BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah suatu proses pengungkapan fakta-fakta antara para pihak yang berperkara, yang menyatakan bahwa suatu peristiwa hukum benar-benar terjadi. Peristiwa hukum yang sudah terjadi itu dapat berupa perbuatan, kejadian atau keadaan tertentu seperti yang diatur dalam hukum. Peristiwa hukum yang sudah terjadi itu menimbulkan suatu konsekuensi yuridis, yaitu suatu hubungan hukum yang menjadi dasar adanya hak dan kewajiban pihak-pihak. Pengungkapan fakta-fakta itu dapat dilakukan dengan perbuatan, pernyataan, tulisan, dokumen, kesaksian ataupun surat elektronik. Tanya jawab antara pihak-pihak atau antara pihak-pihak dan majelis hakim di muka sidang pengadilan merupakan bentuk proses pengungkapan fakta-fakta, yakni untuk meyakinkan majelis hakim bahwa suatu peristiwa hukum benar sudah terjadi, yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak (Abdulkadir Muhammad, 2008: 125). Beban pembuktian dalam hukum acara perdata diatur dalam: Pasal 163 HIR menyebutkan bahwa: “barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”. Pasal 1865 BW menyebutkan bahwa: “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan hak sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
13
14
menunjukan suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Pasal 283 RBg menyatakan bahwa: “barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu”. Menurut Sarwono dalam bukunya Hukum Acara Perdata, beban pembuktian dapat disimpulkan yakni suatu pernyataan tentang hak atau peristiwa di dalam persidangan apabila disangkal oleh pihak lawan dalam suatu perkara, harus dibuktikan tentang kebenaran dan keabsahannya. Berdasarkan pengertian tentang pembuktian, dapat dijelaskan bahwa penekanan pembuktian terdapat pada beban pembuktian terhadap suatu hak dan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu yang ada dalam suatu kehidupan bermasyarakat dalam hubungan hukum antara para pihak satu dengan pihak lainnya seringkali dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara di pengadilan (Sarwono, 2011: 236-237). b. Tujuan Pembuktian Tujuan membuktikan secara yuridis adalah menemukan kebenaran tentang peristiwa yang disengketakan pihak-pihak yang berperkara.
Dari
peristiwa
yang
telah
pasti
dan
terbukti
kebenaraanya tersebut, maka hakim harus mengkualisirnya menjadi peristiwa hukum dan untuk kemudian memberi konstitusinya sebagai akhir dari proses pemeriksaan perkara di pengadilan guna mencapai keadilan. Secara tidak langsung maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian yang diajukan oleh para pihak tersebut (Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007: 125). Definisi
lain
dan
lebih
komprehensif
dari
tujuan
pembuktian adalah: “…everything that is used to reveal and determine the truth and therefore is presumed to be true and related to a case. Giving or procuring evidence is the process of using those things that are either (a) presumed to be true or (b) were in fact proven to be true
15
by earlier evidence (truths) and demonstrates the broadening of the truth of a case. And the collection of evidence is in fact the act of determining”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pembuktian dalam pemeriksaan perkara perdata adalah untuk membuktikan fakta-fakta tertentu dalam pemeriksaan perkara perdata. Apabila pembuktian tersebut dianggap sebagai suatu yang benar dan sebagai adanya bukti awal (kebenaran) serta menunjukan kebenaran kasus maka selanjutnya hakim harus meyakinkan mengenai kebenaran dalam suatu kasus tersebut. Meyakinkan hakim mengenai kebenaran tersebut melalui dua tahapan dasar, yaitu: 1) Reveal the truth (mengungkap fakta atau kenyataan) 2) Determine the truth (menetapkan fakta mana yang benar). (M. Natsir Asnawi, 2013: 10-11). Hal
inilah
merupakan
tujuan
pembuktian
dalam
pemeriksaan perkara perdata. Pembuktian dalam perkara perdata bertujuan untuk mencari kebenaran formil. Selain sebagai upaya untuk meyakinkan hakim juga berperan dalam mengungkapkan fakta-fakta yang dikemukakan dalam persidangan, baik oleh Penggugat maupun Tergugat. Hakim, oleh karenanya dalam proses pembuktian dituntut untuk menerapkan cara atau mekanisme pembuktian yang efektif dan efisien sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. c. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 BW yang meliputi : 1) Alat bukti dengan surat atau tertulis; 2) Alat bukti dengan saksi; 3) Alat bukti persangkaan-persangkaan; 4) Alat bukti pengakuan; 5) Alat bukti sumpah.
16
Selain alat-alat pembuktian tersebut, HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang diatur dalam pasal-pasal: Pasal 153 (1) HIR berbunyi: “jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang komisaris daripada dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim”. Pasal 154 HIR yang berbunyi: “jika pengadilan negeri menimbang bahwa perkara itu dapat lebih terang jika diperiksa atau dilihat oleh orang ahli maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan kedua pihak maupun karena jabatannya”. Kekuatan pembuktian alat-alat bukti dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG dan Pasal 1866 BW dijelaskan sebagai berikut: 1) Alat bukti dengan surat atau tulisan Tulisan adalah suatu tanda yang memuat tanda bacaan dan yang menyatakan suatu buah pikiran. Tulisan dapat berupa akta dan tulisan yang bukan akta. Akta adalah tulisan yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti atas hal yang disebut di dalamnya. Sedangkan tulisan bukan akta adalah tulisan yang memang sengaja dibuat para pihak tetapi tidak dijadikan bukti. Akta dibagi lagi menjadi dua yakni: akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yakni “suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sedangkan akta di bawah tangan yakni tulisan yang dibuat para pihak dan ditanda tangani tanpa perantara pejabat umum.
17
Kekuatan pembuktian akta otentik meliputi: a) Kekuatan pembuktian lahir, yakni jika suatu akta dari wujudnya saja tampak sebagai suatu akta yang dibuat oleh suatu pejabat umum, maka akta seperti itu dianggap sebagai akta otentik. b) Kekuatan pembuktian formal, yakni suatu akta itu memang benar
apa
yang
diterangkan
oleh
pihak-pihak
yang
bersangkutan dan hal ini berlaku bagi siapa saja. c) Kekuatan pembuktian materil, yakni bahwa apa yang dimuat di dalam suatu akta itu memang sungguh-sungguh terjadi antara para pihak (jadi tidak hanya diucapkan para pihak, tapi juga memang sungguh-sungguh terjadi). Berdasarkan kekuatan pembuktian tersebut, maka akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya, diantara para pihak yang bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Selanjutnya mengenai akta di bawah tangan karena akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu bentuk, jelas tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Mengenai kekuatan pembuktian formal, maka dapat dikatakan bahwa akta di bawah tangan, jika diakui oleh pihak terhadap siapa akta itu dipergunakan dan hal ini berlaku pada setiap orang. Tentang kekuatan pembuktian materil akta di bawah tangan, jika akta itu diakui oleh pihak terhadap siapa akta itu dipergunakan. Hal ini sebagaimana berlaku seperti akta otentik, kekuatan pembuktiannya berlaku kepada pihakpihak yang bersangkutan berserta ahli warisnya serta orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, satusatunya ketentuan yang diharuskan dari suatu akta di bawah tangan adalah akta itu harus ditanda tangani. Jadi apabila akta di
18
bawah tangan diakui oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan ditanda tangani maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti suatu akta otentik (Ali Afandi, 1997: 198-202). 2) Alat bukti dengan saksi Suatu alat pembuktian dengan saksi pada umumnya baru digunakan apabila alat pembuktian dengan tulisan tidak ada dan atau pembuktian dengan tulisan tersebut tidak cukup. Mengutip Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan”. Oleh karena itu, keterangan-keterangan yang dikemukakan seorang sebagai saksi (merupakan kesaksian) itu harus benarbenar keterangan tentang hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dilihat atau dialami sendiri dan harus beralasan. Berdasarkan Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata menyatakan “keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya”. Keterangan seorang saksi harus ditambah dengan adanya alat bukti lainnya. Kekuatan pembuktian alat bukti dengan saksi adalah bebas, artinya kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim dalam menilai alat pembuktian saksi (Pasal 1908 KUH Perdata dan Pasal 172 HIR) dengan memperhatikan kesamaan/persesuaian antara keterangan para saksi, persesuaian antara keteranganketerangan dengan apa yang diketahui dengan segi lain tentang perkara, sebab-sebab yang mendorong para saksi mengemukakan keterangannya, pada cara hidupnya, kesusilaan dan kedudukan para saksi pada umumnya serta segala apa yang berhubungan
19
dengan keterangan yang dikemukakan (Teguh Samudera, 1992: 58-62). 3) Alat bukti persangkaan-persangkaan Persangkaan berdasarkan undang-undang oleh Pasal 1916 KUH Perdata yakni persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan
khusus
undang-undang,
dihubungkan
dengan
perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Sedangkan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang (menurut
kenyataan)
persangkaan
yakni
berdasarkan
hakim
bebas
kenyataan.
menyimpulkan Hakim
bebas
mempergunakan atau tidak mempergunakaan hal-hal yang terbukti dalam suatu perkara sebagai dasar untuk melakukan persangkaan (Teguh Samudera, 1992: 77-81). Kekuatan pembuktian persangkaan menurut undangundang yakni membebaskan sesorang untuk memberikan pembuktian lebih lanjut (Pasal 1921 KUH Perdata). Hal ini tidak berarti bahwa seseorang yang telah mendapat kedudukan yang baik karena adanya persangkaan menurut undang-undang itu, lalu tidak harus membuktikan suatu hal tertentu. Ia harus tetap membuktikan adanya peristiwa yang menimbulkan persangkaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka hakim akan menentukan nilai kekuatan pembuktian persangkaan tersebut. Hal ini merupakan bukti yang bebas. Sedangkan kekuatan pembuktian persangkaan
tidak
berdasarkan
undang-undang
(menurut
kenyataan) memiliki kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas mempergunakan atau tidak mempergunakan hal-hal yang terbukti sebagai dasar untuk melakukan persangkaan tersebut (Ali Afandi, 1997: 213). 4) Alat bukti pengakuan Suatu pengakuan adalah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersangkutan, tentang apa yang
20
dikemukakan oleh lawannya. Pengakuan itu meliputi pernyataan akan kebenaran dari tuntutan, hubungan hukum dan peristiwa. Jika di dalam suatu perkara ada pengakuan dari salah satu pihak, maka hakim selanjutnya tidak perlu lagi meminta pembuktian dari suatu peristiwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1923 KUH Perdata ada 2 (dua) jenis pengakuan, yaitu pengakuan di dalam sidang pengadilan dan pengakuan di luar sidang. Pengakuan di dalam sidang adalah suatu pernyataan tegas dari salah satu pihak yang berperkara tentang kebenaran dari hal-hal yang dikemukakan oleh lawannya. Pengakuan semacam ini disebut pengakuan murni. Kekuatan pembuktian pengakuan di dalam sidang mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap dan menentukan terhadap yang mengemukakan dan merupakan bukti yang menentukan, oleh karena itu apabila salah satu pihak yang mengaku, maka hakim harus menganggap pengakuan itu sebagai kebenaran. Sedangkan pengakuan di luar sidang menurut ketentuan Pasal 1928 KUH Peradat maka penilaiannya diserahkan kepada hakim (Ali Afandi, 1997: 217-218). 5) Alat bukti sumpah HIR dan KUH Perdata tidak memberikan definisi mengenai sumpah. Undang-undang hanya mengatur tentang sumpah pada Pasal 155-158 HIR, Pasal 177 HIR dan Pasal 19291945 KUH Perdata. Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah tetapi menurut para ahli hukum memberikan pengertiannya yaitu antara lain, mengutip A. Pitlo bahwa “sumpah adalah hal yang menguatkan suatu keterangan dengan berseru
kepada
Tuhan”.
Sedangkan
mengutip
Sudikno
Mertokusumo bahwa “sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa
21
daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya” (Teguh Samudera, 1992: 94-95). Ada 2 (dua) golongan sumpah: a) Sumpah dimuka hakim, yakni termasuk sumpah pemutus (decisior), sumpah tambahan, sumpah penaksiran, sumpah saksi dan sumpah seorang ahli. b) Sumpah diluar pengadilan, yakni termasuk sumpah pembersih (zuiveringseed) dan sumpah penaksir. Berdasarkan ketentuan Pasal 1929 KUH Perdata, sumpah dimuka hakim ada 2 (dua) yakni: a) Sumpah pemutus (decisior) Yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu dengan perantara hakim diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara. Kekuatan pembuktian pada sumpah decisior adalah menentukan, karena biasanya tidak ada alat bukti yang lain dan para pihak yang bersengketa menggantungkan penentuan perkaranya kepada diangkatnya sumpah tersebut. b) Sumpah tambahan (aanvullende eed) Yaitu suatu sumpah yang oleh hakim karena jabatannya diperintahkan kepada salah satu pihak yang berperkara. Sumpah ini diperintahkan oleh hakim karena bukti-bukti yang diajukan belum dianggap cukup untuk memutuskan perkara, maka dari itu diperlukan tambahan pembuktian. Kekuatan pembuktian sumpah tambahan adalah sebagai bukti yang sempurna (Ali Afandi, 1997: 219). Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat sekarang ini, memungkinkan masyarakat umum untuk melakukan
tindakan
dan
perbuatan
yang
berkenaan
atau
berhubungan langsung dengan kegiatan hukum melalui media
22
online. Para pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian melalui via internet dengan kliennya atau dengan konsumennya. Perjanjian ini biasanya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa atau sebagainya, mana kala terjadi suatu sengketa terhadap perjanjian ini, maka dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan di berlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) pada tanggal 21 April 2008, maka secara yuridis terciptalah suatu dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang ini. Salah satu hal yang baru adanya suatu bentuk alat bukti baru dan sah secara hukum, yaitu informasi elektronik, dokumen elektronik atau pun hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik (Pasal 5 ayat (1) UU ITE). Ketiga macam alat bukti ini benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan dan mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah (Pasal 44 UU ITE). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Tentang UU ITE menyebutkan: (1) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
23
(3) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. (4) Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE, maka ada perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah. Berdasarkan KUH Perdata, macam alat-alat bukti hanya dapat diperoleh dari alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan-persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah. Tetapi setelah diundangkannya UU ITE, alat bukti dengan informasi elektronik, dokumen elektronik atau pun hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, apabila alat bukti tersebut dijamin otentikasi dan keasliannya yang dapat ditelusuri dari register atau berita acara. d. Proses Pembuktian dalam Proses Peradilan Perdata Pembuktian dalam perkara perdata dapat dilaksanakan secara
lisan
maupun
tertulis.
Apabila
pembuktian
tersebut
dilaksanakan secara tertulis maka atas jawaban Tergugat, Penggugat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapannya dalam bentuk replik sedangkan terhadap replik dari Penggugat tersebut, Tergugat dapat memberikan tanggapannya dalam bentuk duplik. Hal tersebut bertujuan agar hakim mengetahui peristiwa yang menjadi pokok sengketa. Setelah diperoleh peristiwa yang
24
menjadi pokok sengketa, maka hakim harus memperoleh kepastian tentang sengketa atau peristiwa konkret yang telah terjadi tersebut. Peristiwa yang menjadi pokok sengketa yang ditemukan dari proses jawab menjawab itu merupakan kompleks peristiwa yang harus diseleksi secara benar dan tepat oleh hakim, yaitu mengenai peristiwa yang pokok dan relevan bagi hukum. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis yaitu pembuktian yang berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara yang memungkinkan adanya bukti lawan (tegenbewijs) yang bersifat historis artinya pembuktian yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Dalam menyelesaikan suatu perkara dasarnya ada dua hal yang penting bagi hakim, yaitu peristiwa yang disengketakan dan hukumnya,
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Paul
Scholten
menyatakan, “hijweet, dathij twee dingennoodig heft de kennis der feitenen van den regel, Eentoepassing van den regel op de feitengeeft het antwoord.” Dalam perkara perdata yang mengemukakan peristiwa yang disengketakan adalah pihak-pihak yang bersengketa yakni antara Penggugat dan Tergugat, sedangkan hukumnya dikemukakan oleh hakim. Oleh karena itu, dalam proses pembuktian yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah peristiwanya bukan hukumnya, karena secara ex officio, hukum dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit) (dalam Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2009: 361). Dalam proses pemeriksaan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan dengan pokok gugatan. Hakim dianggap mengetahui atau memahami hukum. Artinya hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas karena hakim dianggap mengetahui hukum (ius curia novit).
25
Proses pembuktian di muka sidang pengadilan itu tidak hanya menyangkut mengenai peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian saja namun juga mengenai atas suatu hak. Menurut Prof. Mr. A. Pitlo menyatakan bahwa “yang dapat dibuktikan ialah fakta dan hak” (dalam Teguh Samudera, 1992: 17). Walaupun demikian tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal yakni diakui sepenuhnya kebenarannya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak Penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak Tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian (Deasy Soeikromo, 2014: 126-127). 2. Tinjauan Tentang Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dan Pembuktian a. Pengertian Akta Otentik Berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR menyatakan bahwa “surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya tentang segala apa yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang segala yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu”. Berdasarkan ketentuan Pasal 285 RBg menyatakan bahwa “sebuah akta autentik yaitu yang dibuat dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapakan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu
26
pernyataan belaka, hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), “suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata, “suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak”. Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk membuat suatu akta. Apabila akta itu dibuat oleh pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata diatas: 1) Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik atau disebut juga akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. 2) Namun akta demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta ini ditanda tangani dan disepakati oleh para pihak (M. Yahya Harahap, 2013: 566). Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undangundang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum atau pejabat yang berwenang. Otentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 UUJN, dimana notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Dengan perkataan lain, akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, yakni bukan oleh karena undang-undang yang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh karena akta itu dibuat oleh atau di
27
hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata (Rahmad Hendra, 2012: 3). Other than the authority code in Article 1868 Civil Code is the source to authenticate a notary and also the legal basis of the existence of the notarial deed, with the following terms: 1) It shall be made by or in the presence of a public official; 2) It shall be made in the form prescribed by law; 3) Public officials by or before whom the deed was mad; must have the authority to make the deed. (Thea Farina dan Sudarsono, dkk. 2015: 355). Yang diterjemahkan secara bebas: Selain otoritas dalam Pasal 1868 KUH Perdata ada sumber lain untuk mengetahui otentisitas dari akta notaris dan juga dasar hukum keberadaan akta notaris, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; 2) Harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh hukum; 3) Pejabat umum oleh atau sebelum siapa akta itu dibuat, harus memiliki kewenangan untuk membuat akta. b. Fungsi Akta Otentik Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain sebagai: 1) Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum; 2) Alat pembuktian. Walaupun mempunyai bermacam-macam fungsi, akan tetapi fungsi akta yang paling penting di dalam hukum perdata adalah sebagai alat pembuktian. Selain itu fungsi akta juga dapat merupakan gabungan yang menjadi satu di dalamnya yaitu antara syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum dan sebagai alat pembuktian. 1) Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum
28
Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa sebagai syarat formil maka suatu perbuatan hukum akan lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Apabila suatu akta tidak dibuat maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-Pasal 1681, 1682, 1683 KUH Perdata (tentang cara menghibahkan), 1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk akta otentik, sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam Pasal-Pasal 1610 KUH Perdata (tentang pemborongan kerja), 1767 KUH Perdata (tentang meminjamkan uang dengan bunga), 1851 KUH Perdata (tentang perdamaian). Jadi akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum. 2) Sebagai alat pembuktian Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian di tujukan sebagai alat pembuktian di kemudian hari. Alat pembuktian tersebut sebagai pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak darinya tentang apa yang di muat dalam akta tersebut. Akta otentik sebagai alat pembuktian merupakan bukti yang mengikat berarti kebenaran dari hal- hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim. Apabila tidak adanya atau tidak dibuatkannya akta tersebut maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 150 KUH Perdata (tentang perjanjian kawin) dan Pasal 258 KUH Dagang (tentang Asuransi). Jadi di sini akta memang dengan sengaja sejak semula adanya itu dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari (Teguh Samudera, 1992: 46-47).
29
c. Bentuk Akta Otentik Bahwa berdasarkan bunyi Pasal 165 HIR/1868 BW/285 RBg tersebut, maka akta dapat digolongkan menjadi: 1) Acte ambtelijk, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum tersebut. Jadi isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang hal-hal yang ia lihat dan ia lakukan. 2) Acte partij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak dihadapan pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan keterangan-keterangan yang merupakan kehendak para pihak itu sendiri. d. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) dikemukakan bahwa akta otentik itu sebagai alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak disangkal oleh pihak lain. Memberikan bukti yang lengkap dapat pula berarti bahwa dengan adanya akta otentik itu sudah tidak lagi diperlukan tambahan alat pembuktian lain. Jadi pembuktiannya cukup dengan bukti akta itu. Dengan demikian, akta otentik merupakan alat pembuktian yang mengikat dan lengkap. Akta otentik sebagai alat pembuktian yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mempunyai kekuatan pembuktian lengkap itu hanya berlaku terhadap para pihak (party akta) menurut ketentuan Pasal 165 HIR, 1870 dan 1871 KUH Perdata. Sedangkan terhadap orang pihak lain yaitu pihak yang tidak
30
menjadi party akta, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap, dalam arti penilaian kekuatan pembuktiannya bergantung kepada pertimbangan hakim. 1) Kekuatan pembuktian lahir Kekuatan pembuktian lahir dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir bahwa suatu surat tersebut dapat diterima/dianggap seperti akta dan diperlakukan layaknya akta, sepanjang tidak terbukti kebalikannya. Maka dalam akta apa yang diterangkan dan ditandatangani di hadapan pegawai umum (notaris) yang kemudian ditandatangani pula oleh notaris sendiri, berarti notaris itu menguatkan atau menerangkan bahwa tanda tangan para pihak adalah otentik. Selain itu dalam akta otentik yang merupakan akta berita acara bahwa akta itu dibuat dan ditandatangani oleh pegawai umum. Jadi dalam hal ini bahwa keterangan yang diterangkan oleh pegawai umum (notaris) adalah benar dan berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka berarti bahwa keduanya akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir. 2) Kekuatan pembuktian formal akta otentik Kekuatan pembuktian formal akta otentik yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatangani dalam akta terebut. Bahwa penanda tanganan akta tersebut sebagai hal yang diterangkan kebenarannya di dalam akta. Karena hal tersebut bukan menjadi tugas pegawai umum (notaris) untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan para penghadap yang dituliskan dalam akta maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, apabila tanda tangan para penanda tangan telah diakui kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan telah diterangkan di atas tanda tangan para pihak adalah membuktikan kebenaran dan keabsahan akta tersebut terhadap setiap orang. Dan juga dalam akta otentik
31
yang berupa akta berita acara, bawa keterangan pegawai umum (notaris) itu adalah satu-satunya keterangan yang diberikan dan ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tandatangan, yang berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal. 3) Kekuatan Pembuktian Material Akta Otentik Kekuatan pembuktian material akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Jadi memberikan kepastian tentang materi fakta. Maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta itu diberikan. Sedangkan terhadap pihak lain, keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas dalam
arti
kekuatan
pembuktiannya
diserahkan
kepada
pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta otentik yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pegawai umum (berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat, dan didengar), hal tersebut dianggap benar isi keterangan tersebut maka berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka akta ini mempunyai kekuatan pembuktian material (Teguh Samudera, 1992: 48-52). 3. Tinjauan Tentang Bukti Lawan (Tegenbewijs) Sebagai Alat Bukti Tandingan dan Pembuktian a. Pengertian Bukti Lawan (Tegenbewijs) Berdasarkan
ketentuan
Pasal
1918
KUH
Perdata
menyebutkan bahwa: “suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang menyatakan hukuman kepada
32
seseorang yang karena suatu kejahatan atau pelanggaran dalam suatu perkara perdata, dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya”. Pada akhir kalimat Pasal 1918 KUH Perdata, memberikan hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs (counter proof). Dalam teori dan praktek di pengadilan, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak Tergugat. Oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan: 1) Bukti yang diajukan Tergugat untuk kepentingan pembelaannya terhadap dalil-dalil dan fakta-fakta yang diajukan Penggugat; 2) Berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa bukti lawan merupakan bukti penyangkalan atau bukti balasan terhadap pembuktian yang diajukan Penggugat. Jadi bukti lawan merupakan bukti penyangkal (contraenquete) yang diajukan dan disampaikan di persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan. Tujuan utama pengajuan bukti lawan, selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga bermaksud untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak lawan tersebut. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengajuan bukti lawan merupakan: a) Upaya yang dilakukan salah satu pihak untuk membantah dan melumpuhkan pembuktian pihak lawan; b) Dan upaya itu, merupakan hak yang diberikan undang-undang kepada pihak Tergugat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1918 KUH Perdata dengan syarat asalkan hal tersebut diajukan dalam persidangan pengadilan.
33
b. Tujuan Bukti Lawan (Tegenbewijs) Pada prinsipnya dalam pembuktian pihak lawan diberi hak untuk mengajukan pembuktian. Bukti lawan merupakan bukti peyangkalan (contra-enquete) yang diajukan dan disampaikan dipersidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan oleh pihak lawan. Tujuan utama pengajuan bukti lawan selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga bermaksud untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan oleh para pihak tersebut (M. Yahya Harahap, 2013: 514). c. Prinsip Penerapan Bukti Lawan (Tegenbewijs) Menurut M. Yahya Harahap pada dasarnya terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penerapan bukti lawan: 1) Semua alat bukti dapat disangkal dengan bukti lawan Prinsip yang pertama, semua alat bukti yang diajukan oleh seseorang (Penggugat) dapat dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. Alat bukti tulisan, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan-persangkaan, alat bukti pengakuan pada prinsipnya dapat disangkal atau dilumpuhkan oleh adaya bukti lawan. Dalam contoh yakni alat bukti keterangan saksi dapat dibantah pihak lawan dengan alat bukti yang sama maupun dengan jenis alat bukti lain. Akta otentik dapat dibantah dengan bukti lawan. Pendapat
itu
dikemukakan
pada
putusan
MA
No.
3360K/S/Sip/1983. Berdasarkan Pasal 1870 KUH Perdata atau Pasal 314 RBG, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu akta otentik adalah sempurna (volledig). Akan tetapi hal itu melekat sepanjang tidak ada diajukan bukti lawan (tegenbewijs) olah pihak lawan. Oleh karena itu, kesempurnaannya tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Kesempurnaan akta otentik dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan (tegenbewijs). Apabila ditinjau dari segi formil
34
bahwa fakta mengenai akta otentik memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijs kracht) akan tetapi kekuatan pembuktian itu, tidak menentukan (dwingende bewijs kracht) dengan demikian fakta otentik itu dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. 2) Bukti Tertentu Tidak Dapat Dilumpuhkan dengan Bukti Lawan Tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Hal itu tergantung pada ketentuan pada undang-undang. Apabila undang-undang menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan (beslissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingende bewijs kracht), maka alat bukti tersebut tidak dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan bukti lawan. Dari penjelasan tersebut, maka untuk menentukan boleh atau tidak diajukan bukti lawan terhadap suatu alat bukti yang dikemukakan pihak lawan: a) Tergantung pada nilai kekuatan pembuktian (bewijs kracht) yang melekat pada bukti yang bersangkutan; b) Apabila kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan atau memaksa, maka terhadap hal itu tidak dapat diajukan bukti lawan. Misalnya alat bukti sumpah pemutus (beslissende eed) atau (decisoire eed) yang disebut Pasal 1929 KUH Perdata, Pasal 155 HIR dinyatakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan menentukan. Oleh karena itu, terhadap hal itu tidak dapat diajukan bukti lawan, dan kekuatannya tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain (M. Yahya Harahap, 2013: 514-515). Kesimpulannya, pada dasarnya semua alat bukti dapat disangkal oleh kekuatan bukti lawan (tegenbewijs) namun bukti tertentu tidak dapat disangkal oleh bukti lawan. Apabila undangundang menentukan bahwa alat bukti tersebut bersifat menentukan
35
(beslissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingende bewijs kracht). Terhadap alat bukti akta otentik yang mempunyai nilai kekuatan sempurna (volledi bewijs kracht) seperti akta otentik atau akta di bawah tangan maka terhadapnya dapat diajukan bukti lawan. d. Kualitas Bukti Lawan yang Mempunyai Nilai Pengajuan bukti lawan harus didasarkan pada asas proposional. Artinya bukti lawan yang diajukan tidak boleh lebih rendah kadar nilainya daripada bukti yang hendak dilumpuhkan. Sehubungan dengan hal itu maka dapat dikatakan kualitas bukti lawan yang mempunyai nilai meliputi ketentuan sebagai berikut: 1) Mutu dan kualitas kekuatan pembuktiannya paling tidak sama dengan bukti yang dilawan; 2) Alat bukti lawan yang diajukan sama jenisnya dengan alat bukti yang dilawan; 3) Kesempurnaan dan nilai kekuatan pembuktian yang melekat tersebut sama kuatnya. Namun berdasarkan penjelasan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 yakni membolehkan mengajukan bukti lawan berupa keterangan saksi atau girik terhadap Sertifikat Hak Milik, HGB dan HGU. Berarti dari penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 tersebut membenarkan bukti lawan yang nilai pembuktiannya lebih rendah jenis dan kualitasnya terhadap akta otentik. Dengan demikian asas proposional pengajuan bukti lawan memang dianggap sangat layak, akan tetapi apabila peraturan perundang-undangan menentukan suatu syarat tersebut dapat disingkirkan. Bahkan dalam praktik telah dibenarkan mengajukan bukti lawan saksi terhadap akta otentik apalagi terhadap bukti akta di bawah tangan (M. Yahya Harahap, 2013: 515-516).
36
B. Kerangka Pemikiran Gugatan 1. Eksepsi 2. Pokok Perkara 3. Rekonpensi
Jawaban Gugatan
Replik
Duplik
Pembuktian
Alat-Alat Bukti (Menurut 164 HIR, 284 RBg dan 1866 BW)
Tertulis
Saksi
PersangkaanPersangkaan
Pengakuan
Akta Otentik Kekuatan Pembuktian Sempurna (volledig bewijskracht)
Bukti Lawan (tegenbewijs)
1. Fakta yang membatalkan akta otentik 2. Kekuatan bukti lawan (tegenbewijs) yang dapat membatalkan akta otentik Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Sumpah
37
Keterangan: Proses pemeriksaan dalam perkara perdata diawali dengan adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar biaya perkara, penetapan nomor register perkara, disampaikan ke ketua pengadilan, ketua pengadilan menetapkan majelis hakim, selanjutnya majelis hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui panitera agar pihak Penggugat dan Tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah ditetapkan. Pada persidangan pertama jika Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 (tiga) kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 (tiga) kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan verstek. Selanjutnya apabila Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan maka majelis hakim akan melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari. Jika selama 40 hari tersebut mediasi tidak tercapai, maka persidangan selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap dibacakan, majelis hakim menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat dan apabila tertulis biasanya diberi kesempatan untuk menanggapinya yakni jawaban Tergugat. Dalam jawaban Tergugat ini Tergugat dapat melakukan bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik). Pada persidangan selanjutnya atas jawaban Tergugat tersebut maka Penggugat menanggapinya dalam bentuk Replik dan dari Replik Penggugat tersebut, Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi dalam bentuk Duplik. Setelah proses jawab menjawab antara Penggugat dan Tergugat tersebut berakhir, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat bukti tertulis kepada majelis hakim.
38
Pembuktian pada dasarnya merupakan hal yang wajib dalam pemeriksaan suatu perkara, khususnya perkara yang di dalamnya terdapat sengketa atau contentiosa. Jika dalam pemeriksaan suatu sengketa perdata, para pihak berbeda pendapat atau pendirian dan masing-masing ingin meneguhkan dalil-dalilnya, maka pada saat itulah dibutuhkan pembuktian untuk meyakinkan hakim pihak mana yang benar atau mempunyai hak dan pihak mana yang salah atau tidak mempunyai hak. Berdasarkan
pemaparan
tersebut,
penulis
menyimpulkan
definisi
pembuktian sebagai proses menghadirkan alat-alat bukti yang diatur menurut hukum acara di dalam persidangan pengadilan perdata. Macam alat-alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 BW yang meliputi: alat bukti dengan surat atau tertulis, alat bukti dengan saksi, alat bukti persangkaan-persangkaan, alat bukti pengakuan, alat bukti sumpah. Selain alatalat pembuktian diatas, HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu hasil pemeriksaan setempat dan keterangan ahli. Alat bukti dengan surat atau tulisan dalam perkara perdata merupakan alat bukti yang utama karena alat bukti surat atau tulisan ini dapat dijadikan bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berbentuk tulisan. Akta dibagi menjadi tiga yakni akta otentik, akta di bawah tangan dan surat biasa. Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dari jenis akta-akta tersebut, akta otentik merupakan akta yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna artinya kekuatan pembuktiannya lengkap (mengikat) dan pembuktianya cukup dengan akta itu sendiri kecuali jika ada bukti lawan (tagenbewijs) yang membuktikan lain atau membuktikan sebaliknya dari akta tersebut. Untuk itu penulis akan menelaah masalah yang berhubungan dengan fakta yang membatalkan suatu akta otentik dan kekuatan bukti lawan (tegenbewijs) yang dapat membatalkan akta otentik.