BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN KONSEP 1. Representasi Seperti yang dikatakan oleh Barker dalam buku Cultural Studies bahwa bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Bahkan unsur utama cultural studies dapat dipahami sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikasi representasi. Ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual. Ia juga menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Representasi adalah hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Representasi (Representation) adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2003:21). Representasi
diartikan
sebagai
suatu
tindakan
yang
menghadirkan sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda, baik suara maupun gambar. Representasi merupakan penggambaran realitas yang dikomunikasikan atau diwakilkan dalam tanda. Konsep representasi dapat berubah-ubah, karena makna sendiri tidak pernah
tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru intinya adalah makna selalu dikonstruksikan, diproduksi lewat proses representasi. Ada dua hal berkait dengan representasi yakni, pertama: apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana
mestinya,
apa
adanya
ataukah
diburukkan.
Penggambaran yang tampil bisa jading adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Hanya citra buruk saja yang ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari penampilan. Kedua: bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan foto macam apa seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam program (Eriyanto, 2006: 113).
2. Subkultur Menurut Fitrah Hamdani, subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk penciptaan gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap hegemoni atau jalan keluar dari suatu ketegangan sosial (Tammaka, 2007:164). Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Secara harfiah, subkultur terdiri dari dua kata. ‗Sub‘ yang berarti bagian, sebagian dan ‗kultur‘ kebiasaan dan pembiasaan. Tapi secara konseptual, subkultur adalah sebuah gerakan atau kegiatan atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang
besar. Secara kasar itu bisa diartikan sebagai ‗budaya yang menyimpang‘. Keakuratan subkultur merupakan hal yang berdaya mobilitas mengkonstitusi obyeknya dari studi. Hal ini merupakan suatu istilah klasifikatori yang mencoba memetakan dunia sosial di dalam suatu tindakan terhadap representasi. Keakuratan subkultur bukan pada sejauh mana mampu berfungsi dalam pemakaiannya. Kata ‗Sub‘ bermakna sebagai istilah dan menunjukkan perbedaan dengan jelas arus utama budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, subkultur dimaksudkan agar bagian masyarakat tertentu mampu memaknai hidup secara baru sehingga dapat menikmati kesadaran menjadi yang lain dalam perbedaan terhadap budaya dominan masyarakat. Masyarakat minoritas atau masyarakat subkultur ini juga terjadi pada Kpopers. Mereka merupakan kalangan minoritas yang menyukai segala sesuatu yang berbau Korea. Apa yang mereka sukai tidak banyak orang lain yang menyukainya. Terkadang di sini mereka dipandang sebelah mata bahkan dipandang negatif karena beberapa Kpopers terkadang mengeluarkan reaksi yang berlebihan ketika mereka melihat hal-hal yang berbau Korea. Di sinilah masyarakat melihat mereka dengan tatapan sinis. Tapi tidak bagi mereka sesama Kpopers. Bagi mereka itu adalah reaksi yang biasa mereka lakukan. Subkultur adalah budaya minoritas, kelas sosial tertentu atau kelompok yang bukan merupakan bagaian dari budaya populer mainstream. Subkultur anak muda adalah subkultur khusus pemuda. Ada rasa yang kuat homogenitas dalam subkultur pemuda karena pemuda ingin berjalan, berbicara, bertindak dan terlihat seperti orang lain usia mereka merasa seperti mereka milik kelompok. Pada saat yang sama, pemuda juga memiliki rasa yang kuat dari identitas yang
berbeda dari generasi tua yang mereka ekspresikan melalui pakain dan tindakan, dan kebanyakan subluktur pemuda memiliki rasa perlawanan baik terhadap masyarakat atau generasi tua. Ini adalah melalui kerangka umum ini pikiran dan interaksi bahwa anggota subkultur pemuda datang bersama-sama.
3. Budaya Pop Kata “culture” menurut sosiologi, kebudayaan adalah total dari warisan ide-ide, keyakinan, nilai-nilai, dan pengetahuan yang merupakan basis bersama dalam aksi sosial (Liliweri, 2014; 3) Menurut Greme (1999), budaya populer didefinisikan oleh kepercayaan dan nilai, oleh perilaku dan nilai, dan oleh pemahaman terhadap sejarah dan terhadap keberadaan semua hal tersebut dimiliki oleh kelompok sosial tertentu. Konsep-konsep kunci budaya populer mencangkup hal-hal berikut ini : a. Pemahaman tentang perbedaan dan identitas b. Bagaimana identitas direpresentasikan c. Bagaimana budaya diproduksi d. Cara hubungan sosial dan hubungan budaya disamakan dengan barang-barang e. Bagaimana makna tentang perbudakan diproduksi dalam teks f. Bagaimana ideologi beroprasi dalam praktik dan barang kebudayaan
Logika dasar tesis kedekatan budaya itu sendiri. Dalam sejarah budaya populer, hal yang asing dan jauh dapat menjadi sumber daya tarik, sama halnya dengan hal yang akrab dan dekat. Aktor tampan, potongan rambut, pakaian dan rumah yang bergaya, pemandangan indah, serta santapan merupakan sebagian dari daya tarik utama bagi para penggemar drama televisi Asia Timur ini. Dapat dikatakan semua hal itu memukau para penonton, justru karena asing dan bukan bagian dari kehidupan sehari-hari para penonton itu (Heryanto, 2015; 264).
4. Budaya Pop Korea Budaya pop Korea disebut juga Hallyu yang dalam bahasa Inggris disebut Korean Wave. Budaya pop Korea tersebar sangat luas karena perkembangan teknologi media massa yang semakin modern. Dalam penelitian yang ditulis oleh Nesya Amellita (2010) yang berjudul
Kebudayaan
Populer
Korea
:
Hallyu
dan
Perkembangannya Di Indonesia mengatakan bahwa demam Hallyu menyebabkan banyak orang menyukai produk-produk budaya pop Korea seperti drama seri, film dan musik. Kini, kecintaan khalayak terhadap budaya pop Korea ini semakin berkembang ke gaya hidup seperti makanan, fashion, pariwisata (lokasi syuting film Korea), dan olahraga (Hallyu Academy, 2005). Banyak remaja di negara yang terkena fenomena Hallyu mencontoh gaya hidup, penampilan, bahkan mulai menyukai olahraga yang sering ditampilkan televisi dalam drama ataupun film-film Korea. Budaya pop Korea mempunyai keunikan hingga berhasil merebut pangsa pasar di Asia, khususnya Indonesia. Keunikan-keunikan budaya Korea itu, antara lain drama seri Korea memiliki tema yang kuat. Budaya pop selalu menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Tidak ada definisi secara umum yang menjelaskan budaya pop. Budaya populer dipahami sebagai berbagai suara, gambar, dan pesan
yang diproduksi secara massal dan komersial termasuk film, musik, busana dan acara televisi serta praktik pemaknaan terkait, yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai hiburan. Budaya populer juga mengakui adanya berbagai bentuk praktik komunikasi lain yang bukan hasil industrialisasi yang memanfaatkan berbagai forum dan berbagai acara. (Heryanto, 2015; 22). Budaya populer mempunyai watak yang mudah berubah tergantung pada konteksnya. Yang paling menonjol dari budaya populer adalah sifatnya yang mudah diakses dan mudah menarik perhatian orang banyak. Budaya populer relatif murah dan mudah menarik perhatin dari berbagai kalangan, gender dan usia. Daya tarik dari budaya populer ini adalah kesederhanaan, keakrabannya dan kemudahan ketika digunakan (Heryanto, 2015; 23). K-Pop merupakan kepanjangan dari Korea Pop yang dikenal juga dengan Korean Wave atau gelombang Korea. Pada sejarahnya KPop berkembang di Indonesia setelah masuknya budaya Tiongkok, Taiwan dan Jepang. Kesamaan ras di antara Tiongkok, Taiwan dan Jepang mengakibatkan tidak susahnya budaya Korea yang ikut masuk ke Indonesia. Masuknya K-Pop di Indonesia diawali dengan masukknya drama Korea yang ditayangkan di televisi Indonesia. Beberapa drama Korea yang sempat menarik perhatian public di antaranya Jewel in The Palace, Full House, Winter Sonata, Coffe Prince, Princess Hours dan Boys Before Flowers. Drama Korea mempertontonkan berbagai pemandangan negara Korea yang indah, gedung-gedung yang menjulang tinggi, tekhnologi yang canggih dan para pemain yang cantik dan tampan. Berkembangnya drama Korea ikut menaikkan minat penonton terhadap pemandangan negara Korea yang disuguhkan di dalam drama tersebut. Selain pemandangan yang disuguhkan, kecintaan masyarakat
terhadap budaya Korea semakin berkembang ke gaya hidup seperti makanan, fashion, musik dan tekhnologi. Banyak remaja yang kini mengikuti fashion Korea seperti apa yang mereka lihat di drama Korea. Musik Korea yang kini menjadi yang paling populer untuk penggemar Korea dengan mudah mereka unduh melalui internet. Bahkan di antara mereka mampu menghafal lirik Korea tanpa mereka tahu apa artinya. Semakin banyaknya restoran Korea bisa memanjakan minat masyarakat untuk bisa ikut serta merasakan makanan yang selama ini mereka lihat di berbagai tayangan Korea. Budaya Korea semakin mudah masuk ke Indonesia dengan masukknya tekhnologi Korea yang semakin maju seperti handphone yang bermerk Samsung yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Masuknya drama Korea yang diikuti oleh musik, fashion, makanan dan tekhnologi Korea menjadikan salah satu faktor yang menarik minat masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi budaya Korea tersebut. Tontonan Indonesia yang akhir-akhir ini dianggap kurang mendidik masyarakatnya menimbulkan kebosanan masyarakat untuk mengkonsumsi tontonan yang disuguhkan oleh negara sendiri. Drama Korea yang dianggap lebih variatif, memiliki tema yang beragam, pemain yang cantik dan tampan dan cerita yang tidak monoton dan ending yang tak terduga menjadi salah satu yang menarik minat masyarakat untuk menonton tayangan Korea dibandingnkan dengan tayangan televisi Indonesia. Drama Korea menyuguhkan berbagai cerita unik seperti drama Blood yang menceritakan kisah seorang dokter yang terinfeksi virus langka yang menyebabkan dia menjadi seperti seorang vampire yang haus akan darah. You Who Came From The Star yang bercerita tentang seorang alien yang tertinggal di bumi selama 300 tahun dan ketika di saat terkahir dia bisa kembali ke planetnya, dia justru menemukan orang yang dicintainya. I Hear Your Voice yang menceritakan kisah seorang pria yang bisa mendengar suara hati atau batin orang lain
hanya dengan melihat matanya sejak ayahnya dibunuh di hadapannya ketika dia masih kecil. School 2013 tentang kisah persahabatan dua murid SMA yang meskipun hal buruk terjadi padanya, seorang teman akan ada untuk selalu membantunya. Beberapa masyarakat Indonesia menemui kebosanan dengan tontonan
tayangan
yang monoton.
Masyarakat
modern
yang
didominasi oleh kaum wanita ini menemukan solusi yang sedang populer saat ini yaitu masukknya budaya Korea. Berbagai moral value mereka temukan di berbagai tayangan seperti cerita persahabatan, keluarga dan sekolah. Dalam sejarah budaya populer, hal yang asing dan jauh dapat menjadi sumber daya tarik, sama halnya dengan hal yang akrab dan dekat. Aktor tampan, potongan rambut, pakaian dan rumah yang bergaya, pemandangan indah, serta santapan merupakan sebagian dari daya tarik utama bagi para penggemar drama televisi Asia Timur ini. Dapat dikatakan semua hal itu memukau para penonton, justru karena asing dan bukan bagian dari kehidupan sehari-hari para penonton itu (Heryanto, 2015; 264). Masukknya drama Korea memberikan pengaruh yang lain seperti munculnya OST atau soundtrack yang muncul dalam drama tersebut. Sekarang ini yang paling populer dari konsumsi budaya Korea adalah musik yang dibawakan oleh berbagai penyanyi yang berasal dari negri gingseng itu. Mudahnya akses untuk mengunduh lagu-lagu tersebut memudahkan masyarakat untuk mengkonsumsinya. Pengaruh selanjunya dari musik Korea adalah pakaian yang dipakai oleh para penyanyinya. Budaya Korea yang paling diminati masyarakat selain drama adalah musiknya. Bahkan musik bisa menarik massa yang sangat banyak hingga menciptakan sekelompok fans yang bergabung menjadi satu sesuai dengan artis yang mereka sukai. Untuk saat ini K-Pop didominasi oleh peminat musik Korea. Musik Korea banyak diminati karena mengadaptasi musik barat dengan gaya Korea
dan dengan visual artisnya yang bagus. Dengan kemasan yang menarik, musik yang ceria, efek music video yang modern serta pemasaran global dengan didukungnya media sosial internet yang mudah diakses oleh siapa saja menyebabkan merebaknya para penggemar Korea. Secara khusus, bentuk paling khas dari tindakan para penggemar K-Pop di awal abad ini meliputi lomba menyanyi (dalam bahasa Korea), ―cover dance” yakni tarian yang meniru para idola mereka (termasuk pakaian, potongan rambut, koreografi kelompok musik idola hingga rinci), atau flash mob, yakni penampilan pertunjukkan tari dadakan di tempat umum, misalnya pusat perbelanjaan (Heryanto, 2015; 246). Cover dance sering ditirukan khususnya oleh para kalangan remaja. Untuk memberikan kesan mirip dengan idola mereka, mereka menirukan keseluruhan dari apa yang idola mereka kenakan. Mulai dari gaya berpakaian hingga gaya rambut. Begitu inginnya mereka mirip dengan idola mereka, mereka mengecat rambut sama dengan warna rambut idola mereka. Bentuk representasi yang paling digemari saat ini adalah cover dance. Cover dance sebagai bentuk representasi untuk seorang cover dance yang ingin menjadi idol wanna be atau melakukan hal yang dilakukan oleh idola mereka. Sedangkan bagi yang melihatnya itu adalah wujud dari keinginan mereka untuk melihat idola mereka secara langsung yang tertunda. Cover dance merupakan perwujudan yang hampir mirip dengan idola mereka. Pada tahapan sejarah ini, impian seperti ini beririsan dengan politik identitas yang sedikit berbeda tapi masih berhubungan, yakni merosotnya
budaya
maskulin
seiring
jatuhnya
pemerintahan
militeristik Orde Baru, hasrat selruh bangsa untuk mencari model alternative untuk menjadi laki-laki dan perempuan di Indonesia modern (Clark 2010; Nilam 2009), menguatnya perasaan kebebasan
dan kepentingan di anatara sebagian kelas mengengah baru dalam mengejar tren global dalam budaya konsumen (Gerke 2000; Heryanto 1999; van Leeuwen 2011), berkurangnya secara mencolok ketegangan ras terhadap minoritas Tionghoa, dan kebangkitan islamisasi (Heryanto, 2015; 244).
5. Kpopers Kpopers adalah istilah yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang menyukai kebudayaan Korea. Mulai dari budaya, musik dan lagu, gaya berbusana, pariwisata, makanan, dan lain-lain. Akan tetapi pada masa sekarang, istilah Kpopers lebih sering digunakan untuk seseorang atau sekelompok orang yang menyukai boysband atau girlsband Korea. Hal ini dikarenakan boyband atau girlband dan girlsband Korea adalah salah satu sub kebudayaan Korea yang paling populer saat ini. Kpopers biasanya memiliki grup masingmasing yang mereka sukai. Mereka memiliki wadah yang berisi sesama anggota Kpopers yang terkadang ada event tertentu yang khusus diadakan untuk Kpopers yang sering disebut dengan K-Fest atau Korean Festival. Para penggemar ini bekerja sama menciptakan ulang teks dan gambar, lalu menyebarkan isi yang mereka ubah itu. Meniru tarian merupakan salah satu bentuk kerja sama penggemar yang paling umum ditemui di dunia. Istilah `cover dance` biasanya berarti satu versi lagu yang dinyanyikan oleh seorang artis yang berbeda dari penyanyi aslinya. Namun, dalam kasus kegiatan penggemar, istilah itu mengacu pada satu versi nyanyian atau tarian yang ditampilkan oleh penggemar. Di Thailand, beberapa kelompok yang mendedikasikan diri untuk meniru kelompok idola K-Pop mereka telah mendapatkan popularitas di Youtube dan menjadi pesohor kecil tersendiri (Heryanto, 2015: 246). Di Kota Surakarta sendiri sudah mulai menjamur kelompok cover dance yang berkiblat boyband dan girlband yang berasal dari
Negara Korea. Umumnya mereka memfokuskan kelompok mereka pada satu boyband atau girlband yang tarian mereka akan mereka tirukan. Banyaknya boyband dan girlband asal Korea mengakibatkan banyak pula kelompok cover dance yang bermunculan di Kota Surakarta. Kelompok cover dance ini ada yang bergabung dalam suatu komunitas dan adapula yang berdiri sendiri. Adanya acara Korean Festival (K-Fest), dijadikan wadah bagi mereka untuk menampilkan bakat dan kemampuan yang mereka miliki. Selain kelompok cover dance, seseorang bisa dikatakan sebagai Kpopers jika dia menyukai hal-hal yang berbau Korea seperti lagulagu yang boyband dan girlband nyanyikan, drama Korea dan style Korea. Kpopers sendiri lebih mengacu pada apa yang ada pada boyband dan girlband Korea. Apa yang mereka nyanyikan, baju atau style apa yang mereka pakai, bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain, drama apa yang mereka perankan, tempat mana yang mereka kunjungi, bagaimana tingkah dan perilaku mereka dan lain sebagainya. Kebanyakan orang yang menyukai Korea dan menjadi Kpopers adalah orang-orang yang mengikuti setiap gerak-gerik artis Korea yang mereka sukai. Artis atau idola yang mereka sukai, mereka jadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. mulai dari cara berpakaian, cara bertingkah dan berperilaku, gaya berbahasa dan bagaimana mereka menyikapi hidup mereka.
6. Komunitas Komunitas dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki kesukaan yang sama yang berkumpul menjadi satu yang saling berinteraksi. Dalam penelitian Aulia Dwi Nastiti (2012) yang berjudul Identitas Kelompok Disabilitas Dalam Media Komunitas Online (Studi Mengenai Pembentukan Pesan dalam Media Komunitas Kartunet.com oleh Kelompok Disabilitas Tunanetra)
dalam pemikiran Morse (1998) juga Wilson dan Peterson (2002) yang berpendapat bahwa pertama, definisi komunitas saat ini tidak lagi didefinisikan dengan latar belakang geografis atau etnis, namun komunitas saat ini berpusat pada kesamaan minat. Kedua, komunitas digambarkan dengan adanya kesamaan nilai-nilai, gaya hidup, serta adanya keberjarakan anatara insider dan outsider (Noonan, 2007: 461). Ketiga, komunitas dilihat sebagai jaringan interaksi, baik anatar individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Komunitas didefinisikan sebagai perasaan yang sama terkait dengan identitas di antara individu-individu dimana hal ini berhubungan solidaritas bersama, perasaan yang sama atau sense of community merupakan hal dasar bagi terbentuknya komunitas.
7. Komunitas Universe Cover Ease Entry (U-CEE) Komunitas Universe Cover Ease Entry (U-CEE) di Kota Surakarta. U-CEE adalah komunitas anak muda dominan pecinta Kpop yang dapat menyalurkan hobi menari dan menyanyi dengan genre K-pop, J-pop, Hip Hop, dan lain-lain. Universe Cover Ease Entry (UCEE) adalah sebuah komunitas dan juga sebuah perusahaan agensi yang dibangun di kota Solo. U-CEE Entertainment menampung segala bentuk aktivitas positif kaum remaja yang berada di kota Solo dan sekitarnya terutama dalam hal dancing, singing, band, modelling, dan lain sebagainya. Komunitas ini sudah beberapa kali mengadakan berbagai acara yang bertemakan budaya Korea dimana di dalamnya menampilkan berbagai pertunjukan dancing, singing dan lomba lainnya yang disesuaikan dengan artis atau idola yang ada di Korea.
B. PENELITIAN TERDAHULU Subkultur merupakan salah satu kajian dalam Sosiologi Budaya khususnya adalah Budaya Populer yang merupakan penolakan dari sebuah budaya mayoritas. Subkultur merupakan sebuah gerakan atau kegiatan atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Kata ‗sub’ bermakna sebagai istilah dan menunjukkan perbedaan dengan jelas arus utama budaya dominan dalam masyarakat. Saat ini subkultur mulai merambah ke setiap bidang kehidupan salah satunya dalam bidang kebudayaan. Subkultur mulai dinikmati oleh kalangan-kalangan minoritas yang pada umumnya menentang hal-hal yang biasa ada di kalangan mayoritas. Fenomena ini tentunya menimbulkan reaksi positif dan negatif. Dalam hal ini penulis mengulas mengennai difusi budaya pop Korea dan perilaku sosial masyarakat subkultur dalam menjaga eksistensi mereka. Kini penelitian yang berkenaan dengan kebudayaan telah banyak dilakukan baik oleh kalangan peneliti, dosen, mahasiswa atau pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Hasil penelitian tersebut nantinya bisa dijadikan acuan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian serupa atau bahkan dijadikan pertimbangan oleh pemerintah atau pihak yang berwenang dalam mengkaji subkultur budaya populer ini. Sebuah penelitian dengan judul Kebudayaan Populer Korea : Hallyu dan Perkembangannya di Indonesia oleh Nesya Amellita (2010) menjadi salah satu rujukan penulis. Penelitian ini mengulas bahwa Korea sukses mengemas produk budaya mereka menjadi komoditas ekspor yang potensial. Padahal sebelumnya Korea hanyalah importir produk budaya negara lain. Kesuksesan invansi budaya pop Korea sampai ke luar batasbatas wilayah negara lain menjadi Korea sebagai pusat budaya pop baru di Asia, khususnya di Indonesia, yang dulu didominasi oleh Jepang. Keberhasilan Hallyu membuka peluang bagi Korea untuk meningkatkan investasi mereke di bidang pariwisata, pendidikan, hubungan diplomatik dengan negara lain serta kehidupan sosial. Kebijakan-kebijakan terbuka yang dilansir pemerintah Korea sangat membantu keberhasilan Hallyu.
Manajemen serta strategi pemasaran pemerintah Korea menjadi penyebab utama Hallyu mampu menggeser posisi budaya pop yang sebelumnya pernah berkembang di Indonesia. Selain itu, konten serta teknik pengemasan budaya pop Korea yang berbeda dengan budaya pop lainnya membuat Hallyu semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Hallyu dengan mudah dapat diterima di Indonesia karena masyarakat Indoneis cenderung mampu beradaptasi dengan budaya asing yang masuk. Apalagi produk-produk budaya Korea dikemas dengan gaya global sehingga mudah dimengerti dan diterima oleh khalayak luar. Penelitian yang lain yang berjudul K-Pop Dan Identitas Diri : Studi Kasus Pembentukan Identitas Diri Dalam Fandom di Kalangan Penggemar K-Pop di Solo oleh Dhyanayu Luthfia (2013) menjadi rujukan lain peneliti dalam menulis skripsi ini. Penulisan ini mengulas tentang bagaimana penggemar K-Pop menggunakan konsep identitas “I” dan “Me” dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam pembentukan identitas pribadi (I) penggemar K-Pop di Kota Solo ditemukan berbagai macam alas an mengapa mereka menyukai K-Pop. Berbagai alasannya di antara lain adalah karena music, fisik, style dan fashion, kepribadian, proses training, konsep dan video klip. Mereka meniru idola mereka dalam berperilaku dan berpenampilan, mengikuti style dan fashion, belajar bahasa Korea, meniru tarian, menyukai makanan Korea, hingga menjadikan idola K-Pop sebagai inspirasi dan motivasi sehingga para penggemar Korea tersebut membentuk identitas pribadinya. Selain itu penggemar K-Pop juga menjadi konsumen benda-benda memorabilia idola. Setelah melakukan adopsi, penggemar merasakan perubahan pada diri secara pribadi. Mereka merasa lebih stylish, menjadi lebih rajin menabung, berubahnya selera music, menambah lingkup pertemanan hingga mempunyai khayalan tentang idolanya. Dalam penelitian ini juga membahas mengenai pembentukan identitas kelompok (Me) di kalangan penggemar K-Pop di Kota Solo. Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa para penggemar Korea
ini melakukan berbagai kegiatan dengan fandom K-Pop yang mereka lakukan di tempat umum seperti restoran agar masyarakat umum mengetahui keberadaan mereka. Selain itu penggemar Korea ini juga menyaksikan berbagai konser K-Pop yang diadakan di Indonesia. Fandom atau kelompok pecinta Korea berdasarkan artis yang mereka sukai ini juga mengadakan berbagai kegiatan seperti gathering dan flash mob. Pada berbagai kegiatan ini biasanya para penggemar Korea memakai dress code atau property yang biasa idol mereka gunakan. Perilaku ini sebagai wujud dukungan penggemar terhadap idolanya. Pembahasan terakhir tentang penelitian ini adalah mengenai pergeseran antara identitas pribadi (I) dan identitas kelompok (Me). Ketika proses pembentukan identitas pribadi (I) dan identitas kelompok (Me) berlangsung terdapat pergeseran-pergeseran yang timbul. Berbagai aturan yang ada di dalam fandom ternyata menimbulkan ketidaknyamanan bagi beberapa penggemar Korea ini. Dengan aturan memakai dress code, penggemar merasa kehilangan jati dirinya. Mereka menolak untuk mengikuti aturan tersebut. Namun mereka tetap menjadi penggemar K-Pop dengan selalu memberikan dukungan seperti membeli album, mengikuti berita-berita idol K-Pop, mengikuti gathering dan tetap menyaksikan konser. Namun bagi sebagian besar penggemar K-Pop, mengikuti aturan yang berlaku dengan selalu menggunakan dress code saat gathering dan konser, membawa lightstick dan banner saat konser merupakan kebanggaan tersendiri. Selain merasa mampu memberikan dukungan terhadap idolanya, mereka beranggapan dengan melakukan hal tersebut dapat menunjukkan kepada lingkungan siapa diri mereka. Bagi penggemar fanatic K-Pop ini, menunjukkan eksistensi melalui atribut yang dikenakan kepada lingkungan adalah sebuah kebutuhan. Mereka yang telah sepenuhnya menjadi penggemar Korea berusaha menyebar luaskan demam K-Pop kepada keluarga, teman dan lingkungan di sekitarnya. Tak jarang hal tersebut membawa dampak negatif kepada mereka. Terkadang
penggemar K-Pop harus menomor duakan aktifitas sehari-hari demi kegiatan K-Pop. Selain itu pandangan negatif juga banyak mereka terima. Dilihat dari hasil penelitian ini, identitas kelompok (Me) akan lebih kuat dan mengikat ketika mereka berkumpul bersama di dalam fandom. Saat berada di luar fandom, identitas kelompok yang mereka pertahankan akan lebih rapuh. Mereka akan lebih mudah berubah dan kembali pada identitas pribadi (I) ketika berada di luar fandom. Selain itu dalam penelitian ini seperti yang dikatakan oleh Joli Jensen mengenai fandom sebgai sebuah penyimpangan (pathology), dapat dibuktikan dengan segala tindakan yang dilakukan oleh penggemar dalam fandom K-Pop. Mereka melakukan kegiatan dengan segala nilai-nilai yang diterapkan, seperti mengenakan pakaian dan aksesori K-Pop, dan merasa bangga akan hal itu. Di mana hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh orang di luar fandom. Dalam sebuah jurnal internasional yang berjudul Korean Wave : Enjoyment factors of Korean dramas in the U.S dari International Journal of Intercultural Relations oleh Lisa M. Chuang dan Hye Eun Lee (2013) bahwa drama Korea juga meraih populeritas di Amerika Serikat. Populeritas drama Korea di AS dapat dikaitkan dengan beberapa hal. Pertama, stasiun Korea lokal seperti KBFD, di Hawaii, California, dan New York adalah perintis dalam menempatkan sub judul bahasa Inggris pada drama untuk menarik khalayak yang lebih luas. Selain itu, mereka mengandung alur cerita yang berakar pada situasi keluarga kehidupan nyata, karakter yang mengalahkan rintangan, dan fi nite de mengakhiri-1620 episode dibandingkan dengan inde fi nite Amerika sinetron (Chun, 2005). Akhirnya, datang dengan cerita-garis yang mencakup karakter yang penonton mampu mengembangkan disposisi yang kuat terhadap juga dapat berkontribusi untuk khalayak Amerika tumbuh. Jurnal internasional selanjutnya berjudul Influence of Populer Culture on Special Interest Tourists` Destination Image dari Tourism Management oleh So Jung Lee dan Billy Bay (2015) dalam kaitannya
dengan hubungan antara perilaku konsumen dan citra tujuan turis dapat dibagi menjadi 3 tahap: tahap kunjungan sebelumnya, selama kunjungan dan setelah kunjungan. Mengenai tahap pra-kunjungan, gambar tujuan memengaruhi para tentions di- dan keputusan dari wisatawan potensial karena produk tujuan tidak berwujud dan pengetahuan yang terbatas. Terutama, citra positif yang kuat dari tujuan dapat memainkan peran penting dalam niat seorang musafir untuk mengunjungi tujuan (Alhemoud & Armstrong, 1996; Hunt, 1975; Ross, 1993). Kaitannya dengan waktu turis selama kunjungan seperti tinggal wisatawan lebih lama, mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan persepsi yang lebih benar dari tempat yang ingin mereka kunjungi. Ross (1993) melaporkan bahwa sikap tujuan warga adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi pengalaman turis dan pembentukan citra mereka selama kunjungan mereka. Dalam kaitan dengan perilaku pasca kunjungan, Alhemoud dan Armstrong (1996) dan Fakeye dan Crompton (1991) dibahas kepuasan tujuan dengan memeriksa hubungan antara harapan kunjungan pra- wisatawan dan pengalaman nyata selama kunjungan. Milman dan Pizam (1995) dan Ross (1993) meneliti dampak dari gambaran destinasi dihasilkan oleh pengalaman tujuan yang sebenarnya pada perilaku perjalanan masa depan. Mereka menemukan bahwa ada hubungan positif antara citra tujuan dan niat kunjungan kembali. Joppe dkk. (2001) membahas dimensi tujuan loyalitas tujuan terpengaruh seperti budaya dan transportasi. Jurnal internasional yang terakhir berjudul The effect of likability of Korean celebrities, dramas, and music on preterences for Korean restaurants: A mediating effect of a country image of Korea dari International Journal of Hospitality Management oleh Bum Jun Lee, Sunny Ham dan Dong Hoon Kim (2015) membahas mengenai musik yang digunakan sebagai alat promosi dalam menciptakan gambar dan kepentingan di Negara tertentu untuk tujuan pemasaran pariwisata. Dalam keadaan seperti itu, suku Korea generasi baru konsumen, agresif dalam
mengadopsi dan meniru gaya hidup Korea dalam bidang fashion, makanan dan pola konsumsi lainnya. Populasi ini biasanya belajar bahasa Korea dan membuat ziarah ke Korea. Sebagian besar orang pergi ke Korea disebabkan oleh dampak budaya populer Korea (Cho, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk fokus pada selebriti, drama televisi, dan musik populer di kalangan segmen budaya populer Korea. Sebagai sarana berkolaborasi dengan budaya populer untuk promosi dari merek atau produk, pemasaran selebriti dan penempatan produk (PPL) adalah teknik pemasaran utama. Pemasaran selebriti mengacu pada pemasaran produk dan kegiatan promosi dari corporation sementara kontrak perusahaan dengan memanfaatkan dan selebriti untuk mendorong kepentingan konsumen. Pemasaran selebriti membuat dampak besar, khususnya, pada konsumen muda, seperti remaja akhir dan awal 20-an (Son et al., 2005). Selain itu, PPL adalah bentuk baru komunikasi iklan melalui mana produk korporasi secara alami terekspos di media gambar, seperti televisi drama sion, video musik, dan game online. Hasil PPL efek yang lebih besar, karena konsumen mengakui dan menerima PPL sebagai bagian dari isi bukan iklan itu sendiri (Su et al., 2011). Dilihat dari praktik industri, dua teknik pemasaran utama, pemasaran selebriti dan PPL, merupakan pemanfaatan modal manusia (hubungan selebriti) dan isinya, masing-masing. Selebriti dan isinya juga telah terbukti sebagai variabel independen dalam penelitian sebelumnya (Smith dan MacKay, 2001; Rajaguru, 2013). Sebuah studi (Rajaguru, 2013) dari selebriti, visual, efek vokal terpancar dari gambar gerak Korea pada kunjungan niat wisatawan 'untuk kunjungan dan aktual back- tetes juga didukung independensi variabel selebriti dan isi (efek visual dan efek vokal). Penelitian
terdahulu
dari
jurnal
nasional
yang
berjudul
Representasi Budaya dalam Iklan Pariwisata (Analisis Semiotika pada Video Musik S.E.O.U.L dan Fly to Seoul) oleh Rotua Uly Inge 2012) membahas tentang video musik S.E.O.U.L dan Fly to Seoul
merupakan salah satu video promosi yang menjadikan pariwisata kota Seoul Korea Selatan sebagai objeknya. Video musik S.E.O.U.L dibintangi oleh boyband terkenal Super Junior dan girlband Girls Generation. Sedangkan video musik Fly to Seoul juga dibintangi oleh boyband terkenal 2PM. Pada proses representasi ada tiga prooses yang dilakukan. Pertama yakni level realitas. Dalam video ini ditunjukan kegiatan yang biasa masyarakat lakukan pada umumnya seperti berbelanja, bermain sepeda, memotret, menari, melukis dan hobi yang tidak semu orang lakukan pada umumnya. Hal ini mempunyai maksud bahwa Seoul menyedialan fasilitas yang lengkap dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Pada level kedua, pada kedua video ini sama-sama mengambil artis yang sedang terkenal di kala itu sebagai modelnya untuk menarik minat penonton. Pada level ketiga,
bagaimana
kegiatan-kegiatan
tersebut
dihubungkan
dan
diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kebudayaan suatu masyarakat. Jurnal nasional yang kedua berjudul Budaya Kaum Muda Perempuan
Penggemar
Boyband
Korea
(Sebuah
Pendekatan
Kriminologi Budaya) oleh Avokanti Nur Arimurti (2012) membahas berbagai macam bentuk kebudayaan para kaum muda perempuan penggemar Berbagai macam bentuk kebudayaan para kaum muda perempuan penggemar boyband Korea seperti terbentuknya fansclub boyband yang diidolakannya, menyerukan fanchat pada saat-saat tertentu seperti ketika melihat konser idolanya, membeli merchandise yang berhubungan dengan tokoh yang diidolakannya, memutar lagu boyband yang diidolakannya, memasang foto boyband foto yang diidolakannya, membuat proyek untuk sang boyband, melakukan stalking ataupun cyberstalking terhadap perkembangan boyband yang diidolakannya, menonton konser, larut dalam perasaan senang atau sedih ketika boyband mengalami hal yang menyenangkan atau menyedihkan, dan memiliki berbagai istilah dalam sebuah komunitas yang mereka ikuti.
Jurnal nasional yang terakhir berjudul Analisis Pengaruh Musik Korea Populer Terhadap Gaya Hidup Di Kalangan Remaja oleh Amalia Izzati (2013) membahas musik populer Korea yang sangat mempengaruhi gaya hidup kalangan remaja. Kemajuan teknologi dan keberadaan internet mempermudah kalangan remaja untuk mengakses musik Korea. Budaya Korea yang menjamur di Indonesia bukan hanya dijadikan sebagai hiburan tapi juga beralih menjadi gaya hidup sehari-hari. dari sekian banyak budaya Korea yang disuguhkan, yang paling diminati oleh kalangan remaja khususnya remaja putri adalah boyband Korea. Remaja Indonesia sangat menyukai musik Korea karena menjadi warna baru dalam musik. Artis Korea kebanyakan tidak hanya bisa menyanyi akan tetapi mereka juga menampilkan tarian enerjik yang menarik perhatian penonton. Remaja Indonesia yang menyukai budaya Korea tidak terlepas dari perubahan gaya hidup mereka, cara berpakaian dan bahasa mereka. Mereka juga lebih konsumtif untuk membeli pernak-pernak yang berbau Korea. Media sosial mereka juga lebih luas karena hanya dengan media sosiallah mereka dapat bertemu dan berinteraksi dengan idola mereka.
C. LANDASAN TEORI Penulis
menggunakan
teori
sosial
postmodern
dari
Jean
Baudrillard. Dalam buku Teori Sosiologi oleh Ritzer (2012; 1087) Jean Baudrillard melihat masyarakat kontemporer atau masyarakat saat ini tidak lagi didominasi oleh produksi, namun oleh media, model sibenertika dan sistem pengendali informasi hiburan dan industri pengetahuan telah dan lain sebagainya. Dapat dikatakan masyarakat telah bergeser dari masyarakat yang didominasi oleh mode produksi menuju masyarakat yang dikontrol oleh kode produksi. Tujuannya telah beralih dari eksploitasi dan laba ke arah dominasi oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya.
Cara lain yang ditempuh Baudrillard, menggambarkan dunia postmodern bahwa dunia ini ditandai oleh simulasi, ketika pemisahan antara tanda dengan realitas mengalami implosi, sulit memperkirakan hal – hal yang riil dari hal – hal yang menyimulasikan hal – hal riil. Baudrillard menggambarkan dunia ini sebagai Hipperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih riil dari realitas (Ritzer, 2009 : 678 ). ―Hipperealitas adalah efek, keadaan atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut‖ ( Piliang, 2003 : 150 ). Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi dalam dunia hiperealitas tidak saja realiitas yang hilang, tetapi juga dunia tak nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Hipperealitas adalah duplikat atau kopi dari realitas yang didekodifikasikan ( Piliang, 2003 : 152). Bagi Baudrillard , tidak ada tempat yang lebih hipperealis selain padang pasir, dan padang pasir ini adalah Amerika, Ini, tentunya hanya sebuah metafora yang digunakan Baudrillard untuk menerangkan aspek – aspek halusinasi , khayalan dan fatamorgana yang telah menguasai kebudayaan Amerika. Di tengah pasir, seseorang dapat menyaksikan citra – citra fatamorgana — citra – citra yang segera menghilang tatkala seseorang mendatanginya secara lebih dekat. Hal yang sama dapat dijumpai tatkala seseorang berada di depan televisi, film 3D, video, video game dan kini virtual reality lewat computer. Totalitas hidup seseorang ( kegembiraan, kesedihan, kesukaan, keberanian dan sebagainya) secara tak sadar terperangkap di dalam dunia hiperealisme media, namun apabila seseorang tersebut mencoba melihat media dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi, atau fatamorgana sebuah kesemuan (Piliang, 2003 : 152 – 153 ).
Kalimat di atas dapat diuraikan bahwa Media, menjadikan manusia tenggelam dalam hipperealitas. Manusia mengalami sesuatu yang melebihi realitas dan semakin lama kehilangan realitas atau kehidupan sebenarnya yang riil. Contohnya ketika seseorang menonton sinetron atau drama di televisi. Ia tidak berinteraksi dengan siapapun, tetapi ia dapat menghayati isi cerita dalam sinetron tersebut misalnya ia menangis ketika cerita itu menyedihkan atau tertawa ketika ceritanya lucu seperti halnya ia menangis dan tertawa di dunia nyata atau realitas. Baudrillard juga mengungkapkan bahwa realitas dan hipperealitas sulit dibedakan dan bahkan hipperealitas dapat melebihi realitas sebenarnya. Contohnya adalah ketika seorang anak bermain permainan ( game ) jenis First Person Shooter yaitu model permainan perang dengan tampilan tangan dan senjata perang, istilahnya game tembak menembak. Di kehidupan sebenarnya anak tersebut tidak pernah mengikuti perang dan membunuh orang bahkan anak tersebut tidak mampu mengoperasikan senjata, tetapi dalam game itu, hanya dengan memencet beberapa tombol ia bisa menembak, mengisi peluru, menggunakan strategi berperang dan lain – lain sampai pada membunuh musuh yang dianggap sebagai suatu kesenangan. Tanpa disadari anak tersebut tenggelam dalam kehidupan yang tidak nyata karena ketagihan dalam fantasi dan imajinasi yang disajikan game tersebut dan lambat laun mulai kehilangan kehidupan nyata atau riil dimana ia biasa bermain dengan teman – temannya. Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga menampakan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayalan menjadi tampak nyata. Simulakrum (simulacrum) adalah sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Tanda (sign) adalah unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi, yaitu segala sesuatu yang
mengandung makna, yang mempunyai dua unsur, yaitu penanda (bentuk) dan petanda (makna) (Piliang, 2003: 21). Simulasi adalah pola yang merajalela pada tahap sekarang yang dikontrol oleh kode. Simulasi sebagai model produksi penampakan dalam masyarakat konsumen, menurut Baudrillard, tidak lagi berkaitan dengan duplikasi ada (Being) atau substansi dari sesuatu yang diduplikasi, melainkan penciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata yang tanpa asal usul atau realitas, hyperealitas (Piliang, 2003:132). Referensi dari duplikasi bukan lagi sekadar realitas, melainkan apa yang tidak nyata-yaitu fantasi. Oleh karena fantasi dapat disimulasi menjadi (seolah-olah) nyata, maka perbedaan antara realitas dan fantasi sebenarnya sudah tidak ada (Piliang, 2003:132). Melalui model produksi simulasi, tidak saja dapat dihasilkan objekobjek hipereal, akan tetapi juga dapat dilakukan proses kompresi, dekonstruksi, dan rekonstruksi ruang, sehingga memampukan manusia mengalami pengalaman ruang yang baru yaitu ruang simulacrum. Objekobjek simulasi-simulakrum-tak lebih dari facsimile dari petanda fiksi atau petanda yang hilang-kembarannya (lihat sebagai contoh King Kong, atau Terminator II, Superman, dan sebagainya). Petanda dari simulacrum adalah fantasi, ilusi, atau nostalgia (kita harus membedakan simulasi dengan realisme atau mimesis, karena yang belakangan masih berkaitan dengan representasi) (Piliang, 2003:133). Bagi Baudrillard, simulasi adalah proses atau strategi intelektual, sedangkan hiperealitas adalah efek, keadaan, atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut. Awal dari era hiperealitas, menurut Baudrillard, ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi,
atau, (realitas) menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek representasi, akan tetapi ektase penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri (Piliang, 2003:135). Dunia hiperealitas adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi objek-objek simulacrum-objek-objek yang murni penampakan, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya (Piliang, 2003:136). Kaitan teori dalam penelitian ini adalah ketika apa yang para remaja sukai ketika mereka melihat artis Korea merupakan penjelmaan sebagai sosok yang secara tidak langsung mereka kagumi. Mereka hanya bisa menjumpai artis Korea ini hanya sebatas melalui media sosial. Banyak berita yang memberitakan kegiatan mereka sehari-hari, apa yang sedang mereka lakukan, dan berbagai foto tiap harinya dapat mereka dapatkan dengan mudah hanya dengan mengikuti fanpage yang ada di facebook, twitter, instagram, line, dan media sosial yang lainnya. Tidak sedikit artis Korea yang memiliki akun sosial pribadi. Hal ini menjadi semakin mudahnya para fans berinteraksi dengan idola mereka. Tidak hanya foto dan berita yang bisa mereka lihat. Para artis Korea juga mengunggah berbagai video aktivitas mereka melalui youtube, vapp dan media sosial berbasis video lainnya. Para Kpopers biasanya tidak hanya melihat music video artis mereka. Music video hanyalah hal biasa. Mereka akan semakin menyukai para artis Korea jika mereka sudah melihat bagaimana karakter dan tingkah laku mereka melalui acara reality show atau berbagai video yang menunjukkan aktivitas mereka. Dalam berbagai video yang mereka lihat dan melihat bagaimana tingkah laku para idola mereka, para Kpopers ini tidak sedikit yang meniru apa yang mereka lakukan dan mereka terapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, make up apa yang mereka
kenakan. Tidak hanya benda yang mereka tirukan, akan tetapi berbagai kebiasaan maupun gaya mereka berbicara atau melucu. Kpopers biasanya didominasi oleh para remaja putri. Banyaknya boyband Korea yang memiliki wajah tampan dan mempunyai karakter yang unik, membuat para remaja ini memiliki seorang sosok baru yang mereka jadikan patokan sebagai pria idaman. Ketika mereka melihat para artis Korea muncul di layar kaca, mereka akan tersenyum sendiri bahkan berteriak kegirangan. Mereka juga akan menangis jika terjadi hal buruk para artis idola mereka. Perilaku dan perasaan seperti inilah yang akan penulis kaitan dengan teori postmodern oleh Jean Baudrillad. Ketika para Kpopers menganggap bahwa artis idola mereka sebagai realita yang mereka jumpai di dunia nyata. Padahal para kenyataannya mereka sehari-harinya hanya menjumpai mereka di dunia maya dan hanya menonton mereka lewat video. Mereka tidak bisa menjumpai artis idola mereka kecuali mereka menonton pertunjukan mereka seperti konser, fan meet ataupun kunjungan lainnya. Itupun jika mereka membeli tiket atau memliki akses untuk menemui mereka. Mereka terlalu menanggapi apa yang terjadi pada artis idola mereka. Setiap hari, setiap jam mereka buka sosial media dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Media sosial menjadi sangat penting peranannya untuk bisa melihat idola mereka. Intensitas para Kpopers mengakses media sosial dan terus berinteraksi dengan sesama penggemar Korea mengakibatkan mereka teralinasi sendiri oleh dunia nyatanya. Apa yang mereka perbincangkan sehari-hari dengan teman hanyalah tentang artis Korea. Apa yang sedang mereka lakukan, kekonyolan apa yang mereka lakukan, lagu apa yang baru saja muncul dan lain sebagainya.
Para Kpopers ini seolah-olah lupa akan dunia nyatanya yang tidak hanya sebatas tentang idola mereka. Dalam kehidupan nyata mereka, mereka tertawa dan menangis karena idola mereka. Mereka terjebak di dalam emosi yang mereka lihat di sosial media yang memuat kabar dari artis Korea. Artis Korea yang hanya bisa mereka lihat lewat dunia maya seolah-olah menjadi seseorang yang sangat mempengaruhi hidup mereka sampai di dunia nyata. Bahkan dunia maya mereka bisa lebih nyata daripada dunia nyata. Mereka berkhayal bisa memiliki seorang pendamping seperti apa yang mereka sukai seperti idola mereka. Khayalan mereka tidak hanya sebagai pendamping, ada juga hanya sebatas teman, sahabat, bahkan ada juga yang lebih ekstrim seperti khayalan layaknya hubungan suami istri. Mereka akan sangat menyukai jika ada kembaran atau orang yang sedikit mirip dengan artis idola mereka yang mereka temui di dunia nyata. Biasanya ada orang atau sekelompok orang yang mengikuti gaya para artis Korea dan menunjukkannya di depan umum. Biasanya ini terjadi di kalangan boyband. Banyak sekali kopian dari boyband Korea. Kopian yang biasa mereka lakukan adalah dengan menari dan berpakaian selayaknya boyband Korea. Hal ini sangat menarik minat Kpopers yang tidak bisa melihat boyband yang asli. Setidaknya mereka merasakan atmosfer ketika menonton konser dengan penonton yang banyak dan dengan yel-yel yang biasa mereka ucapkan ketika konser. Dengan hiperialitas yang dialami oleh para Kpopers ini, merupakan alasan mengapa peneliti ingin meneliti tentang representasi budaya pop Korea dalam masyarakat subkultur di Kota Surakarta.
D. KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu dampak dari globalisasi adalah munculnya suatu budaya populer yang mengakibatkan adanya suatu masyarakat subkultur. Banyak media yang digunakan dalam mempopulerkan budaya pop Korea yaitu berupa media film, drama, musik dan lagu, gaya berbusana, makanan, pariwisata, dan lain-lain. Di dalam semua itu terdapat pengetahuan, informasi, makna dan simbol-simbol tertentu. Salah satu kelompok terkena dampak budaya pop biasa disebut dengan Kpopers. Pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap budaya pop Korea hanyalah sekedar sebuah produk hiburan. Sehingga sikap Kpopers terhadap budaya pop Korea tidak signifikan. Namun ketika Kpopers sudah mulai intensif dan memahami simbol-simbol yang ada di dalam budaya pop Korea, maka akan muncul perubahan pengetahuan dan pemahaman baru terhadap budaya pop Korea. Perubahan pengetahuan dan pemahaman Kpopers ini pada akhirnya juga akan mengubah pemaknaan dan sikap Kpopers dalam aktivitas kesehariannya. Perubahan sikap inilah yang akan memunculkan perubahan tindakan para penggemar budaya pop Korea dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini terutama akan terlihat jelas pada suatu komunitas. Suatu wadah dimana di dalamnya memilki kesukaan yang sama. Bagaimana mereka akan mewujudkan gagasan yang ditampilkan budaya pop Korea dalam komunitas dan bagaimana simbol yang ditampilkan budaya pop Korea dalam masyarakat subkultur di Kota Surakarta.
Bagan II. 1: Kerangka Berpikir
Kpopers (Masyarakat Subkultur)
Representasi budaya pop Korea dalam masyarakat subkultur di Kota Surakarta
Dimensi Internal
Perwujudan gagasan yang ditampilkan budaya pop Korea dalam komunitas Universe Cover Ease Entry (U-Cee) di Kota Surakarta
Simbol yang ditampilkan budaya pop Korea dalam masyarakat subkultur di Kota Surakarta
Dampak
Dimensi EKsternal