BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEREK DAN PROSES PEMBUKTIAN 2.1. Merek 2.1.1. Pengertian Merek dan Dasar Hukum Merek Pengertian Merek dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Merek yang menyatakan bahwa: “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angkaangka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.” Dari peraturan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Merek tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari merek adalah: -
tanda yang mempunyai daya pembeda
-
tanda tersebut harus digunakan
-
untuk kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa Berangkat dari unsur-unsur merek di atas, suatu merek dapat dikatakan
berbeda dengan merek yang lain apabila tidak memiliki unsur-unsur persamaan dengan merek lain yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
17
18
Sementara beberapa ahli mengemukakan pendapat sebagai berikut: -
Menurut Molengraaf, merek yaitu dengan manda dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.14
-
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.15
-
Menurut
Sudargo
Gautama,
berdasarkan
perumusan
pada
Paris
Convention, suatu trademark atau merek pada umumnya didefinisikan sebagai suatu tanda yang berperan untuk membedakan barang-barang dari suatu perusahaan dengan barang-barang dari perusahaan lain. 16 Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengkaitkan suatu imej (citra), kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, yang seringkali lebih bernilai daripada aset daripada suatu perusahaan pemilik merek.17 Tanda sebagai unsur dasar merek dapat dilihat pada Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang menyatakan bahwa merek adalah setiap tanda atau 14
Muhammad Djumhana, Djubaedillah, 2014, Hak Milik Intelektual. Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Cetakan keempat, Bandung, Citra Aditya Bakti, h. 222 15 Zainal Asikin, 2013, Hukum Dagang, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, h. 140 16 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2015, h. 216 17 Tim Lindsey dkk, 2013, Hak Kekayaan Intelektual. Suatu Pengantar, Bandung, Alumni, h. 131
19
kombinasi dari tanda yang memiliki kemampuan untuk membedakan barang atau jasa dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya harus dapat dinyatakan sebagai merek. Tanda-tanda tersebut dapat berupa nama orang, huruf-huruf, angka-angka, elemen figuratif, dan kombinasi dari warna-warna sebagaimana kombinasi dari tanda-tanda tersebut dapat didaftarkan sebagai merek. Lebih lanjut, persamaan antara satu merek dengan merek lain diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa: “Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.”
Dalam Undang-Undang Merek tidak dijelaskan secara spesifik maksud dari “persamaan pada pokoknya” ataupun “persamaan secara keseluruhan”. Menurut Rahmi Jened, istilah “persamaan pada pokoknya” berarti suatu kemiripan yang dikarenakan adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek satu dengan merek yang lain, di mana kemiripan ini dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan atau persamaan arti yang terdapat dalam merek tersebut18. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, persamaan pada keseluruhan adalah persamaan seluruh elemen19. Dengan kata lain, merek yang memiliki persamaan secara keseluruhan merupakan
18 19
Rahmi Jened, op. cit, h.181 Ibid, h. 175
20
salinan atau reproduksi dari merek orang lain yang sudah didaftarkan terlebih dahulu apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 20 a. terdapat persamaan elemen secara keseluruhan termasuk elemen hurufnya; b. persamaan jenis atau produksi kelas barang dan jasa; c. persamaan wilayah dan segmen pasar; d. persamaan pelaku pemakaian; dan e. persamaan cara pemeliharaan. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa merek merupakan setiap tanda atau kombinasi dari tanda berupa nama orang, huruf-huruf, angkaangka, maupun gabungan warna yang memiliki daya pembeda untuk membedakan barang atau jasa dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, di mana tanda atau kombinasi tanda tersebut dapat didaftarkan sebagai merek dagang. Dasar hukum merek secara Internasional adalah The Agreement on TradeRelated Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang merupakan salah satu perjanjian multilateral terpenting dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual. Tujuan TRIPs secara umum tertuang dalam konsideran TRIPs, yang diantaranya adalah untuk
mengurangi
gangguan
dan
hal-hal
yang
menyulitkan
kemajuan
perdagangan internasional (to reduce distortions and impediments to international trade), mempromosikan perlindungan yang efektif dan layak bagi Hak Kekayaan Intelektual (to promote effective and adequate protection of intellectual property rights), dan untuk menjamin bahwa tindakan dan prosedur pelaksanaan hak kekayaan intelektual tidak menjadikannya penghalang untuk diperdagangkan
20
Ibid, h. 176
21
secara sah. (to ensure that measures and procedures to enforce intellectual property rights do not themselves become barriers to legitimate trade). Indonesia merupakan salah satu negara anggota World Trade Organization (WTO) yang menjadikannya wajib melaksanakan TRIPs. TRIPs diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia sebelumnya telah memiliki pengaturan mengenai merek yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Kedua peraturan tersebut telah tergantikan dengan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. 2.1.2. Jenis-Jenis Merek Dalam Undang-Undang Merek dikenal 3 (tiga) jenis merek yang diatur dalam Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4, yaitu Merek Dagang, Merek Jasa, dan Merek Kolektif. Dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sementara dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan bahwa Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
22
Semua negara yang mengatur adanya pendaftaran untuk merek jasa pada dasarnya berlandaskan kepada klasifikasi jasa yang ditetapkan dalam Konvensi Nice yang terdiri atas 8 (delapan) kelas, diantaranya adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
kelas 35: advertising and business; kelas 36: insurance and financial; kelas 37: construction and repair; kelas 38: communication; kelas 39: transportation and storage; kelas 40: material treatment; kelas 41: educational and entertainment; kelas 42: miscellaneous.21
Pasal 1 angka 4 mengatur tentang Merek Kolektif, di mana dinyatakan bahwa Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa merek kolektif sebenarnya terdiri dari merek dagang dan merek jasa, hanya saja penggunaan merek tersebut adalah secara kolektif. Di Belanda, penggunaan merek kolektif harus didaftarkan ke Kantor Merek Beneluks dan harus melampirkan pengaturan mengenai penggunaan dan pengawasan merek kolektif tersebut. Pengaturan ini harus berisi unsur-unsur yang umum dalam merek tersebut dan memberikan arti pengawasan yang layak dan sanksi yang layak untuk memastikan eksistensi unsur-unsur tersebut.22 2.1.3. Fungsi Merek
21 Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76 22
Schuit, Steven R., 2009, Dutch business law, U.S.A, Kluwer Law and Taxation, h. 361
23
Fungsi dari merek adalah sebagai suatu tanda pembeda antara barang atau jasa milik satu pihak atau perusahaan, dengan barang atau jasa milik pihak atau perusahaan lain. Selain itu merek juga berfungsi sebagai penjamin kualitas apabila merek dilekatkan pada produk asli yang diproduksi oleh pihak yang berhak. 23 Suatu produsen yang dapat memberikan jaminan kualitas akan suatu produk barang atau jasa cenderung mampu membangun kepercayaan masyarakat sebagai konsumen walaupun harga jual barang atau jasa tersebut menjadi relatif lebih mahal. Merek juga berfungsi sebagai penunjuk asal produk di mana merek tampil sebagai representasi asal produsen24 karena tidak semua merek mencantumkan kata “made in...” tetapi apabila suatu merek sudah terkenal dan diketahui asalnya dari masyarakat, maka masyarakat tentu sudah mengetahui asal merek tersebut.
2.1.4. Proses Pendaftaran Merek Sistem dalam pendaftaran merek dibagi menjadi dua, diantaranya adalah sistem deklaratif dan sistem konstitutif (atributif). Dalam sistem deklaratif, yang berhak mendapatkan hak atas merek adalah pemakai pertama suatu merek, di mana yang menciptakan hak atas merek adalah pemakai pertama dan bukan pendaftar pertama. Hal ini dianggap kurang dapat memberikan kepastian hukum karena pendaftaran merek hanya memberikan suatu hak prasangka menurut
23
Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual. Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, Jakarta, Penaku, 2014, h.52 24 Ibid
24
hukum25. Sementara dalam sistem konstitutif, siapa yang pertama mendaftarkan hak atas merek yang berhak atas merek tersebut. Dengan kata lain, pendaftaran tersebut yang menciptakan suatu hak atas merek. Dalam Undang-undang Merek, sistem yang dianut adalah sistem konstitutif. Sistem ini telah dianut sejak pengaturan merek melalui Undangundang merek sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997. Sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 pendaftaran merek menganut sistem deklaratif. Dalam hal pendaftaran merek di Indonesia, terlebih dahulu harus diajukan permohonan yang merupakan permintaan pendaftaran merek yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Merek. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang merek, permohonan pendaftaran merek dapat diajukan untuk lebih daripada satu kelas barang dan atau jasa dengan menyebutkan jenis barang/jasanya. Menurut Rahmi Jened, ketentuan tersebut mengacu kepada Trademark Law Treaty, yang bertujuan menyederhanakan peraturan lama yang menetapkan pendaftaran satu merek hanya untuk satu kelas barang atau jasa. Penyederhanaan ini dilakukan demi memudahkan pemilik merek dalam menggunakan mereknya untuk beberapa barang dan/atau jasa yang termasuk dalam beberapa kelas agar tidak direpotkan
25
OK Saidin, 2015, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) Edisi Revisi, Cetakan 9, Jakarta, Rajawali Pers, h. 474
25
oleh prosedur administrasi yang mengharuskan pengajuan permohonan secara terpisah bagi setiap kelas barang dan/atau jasa.26 Tata cara pendaftaran merek sendiri diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Merek, yang menentukan bahwa: (1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan; a. tanggal, bulan, dan tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon; c. nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; d. warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. (2) Permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya. (3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. (4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. (5) Dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara nbbersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui kuasanya, surat kuasa untuk itu ditanda tangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. (8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. (9) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.
2.1.5. Sistem Perlindungan Merek dan Jangka Waktu Perlindungan Merek 26
Rahmi Jened, op.cit, h. 145
26
Perlindungan terhadap merek diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Merek yang menyatakan bahwa: “Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang dalam daftar umum
merek untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Dari aturan tersebut dapat dilihat bahwa pemilik hak atas merek (terdaftar) memiliki hak eksklusif untuk mencegah pihak-pihak lain selain dirinya tanpa izin darinya untuk kegiatan perdagangan. Lebih lanjut dapat dilihat dalam Pasal 16 TRIPs yang menyatakan bahwa: “The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods and services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis of use.” Dapat dilihat bahwa aturan tersebut sejalan dengan aturan dalam Pasal 3 Undang-Undang Merek, namun memberikan spesifikasi mengenai tanda yang digunakan, di mana pihak ketiga atau pihak lain tidak dapat menggunakan tanda yang sama/mirip, untuk barang dan jasa yang sama/mirip, di mana penggunaan tanda yang sama/mirip tersebut akan menimbulkan kebingungan.
27
Perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia adalah melalui pendaftaran. Hal ini disebut dengan sistem konstitutif atau first to file system27. Dalam sistem konstitutif, pendaftar pertamalah yang akan mendapatkan hak atas merek. Sistem ini lebih memberikan jaminan perlindungan hukum karena asumsi hukum yang timbul bahwa pemohon pertama yang mengajukan pendaftaran dengan iktikad baik adalah pihak yang berhak atas merek, sampai terbukti sebaliknya.28 Jangka waktu perlindungan merek diatur dalam Pasal 18 TRIPs yang menyatakan bahwa jangka waktu perlindungan merek baik yang baru didaftarkan maupun yang diperpanjang adalah selama 7 (tujuh) tahun, sementara UndangUndang Merek Indonesia menetapkan jangka waktu yang lebih lama yaitu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Merek. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Merek, di mana diatur bahwa merek yang telah didaftarkan dapat diperpanjang kembali pendaftarannya dan mendapatkan perlindungan selama 10 (sepuluh) tahun lebih lama dengan syarat permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek terdaftar tersebut dan barang dan atau jasa yang menggunakan merek tersebut masih diproduksi dan diperdagangkan. 2.2. Pembuktian
27 28
Rahmi Jened, Op. cit. h.144 Ibid
28
2.2.1. Proses Pembuktian dalam Peradilan Perdata Umum Dalam hukum Acara Perdata dikenal asas “siapa yang mendalikan suatu hak wajib membuktikan haknya tersebut” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 163 HIR/283 RBg, Ketentuan tersebut juga berlaku dalam hal perkara merek, di mana pihak penggugat harus membuktikan bahwa penggugat menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum tergugat. Gugatan perbuatan melawan hukum dalam perkara merek tidak dapat digabungkan dengan permohonan pembatalan merek karena upaya hukumnya tunduk pada hukum acara perdata dan sebaiknya gugatan ganti rugi atas perbuatan melanggar hukum, didahului adanya putusan gugatan pembatalan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam perkara gugatan ganti rugi juga dapat dilakukan oleh pemilik merek terdaftar baik secara sendiri atau bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan dan Hakim dalam memeriksa gugatan dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan perdagangan barang dan jasa yang menggunakan merek secara tanpa hak atas permohonan pihak penggugat. Permohonan untuk menghentikan penggunaan merek tersebut merupakan tuntutan provisi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 HIR dan apabila tergugat dituntut menyerahkan barang yang menggunakan merek yang bukan haknya, hakim dapat memerintahkan penyerahan tersebut
setelah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat tersebut harus dapat dibuktikan apabila penggugat menghendaki gugatannya untuk dikabulkan,
29
sebaliknya jika pengugat tidak berhasil membuktikan dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka hakim akan menolak gugatan penggugat tersebut. Dalam prakteknya, tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, karena dalil-dalil yang tidak disangkal dan diakui oleh pihak tergugat tidak perlu untuk dibuktikan29. Hakim yang memeriksa perkara tersebut dapat menentukan siapa di antara pihak - pihak yang berperkara akan dibebani pembuktian dan dalam hal ada pengakuan dengan klausula biasanya pihak tergugat dibebani pembuktian tentang klausulanya tersebut. Ada beberapa alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 164 HIR yaitu: a. bukti surat; b. bukti saksi; c. persangkaan; d. pengakuan; e. sumpah. Alat bukti lain yang dapat digunakan ialah “pengetahuan hakim”, yang merupakan
keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang,
misalnya hakim melihat saat melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang milik penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya itu. Dalam perkara perdata, bukti surat adalah bukti yang penting dan utama, terutama dalam lalu lintas perdagangan seringkali sengaja disediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila di kemudian hari timbul suatu perselisihan, di mana 29
Riduan Syahrani, 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.86
30
bukti tersebut dapat berupa sehelai surat dan untuk penerimaan sejumlah barang, biasanya salah satu pihak harus menandatangani surat tanda penerimaan barang. Surat dalam hukum acara perdata dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, dengan perkataan lain hukum acara perdata mengenal 3 (tiga) macam surat ialah : a. surat biasa; b. akta otentik; c. akta di bawah tangan. Selain surat, dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi merupakan hal yang penting, terutama untuk perjanjian - perjanjian dalam hukum adat yang pada umumnya dibuat tanpa adanya surat karena didasarkan kepada rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Maka dari itu para pihak akan berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan maupun menguatkan dalil-dalil yang diajukan dalam gugatan di muka persidangan. Mengenai alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 152, Pasal 168 sampai dengan Pasal 172 HIR. Pada lingkup hukum adat dikenal 2 (dua) macam saksi, yaitu30: a. saksi yang tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat dan mendengar sendiri perbuatan hukum yang diperkarakan; b. saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada waktu perbuatan hukum dilakukan telah diminta oleh para pihak untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Selain saksi, alat bukti lainnya dalam hukum acara perdata adalah persangkaan yang diatur dalam Pasal 164 dan Pasal 173 HIR. Persangkaan adalah suatu kesimpulan yang ditarik dari peristiwa yang dikenal atau dianggap terbukti,
30
Djamal, 2009, Hukum Acara Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Di Indonesia, Penerbit Pustaka Reka Cipta, Bandung, h.75
31
dengan mana diketahui adanya suatu peristiwa yang tidak dikenal. Apabila yang menarik
kesimpulan
adalah
undang-undang
maka
persangkaan
tersebut
dinamakan persangkaan undang-undang, dan apabila yang menarik kesimpulan adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Alat bukti lainnya adalah pengakuan, yang diatur dalam Pasal 174 sampai dengan Pasal 176 HIR. Pengakuan merupakan keterangan baik tertulis maupun tidak tertulis yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang dikemukakan pihak lawan. Pengakuan dapat dibagi atas dua macam yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 174 HIR, pengakuan merupakan bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang telah mendapat kuasa khusus untuk itu. Dengan demikian maka apabila salah satu pihak mengakui apa yang didalilkan oleh pihak lawan, maka tidak perlu lagi dilakukan pembukyian karena dengan pengakuan tersebut sudah cukup untuk membuktikan peristiwa atau hubungan hukum yang menimbulkan hak baginya. Pengakuan yang dilakukan didepan sidang pengadilan tidak dapat ditarik kembali kecuali jika terbukti bahwa pengakuan tersebut adalah akibat suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi, yang bukan karena kekeliruan tentang hubungannya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1926 ayat (2) BW. Pengakuan yang dilakukan diluar persidangan tidak merupakan bukti yang mengikat, tetapi meriupakan bukti bebas, sebagaimana diamanatkan Pasal 175
32
HIR. Apabila pengakuan tersebut dilakukan secara tertulis maka tulisan tersebut juga dapat dijadikan alat bukti surat bukan akta yang mempunyai kekuatan bebas. Pengakuan diluar persidangan dapat ditarik kembali. Dalam hukum acara dikenal juga bukti sumpah yang terdiri dari 2 (dua) macam sumpah, diantaranya adalah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. Suatu keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpa tidak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar. Ketentuan Pasal 177 HIR menyebutkan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah dimaksud. Pasal 155 HIR mengatur perihal sumpah penambah, yang menyatakan: “jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat ditentukan.”
Pengadilan Negeri harus menentukan jumlah uang, yang sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercaya karena sumpahnya. Berdasarkan redaksi ayat (1) di atas ternyata, bahwa sehubungan dengan sumpah penambah harus sudah
33
ada bukti, tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna, oleh karena itu ditambah dengan bukti yang lain. Dalam upaya mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan lain perkataan bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain. Karena sumpah tersebut untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu, maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed) . Mahkamah Agung dalam putusan tertanggal 17 Oktober 1962 No. 213 K/Sip/1962 menyatakan, bahwa : “sumpah tambahan justru untuk menambah suatu pembuktian, yang menurut undang - undang belum sempurna, agar menjadi sempurna.Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah.”
Dalam prakteknya adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang telah ada dan belum cukup itu dengan sumpah penambah, melainkan hanya hakim sendiri yang, tanpa ada permintaan dari pihak yang bersangkutan, karena jabatan, akan memerintahkan sumpah tersebut. Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah, sehingga tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak
34
akan memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak gugatan tersebut. Ketentuan Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus.atau sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan, sehingga sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu. Bertolak dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa proses pembuktian dlam perkara merek yang terkait dengan tuntutan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, menggunakan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam HIR. 2.2.2. Pelanggaran Merek dan Proses Pembuktian di Pengadilan Niaga Apabila terjadi pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, maka berdasarkan aturan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Merek, pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya untuk barang dan atau jasa sejenis berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat (2)). Gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut dapat dianggap wajar, karena merugikan
35
pemilik merek secara materiil dan imateriil. 31 Kerugian materiil yang diderita pemilik merek dapat berupa kerugian finansial karena pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang seharusnya didapatkan dari penjualan barang dan/atau jasa milik pemilik merek yang dilanggar haknya. Namun kerugian imateriil yang diderita pemilik merek cenderung lebih besar karena dapat merusak citra baik merek yang telah dibangun sejak lama, di mana kualitas dari barang dan/atau jasa produksi pemilik merek yang sah tentu saja berbeda dengan produksi pihak pengguna merek tanpa hak tersebut. Pada prinsipnya, pelanggaran merek dapat dikategorikan dalam tiga area utama yaitu:32 a. Pelanggaran yang menyebabkan persamaan yang membingungkan mengenai sumber, sponsor, afiliasi atau koneksi. b. Pemalsuan dengan penggunaan merek yang secara substansial tidak dapat dibedakan yang dipersyaratkan untuk pemulihan tiga kali lipat dari jumlah kerugian sebenarnya sebagaimana dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan dan untuk penuntutan pidana. c. Dilusi merek yang mengurangi kapasitas sebuah merek terkenal untuk mengidentifikasikan dan membedakan barang atau jasanya, terkait dengan persaingan atau persamaan yang membingungkan. Dalam Undang-Undang Merek, hanya diatur mengenai tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Niaga, tetapi tidak diatur mengenai tata cara pembuktian dalam proses peradilan perkara sengketa merek. Dalam peraturan perundangundangan Indonesia juga belum diatur mengenai Pengadilan Niaga. Hal ini dapat ditemukan dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang menyatakan bahwa tata cara pemeriksaan persidangan perkara 31
Ahmadi Miru, 2005, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h. 93 32 Rahmi Jened, op. cit., h.311
36
HKI adalah sesuai dengan tata cara pemeriksaan perkara perdata biasa. Proses peradilan perdata sendiri masih mengacu kepada HIR (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) peninggalan kolonial sebagai dasar hukum beracaranya. Oleh sebab itu, maka pembuktian dalam perkara sengketa merek sama dengan pembuktian acara perdata biasa. Terhadap keputusan pengadilan niaga tidak dapat diajukan banding, tetapi dapat diajukan langsung kasasi. Hal ini dapat lebih mempermudah dan mempercepat keputusan yang sangat diperlukan bagi dunia bisnis pada umumnya.33 2.2.3. Delik Dalam Merek Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Merek terdapat dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95, di mana tindak pidana dalam merek merupakan delik aduan (Pasal 95 Undang-Undang Merek). Dalam hukum pidana, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan cara membuat pengaduan kepaada pihak yang berwenang. Pengaduan adalah suatu pernyataan tegas baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, dari seseorang yang berhak (pengadu) yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian Republik Indonesia) tentang telah diperbuatnya suatu tindak pidana oleh seseorang, dengan disertai permintaan agar
33
Abdul R. Saliman, 2015, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Prenadamedia Group, h. 149
37
dilakukan pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan yang berwenang. 34
34
201
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta, RajaGrafindo Persada, h.