan lain-lain yang dianggap abnormal. Untuk pengamatan internal diamati sistem skeletonnya (bentuk tulang, jumlah tulang dan hasil proses penulangan). Untuk pengamatan bentuk fetus dibuat sediaan wholemount dengan metode pewarnaan ganda Allizarin red-s dan Alcian blue menurut Inouye (1976). Proses pembuatan preparat tersebut adalah sebagai berikut : a) Fetus difiksasi kedalam alkohol 95 % selama 3 hari b) Viscerasi yaitu proses pembuangan kulit, jaringan lemak dan organ-organ dalam fetus. Proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati agar fetus tidak rusak atau kedudukan anggota tubuh fetus tidak berubah. c) Fetus tikus putih dimasukkan dalam aseton selama 1 hari untuk melarutkan lemak. d) Fetus diwarnai pada hari ke-4 dengan menggunakan pewarnaan ganda yaitu Allizarin red-s dan Alcian blue selama 1-3 hari pada suhu 37 ºC. e) Fetus dicuci dengan air mengalir beberapa kali sampai bersih f) Fetus dijernihkan dengan larutan KOH 1% dalam air selama 2 hari sampai jaringan yang membungkus tubuh menjadi transparan dan yang berwarna merah atau biru hanya pada jaringan tulang. g) Fetus dipindahkan ke dalam larutan gliserin 20% dalam KOH 1% selama 1-4 hari. h) Fetus dimasukkan secara berturut-turut dalam larutan gliserin 50% dan 80% dalam KOH 1% masing-masing selama 1 jam, lalu disimpan dalam gliserin 100% untuk kemudian dilakukan pengamatan. Pengamatan hasil osifikasi didasarkan pada penyerapan zat warna pada kerangka. Tulang sejati yang normal akan berwarna merah dan tulang yang pertumbuhannya terhambat akan berwarna biru atau tidak terwarnai oleh Allizarin red-S.
6) Pemotretan Fetus Pemotretan fetus dilakukan pada saat pengamatan abnormalitas eksternal (kelainan morfologi, hemoragi, dan resorbsi) dan abnormalitas internal (kelainan hasil osifikasi) dengan menggunakan kamera digital. C. Analisis Data Data kualitatif (jumlah fetus hidup, berat badan fetus, panjang badan fetus, jumlah kematian intrauterus (resorbsi dan fetus mati)) yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian (ANAVA) secara komputasi, jika terdapat beda nyata yang signifikan diantara perlakuan dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf signifikansi 5%. Sedangkan untuk pengamatan abnormalitas eksternal dan internal (kelainan hasil osifikasi) dilakukan analisis secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Sarang semut (Myrmecodia pendens) secara empiris dapat digunakan sebagai obat anti kanker karena terdapatnya senyawa-senyawa kimia seperti flavonoid, fenol ataupun polyfenol (de Padua et al., 1999; Subroto dan Saputro, 2006). Obat anti kanker bersifat sitotoksik (Tjay dan Rahardja, 2002) dan teratogen (Siswosudarmo, 1988). Pengaruh obat anti kanker tidak hanya dialami sel kanker tapi juga sel-sel lain yang memiliki aktivitas membelah yang cepat, seperti sel-sel janin (Ariens dkk, 1986; Snyder, 1997). Jika embrio terpapar oleh zat tersebut khususnya pada saat organogenesis (hari ke-7 kebuntingan sampai hari ke-17 kebuntingan) dapat menyebabkan bermacam-macam abnormalitas internal maupun eksternal. A. Efek Ekstrak Air Sarang Semut terhadap Abnormalitas Eksternal Abnormalitas eksternal pada penelitian ini dapat diamati secara morfometri dengan mengukur berat badan dan panjang badan fetus, menghitung jumlah kematian intrauterus (resorbsi dan fetus mati) dan jumlah fetus hidup, serta mengamati morfologinya.
1. Efek Ekstrak Air Sarang Semut terhadap Morfometri, Kematian Intrauterus, dan Fetus Hidup R. norvegicus Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil yang fluktuatif antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Pengamatan Abnormalitas Eksternal setelah Pemberian Ekstrak Air Sarang Semut Pada Fase Organogenesis No Parameter
1 Jml Induk Hamil 2 Jml implantasi 3 Jml rata-rata fetus per induk 4 Jml dan persentase fetus hidup 5 Jml dan persentase kematian intra uterus Resorbsi Fetus Mati
Dosis Kontrol 3ml Aquades 5
0,050% Sarmut 5
0,075% Sarmut 5
0,100% Sarmut 5
0,125% Sarmut 5
47 9,4
54 10,8
56 11,2
50 10
41 8,2
40(100%)a
42(89,36%)a
50(92,59%)a
52(92,86%)a
44(88%) a
39(95,12)a
0 (0%)a 0 (0%)a
5(10,64%)a 0 (0%)a
3 (5,55%)a 1 (2,44%)a
4 (7,14%)a 0 (0%)a
6 (12%)a 0 (0%)a
1(2,44%)a 1(2,44%)a
1,500±0,113a
1,490±0,075a
1,473±0,121a
1,735±0,176a
27,34±1,801a
27,99±0,633 a
27,800±0,738a
29,51±1,010a
40 8
0,025% Sarmut 5
6 Berat badan fetus (gr) (rata- 1,805±0,188a 1,559±0,436a rata ± SD) 7 Panjang badan fetus 29,92±0,917a 28,39±4,556a (mm) (ratarata ± SD) 8 Jml dan 0 0% 6 12,76% prosentase Abnormalitas
1
2,44% 0 0
0%
0
0%
1
2.44%
Keterangan : huruf yang sama dibelakang angka dalam satu baris menunjukkan tidak beda nyata diantara perlakuan berdasarkan signifikasi 95%.
Tabel 2, menunjukkan terjadinya perubahan berat badan dan panjang badan (Crow rump) fetus yang fluktuatif mulai dari kelompok kontrol sampai kelompok perlakuan dengan dosis tertinggi. Perubahan yang fluktuatif ini dapat terlihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
1,9 1,8054 1,8 1,7354
BERAT BADAN (g)
1,7
1,6
1,5594 1,5006
1,5
1,49
1,4728
1,4
1,3
1,2
1,1
1 3 ml Aquades
3 ml dari 0.025%
3 ml dari 0.05%
3 ml dari 0.075%
3 ml dari 0.1%
3 ml dari 0.125 %
DOSIS EKSTRAK AIR SARANG SEMUT / 200 g BB
Gambar 7. Histogram Berat Badan Fetus R. norvegicus setelah Induknya Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis. 30,5
30
29,924
PANJANG BADAN FETUS (mm)
29,506 29,5
29
28,39
28,5
27,988 28
27,8
27,5
27,338
27
26,5
26 3 ml Aquades
3 ml dari 0.025%
3 ml dari 0.05%
3 ml dari 0.075%
3 ml dari 0.1%
3 ml dari 0.125 %
DOSIS EKSTRAK AIR SARANG SEMUT / 200 g BB
Gambar 8. Histogram Panjang Badan (Crow Rump) Fetus R. norvegicus setelah Induknya Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis. Berdasarkan Gambar 7, ekstrak air sarang semut memberi efek terparah pada dosis 0.100%, sedangkan untuk panjang badan (Crow Rump) fetus efek terparah terdapat pada dosis 0.050%. Walaupun demikian, berdasarkan hasil uji anova tidak terdapat beda nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (Lampiran 1). Tetapi bukan berarti ekstrak air sarang semut sama sekali tidak memberikan efek karena terjadi penurunan berat badan dan panjang badan
(Crow Rump) fetus pada kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari data terlihat pada perlakuan dosis terendah, yaitu 0.025% telah menunjukkan efek penurunan terhadap panjang dan berat badan fetus. Hal ini karena ekstrak air sarang semut masuk ke dalam tubuh fetus dan menghambat pembelahan sel. Aktivitas penghambatan ini terkait dengan flavonoid yang terkandung dalam sarang semut dan mampu berfungsi sebagai anti kanker. Ren (2003) dan Pecorino (2005) dalam Dyah (2007) melaporkan bahwa beberapa senyawa flavonoid yang dikandung oleh tumbuhan secara alami mampu menghambat kinerja atau menghambat terbentuknya kompleks cyclin-CDK yang merupakan regulator siklus sel. Pertumbuhan fetus dapat dilihat dari pertambahan berat dan panjang badan. Berat badan fetus dan panjang badan (Crow Rump) fetus merupakan parameter yang cukup sensitif jika dibandingkan dengan malformasi dan kematian (Ryan et al, 1991 dalam Rahayuningsih, 2007) karena penyusutan berat dan panjang badan merupakan bentuk teringan dari ekspresi teratogen (Wilson, 1973) sehingga mampu menjadi indikator terjadinya hambatan pertumbuhan akibat gangguan
terhadap
proses-proses
yang
mendasari
pertumbuhan
seperti
pembelahan sel, metabolisme, dan sintesis di dalam sel. Gangguan pertumbuhan yang terjadi akibat induksi flavonoid dari ekstrak air sarang semut disebabkan kemampuan senyawa ini menghambat siklus sel, antiproliferasi, dan induksi apoptosis yang ditunjukkan dengan perubahan morfologi dan fragmentasi DNA atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut. Senyawa flavonoid dapat bersifat polar, semi polar, dan lipofilik. Terdapat kemungkinan senyawa flavonoid yang terkandung dalam sarang semut bersifat polar atau semi polar. Jika senyawa flavonoid yang terkandung dalam sarang semut bersifat polar, maka flavonoid akan mengalami proses metabolisme di dalam tubuh induk terlebih dahulu setelah itu hasil metabolismenya masuk ke dalam sirkulasi janin sedangkan jika bersifat semi polar terdapat kemungkinan flavonoid mampu menembus sawar plasenta. Menurut Tuchmann-Duplessis (1975), mekanisme kerja teratogen dalam menghambat pertumbuhan fetus normal
dibagi dua yaitu: langsung menuju fetus dan tidak langsung menuju fetus. Masuknya flavonoid ke dalam sirkulasi janin serta ketidakmampuan janin memetabolisme obat secara sempurna, mengakibatkan konsentrasi obat dalam sirkulasi janin menjadi lebih tinggi, terlebih flavonoid dapat menghambat enzim sitokrom P-450 sehingga bioavibilitasnya menjadi meningkat dan juga dapat meningkatkan toksisitas. Hal ini memberikan efek negativ dan mempengaruhi perkembangan normal janin. Pada saat organogenesis, inti sel dalam keadaan tidak berselaput (Ekawati, 2002), sehingga flavonoid akan dengan mudah masuk ke dalam inti sel dan bereaksi dengan asam nukleat dan akan mengganggu proses pembelahan sel sehingga akan menyebabkan kematian sel dan pertumbuhan akan terhenti. Selain flavonoid, sarang semut kaya akan mineral (Ca, Na, K, Zn, Fe, P, dan Mg) yang penting untuk pertumbuhan dan vitamin E (tokoferol) yang berfungsi sebagai antioksidan. Vitamin E bersifat lipofil, sehingga mudah menembus sawar plasenta. Obat lipofilik cenderung berdifusi dengan mudah melewati plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin (Katzung, 1998). Masuknya vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan mampu mengurangi atau mencegah kerusakan sel janin yang diakibatkan oleh induksi flavonoid. Hal ini karena vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran. Vitamin E, mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan hidrogen ke dalam reaksi, menyekat aktivitas tambahan yang dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat membatasi kerusakan (Krishnamurthy, 1983; Watson dan Leonard, 1986). Kelainan perkembangan selain disebabkan oleh faktor eksternal (masuknya senyawa asing dalam tubuh) menurut Wilson (1973) juga dapat disebabkan oleh faktor internal (faktor genetik). Terjadinya penurunan atau peningkatan berat badan dan panjang badan (Crow Rump) fetus terkait dengan gen yang terdapat pada masing-masing individu dan ruang atau keleluasaan dalam bergerak (tumbuh berkembang) fetus. Fetus yang berasal dari satu kantung uterus dengan jumlah implantasi yang sedikit, relatif mempunyai ukuran yang lebih panjang dan lebih berat dibanding dengan fetus yang berasal dari uterus dengan jumlah implantasi yang banyak. Hal ini terlihat jelas pada Tabel 2, kelompok
perlakuan dengan dosis 0.125% memiliki jumlah implantasi yang lebih sedikit dibandingkan jumlah implantasi dosis 0.025%, 0.100%, 0.075%, dan 0.050%. Pertambahan pertumbuhan ini juga sangat dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang diterima oleh fetus. Semakin sedikit jumlah fetus dalam satu induk, maka semakin banyak nutrisi yang diterima oleh fetus sehingga kebutuhan nutrisi fetus terpenuhi. Walaupun jumlah implantasi secara tidak langsung mempengaruhi berat dan panjang badan fetus, tetapi jumlah implantasi tersebut tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak air sarang semut namun dipengaruhi oleh keberhasilan embrio melakukan implantasi yang terlihat melalui jumlah implant. Jumlah implant tersebut ditentukan oleh banyaknya ovum yang diovulasikan. Selain itu, Rugh (1968) juga menyebutkan bahwa faktor lain dipengaruhi oleh beberapa kali induk telah mengalami kebuntingan, kesehatan, dan ketahanannya. Terjadinya penurunan panjang dan berat badan membuktikan terdapatnya efek namun, tubuh fetus dapat segera melakukan recovery. Menurut Ritter (1977) teratogen dosis rendah mengakibatkan kematian beberapa sel atau dapat pula terjadi pergantian sel, karena sel fetus mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga fetus normal morfologinya tetapi berukuran kecil. Mekanisme inilah yang terjadi pada kelompok perlakuan. Induksi flavonoid yang terkandung dalam ekstrak air sarang semut mampu menyebabkan kerusakan sel dan kerusakan yang disebabkan oleh flavonoid ini bersifat reversibel karena sel-sel fetus masih dapat melakukan perbaikan kembali (recovery). Disamping kemampuan sel-sel tubuh fetus melakukan recovery, terdapatnya vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan dan kandungan mineral yang terdapat dalam sarang semut mengakibatkan kerusakan yang terjadi dapat diatasi. Efek pada janin sangat bergantung pada umur kehamilan pada saat terpapar zat teratogenik, dosis, dan laju dosis yang diterima (Alatas, 2005). Pada tahap awal proliferasi, embrio akan memberi respon all or none (mati atau tumbuh normal) karena pada tahap ini belum terjadi diferensiasi sel sehingga tidak ada pengaruh selektif, hal ini karena sel masih bersifat totipotensi, sedangkan jika terjadi pada saat sel secara intensif mengalami diferensiasi, mobilisasi dan
organogenesis, maka akan menyebabkan malformasi atau cacat bawaan namun jika terjadi setelah fase organogenesis, maka akan menyebabkan kelainan fungsi. Jika efek yang ditimbulkan dari teratogen tidak dapat diatasi oleh embrio maka dapat menyebabkan kematian embrio yang diikuti dengan aborsi atau resobsi pada rodensia jika terjadi pada awal kehamilan, sedangkan jika terjadi pada akhir kehamilan berupa fetus mati. Morfologi fetus yang mengalami resorbsi ditunjukkan oleh Gambar 11. Fetus mati atau resobsi merupakan bentuk dari kematian intrauterus. Kematian intrauterus terjadi karena ketidakmampuan sel melakukan perbaikan (recovery) menjadi sel yang normal, sedangkan sel-sel tubuh fetus yang mampu melakukan recovery menyebabkan fetus akan tetap bertahan hidup. Dosis kontrol memiliki prosentase fetus hidup tertinggi kemudian diikuti oleh dosis 0.125%, 0.075%, 0.050%, 0.025% dan 0.100%. Pada kontrol tidak dijumpai adanya fetus yang mati maupun yang mengalami resobsi. Pada kelompok percobaan terdapat fetus yang mati maupun yang mengalami resobsi. Perbandingan prosentase fetus hidup, mati, dan resobsi tergambar jelas pada Gambar 9 120
100 100 92,59
95,12
92,86
PROSENTASE FETUS (%)
89,36
88
80
FETUS HIDUP FETUS MATI RESOBSI
60
40
20 12
10,64
0
0
0
5,55 1,85
7,14 0
0
3 ml dari 0.075%
3 ml dari 0.1%
2,442,44
0 3 ml Aquades
3 ml dari 0.025%
3 ml dari 0.050%
3 ml dari 0.125%
DOSIS EKSTRAK AIR SARANG SEMUT / 200 g BB
Gambar 9. Histogram Prosentase Fetus Hidup, Fetus Mati, dan Resobsi setelah Induknya Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis.
Berdasarkan uji Anova dengan taraf kepercayaan 95% tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk prosentase fetus hidup, fetus mati, dan resobsi antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Hal ini dibuktikan oleh nilai (P>0,05) (Lampiran 1). Fetus mati hanya terdapat pada dua kelompok dosis yaitu dosis 0,050% dan 0,125%. Fetus mati adalah fetus yang berkembang penuh dan tidak ada tandatanda autolisis tetapi tidak merespon sentuhan. Adanya fetus mati kemungkinan disebabkan oleh proses pembelahan dan diferensiasi sel yang terganggu sehingga fetus tidak mampu lagi meneruskan perkembangannya atau dapat disebabkan oleh kelainan fungsional yang sangat parah sehingga fetus tidak dapat bertahan hidup. A C
B
Gambar 10. Morfologi Fetus R. norvegicus setelah Pemberian Ekstrak Air Sarang Semut. A) Fetus Hidup; B) Fetus Mati dengan Abnormalitas Kulit Transparan; C) Resobsi
Pada percobaan ini, resorbsi terjadi pada semua kelompok perlakuan. Resorbsi dengan urutan tertinggi sampai terendah terjadi pada kelompok dosis dengan urutan dosis: 0,100 %; 0,025%; 0,075%; 0,050%; 0,125% ekstrak air sarang semut dengan prosentase maksimal sebesar 12% (Tabel 2). Resorbsi adalah tidak berkembangnya embrio pada tempat implantasi menjadi fetus yang normal. Resorbsi juga dapat terjadi akibat kesalahan morfologi dengan berbagai cacat tubuh yang berakhir dengan kematian (Rugh, 1968). Resorpsi ditandai oleh adanya gumpalan merah (sisa jaringan yang amorf) pada uterus dan tidak memberikan respon saat disentuh. Peristiwa ini dapat terjadi karena tekanan mekanik, masuknya zat-zat toksik sehingga sel mengalami kematian. Flavonoid dapat meracuni embrio (Ningg dan Seigler, 1992). Masuknya flavonoid dalam sirkulasi janin yang bersifat antiproliferasi, menghambat siklus sel, dan
menginduksi apotopsis menyebabkan kematian sel. Kematian sel ini dapat terjadi karena sel yang belum mengalami diferensiasi mengalami kerusakan dan tidak mampu melakukan perbaikan (recovery). C
A1
B
B
A2
Gambar 11. Morfologi Fetus Dalam Tubuh Induk Kontrol dan Induk yang Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Organogenesis. (A1) Uterus yang Berisi Fetus Normal, (A2) Uterus yang Berisi Fetus Normal Terjadi Kehamilan pada Satu Bagian Uterus Saja, (B) Uterus yang Berisi Fetus Resorpsi, (C) Bentuk Resorpsi.
2. Efek Ekstrak Air Sarang Semut terhadap Morfologi Fetus Tikus Putih Efek dari masuknya suatu zat teratogen ke dalam tubuh induk hamil pada fase organogenesis dapat menyebabkan kelainan perkembangan fetus yang terekspresikan pada kondisi morfologi fetus. Morfologi normal fetus seperti pada Gambar 12.
1
2 3 4 5
Keterangan: 1. Pinnae(Auditory meatus) 2. Mata 3. Vibrisae 4. Mulut 5. Ekstremitas Anterior 6. Ekstremitas Posterior 7. Ekor
6 7 Gambar 12. Morfologi Normal Fetus R. norvegicus dari Induk yang Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis.
Dari pengamatan yang dilakukan, secara keseluruhan bagian fetus berkembang sempurna (komponen tubuhnya lengkap) walaupun fetus tersebut mempunyai ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan dengan yang lainnya, hanya terdapat dua fetus yang komponen tubuhnya tidak berkembang secara sempurna. Ketidak sempurnaan tersebut terletak pada perkembangan kulit berupa kulit transparan. Pada percobaan ini terdapat tiga jenis abnormalitas eksternal yaitu: hambatan pertumbuhan, tubuh bongkok, dan kulit transparan. Jenis-jenis abnormalitas eksternal dan prosentase fetus yang mengalaminya tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengamatan Abnormalitas Eksternal Fetus R. norvegicus yang Berasal dari Induk yang Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis Dosis Ekstrak Air Sarang Semut Jenis Abnormalitas Eksternal Jumlah fetus Kulit transparant Hambatan pertumbuhan Tubuh Bongkok Jumlah
0
0,025%
40
0,050%
0,075%
0,100%
56
0,125%
0
0%
0
47 0%
1
54 2,44%
0
0%
0
50 0%
1
41 2,44%
0
0%
3
6,38%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
3
6,38%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
6
12,76%
1
2,44%
0
0%
0
0%
1
2.44%
1. Tubuh Bongkok (Fleksi) Tubuh bongkok pada percobaan ini hanya terdapat pada kelompok perlakuan dosis 0,025% ekstrak air sarang semut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Bentuk kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh kelainan bentuk vertebrae (tulang belakang) yang disebabkan oleh kematian beberapa sel tulang penyusun vertebrae, akibatnya kecepatan pertumbuhan tulang satu dengan yang lainnya tidak sama sehingga tulang membengkok. Kematian sel ini disebabkan adanya induksi flavonoid yang terkandung dalam ekstrak air sarang semut. Selain bongkok, ketiga fetus ini juga memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari yang lainnya (mengalami hambatan pertumbuhan). Namun tidak semua fetus yang mengalami hambatan pertumbuhan mengalami fleksi (bongkok).
B
A
Gambar 13. Perbandingan Fetus Normal dengan Fetus Tubuh Bongkok dari Induk yang Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis. A) Fetus Normal; B) Tubuh Bongkok.
2. Fetus yang Mengalami Hambatan Pertumbuhan Pada percobaan ini, fetus yang mengalami hambatan pertumbuhan terdapat hanya pada kelompok perlakuan 0.025% (Tabel 3). Perbandingan morfologi fetus yang mengalami hambatan pertumbuhan dengan fetus normal terlihat pada Gambar ke 14. Pada kelompok perlakuan hambatan pertumbuhan dapat disebabkan oleh masuknya senyawa flavonoid. Induksi flavonoid dapat menghambat kinerja dari semua Cyclin-CDK yang merupakan regulator siklus sel. Titik kerja dari flavonoid ini diperkirakan terletak pada penghambatan kerja enzim CDKActivating Kinase (CAK) sehingga menghambat terbentuknya kompleks CyclinCDK yang aktif. Flavonoid dapat berikatan dengan protein kinase pada ATPbinding sitenya (Pan et al., 2002 dalam Edy, 2005). Adanya mekanisme tersebut menjelaskan kemungkinan terjadinya hambatan siklus sel sehingga dapat menyebabkan kematian sel. Dosis rendah menyebabkan kematian beberapa sel fetus dan sel-sel mati ini akan digantikan oleh sel tetangganya dengan hyperplasia kompensatoris, hal ini akan menyebabkan fetus normal secara morfologis tetapi ukurannya kecil. A
B
Gambar 14. Perbandingan Fetus Normal dengan Fetus yang Mengalami Hambatan Pertumbuhan dari Induk yang Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis. A) Fetus Normal; B) Fetus yang Mengalami Hambatan Pertumbuhan.
3. Kulit Transparan Kelainan berupa kulit transparan ini termasuk dalam golongan anomali minor (Lu, 1995). Diferensiasi kulit dimulai pada hari ke-14 kebuntingan yaitu pada saat dimulainya agregasi dan baru nampak satu lapisan tunggal (Rugh,1968). Adanya gangguan pada saat ini menyebabkan kulit menjadi transparan karena masih terdiri dari satu lapisan tunggal. Baru pada hari ke-15 kebuntingan pertumbuhan kulit berlangsung pesat. Pada percobaan ini, kulit transparan terdapat pada kelompok dosis 0.050% dan 0.125% ekstrak air sarang semut dan masing-masing perlakuan hanya terdapat satu fetus yang mengalaminya. Bentuk morfologis kulit transparan tampak pada Gambar 15. Jaringan kulit terdiri dari sel-sel yang aktif membelah dan berdeferensiasi. Flavonoid yang terdapat ekstrak air sarang semut mempengaruhi aktivitas pembelahan dan diferensiasi sel-sel kulit dan menyebabkan kematian sel, akibatnya terjadi kegagalan pembentukan kulit atau kulit terbentuk tidak sempurna atau keterlambatan pertumbuhan kulit. A
B1
B2
Gambar 15. Perbandingan Fetus dengan Kulit Normal dengan Fetus Kulit Transparan dari Induk yang Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis. A) Fetus dengan Kulit Normal; B1)Fetus dengan Kulit Transparan dari Dosis 0.050%; B2) Fetus dengan Kulit Transparan dari Dosis 0.125% Ekstrak Air Sarang Semut.
Selain itu efek yang timbul sangat dipengaruhi oleh kerentanan terhadap zat asing dan faktor genetik seperti pada prinsip teratologi yang pertama yaitu: kerentanan terhadap agen teratogenesis tergantung pada genotip dari embrio atau dari induknya dan interaksinya dengan faktor lingkungan (Wilson, 1973).
B. ABNORMALITAS INTERNAL Abnormalitas internal dapat diketahui dengan melihat bentuk dan jumlah komponen tulang serta proses osifikasinya. Rugh (1968) menyatakan bahwa trauma akibat pemberian obat teratogenik pada hari ke-7,5 kebuntingan dapat menyebabkan keterlambatan penulangan. Menurut Loegito dkk (1995) dalam Ekawati (2002), pengamatan pertumbuhan dan perkembangan skeleton dapat menggunakan tolak ukur: 1. Jumlah komponen skeleton dan tingkat osifikasinya 2. Ada tidaknya atau sempurna tidaknya osifikasi, dan 3. Ada tidaknya kelainan dalam pembentukan skeleton. Jumlah komponen rangka tulang yang diamati meliputi: jumlah komponen rangka aksial dan rangka appendikular. Pengamatan rangka aksial meliputi cranium, vertebrae, dan sternebrae, pengamatan rangka appendikular meliputi: cingulum pectorales, cingulum pelvicales, dan ekstremitas. Berdasarkan hasil pengamatan pada jumlah komponen rangka aksial dan appendikular tidak terdapat perbedaan dengan kontrol, tetapi terdapat kelainan pada rangka fetus dengan dosis 0,025% dan 0,125% ekstrak air sarang semut. (Tabel 4). Tabel 4. Prosentase Fetus R. norvegicus yang Mengalami Cacat pada Skeleton setelah Pemberian Ekstrak Air Sarang Semut selama Organogenesis. No
1 2 3 4 5 6
Dosis Ekstrak Air Sarang Sarmut 0 0.025% 0.050% 0.075% 0.100% 0.125%
Jumlah Induk
Jumlah Fetus
Jumlah Fetus Yang diamati
Prosentase fetus cacat (%)
5 5 5 5 5 5
40 47 54 56 50 41
15 9 16 17 9 17
0% 22.22% 0% 0% 0% 5.88%
Kelainan rangka fetus yang terdapat pada percobaan ini berupa: bentuk skeleton yang lordosis (veterbrae terlalu bengkok kedepan) yang terdapat pada kelompok perlakuan 0.025% ekstrak air sarang semut dan keterlambatan osifikasi yang terjadi pada kelompok dosis 0.025% dan 0.125% ekstrak air sarang semut Kelainan bentuk skeleton lordosis ini berkaitan dengan abnormalitas eksternal yaitu tubuh bongkok. Kelainan ini dapat disebabkan oleh kematian sel
pada tempat tertentu sehingga kecepatan pertumbuhan antar ruas pada vertebrae tidak sama dan menyebabkan tulang menjadi melengkung. Selain itu dapat pula disebabkan adanya gangguan mekanik selama fetus masih di dalam uterus induk karena tekanan pada tulang dalam keadaan tertentu akan menentukan bentuk tulang. Kelainan skeleton lordosis ini terjadi pada veterbrae thoracales, seperti yang terlihat pada Gambar 16. Kelainan veterbrae ini dapat disebabkan oleh tiga kemungkinan yaitu: gangguan terhadap somit, gangguan terhadap chorda dorsalis, atau gangguan terhadap sklerotom (Loegito dkk, 1995 dalam Ekawati, 2002). Abnormalitas
internal
lainnya
adalah
keterlambatan
osifikasi.
Keterlambatan osifikasi dapat diketahui dengan melihat warna komponen tulang setelah diberi pewarna Alizarin Red S dan Alcian Blue. Pewarna Alizarin Red S akan memberi warna merah dan mengidenfikasikan bahwa tulang tersebut merupakan tulang keras sedangkan Alcian Blue akan memberikan warna biru dan mengidenfikasikan bahwa tulang tersebut merupakan tulang rawan / kartilago. Semakin merah warna tulang berarti proses osifikasi semakin sempurna. Penyerapan warna sangat dipengaruhi oleh kalsium tulang. Pada percobaan ini keterlambatan osifikasi terjadi pada kelompok 0.025% dan 0.125% (Tabel 4). Pada kelompok dosis 0.025% keterlambatan terjadi pada bagian: Cervical vertebrae, Thoracic vertebrae, dan Sacral vertebrae hal ini terlihat dengan terwarna biru pada bagian tersebut sedangkan seharusnya berwarna merah seperti yang terdapat pada kelompok kontrol ataupun kelompok perlakuan lainnya yang proses osifikasinya sempurna. Pada fetus dosis 0.125% keterlambatan osifikasi terjadi pada seluruh bagian tubuh kecuali 7 ruas dari Ribs yang mengalami osifikasi hal ini dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.
2
1
Gambar 16. Perbandingan Skeleton Fetus R. norvegicus Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan 0.025% Ekstrak Air Sarang Semut. A) Skeleton kelompok kontrol. B) Skeleton Kelompok perlakuan 0.025% Ekstrak Air Sarang Semut 1. Skeleton Normal 2.Skeleton Fleksi lordosis
Terjadinya hambatan pertumbuhan tulang disebabkan kurangnya kalsium atau terbatasnya jumlah kalsium yang digunakan untuk pertumbuhan tulang, hal ini berakibat terjadinya penghambatan dalam proses osifikasi embrio dalam induknya (Ganong, 1990). Keterbatasan jumlah kalsium ini dapat disebabkan pasokan nutrisi yang kurang, gangguan metabolisme, ganguan hormonal ataupun 1
kombinasi dari ketiganya.
1
2
A
B2 3 B1
Gambar 17. Keterlambatan Osifikasi Rangka Fetus setelah Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis A) Skeleton Kontrol B) Skeleton Kelompok perlakuan 0.025% 1. Mengalami keterlambatan osifikasi pada: 1. Cervical vertebrae 2. Thoracic vertebrae 3. Sacral vertebrae 2. Skeleton Normal
A
B
C2 C1 Gambar 18. Keterlambatan Osifikasi Rangka Fetus setelah Diberi Ekstrak Air Sarang Semut selama Fase Organogenesis A) Skeleton kelompok kontrol, Osifikasi sempurna B) Skeleton kelompok 0.050% dari fetus kulit transparan, Osifikasi sempurna C) Skeleton kelompok 0.125% 1. Osifikasi sempurna 2. Skeleton dari kulit transprant, mengalami keterlambatan osifikasi pada seluruh bagian kecuali 7 ruas dari Ribs atau costae
Pada fetus kelompok dosis 0.025% terjadi keterlambatan osifikasi kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor kekurangan nutrisi sehingga proses metabolisme terhambat. Hal ini ditunjukan oleh berat badan fetus yang sangat ringan yaitu: 0.995 gr. Terdapat dua metabolisme utama dalam pembentukan tulang yang rentan terhadap kekurangan nutrisi yaitu: proses sintesis protein untuk membentuk matriks organik tulang yang terdiri dari jaringan kolagen dan non kolagen protein. Proses berikutnya adalah kalsifikasi tulang, pada tahap ini mineral diantaranya kalsium dan fosfor diendapkan dalam matriks tulang. Jika terdapat hambatan dalam pembentukan matriks organik, maka akan ada hambatan juga dalam proses kalsifikasi tulang sehingga terjadi penurunan kadar mineral tulang, diantaranya kalsium dan fosfor tulang. Terjadinya hambatan kalsifikasi tulang akan menyebabkan hambatan dalam pembentukan sel osteoklas. Senyawa flavonoid yang terkandung dalam sarang semut diduga mampu menghambat pembelahan sel osteoprogenitor. Hal ini terkait dengan mekanisme kerja flavonoid sebagai antiproliferasi. Sel osteoprogenitor merupakan sel induk yang pertumbuhannya tinggi dan membentuk osteoblas. Hambatan yang terjadi
pada sel ini menyebabkan pembentukan osteoblas terhambat sehingga mengakibatkan proses osifikasi terhambat.
Kesimpulan 1. Berat dan panjang badan (Crow Rump) fetus lebih rendah dari kontrol, terdapatnya : a. fetus mati pada dosis 0.050% dan 0.125% ekstrak air sarang semut b. fetus resobsi pada semua perlakuan dosis ekstrak air sarang semut c. fetus yang mengalami hambatan pertumbuhan dan tubuh bongkok hanya pada perlakuan 0.025% ekstrak air sarang semut d. fetus dengan kulit transparan pada kelompok dosis 0.050% dan 0.125% ekstrak air sarang semut. 2. Terjadi kelainan bentuk skeleton lordosis pada dosis 0.025% dan hambatan osifikasi pada dosis 0.025% dan 0.125% ekstrak air sarang semut. 3. Ekstrak air sarang semut tidak memberikan efek teratogenik, walaupun pada hasil percobaan terdapat beberapa manifestasi yng menunjukkan adanya indikasi efek teratogenik. Kerusakan sel yang terjadi bersifat reversibel, sehingga penggunaan sarang semut dapat dikategorikan aman untuk dikonsumsi oleh induk bunting Rattus norvegicus galur wistar.
DAFTAR PUSTAKA Alatas, Z. 2005. “Efek Teratogenik Radiasi Pegion”, Buletin Alara. Vol 6, No. 3 April : 133 – 142. Anonim a. 2007. Kapsul Ekstrak Sarang Semut. http://www.morinda-house.com/ [25 Jun 2007] Anonim b.2006. Tumor Ganas dan Kemoterapi. http://www.pengobatanherba.com [10 Jun 2007]. Anonim c. 2001. “Obat pada Masa Kehamilan”. Rasional . Vol 1 No 6. ISSN 1411 – 8742. http://www.indomedia.com/bpost/062005/13/ragam/art-1.htm [5 Jun 2007]. Anonim d. 2002. Mengenal Tumor dan Kanker. http://www.rich.co.id/ [7 Jul 2007]. Ariens, EJ, E. Mutcher, dan A.M. Simonis. 1986. Toksikologi Umum. (diterjemahkan Wattimena, Y.R, M.B. Widianto dan E. Sukandar). Yogyakarta : UGM-Press. Catron, K.M., Wang, H., Hu, G., Shen, M.M. & Abate-Shen, C. 1996. “Comparison of MSX-1 and MSX-2 Suggests A Molecular Basis for Functional Redundancy”. Mech. Dev., 55 : 185-199. Datu, A.R., 2005. “Cacat Lahir Disebabkan oleh Faktor Lingkungan (Birth defects Caused by Environmental Factors)”. J Med Nus Vol. 26 No. 3 JuliSeptember. De Padua, L. S. , Bunyapraphatsara, N. and Lemmens, R. H. M. S. 1999. Plant Resources of South East Asia (Medical and Poisonous Plants 1), No 12 (1). Printed in Bogor Indonesia (PROSEA). Leiden, the Netherlands, Backhuys Publishers, 36-48. Duryatmo, S. 2007. Sarang Semut vs Penyakit Maut. http://www.trubusonline.com [ 30 Juni 2007]. Dyah, R.B. 2007. Efek Potensiasi Ekstrak Buah Merah Var Kuning (Pandanus conoideus) dengan Batang Sarang Semut (Myrmecodia pendens) Terhadap ESP. P53 Mutan Galur Sel Kanker Payudara T47D Secara In Vito. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Edy, M dan Endah, P.S. 2005. Efek Antiproliferatif dan Apoptosis Fraksi Fenolik Ekstrak Etanolik Daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. Terhadap Sel HeLa. Artocarpus, (5) 2: 74-80 Ekawati, R. 2002. Struktur dan Perkembangan Embrio Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar setelah Pemberian Radiasi Sinar X. Skripsi. Jurusan biologi FMIPA UNS: Surakarta Ellis, R.E., Yuan, J. & Horvitz, H.R. 1991. “Mechanisms of Functions of Cell Death”. Annu.Rev.Cell Biol. 7 : 663-693. Foye, W.O. 1996. Prinsip-Prinsip Kimia Medisinal. Edisi ke 2. Yogyakarta: UGM Press Fraser VJ, Dunagan WC. 1992. Prinsip-Prinsip Terapi Antimicrobial. Dalam: Woodley M, Whelan A, eds. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. 357-79. Fudholi, A. 2003. Ekstrak Tumbuhan Cegah Kanker. http://www.situshijau.co.id/ [27 Jun 2007] Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI: 728-59. Ganong, W.F. 1998. Fisiologi Kedokteran (diterjemahkan oeh: Widjajakusumah). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Galati, 2004. Potential Toxicity of Flavonoids and Other Dietary Phenolics: Significance for Their Chemopreventive and Anticancer Propertiesi. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez. Gilbert, S.F. 1994. Developmental Biology. Sinauer Associates, Inc. Publishers Massachusettes. pp.712-713. Gomez, K.A dan A.A Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian (diterjemahkan oleh Sjamsuddin, E. dan J.S Baharsjah). Jakarta: UI-Press. Harmanto, N. 2001. Sehat dengan Ramuan Tradisional Mahkota Dewa Obat Pusaka Para dewa. Jakarta: Agro Media Pustaka Howland,. J.L. 1975. Environmental Cell Biology. W.A. Calitrinia : Benjamin INC.
Hutahfan. S, 2002. Prinsip-prinsip Uji Toksikology Perkembangan. http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=i ndex&req=getit&lid=191. [7 Juli 2007]. Inouye, M. 1976. “Differential Staining of Cartilage and Bone in Fetal Mouse Skeleton by Alcian Blue and Allizarin Red S”. Congenital Anomalies” vol 16 No 3 : 171 – 173. Jacobs RA. 1996.”Anti-infective Chemotherapeutic and Antibiotic Agents”. In: Current Medical and Treatment. 35th ed. USA: Lange Med Publ. 1317-65. Junqueira, L.C., J. Carnairo., R. O. Keley. 1998. Histologi Dasar. Edisi 6 (diterjemahkan oleh Jan Tambayong). Jakarta : EGC. Krishnamurthy, S. 1983, The Intriguing Biological Role of Vitamin E. J. Chem. Ed., 60 : 465 –467 Kumolosasi, E. Dkk, 2004, ”Efek Teratogenik Ekstrak Etanol Kulit Batang Pule (Alstonia scholaris R. Br) pada Tikus Wistar”. Jurnal Matematika dan Sains.,Vol 9 No 2: 223-227. Laurence, DR and Bacharach, AL. 1964, Evaluation of Drug Activities. Pharmacomities. Lenz, W., and Knapp, K. 1962. “Thalidomid Embriopathy. Arch. Environ. Health 5: 100 -105. Lockshin, R & Zakeri, Z. 1996. “The biology of cell death and its relationship of aging”. In: Cellular aging and cell death. N.J.Holbrook, G.R.Martin & R.A.Lochshin (ed). Wiley Liss. New York. pp.167-180. Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar (diterjemahkan oleh Donatus, I.A). Semarang : IKIP Semarang Press. Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Resiko (diterjemahkan oleh Edi Nugroho). Jakarta : UI-Press. Mangan, Y. 2003. Cara Bijak Menaklukkan Kanker. Agromedia Pustaka Jakarta. 132 p. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. Mc. Bride WG. 1961. “Thalidomide and Congenital Abnormalities”. Lancet 2: 1358.
Naim, R. 2003. Cara Kerja dan Mekanisme Resistensi Antibiotik. Bogor : IPB Nigg, H.N. and Seigler. 1992. Phytochemical Resources for Medicine and Agriculture. Planum Press. New York. P: 260-276 Pacifici GM, Nottoli R. 1995. “Placental Transfer of Drugs Administered to The Mother”. Clin Pharmacokinet. 28 : 235-69. Pan, M., Chen, W., Lin-Shiau, S., Ho, C., Lin, J., 2002, Tangeretin Induces Cell Cycle G1 Arrest through Inhibiting Cyclin Dependent Kinase 2 and 4 Activities as well as Elevating Cdk Inhibitors p21 and p27 in Human Colorectal Carcinoma Cells, Carcinogenesis, 23 (10): 1677-1684. Pearce, E. 1993. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. (diterjemahkan oleh Sri Yuliani Handoyo). Jakarta : Gramedia. Rahayuningsih, T. 2007. Efek Teratogenik Asap Obat Nyamuk Bakar Terhadap Fetus Mencit (Mus musculus L.) Galur Balb-c pada Masa Organogenesis. Skripsi. Jurusan biologi FMIPA UNS: Surakarta Ren, W., Qiao, Z., Wang, H., Zhu, L., Zhang, L., 2003, Flavonoids: Promising Anticancer Agents, Medicinal Research Review, 23 (4): 519-534. Ritter, E.J. 1977. Altered Biosynthesis In: Hand Book of Teratology Vol 2 Edited by J.G Wilson and FC Fraster. New York: lenum Press. Rubin PC. 1992. Drugs in Special Patient Group: Pregnancy and Nursing. In: Clinical Pharmacology Basic Principles in Therapeutics, 3rd ed. 805-25. Rugh, R. 1968. The Mouse: Its Reproduction and Development. New York: Burger Publising, Co. Roberts. 1971. Veterinary Obstertrics and Genital Diseases (Theriogenology). New york : Ithaca. Sadler T.W. 2004. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi ke 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Santoso, H.B., 2004, ”Kelainan Struktur Anatomi Skeleton Mencit Akibat Kelainan Akibat Kafein”, BIOSCIENTIAE., 1 : 23 – 30. Subroto, M.A. dan Saputro, H. 2006. Gempur Penyakit dengan Sarang Semut. Jakarta: Penebar Swadaya. Subroto, M.A. 2007. Obat Alternatif: Sarang Semut Penakluk Penyakit Maut http://www.bdb.ilusa.net/berita.php?id=98 . [12 Juni 2007].
Siswosudarmo, R. 1988. Efek Samping Obat Terhadap Perkembangan Janin. Yayasan Melati Nusantara. Yogyakarta. Snyder, L.A. 1997. “Pharmacology of Vinblastine, Vindesine and Vinorebline”. http://biotech. Lomb. Utexas. Edu/botany/vvv.htm. Stile IL, Hegyi T, Hiatt IM. 1984. Drugs Used with Neonates and During Pregnancy 2nd ed. New Jersey: Medical Economics Co Inc. Sudarwati, S., Suryono, T.W., Yusuf, A.T., 1993. “Efek Methoxyacetic Acid (MAA) Terhadap Perkembangan Anggota Mencit (Mus musculus) Galur A/J”. Jurnal Matematika dan Sains, 1 : 11-19. Sulasmono. 2000. Obat Tradisional dan Permasalahannya dalam: Soegihardjo, CJ dan Sinaradi, FA. (Ed). Mencegah Penyakit Lebih Mudah daripada Mengobati Penyakit. Seri Menyongsong Millenium Ke-3. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Tjay, T.H., dan Rahardja, K. 2002. Obat-obatan Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi ke 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Tjindarbudi,D dan Mangunkusumo, R. 2002. “Cancer in Indonesia, Present and Future”. Jpn J Clin Oncol.32 (Supplement 1); S17-S21. Tuchmann – Duplesis. 1975. Drug Effects On The Fetus. New York – London : Adis Press. Umansky, S.R. 1996. “Apoptosis: Molecular and Cellular Mechanisms (a review)”. Mol.Biol., 30 : 285-295. Watson, R.R. & Leonard, T.K., 1986, Selenium and Vitamin A, E, and C: Nutrient with Cancer Prevention Properties. J. Am. Diet Ass., 86 : 505 –510. Wilson, J.G. 1973. Enviroment and Birth Defect. London : Academy Press. Inc. Zakeri, Z.F &. Ahuja, H.S. 1994. “Apoptotic Cell Death in The Limb and Its Relationship to Pattern Formation”. Biochem. Cell Biol., 72 : 603-613.