10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakekat Proses Belajar-Mengajar (PBM) Pendidikan dalam arti luas dapat mengembangkan emosi, keadaan, penghayatan dan kemampuan berpikir seseorang. Dari kehidupan anak di rumah yang serba menggantungkan diri pada orang tua, maka memasuki sekolah anak mendapat kesempatan untuk melatih diri sendiri
dan
bertanggung jawab sebagai persiapan terjun ke masyarakat. Kegiatan untuk mengembangkan potensi seorang anak harus dilakukan secara bersama. Dalam proses belajar mengajar inilah tujuan pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan. Proses belajar-mengajar (PBM) merupakan gabungan dua proses atau kegiatan yaitu belajar yang dilakukan oleh siswa dan mengajar yang dilakukan oleh guru. Kedua proses tersebut seolah-olah tidak terpisahkan satu sama lainya. Untuk sampai pada suatu rumusan pengertian PBM, maka terlebih dahulu harus diungkapkan pengertian belajar dan mengajar. 1. Belajar a. Pengertian Belajar Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah
11
ada pendidikan. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghapal fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Di samping itu, ada pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka seperti tampak pada latian membaca dan menulis. Akan tetapi pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengalaman para ilmuwan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofi yang dianut dan pengalaman ilmuwan atau pakar itu sendiri dalam membelajarkan para peserta didiknya pada masa dan saat itu. Dalam judul buku Educational Psygholog: The TeachingLearning Process yang ditulis oleh B. F. Skinner dalam Syah (1995:89), berpandapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku
yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini
diungkapkan dalam pernyataan ringkasannya, bahwa belajar adalah …a process of progressive behavior adaption. Belajar menurut Usman (2008:5), dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan interaksi individu dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Witherington dalam Hanafiah dan Cucu (2009:7), menyatakan bahwa belajar merupakan pola respon baru yang berbentuk keterampilan,
sikap,
kebiasaan,
pengetahuan,
dan
kecakapan.
Selanjutnya, dalam perspektif keagamaan (dalam hal ini Islam), belajar
12
merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam surat Mujadalah ayat 11 yang artinya: …niscaya Allah akan meningkatkan beberapa derajat kepada orangorang beriman dan ‘berilmu’. Ilmu dalam hal ini tentu saja harus berupa pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman dan bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. b. Prinsip-prinsip Belajar Menurut Hanafiah dan Cucu (2009:18), belajar sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan kontinu memiliki prinsip-prinsip dasar belajar, yaitu sebagai berikut : 1) Belajar berlangsung seumur hidup; 2) Proses belajar adalah kompleks, tetapi terorganisir; 3) Belajar berlangsung dari yang sederhana menujunyang kompleks; 4) Belajar dari mulai faktual menuju konseptual; 5) Belajar dari kongkret menuju abstrak; 6) Belajar merupakan bagian dari perkembangan; 7) Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor bawaan (heredity), lingkungan (environment), kematangan (time or maturation), serta usaha keras peserta didik sendiri (endeavor); 8) Belajar mencakup semua aspek kehidupan yang penuh makna; 9) Kegiatan belajar berlangsung pada setiap tempat dan waktu; 10) Belajar berlangsung dengan guru ataupun tanpa guru;
13
11) Belajar yang berencana dan disengaja menurut motivasi yang tinggi; 12) Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan lingkungan internal, seperti hambatan psikis dan fisik (psikosomatis), serta lingkungan eksternal, seperti lingkungan yang kurang mendukung, baik sosial, budaya, ekonomi, keamanan; dan 13) Kegiatan belajar tentu diperlukan adanya bimbingan dari olang lain, mengingat tidak semua bahan ajaran dapat dipelajari sendiri. c. Tujuan Belajar Belajar pada hakekatnya merupakan proses kegiatan secara berkelanjutan dalam rangka perubahan perilaku peserta didik secara konstruktif. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum di dalam UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterammpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. d. Proses dan Fase Belajar 1) Pengertian Proses Belajar Proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor yang terjadi dalam diri
14
siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorentasi kearah yang lebih maju dari pada keadaan sebelumnya. Menurut A. F. Wittig (Syah, 1995:112), setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu sebagai berikut : a) Acquisition (tahap perolehan atau penerimaan informasi). b) Storage (tahap penyimpanan informasi). c) Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi). 2) Fase Belajar Belajar merupakan aktivitas yang berproses, sudah tentu di dalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahanperubahan tersebut timbul fase-fase yang antara satu dengan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional. Menurut J. S. Bruner dalam Syah (1995:112), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga fase, yaitu sebagai berikut : a) Fase informasi (tahap penerimaan informasi). b) Fase transformasi (tahap pengubahan informasi). c) Fase evaluasi (tahap penilaian materi). 2. Mengajar a. Pengertian Mengajar Mengajar merupakan istilah kunci yang tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keereratan hubungan antara keduanya. Mengajar pada dasarnya adalah kegiatan mengembangkan
15
seluruh potensi ranah psikologis melalui penataan lingkungan sebaikbaiknya dan menghubungkannya kepada siswa agar terjadi proses belajar. Menurut Nasution dalam Syah (1995:183), berpendapat bahwa mengajar adalah “… suatu aktivitas mengorganisasikan atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”. Lingkungan dalam pengertian ini tidak hanya ruang kelas (ruang belakar), tetapi juga meliputi guru, alat peraga, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya yang relevan dengan kegiatan belajar siswa. Selanjutnya Wahab (2008:7), menyatakan bahwa mengajar dimanifestasikan dalam berbagai tindakan yang dilakukan sesuai dengan yang dilaksanakan guru pada tingkat prinsip dan propesional tertentu. Mengajar juga akan meliputi deskripsi tindakantindakan yang ditujukan guru sebagai gambaran dari komitmen mereka terhadap filsafat pendidikan tertentu. Beberapa penjelasan tersebut diantaranya, yaitu; (1) mengajar adalah komunikasi antara dua orang atau lebih di mana antara keduanya terdapat saling mempengaruhi melalui pikiran-pikiran mereka dan belajar sesuatu dari interaksi itu, (2) mengajar adalah mengisi pikiran siswa dengan berbagai informasi dan pengetahuan tentang fakta untuk kegunaan pada masa yang akan datang, (3) mengajar adalah proses dalam mana pelajar, guru, kurikulum dan variabel lainnya disusun dengan cara
16
yang sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan (4) mengajar adalah mendorong lahirnya motivasi untuk belajar. b. Prinsip-prinsip Mengajar Menurut Wahab (2008:8), prinsip-prinsip penting dalam mengajar terbagi menjadi enam tahapan, yaitu sebagai berikut : 1) Pengajar harus menggunakan pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki dengan sesuatu yang baru; 2) Pengajar harus memiliki pengetahuan dan keterampilan; 3) Pengajar harus menyadari adanya perbedaan individual siswa; 4) Pengajar harus merencanakan pengajarannya sesuai dengan keadaan dan tingkat kesiapan siswa; 5) Pengajar harus merumuskan tujuan-tujuan pengajarannya sebelum kegiatan mengajar berlangsung; dan 6) Pengajar harus mengikuti prinsip-prinsip yang bersifat psikologik. c. Fungsi-fungsi Mengajar Menurut Wahab (2008:5), fungsi-fungsi mengajar terbagi menjadi sepuluh butir yang diharapkan dapat terlaksana, yaitu sebagai berikut : 1) Memberitahukan informasi dan memberikan kesempatan seluasluasnya kepada siswa untuk mempraktekkan pengetahuannnya dan keterampilan yang telah diperolehdi kelas memalui penciptaan pengalaman belajar baik langsung maupun tidak langsung; 2) Berinisiatif, mengarahkan, dan mengadministrasikan; 3) Memberikan rasa aman kepada siswa;
17
4) Menjelaskan sikap, keyakinan, dan masalah dalam mengajar; 5) Mendiagnosa kesulitan-kesulitan belajar siswa; 6) Membuat materi kurikulum; 7) Menilai, mencatat, dan melaporkan hasil belajar siswa; 8) Memperkaya materi pembelajaran yang dikaitkan
kedalam
lingkup kegiatan-kegiatan masyarakat; 9) Mengatur dan mengorganisasikan ruang kelas; dan 10) Berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan kehidupan professional. 3. Kompetensi dan Peranan Pengajar Geografi dalam Proses BelajarMengajar Pendidikan merupakan proses seumur hidup (lifelong education). Membina manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat melalui pendidikan formal di sekolah, berarti merealisasikan Tujuan Pendidikan Nasional menciptakan manusia yang seimbang perkembangan dan kemampuan mentalnya. Tiap bidang pendidikan dari bidang studi di lembaga
pendidikan
‘menciptakan
manusia
formal,
berkewajiban
memenuhi
yang
manusiawa’.
Selain
itu,
tugasnya dengan
perkembangan baru terhadap pandangan belajar-mengajar membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya karena proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Kompetensi sebagai pendidik menurut Ningrum (2009:76), adalah kemampuan yang harus dimiliki guru untuk memdidik siswa agar
18
mencapai kompetensi sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional. Tugas tersebut, meliputi juga tugas yang harus dipenuhi oleh pengajar geografi.
Gambar 2.1 Hubungan Kedudukan Guru dengan PBM dan Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
Sumber : Sumaatmadja, 1997:54
Karena guru geografi menjadi pelengkap pelaku utama pada PBM seperti yang digambarkan di atas, seorang guru harus memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan tujuan, memilih materi geografi sebagai pokok bahasan secara serasi dengan tujuan tadi, dan memiliki kemampuan dalam memanfaatkan serta menggunakan segala aspek yang menunjang pencapaian tujuannya. Itulah hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pengajaran geografi.
19
B. Hakekat Pengajaran Geografi Pembelajaran geografi yang diselenggarakan pada Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Oleh karena itu, di dalam penjabaran konsep-konsep, pokok bahasan dan sub pokok bahasannya harus disesuaikan dan diserasikan dengan tingkat pengalaman dan perkembangan aspek fisiologis dan aspek psikologis anak pada jenjang-jenjang pendidikan tersebut. Sebelum kita mengetahui hakekat pengajaran geografi, maka terlebih dahulu kita haruslah memahami hakekat dan studi geografi terlebih dahulu. Di bawah ini adalah beberapa uraian pengertian hakekat dan studi geografi, yaitu sebagai berikut : 1. Menurut Preston E. James (Sumaatmadja, 1981:32), geography has sometimes been called the mother of sciences. Since many fields of learning that started whit observation of the actual face of earth turned to the study of specific processes wherever they might be located. 2. Menurut Richard Hartshorne (Sumaatmadja, 1981:84), geographer study the past not only as ‘the key present’ , but also in terms of its own geographic` content. Each past period had its then present geography, and the comparative study of the different geographies through successive periods of time depict the changing geography of an area. Thereby the historical dimension of time is combined with the dimension of space. As in history in general, such studies need not start at any ‘beginning’ period nor need they come up to the present. Studies of this
20
kind wiil be considered separately under the heading of ‘Historical Geography’. 3. Menurut Sumaatmadja (1981:33), hakekat geografi dan studi geografi itu,
adalah
mempelajari
gejala-gejala
permukaan
bumi
secara
keseluruhan dengan memperhatikan tiap-tiap gejala secara teliti (yang merupakan bagian dari keseluruhan tadi) dalam hubungan interaksiinterrelasi-integrasi keruangannya. 4. Menurut
Council
of
the
Geography
Association
tahun
1919
(Sumaatmadja, 1997:10), bahwa geography then deals with the real world, the world of which one learns best through one’s boot sole or bare feet, or by main of trains, vessels, motor cars or aero planes, and only as makeshifts by description, pictorial or otherwise. 5. Panitia Ad Hoc Geografi (Ad Hoc Committee on Geography) dalam Sumaatmadja (1997:10), mengemukakan pengertian geografi; geography seeks to explain how the subsystems of the physical environment are organized on the earth’s surface, and how man to other men. 6. Menurut para pakar geografi pada Seminar dan Lokakarya Peningkatan Kualitas Pengajaran Geografi di Semarang tahun 1988 dalam Sumaatmadja (1997:11), telah merumuskan konsep geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan, atau kewilayahan, dalam konteks keruangan.
21
Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa
geografi
dan
studi
geografi
berkenaan
dengan;
(1) permukaan bumi yaitu geosfer, (2) alam lingkungan yaitu atmosfer, hidrosfer, biosfer, (3) umat manusia dan dengan kehidupannya yaitu antroposfer, (4) penyebaran keruangan gejala alam dan kehidupan termasuk persamaan maupun perbedaan, dan (5) analisis hubungan keruangan gejalagejala geografi di permukaan bumi. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengajaran geografi pada hakekatnya adalah pengajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan bumi (geosfer) yang merupakan keseluruhan gejala alam dan kehidupan umat manusia di dalamnya dengan berbagai variasi kewilayahan. Dengan demikian, dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengajaran geografi pada hakekatnya adalah pengajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan bumi (geosfer) yang merupakan keseluruhan gejala alam dan kehidupan umat manusia di dalamnya
dengan berbagai variasi
kewilayahan. Baik studi geografi maupun pengajaran geografi, hakekatnya berkenaan dengan aspek-aspek keruangan permukaan bumi dan faktor-faktor geografis alam lingkungan dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, ruang lingkup inilah yang membedakan studi geografi dengan studi-studi yang lainnya sekalugus memberikan ciri khas dalam pengajaran geografi. Ruang lingkup pengajara geografi sama dengan ruang lingkup geografi, yaitu; (1) alam lingkungan yang menjadi sumberdaya bagi kehidupan manusia di
22
permukaan bumi, (2) penyebaran umat manusia dengan variasi kehidupannya di suatu wilayah tertentu, (3) interaksi keruangan umat manusia dan lingkungan alam yang memberikan variasi terhadap ciri khas tempat-tempat di permukaan bumi, dan (4) kesatuan regional yang merupakan perpaduan antara daratan, perairan, dan udara di atasnya. 1. Tujuan Pengajaran Geografi Menurut Sumaatmadja (1997:22), pendidikan hakekatnya adalah salah satu proses yang berlandaskan usaha yang sadar tujuan, yang kegiatannya diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, proses pendidikan itu berwawasan kepentingan anak didik sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Pendidikan formal di berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, pencapaian tujuannya diproses melalui berbagai bidang pendidikan dan pengajaran. Semua kegiatan tersebut secara umum bertumpu kepada Tujuan Pendidikan Nasional yang dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan yang lebih khusus sampai tujuan yang operasional. Secara hierarki berdasarkan urutannya, tujuan-tujuan itu, yaitu; (a) tujuan pendidikan nasional, (b) tujuan institusional, (c) tujuan kurikuler, dan (d) tujuan instruksional. Guru geografi yang melaksanakan PBM geografi berkewenangan menjabarkan materi geografi itu sedemikian rupa sehingga tiap pokok bahasan yang disajikannya sesuai dengan apa yang tertera pada tujuantujuan pendidikan. Hakekat proses pendidikan dan pengajaran yang
23
demikian wajib dilaksanakan guru geografi, sehingga tujuan mempertinggi kecintaan terhadap tanah air Indonesia ini makin nyata. Dengan demikian pembinaan anak didik melalui pengajaran geografi benar-benar mampu menciptakan manusia Indonesia yang sadar akan kepentingan pribadi, bangsa, Negara, dan umat manusia pada umumnya. 2. Sumber Materi Pengajaran Geografi Kehidupan manusia di masyarakat, alam lingkungan dengan segala sumberdaya, region-region di permukaan bumi, menjadi sumber pengajaran geografi. Dengan demikian, segala kenyataan yang ada dan terjadi di permukaan bumi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia maupun yang berkenaan dengan alam lingkungan dan segala prosesnya, menjadi sumber pengajaran geografi. Selain gejala-gejala hidup yang langsung terjadi di permukaan bumi, buku-buku dan kepustakaan lain yang juga berkenaan dengan gejala tadi, manjadi sumber yang dapat dimanfaatkan pengajaran geografi. Dengan demikian, sumber pengajaran geografi itu sangat luas, sehingga pengajaran itu tidak akan pernah kering oleh materi yang disajikan kepada siswa. 3. Karakter Pengajaran Geografi Pengajar geografi yang merupakan pengajar geografi pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan, juga harus memiliki karekter yang sama dengan geografi dan studi geografi. Dalam mempelajari dan mengajarkan geografi, pendekatan interdisipliner atau setidak-tidaknya multimensional,
24
menjadi ciri khas pengajar geografi. Oleh karena itu kemampuan melakukan pendekatan interdisipliner atau multidimensional, harus menjadi kemampuan dasar seorang guru geografi. Tanpa memiliki kemampuan dasar ini, guru yang mengajarkan geografi tidak akan dapat melakukan proses belajar-mengajar secara wajar merealisasikan tujuan instruksionalnya. Inilah salah satu karakter geografi yang wajib diperhatikan oleh seorang guru geografi. 4. Posisi Pengajaran Geografi Berkenaan dengan fungsi geografi dalam membina manusia, James Fairgrieve dalam Sumaatmadja (1997:16), menyatakan the function of geography is to train future citizens to imagine accurately the condition of the great world stage and so to help them to think sanely about political and social problem in the world around. Pada pernyataan di atas, Fairgrieve menonjolkan fungsi dan nilai edukatif geografi. Lebih jauh lagi Sumaatmadja (1997:16), pengajaran geografi mempunyai nilai ekstensi yang meliputi nilai-nilai teoritis, praktis, filosofis, dan Ketuhanan. Mengingat fungsi dan peran geografi seperti yang dikemukakan di atas, posisi geografi tengah-tengah bidang pendidikan yang lain, harus mendapat tempat yang serasi dan wajar. 5. Nilai Pengajaran Geografi Nilai-nilai yang dimiliki geografi dan pengajaran geografi dalam mengembangkan geografi sendiri, membantu pelaksanaan kerja bidang
25
ilmu lain, mencari pemecahan masalah-masalah kehidupan dan memupuk kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri serta alam lingkungan yang menjadi bagian dari kehidupannya. Lebih jauh dari itu, geografi dan pengajaran geografi memiliki nilai yang mengungkapkan hubungan manusia dengan Penciptanya, serta memiliki nilai mendewasakan mental anak didik yang mempelajarinya. Semua nilai tersebut wajib disadari oleh guru geografi, agar menjadi sarana meningkatkan sikap mental anak didik yang aktif-positif serta menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, geografi dan pengajaran geografi benar-benar memberikan sumbangan yang nyata terhadap realitas Tujuan Pendidikan Nasional.
C. Metode Mengajar Geografi Menurut Sumaatmadja (1997:74), metode mengajar geografi yang membangkitkan motivasi dan kreativitas berfikir secara keterlibatan dalam proses adalah metode diskusi.
Menurut Syah (1995:206), metode diskusi
adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan belajar memecahkan masalah (ploblem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama (social recitation). Aplikasi metode diskusi biasanya melibatkan seluruh siswa atau sejumlah siswa tertentu yang diatur dalam bentuk kelompok-kelompok. Tujuan penggunaan metode diskusi ialah untuk memotivasi (mendorong) dan memberikan stimulus (memberikan rangsangan) kepada siswa agar berpikir dengan renungan yang dalam (reflecting thinking).
26
Melalui
metode
diskusi,
keterampilan
dalam
berfikir
dalam
menanggapi suatu persoalan dan mencari alternatif jalan ke luar dari persoalan tadi, dapat dibina dan dikembangkan. Sifat dan sikap demokratis menghargai pendapat orang lain, tenggang rasa, dan kemandirian. Keikutsertaan dan keteribatan peserta didik dalam proses belajar-mengajar geografi pada diskusi ini lebih terjamin. Dalam memupuk self-esteem dan self-confidance (rasa percaya diri) peserta didik untuk berani memaparkan, bertanya dan menjawab pertanyaan, metode diskusi tadi dilengkapi dengan metode tanya jawab. Anak didik diberi kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan diri bertanya dan menjawab pertanyaan secara terarah, juga memupuk keberanian dan keaktifan. Diperkayanya metode diskusi dengan metode tanya jawab pada PBM geografi, dapat menghindarkan kejenuhan dan kebosanan peserta didik mengikuti pembelajaran. Diskusi telah dianggap sebagai salah satu ciri penting sebuah kelas demokratis, yang didefinisikan sebagai suatu kegiatan dimana peserta didik berbicara bersama untuk berbagi dan saling tukar informasi tentang masalah berdasarkan bukti yang ada. Wahab (2008:102), berpendapat bahwa diskusi yang dilakukan dengan benar merupakan metode yang efektif dan ketepatgunaannya akan sangat berguna dalam pengajaran geografi. Adapun kegunaan dari teknik diskusi tersebut diantaranya, adalah sebagai berikut : 1. Untuk pemecahan masalah; 2. Untuk mengembangkan dan mengubah sikap;
27
3. Untuk
menyampaikan
dan
membantu
siswa menyadari
adanya
pandangan yang berbeda-beda; 4. Untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi; 5. Untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan; 6. Untuk membantu siswa merumuskan masalah dan prinsip-prinsip dan membantunya dalam menggunakan prinsip tersebut; 7. Mendorong berpikir logis dan konstruktif; 8. Melibatkan siswa dalam belajar menurut kemampuannya dengan menumbuhkan tanggung jawabnya untuk belajar dengan memberikan kesempatan
untuk
menentukan
pendiriannya,
mengembangkan
argumentasinya, mempertahankan pandangan-pandangannya dengan kemungkinan dikritik oleh anggota kelompoknya; dan 9. Untuk mengembangkan kepercayaan diri, kesadaran dan sikap yang tenang (poise).
Kegunaan diskusi sebagai salah satu strategi mengajar dalam pengajaran geografi dengan demikian amat luas, namun ketercapaian tujuan itu amat banyak ditentukan oleh kesiapan semua pihak (guru, siswa, fasilitas pendukung dan suasana terbuka). Beberapa keuntungan dengan menggunakan metode diskusi, siswa akan terlibat langsung dalam proses belajar baik sebagai partisipan
maupun
sebagai
ketua
kelompok
dimana
setiap
siswa
dimungkinkan untuk berpartisipasi khususnya dalam kelompok kecil guna mengembangkan proses intelektualnya, serta menumbuhkan sikap toleran dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan pandangan. Melalui diskusi
28
juga ditumbuhkan perasaan yang pada kenyataannya benar-benar dapat mengubah sikap dan perilaku yang oleh teknik atau metode lain sulit untuk mempengaruhinya. Namun disamping keuntungan-keuntungan, teknik diskusi juga mengandung kelemahan-kelemahan diantaranya, strategi diskusi walaupun diorganisasikan secara baik belum menjamin dilaksanakan kesepakatan kelompok, juga diskusi sulit diduga karena mungkin saja berubah menjadi tanpa tujuan atau free-for-all terutama jika ketua diskusi tidak produktif, akibatnya diskusi dengan mudah menjadi pembicaraan yang tidak berujung pangkal atau tidak terarah dan menjadi tempat bersatunya kebodohan. Guna mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut Wahab (2008:102), menyarankan beberapa langkah alternatif dalam pelaksanaan diskusi, yang harus diperhatikan oleh pengajar pertama-tama, adalah sebagai berikut : 1. Persiapan a. Topik yang benar-benar dapat didiskusikan, merupakan masalahmasalah controversial dan dapat dipecahkan lewat diskusi; b. Siswa harus siap. Semua bahan dan alat yang diperlukan benar-benar telah disiapkan dengan baik; dan c. Perencanaan harus dilakukan atau agenda. Perlu ada pertanyaan pembuka tentang tujuan dan tatacara diskusi yang lebih bersifat saran (suggestive)
daripada
merupakan
resep
yang
harus
diikuti
(prescriptive). Dan jika kelompok memerlukannya, penyesuaian dapat dilakukan.
29
2. Guna batu loncatan untuk memulai diskusi. Bentuk teknik yang digunakannya adalah : a. Mengemukakan kasus atau masalah yang bias dilakukan dengan bermain peran, hasil studi kasus secara tertulis, atau menghubungkan anekdot; b. Dapat pula dikemukakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang menantang; c. Dapat pula digunakan lakon-lakon pendek (stip) yang dramatik lainnya untuk menarik minat; d. Menantang kelompok dengan menyajikan kutipan atau pertanyaan yang menantang; e. Pemanasan kelompok dapat dilakukan dengan buzz session; dan f. Dapat pula dengan kuis atau pre test. 3. Ciptakan lingkungan agar dapat saling berhadapan a. Menyusun ruang diskusi setengah lingkaran atau lingkaran penuh, merupakan bentuk pengaturan yang baik; b. Usahakan diskusi berlangsung informal namun diupayakan agar tidak meluncur menjadi wadah ketidaktahuan; c. Tekankan penghargaan setiap saat terhadap setiap orang; d. Doronglah peserta yang malu agar berpartisipasi melalui pertanyaanpertanyaan langsung kepada mereka. Pertanyaan seperti, ‘apa Anda sependapat’ atau ‘apakah Anda akan member komentar atau pendapat’.
30
4. Upayakan agar diskusi terus berjalan a. Usahakan agar pembahasan tetap berada pada jalurnya; b. Lemparkan pertanyaan terhadap keseluruhan dari siswa ke siswa; c. Harus diyakinkan bahwa pandangan siswa adalah penting; d. Biarkan diskusi bersifat imperasonal, pada tingkat rasional; dan e. Hentikan diskusi yang tidak efektif, emosional, tidak bermakna (immarerial) sebelum menimbulkan keributan di dalam kelas. 5. Upayakan berpikir tingkat tinggi a. Atasi ketidakruntutan (inconsistencies, logika yang keliru, dan kedangkalan). Upayakan agar siswa dapat menguji pendapatnya sendiri atau pendapat temannya secara kritis; dan b. Upayakan mengatasi ketidakjelasan. Minta siswa memberi ilustrasi tentang apa yang dikatakannya. 6. Usahakan agar diskusi berada pada posisi yang diharapkan. Minta kepada siswa agar menginteraksikan dan mengsinergikan pendapat-pendapat yang beragam. Usahakan agar diskusi terbuka dan biarkan agar kesimpulan, kesempatan, dan posisi akhir menjadi milik mereka bukan apa yang Guru telah simpulkan.
D. Model Pembelajaran Hanafiah dan Cucu (2009:41), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Model Pembelajaran merupakan salah satu pendekatan dalam rangka mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif maupun generatif.
31
Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar peserta didik (learning style) dan gaya mengajar guru (teaching syle), yang keduanya disingkat menjadi SOLAT (Style of Learning and Teaching). Banyak model pembelajaran yang dapat dipergunakan atau diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar. Meskipun begitu, Dasar pertimbangan penggunaan suatu model dalam pembelajaran diserahkan kepada guru, karena guru yang tahu karakteristik mata pelajaran dan pokok bahasan yang diajarkan. Adapun model-model pembelajaran, yaitu sebagai berikut : 1. Rumpun pembelajaran sosial. Model ini berdasarkan pada konsep tiap orang mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi situasi, objek ataupun orang. Cara tersebut dilatarbelakangi oleh sikap, perasaan dan sistem nilai tersebut dikembangkan melalui peragaan dan diskusi. 2. Pembelajaran pemrosesan informasi. Model pembelajaran ini didasarkan pada tiga anggapan dasar (asumsi), yaitu; (1) berfikir dapat diajarkan, (2) berfikir menggunakan transaksi, (3) proses berfikir berkembang secara bertahap dari yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi atau kompleks. 3. Pembelajaran pribadi. Model pembelajaran ini berdasarkan pada konsep para siswa seringkali menghadapi masalah yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri. Pembelajaran ini membantu siswa memecahkan masalahnya sendiri. 4. Rumpun pembelajaran behavioral model pembelajaran ini didasari psikologi behavioral, yang banyak mewarnai pengembangan program-
32
program pelatihan. Pengembangan program pelatihan diarahkan pada melatih individu menguasai ketepatan dan koordinasi yang tinggi. Sumbangan yang utama dalam model pembelajaran ini adalah analisis tugas dan pendefinisian.
Model pembelajaran yang baik memiliki beberapa karakteristik, yaitu: memiliki prosedur ilmiah, hasil belajar yang spesifik, kejelasan lingkungan belajar, kriteria hasil belajar dan proses pembelajaran yang jelas. Suatu model pembelajaran dapat memberikan suatu manfaat diantaranya yaitu; pertama, memberikan pedoman bagi guru dan siswa bagaimana proses mencapai tujuan pembelajaran. Kedua, membantu dalam mengembangkan kurikulum bagi kelas dan mata pelajaran lain. Ketiga, membantu dalam memilih media dan sumber. Keempat, membantu meningkatkan efektivitas pembelajaran. 1. Model ‘CORE’ (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) Calfee et al (Jacob, 2005; Priatna, 2009:21), menjelaskan tentang pentingnya diskusi dalam pembelajaran. Model pembelajaran tersebut adalah ‘CORE’. Model ‘CORE’ (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending), apabila dijelaskan secara terpisah adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (O) organisasi ide untuk memahami materi,
(R)
memikirkan
kembali,
mendalami,
dan
menggali,
(E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan. Menurut Harmsen dalam Priatna (2009:21), menjelaskan bahwa elemenelemen tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi lama dengan
33
informasi baru, mengorganisasikan sejumlah materi yang bervariasi, merefleksikan segala sesuatu yang siswa pelajari dan mengembangkan lingkungan belajar. Penjelasan
yang
lebih
lengkap
mengenai
model
‘CORE’
selengkapnya disajikan pada uraian berikut ini. a. Connecting Connect secara bahasa artinya come or bring together, sehingga connecting dapat diartikan dengan menghubungkan. Informasi yang berguna dan baru dihubungkan dengan apa yang telah siswa ketahui. Diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Agar dapat berperan dalam suatu diskusi, siswa harus mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghubungkan dan menyusun ideidenya. Calfee et al (Jacob, 2005; Priatna, 2009:21), berpendapat bahwa siswa belajar melalui diskusi yang baik memiliki pertalian (coherence). Di samping itu, Katz dan Nirula dalam Priatna (2009:21), menyatakan bahwa dengan connecting, bagaimana sebuah konsep atau ide dihubungkan dengan ide lain dalam sebuah diskusi kelas. Connecting sangat erat hubungannya dengan pengertian belajar itu sendiri. Belajar merupakan proses aktif mengontruksi dan merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman yang dipelajari dengan informasi yang sudah dimiliki. Dalam belajar, seseorang
biasanya
mengontruksikan
pengetahuannya
dengan
menghubungkan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Apabila
34
informasi tersebut telah mencapai tingkat pemahaman, maka informasi itu harus dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah dimiliki siswa. Daripada itu, maka informasi baru atau materi pelajaran hendaknya dikaitkan dengan fakta yang ada di lingkungan sekitar. b. Organizing Organize secara bahasa berarti arrange in a system that weil, artinya siswa mengorganisasikan informasi-informasi yang diperolehnya. Diskusi membantu siswa dalam mengorganisasikan pengetahuannya. Calfee et al (Jacob, 2005; Priatna, 2009:21), berpendapat bahwa sebagai partisipan berusaha untuk mengerti dan berkontribusi terhadap diskusi, mereka dikuatkan dengan menghubungkan dan mengorganisasikan apa yang mereka ketahui. Sehubungan dengan hal tersebut Katz dan Nirula dalam Priatna (2009:21), menyatakan tentang bagaimana seseorang mengorganisasikan ide-ide mereka dan apakah organisasi tersebut membantu untuk memahami konsep. c. Reflecting Reflect secara bahasa berarti think deepy about something and express, artinya siswa memikirkan secara mendalam terhadap konsep yang dipelajarinya. Hanafiah dan Cucu (2009:75), mengemukakan bahwa refleksi dalam pembelajaran adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajarinya atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan atau dipelajarinya di masa lalu. Refleksi pembelajaran merupakan respons terhadap aktivitas atau pengetahuan dan keterampilan
35
yang baru diterima dari proses pembelajaran. Peserta didik dituntut untuk mengedepankan apa yang baru sebagai wujud pengayaan atau revisi dari pengetahuan dan keterampilan sebelumnya, serta mengepresikan apa yang telah dipelajarinya dalam bentuk penyimpulan. Dengan proses ini dapat dilihat kemampuan siswa menjelaskan informasi yang mereka dapatkan akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahamannya masing-masing. Diskusi yang baik dapat meningkatkan kemampuan berpikir reflektif siswa. Guru melatih siswa untuk berfikir reflektif sebelum dan sesudah diskusi berlangsung. Menurut O’Flavohan & Stein (Jacob, 2005; Priatna, 2009:21), hal ini dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap kemampuan siswa dengan merefleksikan pada interaksi dan pada substansi berfikirnya. d. Extending Extend secara bahasa berarti
make longer dan arge, artinya
diskusi dapat membantu memperluas pengertahuan siswa. Perluasan pengetahuan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki siswa. Perluasan pengetahuan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki siswa. Guthrie (Jacob, 2005; Priatna, 2009:21), menyatakan bahwa pengetahuan deklaratif dan procedural siswa diperluas dengan cepat sehingga mereka meneliti terhadap jawaban atas pernyataan yang mereka miliki, dan mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama
36
temannya dan guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-teman.
2. Model LC (Learning Cycle) Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan
lingkungan
melalui
kegiatan-kegiatan
seperti
praktekum,
menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul
ketidakseimbangan
dalam
struktur
mentalnya
(cognitive
disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005; Rahayu, 2005; Fajaroh, 2007).
37
Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan
(terutama
pengembangan
perangkat
pembelajaran),
pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahankelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan. LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement
38
sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application
masing-masing
diistilahkan
menjadi
explaination
dan
elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002; Fajaroh, 2007). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan
awal
dan
ide-ide
mereka
serta
untuk
mengetahui
kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktekum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada fase Elaboration, siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving.
39
Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fasefase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Johnston (Iskandar, 2005; Fajaroh, 2007), pada LC 6 fase yang ditambah tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut : a. Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. b. Membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar. c. Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000; Fajaroh, 2007) : a. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran.
40
b. Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran c. Memerlukan pengelolaan kelas
yang lebih terencana dan
terorganisasi. d. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
E. Hasil Belajar Istilah THB (Tes Hasil Belajar) adalah alat ukur yang banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pembelajaran. Sedangkan hasil belajar artinya tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu program. Menurut Syah (1995:132), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang dicapai oleh siswa sangat erat kaitannya dengan beberapa aspek diantaranya, yaitu; (1) perumusan tujuan pembelajaran dan kaitannya dengan taksonomi hasil belajar, (2) faktor internal siswa, (3) faktor eksternal siswa, dan (4) faktor pendekatan belajar. 1. Perumusan
Tujuan
Pembelajaran
dan
Kaitannya
dengan
Taksonomi Hasil Belajar Pencapaian hasil belajar oleh siswa sangat erat kaitannya dengan rumusan tujuan instruksional yang direncanakan guru sebelumnya. Hal ini
41
dipengaruhi pula oleh kemampuan guru sebagai perancang (designer) belajar mengajar. 2. Faktor Internal Siswa Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, diantaranya adalah aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah). a. Aspek Fisiologis Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang memadai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan interaksi siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajari pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa dapat dianjurkan mengonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memiliki pola istirahat dan olah raga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab perubahan pola makan-minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri. Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengaran dan indera penglihatan, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan,
42
khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dan penglihatan siswa yang rendah umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya information processing yang dilakukan oleh sistem memori (akal). Kemerosotan self-esteem dan self-confidance (rasa percaya diri) seseorang siswa akan menimbulkan frustasi yang pada gilirannya cepat atau lambat siswa tersebut akan menjadi under-achiever atau mungkin gagal, meskipun kapasitas kognitif mereka normal atau lebih tinggi dari teman-temannya. Oleh karena itu, langkah bijaksana perlu diambil untuk mempertahankan self-esteem dan self-confidance siswa-siswa tersebut. b. Aspek Psikologis Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun diantara faktor-faktor rohanilah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah tingkat kecerdasan atau inteligensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa, dan motivasi siswa. 1) Tingkat Kecerdasan atau Inteligensi Siswa Inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber, 1988; Syah, 1995:134). Jadi inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya.
43
Tingkat kecerdasan atau inteligensi seorang siswa maka semakin besar peluang untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses, ketercuali bagi seorang siswa yang rajin dan ulet. 2) Sikap Siswa Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau mepespon (reponse tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya baik secara positif, terutama kepada guru dan mata pelajaran yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran, apalagi diiringi kebencian kepada guru atau mata pelajaran dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Untuk mengatasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa, guru dituntut untuk lebih dahulu menunjukan sikap pisitif pada mata pelajaran. 3) Bakat Siswa Secara umum, bakat (apatitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber, 1988; Syah, 1995:135). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ketingkat tertentu sesuai
44
dengan kepasitas masing-masing. Jadi, secara grobal bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai telentid child, yakni akan berbakat. 4) Minat Siswa Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber dalam Syah (1995:136), minat tidak termasuk istilah popular dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti pemusatan perhatian, keinginan, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Umpanyanya, seorang siswa menaruh minat besar terhadap geografi akan memusatkan perhatiannya lebih banyak dari siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. 5) Motivasi Siswa Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organism (bagi manusia maupun hewan) yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasokan daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988; Syah, 1995:136).
45
3. Faktor Eksternal Siswa Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, diantaranya adalah faktor lingkungan sosial dan faktor nonsosial. a. Faktor lingkungan Sosial Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa. Selajnutnya, yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orangtua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa. b. Faktor Nonsosial Faktor-faktor yan termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinnggal keluarga siswa dan
46
letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. 4. Faktor Pendekatan Belajar Pendekatan belajar, seperti yang telah diuraikan secara panjang lebar, dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu (Lawson, 1991; Syah, 1995:139). Disamping foktor-faktor perumusan tujuan pembelajaran dan kaitannya dengan taksonomi hasill belajar, faktor internal siswa, faktor eksternal siswa, yang telah dipaparkan sebelumnya, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan pencapaian proses belajar dan hasil belajar.