BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Tanda dan Makna
Komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”. Communico, communication atau communicare yang berarti “membuat sama”. Melihat pengertian tersebut, kata komunikasi mengacu pada suatu upaya untuk mencapai satu kesamaan. Setiap komunikasi yang ada di kehidupan manusia pastilah dapat terjadi dengan bantuan tanda, menurut Suprapto, “komunikasi adalah proses yang melibatkan seseorang untuk menggunakan tanda-tanda (alamiah atau universal berupa simbol-simbol berdasarkan perjanjian manusia) verbal atau nonverbal yang disadari atau tidak disadari yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap orang lain.”4 Setiap tanda yang ada pasti melewati proses pemberian makna berdasarkan perjanjian atau kesepakatan antar manusia, maka dari itu komunikasi dapat dikatakan sebagai pertukaran tanda dan makna.
Fiske dalam bukunya Cultural and Communication Studies yang menerangkan bahwa dalam komunikasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama yakni yang memandang sebagai proses dengan asumsi komunikasi ini diletakkan pada medium, saluran 4
Tommy Suprapto, Pengantar Teori & Manajemen Komunikasi, Media Pressindo, Yogyakarta, 2009, hal. 5-6
9
10
transmitter, penerima, gangguan, dan umpan balik. Yang kedua memandang komunikasi sebagai tanda dan makna di mana komunikasi sebagai the generation of meaning. 5
Menurut Effendy, “komunikasi adalah penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda. Komunikasi disebut efektif bila makna yang tercipta relatif sesuai dengan yang diinginkan komunikator” 6. Dalam konteks komunikasi sebagai proses pertukaran tanda dan makna, itu berarti komunikasi adalah bagaimana cara kita menafsirkan pesan yang disampaikan. Dalam sebuah pesan terdapat tanda-tanda, makna, kode dan simbol. Sementara itu, pemahaman pesan antara si pengirim dan si penerima tidak hanya berdasarkan pada keakuratan media komunikasi tetapi bagaimana makna dalam pesan itu dipahami sebagai bagian dari nilai-nilai budaya yang lebih luas. Maka dari itu tanda-tanda dan makna sangat lah penting di dalam komunikasi.7 Menurut Dennis Mcquail, “tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai signifikasi sesuai yang berarti suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang ingin kita komunikasikan8”. Jadi tanda merupakan suatu media guna mengemas pesan dalam setiap peristiwa 5
John Fiske, Cultural and Communication Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, hal.59
6
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bina Cipta, Bandung, 2003, hal. 49 7 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 6th, Wasdworth Publishing Company, 1999, hal 64 8
Dennis Mcquail, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 1989, hal 181
11
komunikasi di mana manusia saling melempar tanda-tanda tertentu dan dari tanda-tanda itu terstrukturlah suatu makna-makna tertentu yang berhubungan dengan eksistensi masing-masing individu. Makna menurut Terence A. Shimp adalah “tanggapan internal yang dimiliki atau diacu seseorang terhadap rangsangan dari luar.”9 Munculnya makna disebabkan karena adanya suatu rangsang dari luar diri manusia. Pesan dalam komunikasi merupakan suatu rangsangan luar. Pesan-pesan yang terdiri dari seperangkat tanda-tanda dan tanda-tanda ini kemudian direspons di dalam diri manusia baru kemudian menghasilkan suatu pemaknaan. Seperti yang dikatakan Susanne K. Langer dalam Deddy Mulyana, “salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Manusia memang satu-satunya mahluk yang menggunakan lambang dan itulah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya.”10 Lambang adalah salah satu tanda yang dipertukarkan manusia dalam berkomunikasi. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk merujuk sesuatu lainnya (simbolisasi). Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal dan objek yang maknanya disepakati bersama.
9
Terence A. Shimp, Advertising, Promotion, and Supplemental Aspects of IMC, Dryden Press, Orlando 2000, hal. 108 10
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hal 46
12
Pada umumnya simbol memang memiliki makna atau lebih tepatnya adalah simbol tersebut yang mendorong manusia untuk memberi makna. Simbol-simbol tersebut mempresentasikan sebuah makna tertentu. Sebagai mahluk yang menggunakan simbol, manusia lebih sering mementingkan simbol dari pada hakikat yang disimbolkannya. Dengan demikian dalam proses komunikasi sebagai pertukaran tanda dan makna, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya komunikasi yang berlangsung antar manusia tak lepas dari setiap pesan-pesan yang dapat berbentuk apa saja termasuk dalam bentuk tanda untuk menciptakan makna tertentu sesuai dengan tujuan dan motif seseorang penyampaian pesan tersebut. Komunikasi dapat dikatakan sebagai proses pertukaran tanda dan makna, menurut Tubbs dan Moss yang dikutip oleh Alex Sobur, bahwa: “Proses komunikasi itu sebenarnya mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf seseorang kepada sistem saraf orang lain, dengan maksud menghasilkan sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak si pengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui kata-kata, yang merupakan unsur dasar bahasa, dan katakata, sudah jelas merupakan simbol verbal.”11
Dari kutipan tersebut juga menambah kesimpulan bahwa sebuah makna yang sama akan terjadi apabila proses pengiriman pesan dari komunikator ke komunikan berjalan baik, artinya terjadi proses penafsiran makna yang sama antara benak komunikan dalam menanggapi pesan yang disampaikan oleh komunikator. 11
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 41.
13
Dalam iklan sendiri terdapat proses penyampaian tanda, sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang diiklankan, konteks berupa lingkungan, orang atau mahluk lainnya yang memberikan makna pada objek, serta teks yang memperkuat makna, meskipun teks tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. Iklan pada dasarnya merupakan seperangkat tanda di mana seluruh bentuk komunikasi pemasaran menggunakan tanda untuk menciptakan pesan dan bentuk komunikasi.12 Setiap tanda yang digunakan dalam komunikasi pasti memiliki makna, baik itu secara lisan maupun tulisan, baik itu dari perorangan (komunikator),
kepada
orang
lain
(komunikan).
Artinya
proses
komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan berjalan baik apabila di antara keduanya saling memiliki makna atau paling tidak hampir sama makna.
2.2
Iklan Sebagai Susunan Tanda dan Makna Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga dimesional, khususnya desain produk. Iklan seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi komunikasi langsung (direct communication function), sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak langsung (indirect communication function).
12
Terence A. Shimp, Periklanan Promosi, Erlangga, 2001, hal 506
14
Menurut Piliang ”di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti pesan (message) merupakan unsur utama iklan, yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya (fungsi, manusia, produksi),….iklan selalu berisikan unsurunsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan, konteks (context) berupa lingkungan, orang atau mahluk lainnya yang memberikan makna pada objek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring).” 13 Dalam Tungga Nusa 29 “Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang baik verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks. Roland Barthes menganalisa iklan berdasarkan iklan yang dikandungnya berupa: 1. pesan lingustik (semua kata dan kalimat dalam iklan), 2. pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat). 3. pesan ikonik yang tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan) pada dasarnya lambang dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal. Lambang non verbal adalah bentuk dan warna yang ditampilkan di dalam iklan, dan yang secara tidak khusus meniru rupa atas bentuk realitas.14
Di dalam iklan, tanda-tanda dipergunakan secara dinamis dan aktif, menurut Piliang, “orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (need), melainkan membeli makna-makna simbolik (simbolic meaning), yang menempatkan konsumer di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksi secara sosial oleh sistem produksi/konsumsi.”15
13
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 263-264 14
Okto Delfisianus Tungga Nusa, Skripsi: Analisis Semiotika Makna Pesan Iklan Air Minum, http://repository.upnyk.ac.id/1599/1/SKRIPSI.pdf, Yogyakarta, 2011, hal. 29 15
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 263-264
15
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa iklan memang dapat dikatakan sebagai susunan tanda dan makna, iklan menawarkan sebuah citra yang dapat diraih konsumennya atau pengguna produknya, membentuk dan mengatur tingkah laku setiap orang yang berhasil dipengaruhi untuk terlihat seperti apa yang digambarkan melalui tanda-tanda dalam sebuah iklan.
2.3
Pengertian Komunikasi Massa Pengertian komunikasi massa menurut Prof. Drs. Onong Uchjana yaitu: “penyebaran pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh si penyampai pesan”16 Komunikasi massa didefinisikan sebagai “komunikasi kepada khalayak dalam jumlah besar melalui banyak saluran komunikasi. Oleh karenanya, konteks komunikasi massa mencakup baik saluran maupun khalayak.”17 Dikutip dari Wright, C.R. dalam Mass Communication: A Sociological Perspective oleh Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr. komunikasi massa bisa didefinisikan dalam tiga ciri:
1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen dan anonim.
16
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal 50. 17 Richard West & Lynn H. Turner, PENGANTAR TEORI KOMUNIKASI Analisis dan Aplikasi, Salemba Humanika, Jakarta, 2008, hal 41.
16
2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara. 3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.18
Dari uraian tersebut
penulis dapat menyimpulkan bahwa
komunikasi massa adalah pesan yang disampaikan kepada orang banyak dengan menggunakan media massa baik elektronik maupun cetak. Dan iklan televisi dalam alur komunikasi massa berperan dalam bentuk pesan, yang akan disampaikan.
2.4
Fungsi Komunikasi Massa Harold D. Lasswell, pakar komunikasi terkenal, ia menyebutkan tiga fungsi komunikasi massa yaitu: 1. Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment), penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat dan bagian-bagian unsur didalamnya. 2. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation of the components of society in making a response to the environment). 3. Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Peran para pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun di sekolah.19 Menurut Joseph R. Dominick, fungsi komunikasi massa terdiri atas:
18
Werner J. Severin & James W. T. Jr., TEORI KOMUNIKASI Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Kencana, Jakarta, 2007, hal 4 19 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Rosdakarya, Bandung, 2002, hal 27.
17
1. Pengawasan (surveillance). Media mengambil tempat para pengawal yang pekerjaannya mengadakan pengawasan. i. Pengawasan peringatan (warning or beware surveillance). Penyampaian informasi kepada khalayak mengenai ancaman bencana alam, kondisi ekonomi, atau serangan militer. ii. Pengawasan instrumental (instrumental surveillance). Penyampaian informasi kepada khalayak yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. 2. Interpretasi (interpretation). Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. 3. Hubungan (linkage). Mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. 4. Sosialisasi. Merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. 5. Hiburan (entertainment).20 Melalui pemaparan tersebut mengenai fungsi komunikasi massa, penulis
dapat
menyimpulkan
secara
umum
fungsinya
adalah,
menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi. Karenanya, khalayak atau pengguna media massa, diharapkan dapat memilih informasi mana yang layak untuk dinikmati untuk mendapatkan manfaat yang baik.
2.5
Pengertian Media Massa Media massa menurut Richard West dan Lynn H. Turner adalah “saluran-saluran atau cara pengiriman bagi pesan-pesan massa. Media
20
Onong Uchjana, Op.Cit. hal 29-31.
18
massa dapat berupa surat kabar, video, CD-ROM (Compact Disc-Read Only Memory), komputer, televisi, radio dan sebagainya.”21
Pengertian lain tentang media massa menurut Y. S. Gunadi adalah “komunikasi dengan menggunakan sarana atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan dalam area seluas-luasnya.”22
Dari dua definisi yang telah dipaparkan mengenai media massa, penulis menyimpulkan bahwa media massa adalah sarana komunikasi dan informasi yang mampu menyebarkan berita atau informasi secara massal atau global yang dapat diakses dan diterima khalayak.
2.6
Iklan
Iklan merupakan sesuatu yang sering kita lihat dan dengar. Hampir di setiap media informasi terdapat iklan. Sebagai konsumen kita semua adalah sasaran iklan. Bahkan secara tidak sengaja, konsumen membantu produsen dalam memasarkan produknya. Secara sederhana iklan didefinisikan sebagai ”pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. ”23
Institusi Praktisi Periklanan Inggris mendefinisikan periklanan sebagai berikut: ”periklanan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling 21
Richard West & Lynn H. Turner, Op.Cit. hlm. 41 YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, PT. Grasindo, Jakarta, 1998, hlm. 75 23 Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, Grafiti, Jakarta, 1992, hlm. 9 22
19
potensial atas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya.”24
Pengertian iklan menurut Monle Lee & Carla Johnson yaitu, Periklanan adalah komunikasi komersil dan nonpersonal tentang sebuah organisasi dan produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target melalui media bersifat massal seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail (pengeposan langsung), reklame luar ruang, atau kendaraan umum. Dalam komunitas global baru, pesan-pesan periklanan dapat ditransmisikan melalui media baru, khususnya internet.25
Dalam Advertising Exellence sebagaimana dituliskan Arens, iklan adalah ”struktur informasi dan susunan komunikasi non personal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk (barang, jasa, dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasikan, melalui berbagai macam media” .26 Berdasarkan pengertian Arens, maka hakikat iklan menurut Rendra W. adalah ” pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan. Oleh karena itu iklan adalah bentuk kegiatan komunikasi.”27
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa iklan adalah cara mengkomunikasikan suatu produk, yang dikemas secara menarik, yang ditujukan kepada khalayak, dengan menggunakan media
massa, dan tujuannya
untuk
meningkatkan
keuntungan bagi produsen produk tersebut. 24
Frank Jefkins, Periklanan, Erlangga, 1997, hal 5. Monle Lee & Carla Johnson, Prinsip-Prinsip Periklanan Dalam Perspektif Global, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 3. 26 Rendra Widyatama, Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Media Pressindo, Yogyakarta, 2006, hal 12-13. 27 Ibid, hal 13. 25
20
2.6.1
Klasifikasi Iklan
Setiap iklan memimiliki kekhasan tersendiri, oleh karenanya tidak semua iklan memiliki tujuan yang sama, ada yang bertujuan untuk menjual produknya, mencari dukungan, hanya sekedar pemberitahuan dan sebagainya. Berikut klasifikasi iklan:
1. Periklanan Produk: porsi utama pengeluaran periklanan dibelanjakan untuk produk. 2. Periklanan Eceran: berlawanan dengan iklan produk, periklanan eceran bersifat lokal dan berfokus pada toko, tempat di mana beragam produk dapat dibeli atau di mana suatu jasa ditawarkan. Periklanan eceran memberikan tekanan pada harga, ketersediaan, lokasi, dan jam-jam operasi. 3. Periklanan Korporasi: fokus periklanan ini adalah membangun identitas korporasi atau untuk mendapatkan dukungan publik terhadap sudut pandang organisasi. 4. Periklanan Bisnis ke Bisnis: istilah ini berkaitan dengan periklanan yang ditujukan kepada para pelaku industri, para pedagang perantara, serta para profesional. 5. Periklanan Politik: sering kali digunakan para politisi untuk membujuk orang untuk memilih mereka; dan karenanya, iklan jenis ini merupakan sebuah bagian penting dari proses politik di Amerika Serikat dan negara-negara demokrasi lain yang memperbolehkan iklan para kandidat. 6. Periklanan Direktori: orang merujuk periklanan direktori untuk menemukan cara membeli sebuah produk atau jasa. 7. Periklanan Respon Langsung: melibatkan komunikasi dua arah di antara pengiklan dan konsumen. Dapat menggunakan sembarang media periklanan (pos, televisi, koran atau majalah), dan konsumen dapat menanggapinya, sering kali lewat pos, telepon, faks, atau secara online. 8. Periklanan Layanan Masyarakat: dirancang beroperasi untuk kepentingan masyarakat dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat. 9. Periklanan Advokasi: berkaitan dengan penyebaran gagasangagasan dan klarifikasi isu sosial yang kontroversial dan menjadi kepentingan masyarakat.28 28
Monle Lee & Carla Johnson, Op.Cit, hal 4-10.
21
Selanjutnya Frank Jefkins membagi iklan sebagai berikut:
1. Iklan Konsumen: barang yang umum dibeli masyarakat 2. Iklan Antarbisnis: mempromosikan barang-barang dan jasa non-konsumen 3. Iklan Perdagangan: ditujukan kepada kalangan distributor, pedagang-pedagang kulakan besar, para agen, eksportir/importir, dan para pedagang besar dan kecil. 4. Iklan Eceran: sifat-sifatnya berada di antara iklan perdagangan dan iklan barang konsumen. 5. Iklan Keuangan: meliputi iklan-iklan untuk bank, jasa tabungan, asuransi dan investasi. 6. Iklan Langsung: ditujukan langsung ke konsumen yang dituju. Misalkan lewat pos, atau pedagang eceran. 7. Iklan Lowongan Kerja: bertujuan untuk merekrut calon pegawai.29 Iklan memiliki beberapa jenis, oleh karenanya strategi dalam mengolah iklan baik dari produksi sampai kepemasarannya haruslah tepat, sehingga tujuan iklan tercapai.
2.6.2
Fungsi dan tujuan Iklan
Efek iklan terhadap organisasi atau perusahaan, bisa menjadi begitu penting. Berikut ini fungsi-fungsi periklanan:
1. Periklanan menjalankan sebuah fungsi informasi. Ia mengkomunikasikan informasi produk, ciri-ciri dan lokasi penjualannya dan juga memberitahu konsumen mengenai produk-produk baru. 2. Periklanan menjalankan sebuah fungsi persuasif. Ia mencoba membujuk para konsumen untuk membeli merek-merek tertentu atau mengubah sikap mereka terhadap produk atau perusahaan tersebut. 29
Frank Jefkins, Op.Cit. hal 39-55.
22
3. Periklanan menjalankan sebuah fungsi pengingat. Ia terusmenerus mengingatkan para konsumen tentang sebuah produk sehingga mereka akan tetap membeli produk yang diiklankan tanpa memedulikan merek pesaingnya.30 Menurut Rhenald Kasali, ada beberapa manfaat iklan bagi pembangunan masyarakat dan ekonomi. Manfaat itu antara lain: 1. ”Iklan memperluas alternatif bagi konsumen 2. Iklan membantu produsen menimbulkan kepercayaan bagi konsumennya. 3. Iklan membuat orang kenal, ingat dan percaya.”31 Vestergaard and Schroder menuliskan bahwa ”iklan memiliki lima tujuan, yaitu menarik perhatian, membangkitkan minat, merangsang hasrat, menciptakan keyakinan, dan melahirkan tindakan (membeli barang atau jasa).”32 Berdasarkan uraian tersebut, merek yang sudah terkenal pun harus tetap
beriklan
demi
menjaga
loyalitas
konsumen
mereka,
dan
meningkatkan pengguna produknya. 2.6.3
Iklan Televisi Kata televisi ”dalam bahasa inggris disebut television. Yang dalam bahasa Yunani yaitu “tele” yang berarti jauh dan “vision” yang mengandung arti melihat. Sehingga televisi dalam bahasa istilah berarti melihat jauh”33
30
Monle Lee & Carla Johnson, Op.Cit. hal 10-11. Rhenald Kasali, Op.Cit. hal 16. 32 Rendra Widyatama, Op.Cit. hal 14. 33 Djoenaesih S. Sunarjo, Himpunan Istilah Komunikasi, edisi kedua, Liberty, Yogyakarta, 1983, hal 125. 31
23
Dalam penelitian ini, yang dibahas adalah mengenai iklan rokok U Mild versi Sukses pada media massa televisi. Pengertian iklan televisi yaitu ”iklan yang ditayangkan melalui media televisi. Pesannya dapat disampaikan dalam bentuk audio, visual dan gerak.”34
Iklan di televisi mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Monle Lee & Carla Johnson keuntungan memasang iklan di televisi adalah sebagai berikut: 1. Metode biaya per seribu televisi cukup efisien: bagi satu pengiklan yang berupaya menjangkau satu pasar utuh, spot 30 detik pada acara beranting tinggi mungkin senilai satu sen atau kurang untuk setiap orang yang dijangkau. 2. Televisi memungkinkan demonstrasi produk atau jasa. 3. Televisi gampang beradaptasi, memungkinkan adanya kombinasi suara, warna, dan gerakan. 4. Sulit bagi pemirsa untuk mengalihkan pandangan dari sebuah komersial: iklan-iklan televisi memikat indera dan menarik perhatian bahkan ketika seseorang lebih suka untuk tidak melihat sebuah iklan.35 Keuntungan tersebut diperkuat juga oleh pendapat Rhenald Kasali. Ia menuliskan kekuatan beriklan di televisi yaitu:
1. Efesiensi biaya. Kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. 2. Dampak yang kuat. Kemampuan untuk menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera: penglihatan dan pendengaran. 3. Pengaruh yang kuat. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih percaya pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi.36
34
Rendra Widyatama, Op.Cit. hal 14. Monle Lee & Carla Johnson, Op.Cit. hal 267. 36 Rhenald Kasali, Op.Cit. hal 121-122. 35
24
Berdasarkan penjelasan tersebut maka, iklan televisi memiliki peranan penting dalam memasarkan suatu produk yang ditawarkan oleh produsen. 2.6.3.1 Jenis-jenis iklan televisi Secara umum menurut Bungin (dalam Burhan Bungin, 2002) iklan televisi dikelompokan atas dua kategori, yaitu: 1. Iklan Komersial, yaitu iklan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan komersial dengan harapan bila ditayangkan, maka produsen akan memperoleh keuntungan komersial. 2. Iklan Layanan Masyarakat adalah iklan yang bersifat nonprofit (tidak mencari keuntungan). Umumnya iklan ini bertujuan memberikan informasi dan penerangan, serta pendidikan pada masyarakat dalam rangka mengajak masyarakat berpartisipasi, bersikap positif terhadap pesan yang disampaikan.37
Menurut bentuknya iklan televisi terdiri atas: 1. Pensponsoran. Acara televisi yang penayangan dan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. 2. Partisipasi. Iklan televisi ini agak berbeda dengan pensponsoran, namun akan dapat mengurangi beban biaya dan risiko. 3. Spot Announcements. Penayangan iklan tersebut ditempatkan pada pergantian acara. Bentuk iklan ini dijual oleh stasiunstasiun, baik untuk pengiklan lokal ataupun nasional. Pengiklan lokal biasanya memanfaatkan bentuk iklan ini. 4. Public Service Announcement. Iklan layanan masyarakat, biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk menggalang solidaritas masyarakat atas suatu masalah.38 Iklan televisi mempunyai beberapa jenis. Pemilihan yang tepat dalam menempatkan iklan pada suatu program atau acara televisi, penulis yakini berdampak positif terhadap pengiklan. 37 38
Rendra Widyatama, Op.Cit. hal 16. Rhenald Kasali, Op.Cit. hal 120-121.
25
2.7
Komodifikasi
Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar.39 Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain.40 Ketika konsumen modern membeli komoditas, ia tidak membayar untuk
mendapatkan
nilai
gunanya
melainkan
cenderung
untuk
mendapatkan nilai gengsi (prestige) yang dilekatkan masyarakat pada komoditas tersebut.41 Komodifikasi sendiri adalah proses pemberian nilai ekonomi kepada sesuatu yang sebelumnya berada di luar konsep ekonomi. Definisi lain menurut Pearson dan Simpson adalah “sebuah proses di mana obyek material, jasa/pelayanan, dan ide menjadi komoditas yang diperjualbelikan dalam pasar.”42 Konsep komoditas sendiri dapat dibedakan dari konsep barang lain dengan fakta bahwa pada komoditas, nilai tukarnya lebih penting
39
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, London: SAGE Publication, 1996, Buku Elektronik, hal 141. 40
Graeme Burton, Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Jalasutra, Yogyakarta, 2008, hal XX. Roberta Pearson dan Philip Simpson, “Commodification”, Critical Dictionary of Film and Television Theory. London: Routledge, 2001, Buku Elektronik, hal 133. 41
42
Ibid.
26
dibandingkan nilai gunanya. Contohnya ialah “ide”. Ide atau buah pikiran, dahulu dibagikan secara gratis oleh para pemikir, kini ide harus dibeli dalam beberapa konteks tertentu misalnya saja dalam industri kreatif seperti
periklanan.
Ide
tersebut
merupakan
sesuatu
yang
telah
termodifikasi. Berdasarkan definisi di atas peneliti dapat menarik kesimpulan, yaitu, komodifikasi bisa terjadi pada apa saja, komodifikasi hadir sebagai sebuah proses, ada kondisi awal dan akhir pada sesuatu apa pun yang terkomodifikasi. Komodifikasi dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap sesuatu apa pun yang terkomodifikasi. 2.8
Konstruksi Realitas Dalam Iklan “Iklan memang telah menjadi bagian dari masyarakat industri kapitalis yang begitu powerfull dan sulit untuk dielakkan. Ia menyediakan gambaran tentang realitas dan sekaligus mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai sebuah kemungkinan atau saran, melainkan sebagai sebuah tujuan yang diinginkan dan tidak bisa untuk dipertanyakan”.43 Sedangkan menurut Giaccardi, iklan adalah acuan. Artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan, dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiper-realistik. Iklan tidak menghadirkan realitas sosial yang sesungguhnya. Apa yang nampak dan hadir dalam repertoar iklan tidak lebih dari ilusi belaka atau rayuan terapetis yang tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Tandatanda (citra) iklan tidak merefleksikan realitas, meskipun bercerita tentang
43
Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan; antara Realitas Representasi, dan Simulasi. Yogyakarta, 2002, hal 49.
27
realitas. Iklan tidak bercerita bohong, tapi juga tidak bercerita sesuatu yang benar.44 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklan lah yang membentuk persepsi dalam benak masyarakat, iklan lah yang membentuk realitas.
Iklan
mendefinisikan
keinginan
dan
kemauan
individu
menyediakan gambaran tentang realitas. Istilah konstruksi realitas itu sendiri, seperti dikutip dari buku Analisis Teks Media, menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya “The Social Construction of reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge”. Dalam buku tersebut mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.45 Pengetahuan yang mereka dapatkan melalui proses sosialisasi menyediakan frame of reference atau orientasi yang mereka gunakan dalam menginterpretasikan obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang mereka lakukan sehari-hari. Menurut Berger dan Luckman yang dikutip dalam Sobur, “memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan “realitas sebagai kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri dan pengetahuan didefinisikan
44
Giaccardi, Television Advertising and the Representation of Social Reality: A Comparative Study, dalam Theory, Culture & Society, diedit oleh Mike Featherstone, vol 12, no.1, 1995 45
Alex Sobur, op.cit., hal 91.
28
sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik”.46 Dalam buku semiotika karya Indiwan Seto, Berger dan Luckman membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, di antaranya ialah: 1. “Realitas objektif atau realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan. 2. Realitas simbolik yakni ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. 3. Realitas sukbjektif yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi”.47
Realitas objektif terjadi saat kita melihat dan atau mendengarkan tentang peristiwa, cerita, juga pengalaman yang dialami oleh orang lain. Kita pun menerima hal tersebut sebagai suatu kenyataan yang ada di sekitar kita. Terdapat berbagai bentuk ekspresi simbolik yang terjadi terhadap realitas objektif. Realitas simbolik merupakan proses di mana orang menciptakan realitas dalam kehidupan sehari-hari, dari penyerapan kembali antara realitas objektif dan simbolik terbentuklah realitas subjektif. Melalui proses internalitas yang terjadi dalam diri seseorang, yang mana orang tersebut merasakan sendiri pengalamannya juga ekspresi yang timbul benar-benar berdasarkan apa yang dirasakannya. Pada dasarnya iklan mengikuti bagaimana tujuan-tujuan promosi dan pemasaran yang telah dibuat. Strategi pemasaran yang dibuat oleh 46
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hal 91.
47
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2013, hal 152.
29
para pemilik komoditas dimaksudkan agar para konsumen menerima produk mereka dan kemudian mengkonsumsinya. Untuk itu iklan sebagai bentuk komunikasi pemasaran harus bisa menyampaikan kepada khalayaknya tujuan-tujuan pemasaran tersebut dan sebaliknya sebisa mungkin iklan menutupi keburukan produk tersebut. Iklan sebagai promosi budaya, dan iklan sebetulnya merupakan sarana ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat, karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa. Imaji menjadi mimpi yang ingin ditawarkan. Sama halnya dengan imaji, representasi maskulinitas dalam iklan dilakukan dengan menggunakan dunia tanda dan bahasa. Pertanda dan bahasa untuk mengungkapkan maskulinitas ini mudah dipahami dalam kerangka berpikir ideologI dominan yang patriarkis. Dalam konteks ini, ideologi menjadi alat bantu kepentingan material dan budaya para penciptanya. Iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat
melalui
simbol-simbol
tertentu,
sehingga
mampu
menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya. Untuk itu iklan berusaha mengkonstruksi suatu tampilan-tampilan yang dekat dengan kesadaran budaya konsumen menggunakan sejumlah teknik manipulasi sehingga terkonstruksi suatu realitas sosial tertentu. Menurut Indiwan Seto dalam bukunya Semiotika Komunikasi, realitas sosial terbentuk melalui tiga tahap, yaitu:
30
1. “Eksternalisasi, pada tahapan ini individu melakukan penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. 2. Objektivitas, internalisasi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produkproduk kegiatan manusia baik bagi produsen maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda-tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif. 3. Internalisasi, yaitu proses yang mana indivdu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya”.48
Individu melakukan adaptasi terhadap proses sosial yang terjadi di sekitarnya dan menyerap peristiwa yang telah diadaptasi menjadi sebuah tindakan.
Makna
diciptakan
melalui
tindakan
manusia
yang
mengorganisasi, mengkarakterisasi, dan mengidentifikasi pengalaman berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Makna tersebut dibatas dan sifatnya relatif terhadap konteks sosial di mana makna itu diciptakan. Artinya makna itu tidak dapat dikatakan sama pada setiap individu dan konteksnya pun berbeda-beda. Semuanya kembali kepada individu itu sendiri. Konstruksi iklan atas realitas sosial sendiri terjadi melalui lima tahap, yaitu: 1. “Tahap menyiapkan materi konstruksi iklan Pada tahap ini materi konstruksi iklan disiapkan. Ada keterlibatan dari pemesan iklan dengan tim kreatif dari biro iklan. Konsultasi antara tim kreatif biro iklan dan pemesan, masalah perusahaan dan penjualan dihubungkan dengan tujuan pembuatan iklan dan efek yang ingin dicapai. 2. Tahap sebaran konstruksi Sebaran konstruksi iklan atas realitas sosial dilakukan melalui strategi iklan. Penyesuaian antara strategi 48
Ibid., hal 153 (Indiwan Seto).
31
dan bentuk-bentuk realitas dalam masyarakat. Pada tahap ini terjadi pemilihan rencana-rencana konstruksi tanda yang akan digunakan. 3. Tahap pembentukan konstruksi Pembentukan konstruksi citra dalam iklan. Para tim kreatif berusaha mengkonstruksi susunan tanda dalam iklan agar citra yang disampaikan oleh iklan sesuai dengan strategi yang dibuat. 4. Tahap konfirmasi Pesan yang disampaikan iklan kemudian dikonfirmasikan antar individu-individu yang menjadi khalayak iklan. Sehingga timbul wacana tentang produk yang diiklankan. 5. Tahap perilaku keputusan konsumen Konsumen pada tahap ini akan memberikan suatu keputusan dengan perilaku-perilaku tertentu atas produk yang diiklankan. Keputusan-keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh bingkai budaya, keadaan ekonomi, dan faktor kewajiban dari konsumen”.49
Berdasarkan kajian konstruksi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aktivitas-aktivitas manusia yang bertujuan itu berada dalam struktur-struktur makna. Obyek dan peristiwa yang terjadi dalam dunia sehari-hari tidak memiliki makna yang universal dan inheren, yang ada adalah makna yang diciptakan dan dibentuk secara sosial. Makna-makna bentukan tersebut merefleksikan struktur konteks sosial di mana makna tersebut diciptakan. Kaitkan dengan iklan, iklan itu bukanlah sebuah cermin realitas yang jujur. Iklan adalah cermin masyarakat yang cenderung melebih-lebihkan. Di satu sisi iklan merujuk pada realitas sosial dan dipengaruhi oleh realitas sosial sedangkan disisi lain, iklan juga memperkuat persepsi tentang realitas dan mempengaruhi cara menghadapi realitas.
49
Ibid., hal 155.
32
2.9
Iklan dan Budaya Massa Seiring dengan terjadinya transformasi sosial dalam masyarakat yang merupakan konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi komunikasi, kajian atas paradigma berpikir dan struktur masyarakat pun semakin berkembang. Beragam pendekatan bermunculan, salah satu pendekatan yang memotret perkembangan masyarakat dan budaya modern secara kritis adalah kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran Karl Marx, yang kemudian disebut Marxisme. Karl Marx melihat dalam masyarakat kapitalis di mana hak milik atas alat-alat produksi dikuasai oleh gelintir orang saja (kaum borjuis) terjadi dominasi kaum borjuis atas kaum proletar. Bila diandaikan dalam ilmu komunikasi, melalui pemikirannya media massa diibaratkan sebagai industri informasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya.50 Karena
itu
masyarakat
atau
komunikan
mau
tak
mau
mengkonsumsi media massa dan mereka hanya menjadi pembaca, pendengar atau penonton yang pasif sehingga ideologi yang dibawa oleh media merasuki masyarakat, dan masyarakat bertindak sesuai dengan apa yang digambarkan atau dicontohkan oleh media massa. Pada titik ini media sebagai realitas menentukan kesadaran masyarakat. Dan kesadaran 50
David McLelland, Karl Marx Selected Writings, Oxford University Press, Oxford, 1977, hal 78
33
yang dihasilkan oleh media massa adalah kesadaran palsu (false conciousness). Media sebagaimana dijelaskan di atas, cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kepentingan dan ideologi mereka. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu kepentingannya.51 Iklan sendiri juga membawa berbagai kepentingan dari kelas kapitalis kepada khalayaknya. Iklan selalu berusaha mengkonstruksi realitas masyarakat dan merepresentasikan sesuatu yang tidak realis/tidak selazimnya di masyarakat. Representasi merupakan sebuah gambaran dari hasil kreativitas tim kreatif yang sengaja dibentuk. Bagaimana sebuah realitas ditangkap oleh pembuat iklan untuk kemudian direkonstruksi menjadi sebuah realitas baru/realitaspalsu/dikemas ditayangkan mempengaruhi
secara
ulang
secara
terus-menerus
masyarakat
atau
berlebih-lebihan.
oleh khalayak
media untuk
Semua
sehingga
terus
mengkonsumsi
produk/barang yang diiklankan. Dalam pandangan lain merujuk pada perspektif Frankfurt School yang mengkritisi berbagai aspek kehidupan sosial untuk mengungkapkan sifat masyarakat modern secara lebih akurat. Tak heran jika kemudian 51
Dennis Mc Quail, Teori Kominokasi Massa (terjemahan), Airlangga, Jakarta, 1986, hal 63.
34
aliran mereka disebut sebagai teori kritis. Mereka mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari keinginan untuk memperoleh teori sosial dan epistemologi alternatif terhadap paradigma positivisme yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Frankfurt School merupakan istilah populer untuk menyebut kelompok cendekiawan yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Social Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923 dan mendapat dukungan dari sekelompok intelektual Marxian yang berlatar belakang berbagai disiplin ilmu pengetahuan.52 Mazhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Mazhab Frankfurt ingin berusaha melepaskan kehidupan dari model cara berpikir positivisme (rasionalitas instrumental) di mana terjadi penjajahan dunia kehidupan (labenswelt) oleh sistem.53 Mazhab Frankfurt lebih menekankan kajiannya pada persoalan kultural.
Menurut
Mazhab
Frankfurt,
rasio
instrumental
telah
menghasilkan budaya industri (culture industry) yang telah menghalangi perkembangan individu secara otonom. Budaya massa adalah sebuah budaya yang sudah bersifat massa/masal, sudah dipabrikasi, sudah menjadi konsumsi dari semua 52
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme, Teori Kritis, Postkolonialisme hingga Cultural Studies, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2006, hal 6. 53
Ibid.
35
kalangan masyarakat, sudah ada unsur kapitalisme di dalamnya dan konstruksi secara masif demi kepentingaan khalayak/pasar. Budaya massa terbentuk akibat dari suatu budaya yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi
oleh
suatu
kelompok
yang
mempunyai
kepentingan
menyeluruh. Munculnya budaya tersebut sebagai akibat dari massifikasi industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya. Budaya massa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum budaya massa menjadi bagian dari masyarakat pasti ada
kelompok
atau
bagian
masyarakat
yang
merancang
atau
memproduksinya. Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat dan produk yang sebagaimana itu yang disampaikan kepada masyarakat membutuhkan media atau agen yang menyampaikannya. Dalam pembentukan budaya massa, iklan memiliki peranan yang penting dan efektif untuk mempengaruhi perilaku dan homogenitas budaya di dalam masyarakat. Budaya massa terbentuk dari apa yang sering dihasilkan oleh iklan. Iklan menawarkan banyak hal pada masyarakat dan tujuannya
hanya
satu
yaitu
supaya
masyarakat
tergerak
untuk
mengkonsumsi. Tidak
hanya
itu,
produk
budaya
semakin
dipoles
dan
direkonstruksi sesuai dengan selera agar memunculkan minat masyarakat terhadapnya. Sebuah budaya massa yang banyak diadopsi saat ini dikemas oleh kreator-kreator advertising dan ditampilkan dalam iklan, disampaikan
36
melalui media televisi, media cetak dan media-media lainnya dan hal itu tidak lepas dari kepentingaan kapitalisme yang menghipnotis khalayak.
2.10
Semiotika Sebagai Ilmu Bila dilihat secara etimologis, kata ”semiotika” sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda. Segala sesuatu di dunia ini dapat menjadi tanda, maka dengan tanda pula kita dapat berkomunikasi. “Semiotics and communication have constantly (re) built relations of cohesion, be they symmetrical or of reciprocal inclusion. Understood as a symbolic activity, communication constantly administrates the exchange between signs, in such a way that circumscribing and defining this universe of signs constitutes an extremely complex project, whose first objective is accounting for meaning within communication.”54 ”Komunikasi dan semiotika secara konstan telah membangun kembali relasi dari kohesi, menjadi simetris atau inklusi resiprokal. Memahami sebagai simbol aktivitas, komunikasi secara konstan mengadministrasikan perubahan antar tanda, dengan cara itu yang mana objek utama berarti untuk keseluruhan komunikasi.” Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensional sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwaperistiwa, juga seluruh kebudayaan sebagai tanda.55
54
Codutra Porcar, Sign and Meaning: A Semiotic Approach To Communication, Journal for Communication and Culture, Spring, 2011, hal 23. 55
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 95.
37
Ada dua kubu dalam semiotika yaitu semiotika kontinental Ferdinand de Saussure dan semiotika Amerika Charles Sanders Peirce. Keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Semiotika adalah ”Ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna”.56 Definisi dari Saussure, semiologi merupakan ”Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat”.57 Sedangkan semiotika menurut Peirce adalah ”Konsep tentang tanda: sejauh terkait dengan pikiran manusia, seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.”58
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda yang ada di sekitar kehidupan manusia.
2.10.1 Semiotika Ferdinand de Saussure
Sejarah singkat mengenai Ferdinand de Saussure: Born in Geneva in 1857... In 1875 Saussure entered the University of Geneva but, following family tradition, enroll as a student of physics and chemistry, though continuing to follow courses on Greek and Latin Grammar... He persuade his parents to send him to the University of Leipzig to study Indo-European languages... 56
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok, Jakarta, 2008, hal. 3 57 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, hal. 12 58 Ibid, hal. 13
38
December 1878...He published his memoire sur le systeme primitif des voyelless dans les langues indo-europeenes (Memoir on the Primitive System of Vowels in Indo-European Languages), which one linguist has called ”the most splendid work of comparative philology ever written.”... In 1887 he taught at the Ecole Pratique des Hautes Etudes in Paris... He never wrote the book...But in 1906, on the retirement of another professor, the university assigned him responsibility for the teaching of general linguistics... He gave the lectures which were ultimately to become the Course in General Linguistics. In the summer of 1912 he fell ill and died in February 1913 at the age of fifty-six.59 (Lahir di Jenewa pada tahun 1857 ... Pada tahun 1875 Saussure memasuki Universitas Jenewa, tetapi, mengikuti tradisi keluarga, ia mendaftar sebagai mahasiswa fisika dan kimia, meskipun terus mengikuti kursus tentang Yunani dan Latin Grammar... Ia membujuk orangtuanya untuk mengirimnya ke Universitas Leipzig untuk belajar bahasa Indo-Eropa ... Desember 1878… Ia menerbitkan memoire sur le systeme primitif des voyelless dans les langues indo-europeenes (Memoir pada vokal Sistem Primitif dalam Bahasa Indo-Eropa ), salah satu ahli bahasa berpendapat "pekerjaan yang paling indah mengenai filologi komparatif yang pernah ditulis ."... Pada tahun 1887 ia mengajar di Ecole des Hautes Etudes Pratique di Paris ... Dia tidak pernah menulis buku ... Tapi pada tahun 1906 , di mana profesor lain pensiun, universitas menugaskannya tanggung jawab untuk pengajaran linguistik umum.. Ia memberikan kuliah yang akhirnya menjadi Course in General Linguistik. Pada musim panas tahun 1912 ia jatuh sakit dan meninggal pada Februari 1913 pada usia lima puluh enam). Ferdinand de Saussure menurut Culler ”Ferdinand de Saussure is the founder of the modern linguitics, the man who reorganized the systematic study of language and languages so as to make possible the achievements of twentieth-century linguistics.” (Ferdinand de Saussure adalah pendiri linguistik modern, orang yang menata ulang studi sistematis bahasa dan bahasa-bahasa sehingga memungkinkan prestasi linguistik
59
Jonathan Culler, Ferdinand de Saussure Revised Edition, Cornell University, New York, 1986, hal 21-24.
39
abad ke dua puluh). Namun ia tidak pernah menuangkan pemikirannya mengenai tanda dalam sebuah buku, tapi pemikiran tersebut dituangkan melalui kuliah linguistik umum yang ia berikan di Universitas Jenewa, Swiss. Course in General Linguistics, ”merupakan kumpulan catatancatatan perkuliahan Saussure, yang dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah outline. Karya ini kemudian hari merupakan sumber teori linguistik yang paling berpengaruh.”60
De Saussure mengemukakan empat konsep teoretis, yakni: konsep langue – parole, signifiant – signifie, sintagmagtik – paradigmatik, dan sinkroni – diakroni.
Menurut de Saussure, bahasa (langage) memiliki dua aspek, yakni ”aspek langue, yakni sistem abstrak yang secara kolektif diketahui oleh suatu masyarakat dan menjadi panduan bagi praktik berbahasa, dan aspek parole, yakni praktik berbahasa di dalam kehidupan bermasyarakat.”61 Ferdinand de Saussure melihat tanda sebagai ”pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda).”62 Bentuk diistilahkan oleh Saussure sebagai signifiant / signifier / penanda, dan makna diistilahkan sebagai signifie / signified / petanda.
60 61 62
Ibid, hlm. 44 Benny H. Hoed, Op.Cit, hal .9 Ibid. hal 3.
40
Tanda tersusun dalam susunan tertentu, yang disebut susunan sintagmatik. Susunan ini adalah yang bisa teramati secara langsung. Dalam hal bahasa susunan ini bersifat linear, yakni ditempatkan mengikuti urutan tertentu, sehingga bila urutannya berubah maknanya pun dapat berubah. Inilah yang disebut struktur yang komponen-komponennya saling berhubungan dan membentuk satu totalitas. Hubungan antartanda juga dapat dilihat secara asosiatif, yakni hubungan satu tanda dengan yang lain tidak bersifat langsung. Dalam hal ini hubungan antartanda terjadi pada ingatan. Karena memperlihatkan sesuatu yang teratur, suatu paradigma, hubungan ini disebut juga paradigmatik. Akhirnya suatu gejala bahasa dapat dilihat dari dua segi. Yang pertama adalah segi sinkroni, yakni melihat gejala itu pada tataran atau kurun waktu tertentu tanpa melilhat proses perkembangannya. Yang kedua adalah segi diakroni, yaitu suatu gejala bahasa dapat dipandang dari segi proses perkembangannya.63
Gambar 2.1 Model Semiotika Saussure64 SIGN
Composed of (terdiri dari)
Signifier
63 64
Signification Signified
Referent (External Reality)
Ibid. hal 9-10. Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 268
41
2.10.2 Semiotika Roland Barthes Disadur dari Wikipedia, mengenai Roland Barthes. Born on 12 November 1915 in the town of Cherbourg in Normandy… The period from 1935 to 1939 at the Sorbonne,he earning a license in classical letters… In 1952 Barthes was able to settle at the Centre National de la Recherche Scientifique when he studied lexicology and sociology. During his seven-year period there he began writing a popular series of bimonthly essays for the magazine Les Lettres Nouvelles, in which he dismantled myths of popular culture. By the late 1960s Barthes had established a reputation. He traveled to America and Japan, delivering a presentation at Johns Hopkins University, and producing his best known work, the 1967 essay “The Death of the Author”…. In 1970 Barthes produced what many consider to be his most prodigious work, the dense critical reading of Balzac’s Sarrasine entitled S/Z…In 1977 he was elected to the chair of Sémiologie Littéraire at the Collège de France… On 25 February 1980, after leaving a lunch party held by François Mitterrand, Barthes was struck by a laundry van while walking home through the streets of Paris. He succumbed to his injuries a month later and died on 25 March at the age of sixty-four.65 (Lahir pada tanggal 12 November 1915 di kota Cherbourg di Normandia… Ia menghabiskan periode 1935-1939 di Sorbonne, untuk memperoleh lisensi dalam surat-surat klasik ... Pada 1952, Barthes mampu menyelesaikan pendidikannya mengenai ilmu bentuk kata dan sosiologi di Centre National de la Recherche Scientifique. Selama periode tujuh tahun di sana ia mulai menulis serangkaian populer esai dua bulan sekali untuk majalah Les Lettres Nouvelles, yang mana ia membongkar mitosmitos budaya populer. Pada akhir 1960-an Barthes telah mendapatkan sebuah reputasi. Dia pergi ke Amerika dan Jepang, memberikan presentasi di Johns Hopkins University, dan menghasilkan karya yang paling terkenal, esai tahun 1967 "The Death of the Author" .... 65
http://en.wikipedia.org/wiki/Roland_Barthes
42
Pada tahun 1970 Barthes menghasilkan apa yang banyak dianggap sebagai karya paling luar biasa, yang padat pembacaan kritis Sarrasine Balzac berjudul S / Z ... Pada tahun 1977 ia terpilih menjadi ketua litteraire Sémiologie oleh Collège de France ... Pada tanggal 25 Februari 1980, setelah meninggalkan pesta makan siang yang diselenggarakan oleh François Mitterrand, Barthes ditabrak mobil van laundry saat berjalan pulang melalui jalan-jalan di Paris. Dia menyerah pada luka-lukanya sebulan kemudian dan meninggal pada tanggal 25 Maret pada usia enam puluh empat). Beberapa buku yang ditulis Barthes di antaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika. Barthes berpendapat bahwa, semua yang ada dalam gejala budaya, merupakan suatu bahasa yang memiliki sistem baik relasi maupun oposisi. Sumbangan ilmu Barthes kepada dunia intelektual adalah konsep konotasi, yang merupakan kunci utama dalam mengkaji gejala budaya dan konsep mitos yang mana hasil penerapan konsep konotasi dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Roland berpendapat
Barthes bahwa
adalah
bahasa
”penerus
adalah
pemikiran
sebuah
sistem
Saussure. tanda
Ia
yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.”66 Barthes tidak melepaskan kaidah-kaidah analisis struktural. Ia menggunakan teori signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Yaitu: Bagaimana makna dapat berkembang sesuai dengan aktivitas kognitif pemakai tanda. Juga, ia sudah menggunakan istilah tanda (signe, disingkat S) yang terdiri atas exspression (istilah lain untuk signifiant, yaitu ungkapan disingkat E) dan contenu (istilah lain 66
Alex Sobur, Op.Cit. hal 63.
43
untuk signifie, yakni isi, disingkat C). Jika, dalam kuliah de Saussure relasi (disingkat R) antara E dan C masih tetap, maka pada Barthes relasi itu dapat berubah. Jadi, Barthes membuat konsep signifiat-signifie yang statis menjadi dinamis.67 Menurut Barthes, E dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu penanda dengan C yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum (biasa disebut denotasi) dan oleh Barthes disebut ”sistem primer”, sedangkan pengembangannya disebut ”sistem sekunder”. Sistem sekunder yang ke arah E, seperti sudah dikemukakan, disebut metabahasa. Dalam pada itu, sistem sekunder yang ke arah C disebut konotasi, yaitu pengembangan isi (C) sebuah ekspresi (E). Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik (yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya).68 Dalam kajiannya tentang kebudayaan, Barthes mengembangkan teori konotasi menjadi teori tentang mitos. ”Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa. Dalam uraiannya, ia mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus ini merupakan perkembangan dari konotasi.”69 Roland Barthes membuat semiotika tingkat kedua dengan mengkaji mitos yang ada dalam masyarakat. Sistem semiotika tingkat pertama adalah sistem linguistik, sistem semiotika tingkat kedua adalah sistem mitos. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang tegas ia bedakan dari denotatif. Semiotika tahap pertama (denotasi) tanda denotatifnya (denotative sign) terdiri atas signifier dan signified, sedangkan semiotika tahap kedua
67
Benny H. Hoed, Op.Cit. hal 30. Ibid. hal 41. 69 Ibid. hal 59. 68
44
(konotasi) tanda konotatif terdiri dari connotative signifier dan connotative signified. Dalam denotatif kita akan melihat gambar atau foto begitu saja tanpa ada pemaknaan dibalik gambar tersebut. Denotatif kemudian menjadi landasan bagi semiotika tingkat kedua (konotasi dan mitos). Secara semiotik konotasi memang dibangun di atas denotasi. Dalam konotasi kita menguraikan makna apa yang ada dibalik suatu gambar (foto), baru kemudian kita bisa menarik mitos dari situ, dan setelah mengetahui mitosnya, barulah kita dapat menentukan ideologi yang sedang dibangun. 1. Denotasi
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan variatif. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut disesuaikan dengan konsteks yang ada. Ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi berdasarkan pemahaman dari Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya.
Namun
dalam
semiologi
Barthes,
konotasi
merupakan tingkat kedua, dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, sementara makna
45
konotasi dapat bervariatif karena tergantung dari orang yang menginterpretasikannya. Barthes membuat model yang sistematis untuk menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order signification). Ada dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.70 Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Disebut juga dengan denotasi, makna paling nyata dari tanda. Konotasi
menunjukkan
signifikasi
tahap
kedua.
Konotasi
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai dari kebudayaannya.71 2. Konotasi
Makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuan atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, konotasi digunakan
untuk
menjelaskan
bagaimana
gejala
budaya
memperoleh makna khusus dari anggota masyarakat maka ia
70
John Fiske, Cultural and Communication Studies Cetakan ke IV, Yogyakarta, Jalasutra, 2007, hal 122. 71
Ibid, hal 188.
46
menjadi mitos, sedangkan bila mitos sudah menjadi mantap, maka ia menjadi ideologi.72 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (reader). Konotasi, walaupun sifat asli tanda membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas mengenai apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem tataran kedua ini oleh Barthes disebut konotatif yang di dalam Mythhologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi
di
Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.73
72
Benny Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, 2008, hal 17. 73
Cobley & Jansz dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, op.cit., hal 69.
47
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 1) signifier (penanda)
2) signified (petanda)
3) denotative sign (tanda denotatif) 4) CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
5) CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
6) CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Sumber: Cobley Jansz dalam Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hal 69.
Dapat dilihat dari peta di atas, tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2), dan pada saat bersamaan, tanda denotatif juga sebagai penanda konotatif (4). Misalnya saja hanya dengan Anda mengenal tanda ”Singa”, barulah konotasi seperti keberanian, kegarangan, dan harga diri menjadi mungkin. Maka dalam konsep Roland Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya ini lah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh relasi (R). Kesatuan dari tingkat-tingkat dan
48
relasi tersebut membentuk sebuah sistem (ERC) yang dapat menjadi unsur sederhana dalam sebuah sistem kedua yang berakibat memperluasnya.
Gambar 2.3 Dua Sudut Artikulasi Roland Barthes E
1. Konotasi 2. Denotasi
E
C C
E
C E
Metabahasa C
Objek Bahasa
Sumber: Barthes 1983 dalam Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hal 70.
Pada artikulasi pertama (sebelah kri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Di sini sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi kedia (sebelah kanan, sistem primer (ERC) mengkonstruksi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Disini sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage).74
3. Mitos
Mitos berasal dari bahasa Yunani ”mutos” yang berarti cerita. Biasanya dipakai untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Akan tetapi
74
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, op.cit., hal 70, Kurniawan dalam Sobur, 2009, hal 70.
49
mitos tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.75 Mitos adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech).76 Tentu saja, mitos bukanlah pembicaraan atau wicara yang sembarangan; bahasa membutuhkan kondisi-kondisi khusus untuk menjadi mitos. Tetapi yang harus ditetapkan secara tegas pada awalnya adalah bahwa mitos adalah suatu pesan. Mitos tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep, atau gagasan; mitos merupakan metode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form) yang akan diterapkan batas-batas historis, kondisikondisi penggunaan, dan memperkenalkan kembali masyarakat ke dalamnya, namun pertama-tama harus mendeskripsikannya sebagai suatu bentuk. Segala sesuatu tidak diungkapkan pada saat yang sama: beberapa objek menjadi mangsa wicara mitos selama beberapa waktu, kemudian mereka menghilang, objek-objek lain yang mengambil tempat mereka dan mencapai status mitos. Wicara tersebut
dapat
merupakan
bentuk-bentuk
tulisan
atau
penggambaran, tidak hanya wacana tertulis, tetapi juga fotografi, film, laporan, olahraga, pertunjukan, publisitas, semua hal tersebut bisa berfungsi sebagai dukungan bagi wicara mitos. 75
76
Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta, Kanal, 2002, hal 103.
Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi, Edisi Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2007.
50
Mitos sebagai suatu sistem semiologi Perbedaan yang terdapat pada kubu semiotik struktural (yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dan dilanjuti oleh Roland Barthes) dan pragmatik (dipelopori oleh Charles S. Peirce) yaitu: ”Struktural melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua komponen yang berbeda tetapi saling berkaitan) dan sebagai sebuah struktur. Karena sebuah struktur adalah sesuatu yang sifatnya abstrak (berada dalam kognisi manusia), sifatnya tidak pragmatis karena tidak bertolak dari sesuatu yang secara konkret dapat diindra. Ini sesuai dengan konsep de Saussure tentang signifiant yang disebutnya sebagai citra akustik (dan bukan entitas akustis). Sedangkan pragmatik melihat tanda tidak sebagai suatu struktur yang ter”gambar” dalam kognisi, tetapi sebagai suatu proses semiosis, yakni proses pemaknaan ”tiga tahap” secara kognitif yang bertolak dari sesuatu yang dapat diindra atau terpikir...(yang disebut reprensentamen). Model ini adalah suatu model triadik karena melihat manusia memberikan makna pada tanda melalui sebuah proses pemaknaan ”tiga tahap” secara kognitif yang disebutnya ”semiosis”.77 2.11
Representasi Representasi merupakan cara media menampilkan seseorang, kelompok atau gagasan atau pendapat tertentu. Menurut Marheni dalam Pawito “representasi ideologi kapitalisme bekerja melalui pesan iklan dan strategi iklan, termasuk bahasa dalam iklan, gambar, atau adegan-adegan dalam iklan anak-anak.” 78 Menurut Eriyanto, “representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau
77 78
Benny H. Hoed, Op.Cit. hal. 78 Pawito,Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKIS, Yogyakarta, 2007, hal. 184.
51
gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.”79 Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Berikut definisi representasi menurut Marcel Danesi, “proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik…...Dapat dikarakterisasikan sebagai proses konstruksi bentuk X untuk menimbulkan perhatian kepada sesuatu yang ada secara material atau konseptual, yaitu Y, atau dalam bentuk spesifik Y, X = Y.”80
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita tangkap bahwa Danesi mencontohkan representasi dengan sebuah konstruksi X yang kemudian dapat mewakilkan suatu konsep tentang Y. Menurut Schroeder dan Zwick, “Melalui representasi pada iklan, tubuh laki-laki ditransformasi menjadi sebuah objek visual, dan dengan demikian, beredarlah representasi yang sama sebagai objek visual lainnya, seperti pada billboard, iklan, serta kemasan produk-produk konsumsi. Dan secara bersama-sama, gambargambar tersebut menunjukkan bagaimana laki-laki direpresentasikan sebagai konsumen, bagaimana fungsi-fungsi tubuh laki-laki dalam iklan tersebut direpresentasikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai konsumen dan dengan cara yang bagaimana sebuah iklan dapat mengutarakannya (maskulinitas) melalui tubuh laki-laki dalam iklan tersebut.” 81
79
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKIS, Yogyakarta, 2009, hal. 113
80
Marcel Danesi, Understanding Media Semiotics, Arnold, London, 2002, hal. 3
81
, Jonathan E. Schroeder & Detlev Zwick, Mirrors of Masculinity: Representation and Identity in Advertising Images http://www.researchgate.net
52
Berdasarkan pernyataan Schroeder dan Zwick, dapat dikatakan bahwa konsumen akan menyukai produk-produk yang menampilkan kualitas, penampilan, dan ciri-ciri terbaik, yang konsumen inginkan atau sesuai dengan apa yang konsumen alami. Isi media bukan hanya pemberitaan saja tetapi juga iklan dan halhal lain di luar pemberitaan. Sama halnya dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. Berikut tabel proses yang terjadi dalam representasi menurut John Fiske. Tabel 2.1 Tabel Proses Representasi Fiske PERTAMA
KEDUA
KETIGA
REALITAS Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televise seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik, dan sebagainya. REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, music, tata cahaya, dan lain-lain. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lainlain) IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kodekode ideologi, seperti individualism, liberalism, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.
Sumber: John Fiske, Television Culture, London, Routledge, 1987, hal. 5-6
Dapat dilihat pada tabel di atas, pada proses realitas peristiwa atau ide dikonstruksikan sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, ekspresi, dan lain-lain.
53
Pada proses representasi, realitas digambarkan dalam perangkatperangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lainlain. Selanjutnya pada proses ideologi, peristiwa-peristiwa dikaitkan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dikaitkan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu muncul pemaknaan baru. Menurut Nuraini Juliastuti “representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negosisiasi dalam pemaknaan.” 82 Jadi, representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual serta kebutuhan para pengguna tanda yaitu para manusia yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi, karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. 2.12
Maskulinitas Maskulinitas dari segi bahasa berasal dari bahasa Inggris masculine yang berarti laki-laki. Maskulinitas pada dasarnya merupakan nilai yang berkembang dalam suatu budaya dan menjadi indeks atas sifat-sifat
82
Nuraini Juliastuti, www.kunci.or.id
54
tertentu. Pada masyarakat laki-laki diposisikan superior terhadap wanita di berbagai sektor kehidupan. Menurut Zanden, “maskulinitas diartikan sebagai suatu nilai yang bersifat laki-laki yaitu keras, kuat, dan mandiri.83” Menurut Geert Hofstede “maskulinitas merupakan sex roles yang berkaitan dengan nilai kesuksesan laki-laki yakni uang dan sesuatu yang dominan dalam masyarakat.84” Hofstede juga melaporkan suatu temuan bahwa budaya maskulin memiliki motivasi tinggi untuk mencapai sesuatu, kerja merupakan pusat kehidupan mereka, menerima keterlibatan koleganya dalam kehidupan pribadi mereka, memiliki tekanan tinggi dalam pekerjaannya, memiliki nilai yang lebih besar pada perbedaan pria dan wanita dalam posisi yang sama, dan menunjukkan pengakuan, kemajuan, serta tantangan lebih penting dalam kepuasan kerja mereka.85 Humm berpendapat bahwa, “maskulinitas sering dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri yang melekat pada laki-laki. Maka muncul imaji maskulinitas seperti tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat, perkasa, pemberani, petualang, dan sebagainya. Maskulinitas diidentikkan dengan mobilitas, gerak, gairah, kompetisi atau bertanding. Stereotip maskulinitas lantas acapkali disejajarkan dengan aktifitas olahraga dan jiwa sportif.”86
83
James W. Vander Zanden, Social Psychology, Random House, New York, 1982, hal. 461
84
E. M. Griffin, A First Look of Communication Theory, Mcgrawhill, New York 2003, hal. 420
85
Opcit, hal.73
86
Maggie Humm, Dictionary of Feminist Theories, penerjemah Mundi Rahayu, Fajar Pustaka, Yogyakarta, 2007, hal. 275
55
Laki-laki juga terbagi atas beberapa tipe, berikut adalah tipe lakilaki menurut Ourahmoune & Nyeck: 1. “Reason: Refers to logical, deductive, rasional man. He is Subject, very active, in relationships (gaze at the other). This characterizes a very traditional man with also performance, power, work, success, as ethic and sober, functional appearance as aesthetic. 2. Emotion: Refers to the world of sensorial, experience and aesthetic. These are dominant characteristics of a melancholic man, very sensitive and romantic man. He is object, passive in relationships. 3. Un-Emotion: Refers to the “tough man” or ultra-masculine man that refuses any sign of feminity symbolized by emotion, beauty, sensitivity seen as a sign of weakness. He is exclusively a subject that dominates the other. 4. Un-Reason: Refers to the effeminate man who refuses his masculinity symbolized by reason, power, and functional appearance preferring feminine gesture, appearance and sensitivity. He is exclusively an object, body focused. 5. Reason+Emotion: The androgynous or postmodern man, juxtaposes reason and emotion, rationality and sensitivity, power and negotiation, work and relationships, authority and seduction through appearance. He is alternatively subject and object in relationships. 6. Un-Reason, Un-Emotion: Characterises reification as theoretical position not evoked in the literature on masculinity.”87
Berdasarkan ragam tipe laki-laki di atas, tipe nomor lima adalah tipe
yang
paling
berkaitan
dengan
penelitian
ini,
yaitu
tipe
reason+emotion: mengacu pada hal yang logis, berpikiran rasional, aktif dalam menjalin hubungan, giat bekerja, kekuasaan, mampu bernegosiasi, pekerja, sukses, sadar akan etika dan estetika penampilan. Cortese dan Ling berpendapat dalam jurnalnya, bahwa industri tembakau memiliki strategi untuk mengkonstruksi budaya maskulinitas, khususnya budaya maskulinitas pria muda di abad ke-21 dalam kaitannya dengan produk tembakau (rokok) itu sendiri.
87
Gender Values and Brand Communication, http://www.essec.edu
56
“Tobacco
industry’s
strategic
manipulation
of
cultural
constructions of masculinity for profit has theoretical implications salient to understanding the masculine identity construction of young men in the twenty-first century in relationship to the products they consume.”88 Dapat diketahui bahwa iklan memang memainkan peran yang kuat dalam menyebarkan peran gender. Menggambarkan pencitraan mereka (produk yang diiklankan) melalui stereotip maskulinitas atau feminitas, untuk kemudian dianggap budaya oleh masyarakat atau memang sudah menjadi budaya pada saat itu. Dalam hal ini, imaji menjadi mimpi yang ditawarkan sebuah iklan. Sama halnya dengan imaji representasi maskulinitas dalam iklan dilakukan dengan menggunakan tanda dan bahasa. Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa maskulinitas merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, namun sifat kelaki-lakian atau maskulinitasnya dibentuk oleh kebudayaan.
88
Masculinity as a Product of Consumption in Tobacco Industry–Developed Lifestyle Magazines, http://www.ncbi.nlm.nih.gov
57
2.13
Kerangka Pemikiran Iklan rokok menjadi objek penelitian bagi penulis karena tampilannya yang menarik. Daya tarik iklan tersebut bagi penulis yaitu di dalam aturan pemerintah terdapat mengenai pembatasan iklan rokok, yaitu Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2003 khususnya pasal 17 dan 18 yang berbunyi: Pasal 17 ayat 1 dan 2: (1) Iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia. (2) Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di media cetak atau media luar ruangan. Pasal 18: Materi Iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 2 dilarang: a. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; b. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan; c. memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduannya, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok; d. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan anak dan atau wanita hamil; e. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok.89 Melalui peraturan perundang-undangan tersebut penulis dapat memastikan bahwa di setiap iklan rokok mengandung makna yang tersirat. Di dalam iklan rokok U Mild versi Sukses yang ditayangkan televisi ini terdapat representasi serta konsep mengenai maskulinitas. Dengan metodologi
semiotika,
penulis
bermaksud
untuk
mengungkapkan
pemaknaan maskulinitas pada iklan rokok U Mild versi Sukses. 89
http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/6636/PP0811999.htm, diakses tgl 3 Oktober 2014
58
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Iklan rokok U Mild versi Sukses
Konsep Maskulinitas
Analisis semiotika Roland Barthes
Denotasi
Konotasi
Mitos, Ideologi
Representasi Maskulinitas
Penulis memulai dengan mengamati iklan rokok U Mild versi Sukses yang ditayangkan di televisi. Iklan tersebut telah penulis download melalui www.youtube.com. Setelah itu melalui proses semiotika Roland Barthes, penulis mencoba memaknainya. Urutannya yaitu, pada gambar pertama tanda dibagi dalam unsur tanda yang berdasarkan objeknya yaitu ikon, indeks dan simbol. Setelah itu dari unsur tanda yang ada, penulis memaknainya dengan segitiga makna (triangle of meanings) Peirce. Dimulai dari sign, object lalu
59
interpretant. Proses ini penulis lakukan juga terhadap lima gambar selanjutnya.
Setelah
semua
pemaknaan
menyimpulkan apa yang telah penulis peroleh.
selesai,
penulis
akan