BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan titik sentral, sebab dimuka persidangan para pihak yang berperkara pidana akan memaparkan mengenai bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dakwaan, baik secara lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan bukti yang sah menurut hukum atau peristiwa tersebut disertai dengan pembuktian secara yuridis. Namun dalam hal menjatuhkan pidana, pembuktian tidak dapat sematamata dapat di gunakan sebagai syarat tunggal, sebab masih diperlukan pula syarat terbuktinya kesalahan Terdakwa dalam melakukan tindak pidana. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan dalam Undang-Undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan
Terdakwa
(M.
Yahya
Harahap,
1988:793). Latar belakang mengenai ruang lingkup pembuktian
dapat
dikategorikan
menjadi
tiga
hal,
diantaranya : 1) Ketentuan atau aturan hukum yang berisi penggarisan dan pedoman cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan Terdakwa, dikenal juga dengan sistem atau teori pembuktian.
13
14
2) Ketentuan yang mengatur tentang alat bukti yang dibenarkan dan diakui Undang-Undang serta yang boleh digunakan hakim untuk membuktikan kesalahan. 3) Ketentuan yang mengatur cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti. Fungsi
dari
pembuktian
mempunyai
peranan
penting yang nantinya akan menjadi titik tolak atau sandaran hakim, untuk itu diperlukan atauran, kaidah dan pedoman guna menciptakan kepastian dan keadilan bagi hukum. b. Asas-Asas Pembuktian Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip diantaranya : 1) Hal Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan Prinsip ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Notoire
Feiten adalah suatu
kesimpulan umum yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senan tiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan Notoire
Feiten tanpa
dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut Undang-Undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan Terdakwa. 2) Menjadi Saksi Adalah Kewajiban Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
15
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. 3) Satu Saksi Bukan Saksi (Unus Testis Nullus Testis) Prinsip ini berkaitan dengan Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut Undang-Undang, menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir
seluruh
pemeriksaan
perkara
biasa
pidana
dikuatkan
dalam
dengan
alat
acara bukti
keterangan saksi yang diberikan oleh satu saksi tanpa dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah. Kesaksian yang demikian itu tidak cukup membuktikan kesalahan Terdakwa oleh karena itu hakim harus membebaskan Terdakwa dari tuntutan penuntut umum. 4) Keterangan Terdakwa Hanya Mengikat Dirinya Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap
dirinya
sendiri.
Keterangan
Terdakwa tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa lainnya. 5) Pengakuan Terdakwa Tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa Prinsip ini merupakan lawan dari pembuktian
16
terbalik yang tidak dikenal dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa keterangan Terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. Pemberlakuan
Pasal
189
ayat
(4)
mengenai
diberlakukannya prinsip batas minimum pembuktian yang berarti suatu prinsip yang harus digunakan dalam menilai
cukup
atau
tidaknya
alat
bukti
untuk
membuktikan salah atau tidaknya Terdakwa, benarbenar terjadi dan bahwa Terdakwalah bersalah Prinsip ini mengatur batas yang harus dipenuhi dalam membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan jika hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana melakukannya. Penentuan minimum pembuktian ini berpegang pada rumusan Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka prinsip minimum pembuktian dianggap cukup memadai menurut sistem yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah atau paling minimum kesalahan Terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal
17
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak membenarkan pembuktian kesalahn Terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. c. Teori Atas Sistem Pembuktian Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian diantaranya; 1) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan UndangUndang Secara Positif Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alatalat pembuktian yang disebut Undang-Undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang secara
positif
(positief
wettelijk
bewijstheorie).
Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada Undang-Undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh Undang-Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga pembuktian formal (formile bewijstheorie). Menurut D. Simons, dalam Andi Hamzah (2012: 251) sistem atau teori pembuktian berdasar UndangUndang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Pada sistem ini dapat disimpulkan jika hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan
tersangka,
sebab
dalam
sistem
ini
pembuktian berpedoman dengan prinsip dan alat-alat
18
bukti yang dikemukakan dalam Undang-Undang. Dengan kata lain apabila hakim tidak yakin dengan kesalahan
Terdakwa,
tidak
menjadi
hal
yang
berpengaruh sebab jika sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang maka dianggap
sudah
cukup
menentukan
kesalahan
Terdakwa. Disisi lain teori ini ditolak juga oleh wirjono Prodjodikoro, yang dikutip dalam Andi Hamzah (2012:251) untuk dianut di Indonesia, menurutnya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan pengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. 2) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction Intime) Teori pembuktian
ini
sangat berdasarkan
berlawanan
dengan
Undang-Undang
teori hukum
positif, sebab menurut teori ini Terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Oleh karena itu diperlukan keyakian hakim itu sendiri. Menurut M. Yahya Harahap, conviction intime menentukan salah tidaknya Terdakwa semata-mata ditentukan
oleh
penilaian
“keyakinan”
hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau
19
pengakuan Terdakwa ( M. Yahya Harahap, 2001: 277). Selanjutnya menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam Andi Hamzah (2012:252) sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. Dapat disimpulkan bahwa sistem ini memberikan kebebasan
hakim
yang
sangat
besar,
yang
mengakibatkan hakim sulit untuk diawasi. Disisi lain, Terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaannya, sehingga hakim dapat mempidanakan Terdakwa berdasarkan keyakinannya. 3) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim
Atas
Alasan
Yang
Logis
(Laconviction
Raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan
suatu
kesimpulan
(conclusive)
yang
berlandaskan kepada peraturan-peratuan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi (Andi Hamzah, 2012: 253). Faktor kebebasan hakim lebih dibatasi sebab hakim dalam memutus perkara pidana harus berdasarkan alasan-alasan yang logis yang dapat dijadikan alasan yang mendasari keyakinan atas kesalahan Terdakwa. 4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk)
20
HIR maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), begitu pula Ned. Sv. yang lama maupun yang baru, semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut tercantum dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dahulu Pasal 294 HIR. Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada
seorang,
kecuali
apabila
dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti. Tujuan dari ketentuan ini ialah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Menurut M. Yahya harahap, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut UndangUndang secara positif dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentuka salah atau tidaknya seseorang Terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:
21
(1) pembuktian harus dilakukan menurut cara dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. (2) keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya Terdakwa. Kedua unsur tersebut tidak ada yang dominan, jika salah satu dari dua unsur tersebut tidak ada, tidak cukup memdukung keterbukaan kesalahan Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 279). 2.
Tinjauan Ketentuan Pembuktian Keterangan Saksi Anak Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Secara umum semua orang dapat menjadi saksi, kecuali beberapa orang yang dikategorikan dalam Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diataranya: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa. b. Saudara dan Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ketiga. c. Suami atau istri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa.
22
Selain karena hubungan kekeluargaan, ditentukan pula dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban member keterangan sebagai saksi. Namun apabila saksi tersebut bersedia diperiksa maka dapat diperiksa oleh hakim. Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditentukan apabila keterangan saksi baru menjadi alat bukti yang sah jika keterangan saksi tersebut dinyatakan dalam sidang. Nilai suatu kesaksian tunggal tanpa diikuti dengan alat bukti lain yang sah adalah tidak mempunyai arti, dan karenanya dapatlah disebutkan keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang dituduhkan kepadanya atau unnus testis nullus testis (Pasal 185 ayat (2)). Mungkin terjadi adanya beberapa saksi yang memberikan keterangan yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu tersebut (Pasal 185 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)). Menurut D. Simons, dalam Andi Hamzah (2012:269) satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan seorang saksi untuk suatu unsure (bestanddeel) delik dan tidak bertentangan dengan Pasal 342 ayat (2) Ned. Sv.
23
Syarat sah untuk menjadi seorang saksi ialah apabila telah bersumpah atau berjanji menurut cara agamanya. Hal ini berlawanan dengan ketentuan Pasal 171 huruf a Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berarti keterangan mereka dalam hal ini anak dibawah umur atau belum cukup 15 tahun boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa disumpah bukan merupakan alat bukti yang sah melainkan keterangan itu dapat dipakai sebagai petunjuk. Namun dalam Pasal 185 ayat (7) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dipahami jika keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 161 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. jadi kesimpulannya bahwa keterangan saksi anak di bawah umur yang memang tidak dapat diberikan sumpah bukan merupakan alat bukti yang sah namun dapat dipakai sebagai petunjuk, tambahan alat bukti yang sah dan sebagai keterangan yang menguatkan keyakianan hakim. oleh karena itu perlu adanya penyidik aparat penegak hukum yang terkait untuk berusaha mencari alat bukti yang lain sesuai Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga keterangan saksi anak dibawah umur tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk, tambahan alat bukti dan menguatkan keyakinan hakim. 3.
Tinjauan Tentang Putusan a. Pengertian Putusan
24
Putusan merupakan hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan, namun adapula yang mengartikan putusan ialah sebagai vonnis tetap (defnitief). Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut
unterlocutoire
yang
diterjemahkan
dengan
keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/ keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan keputusan untuk sementara (Leden Marpaung, 2011: 129130). b. Jenis-Jenis Putusan Hakim Perkara Pidana 1) Putusan Sela a) Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Diterima Terjadi apabila keberatan Terdakwa atau penasihat hukum Terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi mana yang diterima oleh hakim. Jika eksepsi Terdakwa diterima mengenai kewenangan relativ, maka perkara tersebut dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan ke wilayah pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya. b) Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima Putusan
sela
ini
menyatakan
bahwa
keberatan dari Terdakwa atau penasihat hukum Terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat
25
diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b Kitab Undang-Undang Hukum
Acara
persidangan
Pidana
dapat
(KUHAP)
dilanjutkan
dan untuk
pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)). 2) Putusan Akhir Setelah selesainya pemeriksaan perkara, maka sampailah
hakim
menjatuhkan
menyelesaikan
putusan,
yang
tugasnya,
akan
yaitu
memberikan
penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warganegaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut dengan putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010:112). Jenis-jenis putusan akhir : a) Putusan Bebas Putusan bebas ialah putusan yang dijatukan oleh hakim yang berupa pembebasan Terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Putusan bebas dirumuskan pada Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
pengadilan
yang
berpendapat
berbunyi
bahwa
dari
“jika hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti ssecara sah dan menyakinkan maka Terdakwa diputuskan bebas.
26
Rumusan
Pasal
191
ayat
(1)
ini
menimbulkan penafsiran yang kurang tepat, seolah-olah putusan bebas terjadi hanya karena kesalahan Terdakwa tidak terbukti pada proses pemeriksaan di sidang. b) Putusan Yang Menyatakan Bahwa Terdakwa Dilepas Dari Segala Tuntutan Hukum Putusan ini dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata Terdakwa terbukti secara
sah
dan
menyakinkan
bersalah
sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap Terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Ahmad Rifai, 2010: 113). Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan: (1) Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana. (2) Terdapat keadaan-keadaan yang istimewa yang menyebabkan Terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya Pasal 44,48, 49, 50, 51, masing-masing dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). c) Putusan Pemidanaan Putusan yang dimuat berupa penghukuman Terdakwa
oleh
sebagian
pakar
yang
menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan pidana
identik
dengan
hukuman,
tetapi
27
berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang member makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman. Mengenai penjatuhan hukuman/ pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bunyinya sebagai berikut “jika pengadilan bersalah
berpendapat melakukan
didakwakan
bahwa
tindak
kepadanya,
Terdakwa
pidana
maka
yang
pengadilan
menjatuhkan pidana”. Terdakwa
telah
terbukti
secara
sah
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap Terdakwa harus dijatuhi pada pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri atas; -
Pidana Pokok : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan denda.
-
Pidana Tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, tertentu,
perampasan dan
barang-barang
pengumuman
putusan
pengadilan. 4.
Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus benar-benar menghayati arti amanah dan tanggung jawab
28
yang
diberikan
kepadanya
sesuai
dengan
fungsi
dan
kewenangannya masing-masing. Hakikat pertimbangan hakim merupakan unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan Terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi, 2007:193). a. Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungakap dalam
persidangan
oleh
Undang-Undang
ditetapkan
sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan (Rusli Muhammad, 2007: 212-220). Pertimbangan-pertimbangan yuridis ini diantaranya : 1)
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan merupakan dasar penting dalam hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat
dalam
memeriksa
surat
perkara
dakwaan, itu.
hakim
akan
Pemeriksaan
yang
didasarkan surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu (Andi Hamzah, 2012:167). Mengenai syarat surat dakwaan tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun syarat yang mutlak ialah apabila mencantumkan waktu dan tempat terjadinya delik yang didakwakan, setelah itu apabila Terdakwa terbukti telah melakukan delik
29
tersebut maka Terdakwa dapat dipidana, dan sebaliknya apabila tidak terbukti maka Terdakwa tidak dipidana. 2)
Tuntutan Pidana Tuntutan
pidana
merupakan
tuntutan
penuntut umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada Terdakwa. Penyusunan surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum disesuaikan dengan dakwaan jaksa penuntut umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan. 3)
Keterangan Saksi Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang oleh saksi ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri, yang harus diungkapkan dalam sidang pengadilan dengan pengucapan sumpah oleh para saksi. Keterangan saksi yang disampaikan dalam sidang pengadilan merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, namun kesaksian tersebut dinamakan testimonium de auditu.
4)
Keterangan Terdakwa Keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP), dimana keterangan yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. Keterangan ini dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.
30
5)
Barang-Barang Bukti Barang bukti ialah barang digunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari tindakan pidana. Barang
bukti
digunakan
untuk
menguatkan
keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa. 6)
Pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Menurut Pasal 197 huruf f Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), salah satu yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dalam Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa.
b. Pertimbangan Non Yuridis Pertimbangan yuridis sajalah tidak cukup untuk menentukan nilai keadilan yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis, dan fisiologis. Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan
untuk
mengkaji
sebab-sebab
seseorang
melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku. c. Pertimbangan Sosiologi
31
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang dasar 1945 didalamnya memuat rumusan mengenai segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah
dan
wajib
menjunjung
hukum
dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sebagai upaya pemenuhan tersebut di keluarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 5 ayat (1) bahwa hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kesimpulannya hakim adalah perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat, dengan demikian ia dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. d. Pertimbangan yang Memberatkan dan Meringankan Hakikatnya hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan atau tidak. Disisi lain hakim juga harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa. 1)
Pertimbangan yang Memberatkan Undang-Undang membedakan antara dasardasar pemberatan umum dan khusus. Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana diluar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan pemberatan pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada
32
tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku pada pidana lain. Dasar pemberatan pidana umum diatur dalam tiga dasar yang diatur dalam Undang-Undang yaitu dasar pemberatan karena jabatan, dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan, dasar pemberatan
karena
pengulangan
recidive.
Pemberatan pidana khusus, hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang secara tegas dirumuskan dalam beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). (Adami Chazawi,
2007:73-89) 2)
Pertimbangan yang Meringankan Dilihat dari sudut luas berlakunya, dasar-dasar diperingannya pidana terhadap si pembuat dalam Undang-Undang dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Dasar-Dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Umum Diperingannya secara umum dapat dilakukan jika menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum berumur 16 tahun, menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 anak yang umurnya telah mencapai 8 tahun tapi belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin,
perihal
percobaan
kejahatan
dan
pembantuan kejahatan (Adami Chazawi, 2002: 97-105) b) Dasar-Dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Khusus
33
Dasar pertimbangan khusus ini tersebar dalam Pasal-Pasal
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana (KUHP). Untuk dinyatakan suatu tindak pidana ada pembagiannya dalam dua unsur yang pertama biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut juga bentuk biasa atau bentuk standar (eenvoudige delicten); dan yang kedua pada tindak pidana lainnya (bukan termasuk bentuk pokok), tapi perbuatannya serta syarat-syaratnya lainnya sama (Adami Chazawi, 2002: 106) 5.
Tinjauan Tentang Kekerasan Terhadap Anak Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan kekerasan adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, membuat orang tidak berdaya (Maidin Gultom, 2014: 1). Kekerasan sering terjadi kepada anak, yang dapat merusak, membahayakan
dan
menakutkan
bagi
pertumbuhan
anak.
Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional (Nandiyah Abdullah, Magistra No. 73 tahun XXII September 2010:66). Kekerasan anak terjadi oleh beberapa faktor diantaranya tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak, hubungan anak dengan orang dewasa seperti hirarkhi sosial di masyarakat, kemiskinan (Nurul Huda, 2008. volume VII. 14,: 8486). Anak yang menjadi korban kekerasan akan menderita kerugian
34
material dan immaterial, seperti goncangan emosional dan psikologis, yang dapat mempengaruhi masa depan anak. Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan-tindakan kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Dilihat dari korban pada beberapa peristiwa tindak kekerasan terhadap anak, dapat dikemukakan beberapa tipe korban yaitu (Maidin Gultom, 2014:2) : a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tapi tetap menjadi korban, untuk tipe ini kesalahan ada pada pihak si pelaku. b. Korban secara sadar atau tidak sadar melakuakan suatu perbuatan yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dikatakan mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan, sehingga kesalahan terletak pada si pelaku dan korban. c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya adalah orang-orang yang mudah menjadi korban. d. Korban karena dia sendiri adalah pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan yang disengaja dan menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesngsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
35
hukum. Kekerasan anak sendiri sering kali dilakukan oleh orang dewasa dengan berbagai tujuan tertentu. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat digolongkan menjadi 3 yaitu (Maidin Gultom, 2014:3-4): a.
Phisycal Abuse ( Kekerasan Fisik ) Kekerasan ini menunjukkan pada cedera yang ditemukan pada anak, bukan karena suatu kecelakaan tetapi cedera tersebut adalah hasil pukulan dengan benda atau beberapa penyerangan yang diulang-ulang. Bentuk-bentuk kekerasan fisik dapat berupa : dicekoki, dijewer, dicubit, dijambak, dijitak, digigit, dicekik, disabet, digebuk, ditendak, dan lain sebagainya. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), menyangkut kekerasan fisik dapat dilihat pada Pasal 229, 269, 297, 301, 330-332, 338-341, dan Pasal 351-355.
b.
Emotional Abuse (Kekerasan Emosional) Kekerasan ini menunjukkan pada keadaan yang orang tua / wali gagal menyediakan lingkungan yang penuh cinta kasih kepada anak untuk bisa bertumbuh dan berkembang. Bentuk kekerasan mental ini adalah dipelototi, digoda, disekap, diomeli, dicaci, diludahi, digunduli, diancam, diusir, distrap, dijemur, dan lain sebagainya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP),
menyangkut kekerasan mental dapat dilihat dalam Pasal 310, 311, dan Pasal 335. c.
Seksual Abuse (Kekerasan Seksual) Kekerasan ini menunjuk pada setiap aktivitas seksual, bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan dapat menimbulkan cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan
36
seksual yaitu dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas-remas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, diperkosa. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyangkut kekerasan seksual, dapat dilihat pada Pasal 281-287, 289, 290, 294, dan 295. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, setiap anak berhak atas kelangsungan, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 13 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menentukan bahwa: (1)
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak
mendapatkan
perlindungan
dari
pengakuan.
(2)
a.
Diskriminasi
b.
Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual
c.
Penelantaran
d.
Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e.
Ketidakadilan dan
f.
Perilaku salah lainnya.
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
37
6.
Tinjauan Tentang Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Berdasarkan asas lex spesialis derograt legi generali bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Penganiayaan yang terdapat di dalam kasus kekerasan terhadap anak menggunakan asas tersebut karena objek tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa adalah anak-anak. Sehingga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengesampingkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pasal 76 huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang
menempatkan,
membiarkan,
melakukan,
menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 76 huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ialah :
38
1) Setiap orang. 2) Menempatkan,
membiarkan,
melakukan,
menyuruh
lakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Melakukan Kekerasan Terhadap Anak, Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Pemeriksaan Dipersidangan
Alat Bukti Pasal 184 ayat (1))KUHAP
Pembuktian
Alat Bukti Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur
Alat Bukti Surat Pertimbangan Hakim
Putusan Nomor : 1482/PID.B/2015/PN.LBP
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
39
Keterangan : Kerangka pemikiran diatas menjelaskan mengenai alur pemikiran penulis dalam melakukan penelitian Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor: 1482/PID.B/2015/PN.LBP, guna memberikan gambaran, penjabaran serta membantu proses menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian hukum ini. Perkara ini bermula telah terjadi tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak, selanjutnya jaksa penuntut umum membuat surat dakwaan mengenai perkara dan perkara diperiksa, oleh karena itu dilakukanlah pembuktian. Terdapat beberapa alat bukti diantaranya sebagai bukti keterangan saksi, dan alat bukti surat visum et repertum. Dari alat bukti tersebut mengenai keterangan saksi terdapat keterangan saksi anak dibawah umur yang berdasarkan Pasal 171 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) boleh untuk tidak disumpah. Namun sejatinya keterangan seorang saksi dianggap sah apabila mengucapkan sumpah, apakah keterangan saksi dibawah umur dapat digunakan sebagai keterangan saksi ataukah hanya sebagai menguatkan keyakinan hakim atau sebagai petunjuk. Kemudian hakim memberikan pertimbangannya mengenai perkara tersebut dan hakim memutuskan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan kekerasan terhadap anak dan menjatuhkan pidana percobaan kepada Terdakwa. Oleh karena itu penulis tertarik mengkaji hal tersebut dari konteks hukum acara pidana.