BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran meteriil, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya. Kebenaran itu sulit dicari terlebih semua orang yang terlibat tidak mau disalahkan dalam suatu perkara. Pembuktian menurut R. Subekti yaitu meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (R. Subekti, 2010 : 1). Menurut M. Yahya Harahap pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman-pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2010 ; 273). b. Sistem Pembuktian Dalam sistem atau teori pembuktian secara umum terbagi atas empat teori, antara lain : 1) Berdasar Undang-Undang Secara Positif Teori ini dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja, artinya jika sesuatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Jadi sistem pembuktian ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori). Sistem ini memiliki kebaikan karena sistem ini menuntut hakim untuk mencari kebenaran dan membuktikan kesalahan terdakwa tanpa harus terpengaruh oleh hati nuraninya sendiri sehingga hasil daripada
11
12
pembuktian itu objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. 2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Conviction Intime) Hal yang perlu disadari bahwa alat bukti pengakuan seorang terdakwa tidak harus membuktikan kebenaran kesalahan terdakwa, sehingga pengakuan itu pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan bagaimanapun juga adanya keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan kesalahan atau tidaknya terdakwa. 3) Sistem atau Teori Pembuktian Bebas Menurut teori ini, bahwa alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan atau terikat dalam undang-undang, namun demikian teori ini mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, tetapi hakim dapat menentukan alat-alat bukti dan cara pembuktian yang tidak diatur dalam undang-undang. Jadi dasar putusan hakim bergantung atas keyakinan dan pendapatnya sendiri (subjektif). 4) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction Raisonee) Dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim harus dibatasi karena keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan logis yang dapat diterima dengan akal sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung dengan alat bukti yang sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan undang-undang tetapi hakim dapat menggunakan alat-alat bukti diluar ketentuan undang-undang (Munir Fuady, 2006 : 56). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan dapat diterima dengan akal, tetapi semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang tidak masuk akal.
13
Selain sistem pembuktian yang diuraikan diatas ada juga sistem pembuktian yang dianut KUHAP yaitu, salah satu pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan pembuktian adalah Pasal 183 KUHAP. Bunyi Pasal 183 KUHAP ialah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Kemudian dalam penjelasan disebutkan ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. c. Pembuktian Dalam Hal Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam melakukan Penyidikan/Investigasi, untuk suatu tindak pidana perdagangan orang, parameter yang harus dipakai adalah parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP dan Pasal
29
UUPTPPO
yang
dikaitkan
dengan
segi
tiga
pembuktian/evidence triangle untuk memenuhi aspek legalitas dan aspek
legitimasi.
Yang
dimaksud
dengan
segi
tiga
pembuktian/evidence triangle merupakan segitiga yang terbentuk akibat hubungan timbal balik (interrelasi) antara: Pertama, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. (Pasal 1 angka 3 UUPTPPO). Kedua, pelaku adalah Setiap orang yang dalam UUPTPPO dipahami sebagai orang perseorangan
atau
korporasi
yang
melakukan
tindak
pidana
perdagangan orang. (Pasal 1 angka 4 UUPTPPO). Ketiga, alat bukti segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti/barang bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan Pelaku/terdakwa. (Darwan Prinst,1998:135).
14
Hubungan dari ketiga sudut dalam segi tiga pembuktian/evidence triangle harus saling berkontak pada saat terjadinya peristiwa pidana. Di pusat segitiga tersebut terdapat Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang juga mempunyai interrelasi dengan ketiga barang bukti tersebut.
2. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Berdasarkan Pasal 184 ayat 1 KUHAP, bahwa yang termasuk alat bukti yang sah adalah : a. Keterangan saksi Dalam pengertian keterangan saksi, terdapat beberapa pengertian lainnya yang perlu dikemukakan, yaitu pengertian saksi dan kesaksian sebagai berikut : 1) Saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). 2) Kesaksian Menurut Sudikno Mertokusumo, adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang atau tidak diperbolehkan oleh undang-undang, yang dipanggil di pengadilan. 3) Keterangan saksi Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi megenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP).
15
b. Keterangan Ahli Di dalam KUHAP telah dirumuskan pengertian tentang keterangan ahli sebagai berikut : 1) Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, bahwa “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” 2) Menurut Pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. c. Surat Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Contoh alat bukti surat adalah berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh oleh polisi (penyelidik/penyidik), BAP pengadilan, berita acara penyitaan, surat perintah penangkapan (SPP), surat izin penggeledahan (SIP), surat izin penyitaan dan lain sebagainya. d. Petunjuk Menurut Pasal 188 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk ialah : (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa.
16
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. e. Keterangan Terdakwa Menurut Pasal 189 KUHAP bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa adalah : (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh sebuah alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
3. Tinjauan tentang Keterangan Ahli Mengenai
peran
ahli
dalam
memberikan
keterangannya
dalam
pemeriksaan di persidangan terdapat dalam sejumlah peraturan dalam KUHAP, antara lain: a) Pasal 132 ayat (1) KUHAP Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli;
17
b) Pasal 133 ayat (1) KUHAP Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya c) Pasal 179 ayat (1) KUHAP Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan Keterangan ahli yang telah dimasukkan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia sekarang, maka peranan keterangan ahli diperlukan di dalam setiap tahap proses pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna membantu tugas-tugas baik dari Penyidik, Jaksa maupun Hakim terhadap suatu perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kealpaan dan lain-lain. Kondisi sekarang yang semakin modern, kebutuhan dari orang ahli semakin
diperlukan
kehadirannya,
seperti:
dalam
tindak
pidana
penyelundupan, kejahatan komputer dan komponen canggih, kejahatan perbankan, kejahatan korporasi, tindak pidana tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), tindak pidana uang palsu dan surat berharga, tindak pidana narkotika dan obat-obat berbahaya (Narkoba), tindak pidana lingkungan hidup dan lain-lain, yang salah satu hal berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri perdagangan, komunikasi, informasi dan sebagainya. Keterangan
orang
ahli
diperlukan
dalam
setiap
tahapan
pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan,
18
tahap penuntutan maupun tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan orang ahli atau para ahli yang didasari pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam pertimbangan hukumnya.Hukum Pidana Indonesia mengenal kesaksian Ahli sebagai salah satu alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Keterangan Ahli dalam hukum pidana Indonesia adalah sebagai salah satu alat bukti. Hal ini sejalan dengan sistem pembuktian di Indonesia yang menggunakan sistem pembuktian Menurut Undang-Undang secara Negatif ( Negatif Wetteleijk Stelsel ) tidak lain disebabkan oleh sistem pembuktian di Indonesia yang menggunakan sistem “Negatief Wettelijke”. Negatief Wettelijke memiliki arti keyakinan hakim yang disertai dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan. Maka dari itu seorang ahli harus memenuhi syarat untuk memberikan keterangannya dalam persidangan, adapun syarat sah keterangan ahli, antara lain : a) Keterangan diberikan oleh seorang ahli b) Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu c) Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya d) Diberikan dibawah sumpah/ janji: - Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan - Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan. Selain syarat sah keterangan ahli diatas berikut ini jenis-jenis keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan, yaitu : a) Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)
19
b) Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim) c) Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut umum. Keterangan yang disampaikan seorang ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli antara lain : a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas b) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan c) Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim 4. Tinjauan tentang Penuntut Umum a. Jaksa dan Penuntut Umum KUHAP memberikan uraian pengertian jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a serta Pasal 13. Ditegaskan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a). Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13). b. Kewenangan Penuntut Umum Kewenangan penuntut umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP melalui Pasal 14, yaitu : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan
prapenuntutan
apabila
ada
kekurangan
pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat
(4),
dengan
memberi
petunjuk
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
dalam
rangka
20
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. 5. Tinjauan tentang Surat Dakwaan a. Pengertian Surat Dakwaan Menurut Ahli : Menurut A. Soetomo, surat dakwaan mempunyai arti: Adalah surat yang dibuat penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas ke pengadilan, yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, waktu dan tempat perbuatan pidana dilakukan, serta memuat uraian sq^ara cermat, jelas dan lengkap tentang per-buatan tersebut, yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa, yang memenuhi unsur-unsur pasal tertentu dari suatu undang-undang, yang nantinya dijadikan dasar pemeriksaan terdakwa di sidang pegnadilan, untuk dibuktikan apakah perbuatan yang didakwakan tersebut betul-betul telah terjadi, dan apakah betul bahwa terdakwa adalah pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan (A. Soetomo, 1989:4). Menurut M. Yahya Harahap
21
Surat dakwaan adalah surat/akta yang memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, yang disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan rumusan pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan kepada terdakwa, dan dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan hakim di sidang pegnadilan (M. Yahya Harahap, 1988:414). Menurut A. karim Nasution, dakwaan adalah ; Suatu surat/akta yang memuat perumusan tindak pidana yang dituduhkan,
yang
sementara
dapat
disimpulkan
dari
surat-surat
pemeriksaan pendahuluan, yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman (A. karim Nasution, 1972:75). b. Syarat-Syarat Surat Dakwaan Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat dakwaan itu sebagai berikut: “Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan di tandatangani serta berisi : a. Nama lengkap, tempat lahir, umur, atau tanggal lahir jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tiindaak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktudan tempat tindak pidana dilakukan. Pasal 143 ayat (2) ini bila terus dijabarkan akan mendapatkan lima syarat dai surat dakwaan yaitu: a) Dibuat oleh penuntut umum b) Diberi tanggal dan ditandatangani c) Memuat identitas tersangka
22
d) Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
e) Waktu dan tempat pidana yang didakwakan. Pada uraian a, b dan c merupakan syarat formil dari surat dakwaan, sedangkan pada point d, e merupakan syarat materil dari surat dakwaan. c. Bentuk-bentuk surat dakwaan a. Surat Dakwaan Tunggal Dalam Surat Dakwaan tunggal terhadap terdakwa hanya didakwakan melakukan satu tindak pidana saja yang mana penuntut umum merasa yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut. b. Surat Dakwaan Subsider/Berlapis Dalam Surat Dakwaan yang berbentuk subsider di dalamnya dirumuskan beberapa tindak pidana secara berlapis dimulai dari delik yang paling berat ancaman pidannya sampai dengan yang paling ringan. Akan tetapi yang sesungguhnya didakwakan terhadap terdakwa terdakwa dan yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan hanya “satu” dakwaan. Dalam hal ini pembuat dakwaan bermaksud agar hakim memeriksa. c. Surat Dakwaan Alternatif Dalam Surat Dakwaan yang berbentuk alternatif, rumusannya mirip dengan
bentuk Surat Dakwaan Subsidair, yaitu yang
didakwakan adalah beberapa delik, tetapi sesungguhnya dakwaan yang dituju dan yang harus dibuktikan hanya satu tindak pidana. Jadi terserah kepada penuntut umum tindakan mana yang dinilai telah berhasil dibuktikan di depan pengadilan tanpa terkait pada urutan dari tindak pidana yang didakwakan. Sering terjadi penuntut umum mendapatkan suatu kasus pidana yang sulit menentukan
23
salah satu pasal diantara 2-3 pasal yang saling berkaitan unsurnya, karena tindak pidana itu unsure yang menimbulkan keraguan bagi penuntut umum untuk menentukan diantara 2 pasal atau lebih atas satu tindak pidana. d. Surat Dakwaan Kumulatif Dalam Surat Dakwaan Kumulatif didakwakan secara serempak beberapa delik/ dakwaan yang masing-masing berdiri sendiri (Samenloop/Concursus/ Perbarengan). d. Fungsi surat dakwaan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, karena itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan : a. Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus
membatasi
ruang
lingkup
pemeriksaan,
dasar
merupakan
dasar
pertimbangan dalam penjatuhan keputusan; b. Bagi
Penutut
Umum,
Surat
Dakwaan
pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum; c. Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.
6. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, yaitu : (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat atau
24
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi seseorang di wilayah Republik Indonesia, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 2) (2) Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud dieksploitasi ke negara lain dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 3) (3) Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia keluar wilayah negara Republik Indonesia, dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Republik Indonesia, dipidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal4) (4) Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 5) (5) Setiap orang yang melakukan pengiriman anak kedalam atau keluar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (Pasal 6) (6) Setiap
penyelenggara
negara
yang
menyalahgunakan
kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dala Pasal 2,3,4,5 dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal-Pasal tersebut. Selain sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud, dikenakan pidana
25
tambahan berupa pemberhentian secara dengan tidak hormat dari jabatannya. (Pasal 8) (7) Setiap orang yang berusaha menggerakan orang supaya melakukan tindakan perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan denda paling banyak Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat pulu juta rupiah). (Pasal9) (8) Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindakan perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Pasal 2,3,4,5 dan 6. (Pasal 10) (9) Setiap orang yang merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana
dengan
pidana
yang
sama
sebagai
pelaku
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2,3,4,5 dan 6. (Pasal 11). (10)
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan
korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan orang untuk keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Pasal 2,3,4,5 dan 6. (Pasal 12)
b. Pengertian Perdagangan Orang Menurut KUHP Perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 297 tetapi tidak ada definisi secara resmi dan jelas tentang perdagangan orang dalam pasal tersebut sehingga tidak dapat dirumuskan unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana perdagangan wanita dan anak laki-laki dibawah umur. Pasal tersebut menyebutkan wanita dan anak laki-laki di bawah umur berati hanya perempuan dewasa
26
karena wanita sama dengan perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih di bawah umur yang mendapat perlindungan hukum dalam pasal tersebut. Adapun laki-laki dewasa dan anak-anak perempuan tidak mendapat perlindungan perlindungan hukum. Pasal 297 juga tidak cukup untuk mencakup berbagai macam bentuk kejahatan yang terdapat dalam modus perdagangan orang. Seperti perdagangan orang melalui jeratan utang. Selain itu, pasal ini tidak mencantumkan masalah-masalah penyekapan atau standarisasi kondisi pekerjaan. Jika ukuran hukum tidak jelas, aparat penegak hukum akan sulit membedakan antara penampungan dengan penyekapan. Jadi, akan sulit menghukum mereka yang melakukan penyekapan karena KUHP tidak memiliki kriteria hukum yang dapat diterapkan di lapangan dan sanksi untuk kejahatan ini tergolong ringan. Perdagangan orang yang menyerupai perbudakan masuk dalam generasi HAM pertama dan menuntut tiadanya intervensi dari pihak lain terhadap kedaulatan individu dan terkait dengan perdagangan orang, hak-hak tersebut terdapat dalam generasi HAM kedua yakni hak-hak ekonomi yang pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial sehingga sangat membutuhkan peran aktif negara sedangkan mengenai perlindungan korban terdapat pemberian retitusi dan rehabilitasi
padahal
seharusnya
juga
perlu
diberikan
kompensasi.Kasus-kasus perdagangan orang tidak hanya terjadi di daerah pedesaan tetapi juga di daerah perkotaan . Janji-janji tawaran pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi sering digunakan sebagai senjata untuk menjebak korban . Para korban umumnya dipaksa untuk bekerja sebagai buruh dengan upah rendah dan pelacur . Eksploitasi perempuan muda dan anak-anak dalam kerja paksa dan prostitusi perlu diperjuangkan . Salah satu cara untuk berkomunikasi dengan merancang kampanye digital yang dapat meningkatkan kesadaran ,
27
kepedulian , dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang kejahatan ini .
c. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga merumuskan mengenai ruang lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : (1) Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsureunsur tindakan pidana yang ditentukan dalam undangundang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007). Selain itu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang orang yang memasukan orang memasukan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk eksploitasi; (2) Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan eksploitasi; (3) Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu unuk maksud eksploitasi; (4) Mengirim anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun dan setiap- orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau mengambil keunntungan; (5) Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen Negara atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO; (6) Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum; (7) Setiap orang yang menyerangan fisik terhadap saksi atau petugas dipersidangan perkara TPPO; setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggalagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di siding
28
Pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu pelarian pelaku TPPO; (8) Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya dirahasiakan.
B. Kerangka Pemikiran 1. Bagan Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pemeriksaan
Pembuktian
Alat Bukti
Keterangan Ahli
Putusan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2. Keterangan : Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, penulis menjelaskan alur pemikiran dalam menjabarkan permasalahan yang diteliti. Permasalahan mengenai tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh terdakwa kepada korban-korbannya. Setelah melalui tahap pemeriksaan di
29
persidangan
muncullah
ahli
yang
fungsinya
semata-mata
untuk
memberikan keterangan sesuai dengan pengetahuannya dan keterangan tersebut dapat dijadikan untuk menguatkan keyakinan hakim. Kemudian setelah melalui tahapan persidangan terbitlah Putusan Pengadilan Jakarta Timur Nomor : 55/PIDSUS/2014/PN.Jkt.Tim.