BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Komunikasi 2.1.1. Komunikasi Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin yang berarti “sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama” (to make common). Istilah pertama communis adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal- usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan yang dianut secara sama. Akan tetapi berbagai defenisi menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagai hal tersebut, seperti dalam kalimat “kita berbagi fikiran”, “kita mendiskusikan makna”, dan “kita mengirimkan pesan”. (Mulyana, Dedy, 2005). Komunikasi menurut kamus Webster berarti suatu proses dengan apa informasi dipertukarkan diantara individu – individu melalui suatu sistem yang umum dalam simbol-simbol, tanda-tanda atau perilaku. Komunikasi adalah suatu proses pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan secara sepihak atau timbal balik dengan tujuan memberi pengaruh, minimal informasi pada pihak penerima pesan. Pengaruh informasi dapat memberi manfaat perubahan sikap (attitude) dan seterusnya perubahan tindakan /perilaku (behavior) dari komunikan (Ruslan, Rosady, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi menurut Dale Yoder, dkk adalah pertukaran informasi, ide, sikap, pikiran dan/atau pendapat.
2.1.2. Tujuan Komunikasi Tujuan komunikasi umum menurut Watson dan Hill : (1) sebagai instrumen penyampaian pesan antar pihak; (2) mengendalikan pihak-pihak supaya selaras; (3) memperjelas pengertian suatu informasi; (4) instrumen pembudayaan / pergaulan antar pihak. Effendy (1986) mempertegas secara padat bahwa komunikasi bertujuan untuk memberi suatu pesan yang dapat memberi perubahan atau penguatan informasi tertentu pada pihak-pihak yang melaksanakannya. Kata perubahan informasi (kognitif) pada penerima pesan selanjutnya diharapkan menjadi perubahan sikap (attitude) yang selalu disebut affective. Seterusnya bila berkenan dihati penerima pesan, perubahan sikap itu menjadi aksi yang selaras. Aksi yang dilakukan berulangulang dikenal sebagai perubahan perilaku (behavior).
2.1.3. Proses Komunikasi Model komunikasi dari Harold Laswell’s dianggap oleh para pakar komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam perkembangan teori komunikasi (1948). Laswell’s menyatakan bahwa “cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: Who Says, What in Which Channel to Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa
Universitas Sumatera Utara
Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa). (Effendy, Onong U, 2000: 253). Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Laswell itu merupakan unsur-unsur proses komunikasi, yaitu communicator (komunikator), message (pesan), media (media), receiver (komunikan), dan effect (efek). (Effendy, Onong U., 2000:253). Adapun fungsi komunikasi menurut Laswell adalah sebagai berikut : 1. Pengamatan lingkungan 2. Korelasi kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi lingkungan 3. Transmisi warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Surveillance yang dimaksud oleh Lasswell adalah kegiatan mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa dalam suatu lingkungan; dengan kata lain penggarapan berita. Kegiatan yang disebut correlation adalah interpretasi terhadap informasi mengenai peristiwa yang terjadi di lingkungan; dalam beberapa hal ini dapat didefenisikan sebagai tajuk rencana atau propaganda. Kegiatan transmission of culture difokuskan kepada kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai, dan norma sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain atau dari anggota suatu kelompok kepada pendatang baru, ini sama dengan kegiatan pendidikan. (Effendy, Onong U., 2000: 254). Vardiansyah, Dani (2004 : 115), menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi mengenai gambar model komuniksi yang disampaikan oleh Lasswell dengan unsur-unsur dasar, walau dengan penjabaran dan interpretasi yang
Universitas Sumatera Utara
tidak persis sama, yaitu komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek komunikasi sebagai berikut:
Who Communicator
Say What ? Message
In which channel Medium
To Whom Receiver
Which what effect Effect
Sumber : Dani, Vardiansyah, 2004: 115 Gambar 2.1: Model Lasswell
2.1.4. Komponen Komunikasi 2.1.4.1. Komunikator Dafid K. Berlo mengatakan bahwa sumber atau komunikator merupakan pemrakarsa atau orang yang pertama mengurai terjadinya proses komunikasi. Hal ini disebabkan karena semua peristiwa komunikasi akan melibatkan dan tergantung dari sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber inilah penentu keberhasilan proses komunikasi sehingga diperlukan kiat – kiat tertentu dalam menyampaikan sebah informasi. Sumber dapat berasal dari individu, kelompok maupun organisasi. Sumber pengirim pesan bisa dikatakan sebagai pusat stimulator. Dani
Vardiansyah
menyampaikan
dalam
bukunya
Pengantar
Ilmu
Komunikasi bahwa Pengirim pesan atau komunikator yang dimaksud di sini adalah manusia yang mengambil inisiatif dalam berkomunikasi. Pesan disampaikan komunikator untuk mewujudkan motif komunikasi. Karena itu, komunikator kita
Universitas Sumatera Utara
defenisikan sebagai manusia berakal budi yang berinisiatif menyampaikan pesan untuk mewujudkan motif komunikasinya. Dilihat dari jumlahnya, komunikator dapat terdiri dari (a) satu orang (b) banyak orang dalam pengertian lebih dari satu orang, serta (c) massa. Apabila lebih dari satu orang yakni banyak orang di mana mereka relatif saling kenal sehingga terdapat ikatan emosional yang kuat dalam kelompoknya, maka kumpulan banyak orang ini kita sebut kelompok kecil. Apabila lebih dari seorang atau banyak orang relatif tidak saling kenal secara pribadi dan karenanya ikatan emosionalnya kurang kuat, maka kita sebagai kelompok besar atau publik. Namun apabila banyak orang atau lebih dari satu orang ini memiliki tujuan yang sama dan untuk mencapai tujuan tersebut terdapat pembagian kerja di antara para anggotanya, maka wadah kerjasama yang terbentuk sebagai kesatuan banyak orang ini lazim kita sebut organisasi. Jadi, selain komunikator dapat berupa banyak orang dalam kelompok kecil dan kelompok besar, juga dapat berbentuk organisasi. Misalnya, dalam tataran komunikasi massa, komunikatornya biasanya adalah organisasi penerbitan, yakni tim redaksi surat kabar.
2.1.4.2. Pesan Dani
Vardiansyah
menyampaikan
dalam
bukunya
Pengantar
Ilmu
Komunikasi bahwa pesan pada dasarnya abstrak. Untuk membuatnya konkret agar dapat dikirim dan diterma oleh komunikan, manusia dengan akal budinya menciptakan sejumlah lambing komunikasi berupa suara, mimik, gerak-gerik, bahasa lisan, dan bahasa tulisan. Pesan bersifat abstrak; komunikan anda tidak akan tahu apa
Universitas Sumatera Utara
yang ada dalam benak anda sampai anda mewujudkan dalam salah satu bentuk atau kombinasi lambang-lambang komunikasi ini. Karena itu, lambang komunikasi disebut juga bentuk pesan, yakni wujud konkret dari pesan, berfungsi mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan dikelompokkan dalam pesan verbal. Awalnya manusia berkomunikasi hanya dengan mimik dan gerak-gerik serta suara yang relatif tanpa makna, kecuali untuk mempertegas mimik dan gerak gerik. Pesan disampaikan komunikator kepada komunikan untuk mewujudkan motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan. Karena itu, pesan kita definisikan sebagai segala sesuatu, verbal maupun non verbal, yang disampaikan komunikator kepada komunikan untuk mewujudkan motif komunikasinya.
2.1.4.3. Media Komunikasi Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui pesan komunikator untuk sampai ke komunikannya. Terdapat dua jalan agar pesan ke komunikator untuk sampai ke komunikannya, yaitu tanpa media (nonmediated communication yang berlangsung face to face, tatap muka) atau dengan media. Media yang dimaksud di sini adalah media komunikasi. Media merupakan bentuk jamak dari medium. Medium komunikasi kita artikan sebagai alat perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk menghantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. Jadi unsur pertama dari media komunikasi adalah pemilihan dan penggunaan alat perantara yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan komunikator dengan sengaja. Artinya, hal ini mengacu kepada pemilihan dan penggunaan teknologi media komunikasi. Media komunikasi dilihat dari jumlah target komunikannya dapat dibedakan atas media massa dan non media massa. Media massa dilihat dari waktu terbitnya dapat dibedakan atas media massa periodik dan media massa non periodik. Periodik berarti terbit teratur pada waktu-waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Media massa periodik dapat dibedakan atas yang elektronik (radio, TV) dan non elektronik atau cetak (surat kabar, majalah). Media massa non periodik dimaksudkan pada media massa yang bersifat eventual, tergantung pada event tertentu. Setelah event usai, selesai pulalah penggunaannya. Untuk itu, media massa nonperiodik dapat dibedakan atas manusia (juru kampanye atau sales promotion girl) dan benda (poster, spanduk, leaflet). Kembali kepada nonmedia massa. Dilihat dari sifatnya, dapat dibedakan atas nonmedia massa benda. Nonmedia massa benda dapat dibedakan atas yang elektronik (telepon, fax) dan yang nonelektronik (surat). Perkembangan teknologi komunikasi terkini, yakni teknologi komputer dengan internetnya, melahirkan media yang bersifat multimedia. Dikatakan multimedia karena hampir seluruh bentuk media komunikasi yang telah dikenal umat manusia menyatu dalam elektronik digitalnya. Di internet kita dapat menemukan surat elektronik, i-phone (telepon internet), surat kabar/majalah elektronik, radio internet, bahkan kegiatan tatap muka melalui internet (video conference).
Universitas Sumatera Utara
Kembali kepada komunikasi langsung tatap muka. Pada dasarnya, yang dilakukan adalah aktivitas komunikasi. Aktivitas komunikasi tatap muka ini bentuknya bermacam-macam, mulai dari perbincangan, wawancara, konseling, rapat, seminar, lokakarya, hingga pameran dimana target komunikasi (calon konsumen) dapat berbincang langsung tatap muka dengan wakil dari perusahaan guna membicarakan produk yang dipamerkan.
2.1.4.4. Komunikan Dani
Vardiansyah
menyampaikan
dalam
bukunya
Pengantar
Ilmu
Komunikasi bahwa Penerima pesan disebut komunikan. Komunikan didefinisikan sebagai manusia berakal budi, kepada siapa pesan komunikator ditujukan. Dalam proses komunikasi, utamanya dalam tataran antar pribadi, peran komunikator dan komunikan bersifat dinamis, saling berganti. Komunikan disebut juga penerima. Dalam konteks komunikasi massa, komunikan lazim disebut khalayak, tujuan (destination), pemirsa, pendengar, pembaca, target sasaran. Menurut Dafid K. Berlo (1960) yang dikutif oleh Cangara H (2004) komunikan merupakan objek sasaran pesan yang dikirim oleh pengirim pesan. Untuk mencapai keberhasilan dalam komunikasi sebaiknya harus mengenali penerima. Hal – hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut ; 1.
Karakteristik
2.
Budaya
3.
Tehnik/ penyampaian
Universitas Sumatera Utara
4.
Tingkat pemahaman
5.
Waktu
6.
Lingkungan fisik dan sikologis
7.
Tingkat kebutuhan.
2.1.5. Paradigma Harold Lasswell
Who -------------8. Communicator
Say What ? ----------------
Message 9.
In which channel -----------Medium
To Whom ------------Receiver
Which what effect? --------------Effect
(Sumber : Ruslan, Rosadi; 2003) Gambar 2.2: Schema Model Komunikasi Harold Lasswell
Komunikasi menurut Harold Lasswell dapat dianalisis menurut paradigma : Who Says What In which Channel To Whom and With What Effect? (Watson, James & Hill, Anne; 1996), Artinya: “Siapa mengatakan apa, dengan jalur apa, kepada siapa dan dengan pengaruh apa?”. Maknanya adalah: pengaruh komunikasi dari siapa (bidan), mengatakan apa (materi) dengan cara apa (media), kepada siapa (komunikan dengan karakteristik masing-masing), dan dengan pengaruh apa (apakah penerima pesan selanjutnya memeriksakan diri ke VCT). Paradigma Lasswell penting dianalisis untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi efektif mampu membujuk pasien sehingga mengikuti program VCT.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Model Komunikasi Menurut Wilbur Schramm (1954) bahwa model komunikasi dapat disamakan dengan mekanisme model proses seperti diilustrasikan pada gambar berikut :
Sumber : (Watson dan Hill; 1996) Gambar 2.3. Model Komunikasi Schramm Dengan model mekanis di atas Schramm menjelaskan bahwa proses komunikasi hanya dapat berlangsung efektif bila pada proses tersebut ada pihak (1) source (sumber informasi atau pesan) yang menjadi inisiato/pencetus; (2) ada proses pengkodean pesan ke dalam bentuk-bentuk sandi (kode) tertentu yang dianggap dapat saling dimengerti/dipahami; (3) kode-kode dikirim / dinyatkan dengan sinyal (bahasa, gerakan dll); (4) sinyal diindra (dipersepsi) setelah ada penterjemahanan / interpretasi sinyal dari pesan oleh (5) penerima pesan sebagai target.
2.2. Acquirred Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Berdasarkan namanya AIDS berarti suatu kondisi yang dapat ditemukan pada individu pasien pengidap penyakit yaitu sekumpulan gejala-gejala (sindroma) khas kekurangan imunitas (daya pertahanan alam – kekebalan) menahan infeksi. Penyebab
Universitas Sumatera Utara
dari sindroma adalah virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Supari SF, 2006, Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005 – 2010, Jakarta). Selanjutnya HIV memiliki keganasan yaitu merusak sistem daya pertahanan alam (kekebalan – imunitas) dari penderita sehingga riskan berakibat fatal sekalipun hanya tercemar bibit penyakit yang pada orang sehat tidak mengakibatkan hal-hal yang mematikan. Virus dapat menular melalui hubungan langsung antara cairan tubuh atau darah yang tercemar milik pengidap ke jaringan peredaran darah dari pengidap yang baru (Supari SF, 2006, Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005 – 2010, Jakarta). Penularan terutama melalui pintu masuk (port of entry) hubungan seksual (homo atau hetero), luka-luka tercemar, intra placenta ibu tercemar, melalui jarum suntik pada pengguna narkoba yang ceroboh serta pencemaran diruang bedah, pelayanan kesehatan gigi, proses kehamilan, persalinan, proses pemeliharaan anak bayi dan lain-lain. Sampai saat ini tidak ada dikenal suatu obat yang ampuh mengeradiasi virus dari tubuh pengidap. Hal-hal yang dilakukan sejauh ini terbatas pada usaha meredam perkembangan akibat virus supaya tidak menjadi lebih parah, pencegahan penularan serta santunan biaya hidup serta pengobatan pada pasien penderita (Supari SF, 2006). Perkembangan penyakit di tubuh pengidap selalu progresif yang pada awalnya hampir-hampir tidak menimbulkan gejal yang mencurigakan. Kondisi yang tersembunyi seperti itu menjadikan HIV sebagai suatu penyakit yang tiba-tiba saja muncul pada pasien ketika semua sudah jadi terlambat. Masalah yang menguatkan
Universitas Sumatera Utara
tragedi penularan adalah ketertutupan dari para pengidap yang memang tidak mengetahui perihal penyakit yang diidapnya, atau ia selalu menutup rapat permasalahan perilaku yang riskan dapat menularkan penyakit HIV AIDS. Penyakit HIV AIDS sendiri sebenarnya lebih populer dikenal masyarakat sebagai penyakit orang yang aib moral, jadi kebanyakan pasien merasa malu bila suatu waktu ia diketahui mengidap penyakit tersebut (Supari SF, 2006). Permasalahan akan lebih menyulitkan masyarakat karena resiko dari ketertutupan mereka yang terkena HIV AIDS, akan menguat karena penyakit tersebut serta merta memberi kasus predikat orang tidak bermoral, orang yang berbahaya dan harus dijauhi, sementara kasus penularan banyak dikaitkan pada masalah peredaran obat-obat terlarang ditambah dunia prostitusi. Masalah ketertutupan pasien pengidap HIV AIDS akan selalu menjadi lebih misterius dan potensi merugikan masyarakat sendiri bila fenomena tersebut tidak dirubah (Supari SF, 2006).
2.3. Jumlah Kasus HIV-AIDS 2006 secara global Pihak WHO menyadari bahaya yang terselubung sehingga promosi badanbadan tertentu untuk menanggulangi penyakit global HIV-AIDS. Penyebaran kasus penyakit ini di Indonesia sudah semakin meluas tidak hanya di kota besar tapi juga ke daerah pendesaan. Penyebaran HIV-AIDS juga mengikuti mobilitas dari masyarakat yang semakin pesat sejalan dengan hubungan internasional serta teknologi transport yang sangat pesat. Banyak perantau ke kota besar ketika kembali ke desanya dan kawin di desa. Perantau tersebut potensil menularkan penyakit HIV-AIDS yang ia
Universitas Sumatera Utara
peroleh dengan tanpa sengaja selama di perantauan. Pihak bidan dan pelayanan kesehatan lain di semua tempat, bila tidak berhati-hati dan tidak disiplin menjalankan pelayanan yang aman potensil dapat menjadi agen penularan HIV AIDS atau jadi korban penyakit itu sendiri (Supari SF, 2006). 2.3.1. Kasus Global Burden 2009 Tabel 2.1. Global Burden during 2006 Global Burden, during 2006 Worldwide 39,5 million people are estimated to be living with HIV/AIDS 17.7 million are women and 2.3 million are children 3.8 million are newly infected adults 530.000 are newly infected children 2.4 million adult deaths 380.000 child deaths Young people (15-25 years) account for half of new HIV infections Global Burden ( Beban Dunia) Andi Ilham Lubis
Penulis Lubis (2006) mengutip tulisan Global Burden (Beban Dunia) seperti tertulis pada tabel berikut.
(Tabel 2.1. Global Burden during 2006) Pada tabel
dapat dilihat bahwa ada sekitar 40 juta orang diperkirakan sedang menderita HIVAIDS. 17, 7 juta diantaranya wanita dan 2,3 juta anak-anak. Sebanyak 3,8 juta adalah kasus baru dan 530 ribu anak-anak merupakan kasus baru. Separuh dari semua kasus diperkirakan adalah para usia muda / remaja 15 – 25 tahun (Supari SF, 2006). Urgensi pemaparan ulang masalah peran bidan dalam pencegahan / penyebaran HIV-AIDS di Sumatera Utara adalah juga penting karena proses penyebaran HIV dalam tahun-tahun terakhir selalu bertambah banyak. Dinas Kesehatan Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Utara serta para akademisi pelayanan kesehatan termasuk Akademi Kebidanan terpanggil untuk melaksanakan penataran-penataran promosi pencegahan (Supari SF, 2006).
2.3.2. Angka Kasus HIV-AIDS di Sumatera Utara 2004 – 2009 Pematang Siantar adalah kota terbesar kedua di Sumatera Utara, di dalam statistik 2004 s/d 2009 termasuk 4 daerah paling besar di papari kasus HIV-AIDS. P.Siantar menduduki posisi 4 besar kasus HIV terbanyak setelah Medan, Tobasa, dan Deli Serdang. Jumlah Kasus akumulatif tercatat berturut-turut sebanyak :581;66;42.
600 500 400 300 200 Series1
100
Gambar 2.4.
:DALAIN
Series1 SIMALU
KARO
PSIANT
TOBASA
DELIS
MEDAN
0
Statistik kasus HIV AIDS di Sumatera Utara.Data diolah dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Angka-angka tidak otomatis menjadi nilai betapa buruknya penanganan kasus HIV di setiap daerah/kota tapi boleh juga menunjukkan efektifnya penemuan kasuskasus oleh petugas profesional di setiap daerah. Masalah yang penting dicermati adalah besarnya jumlah kasus-kasus tersebut merupakan bukti bahwa HIV sudah merebak ke semua daerah urban propinsi.
2.3.3. Usaha Penanggulangan HIV-AIDS di Sumatera Utara 2008 - 2009 Sumatera Utara menyadari sepenuhnya masalah masalah HIV-AIDS dan bahayanya bila tidak ditanggulangi dengan serius. PBB (WHO) sendiri seperti yang tertera pada inset yang dikutip menganjurkan adanya usaha penyaringan kasus-kasus yang potensil menyebarkan penularan HIV-AIS dengan menyediakan fasilitas pemeriksaan, manajemen prosedur bahkan biaya pelaksanaan VCT (Voluntary Counselling and Test) untuk cegah HIV AIDS. Usaha pencegahan tampaknya menjadi kegiatan utama dari pihak internasional untuk mengatasi penularan wabah HIV-AIDS. Satu dari pencegahan dapat berupa pemakaian alat kontrasepsi kondom bagi mereka yang tidak dapat menghindari kasus seksual multi pasangan. Pengamanan prosedur penyaringan donor darah adalah sudah menjadi standar pusat-pusat bank darah. Di setiap pos pelayanan dengan instrumen di klinik dan rumah sakit diwajibkan melalui prosedur steril yang absolut atau pemakaian peralatan yang disposable (sekali pakai buang). Khususnya bagi proses kehamilan, kelahiran dan pemeliharaan anak yang kemudian dikelompokkan sebagai kelompok kegiatan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission) kegiatan itu
Universitas Sumatera Utara
selalu dimulai dengan mendeteksi kasus-kasus ibu, anak atau pasangan dengan potensi tercemar HIV yang tinggi. Kasus yang ditemukan riskan dianjurkan mengunjungi pusat konsultasi sukarela dan pemeriksaan (VCT) di pos-pos tersendiri. Pada dasarnya kegiatan promosi VCT inilah yang menjadi pokok perhatian dari penelitian ini. Secara logis dapat diterima bahwa untuk mencegah penularan penyakit seberbahaya HIV-AIDS – karena kesehatan adalah hak azasi setiap individu – tidak seorangpun yang dapat dipaksa untuk memeriksakan diri. Kata voluntary pada VCT menonjolkan arti sukarela ada di pihak pasien pengguna jasa. Jadi tidak ada unsur paksaan yang boleh dipakai dalam mempromosikan program pencegahan penyakit HIV AIDS. Setiap mereka yang memilih memeriksakan diri harus menanda tangani informed concent yaitu semacam pernyataan tertulis bahwa mereka yang memeriksakan diri menyadari keperluan pemeriksaan dan mau menjalaninya secara sukarela. Konseling dan Testing secara sukarela (VCT) – Secara sukarela individu memilih untuk mengikuti tes untuk mengetahui status HIV mereka. Ini adalah bagian dari strategi kesehatan masyarakat yang utama yaitu menjadikan individu-individu yang belum menunjukan gejala penyakit (asimptomatik) sebagai sasaran. Pendekatan ini berasal dari perspektif penurunan penularan HIV
yaitu untuk mengindenti-
fikasikan individu-individu yang sehat dan yang oleh karena itu lebih besar kemungkinannya untuk secara tidak sadar terlibat dalam perilaku yang berisiko penularan. Konseling perubahan perilaku dan konseling untuk mempersiapkan
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan menerima hasil tes positif adalah komponen kunci. Program VCT juga merupakan pintu masuk yang penting untuk mendapatkan perawatan. Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpuan bahwa sebenarnya PMTCT dengan VCT adalah tim kerja sama yang saling membantu fungsi bersama yaitu menanggulangi penularan HIV AIDS dengan program promosi deteksi dini kasus yang potensil oleh bidan, dan pemeriksaan sukarela oleh pasien di klinik VCT.
2.3.4. Kebijakan Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Strategi penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Departemen Kesehatan RI dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional telah berkomitmen untuk meningkatkan cakupan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia. Sebagai pedoman untuk menjalankan program tersebut bagi manajer program, aparat pemerintahan, petugas kesehatan, serta kelompok profesi dan kelompok seminat bidang kesehatan di Indonesia, perlu adanya kebijakan pemerintah tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini mencakup hal-hal penting pada tiap-tiap langkah intervensi program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia. (Depkes RI, 2007)
2.3.5. Integrasi Program Kebijakan umum pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi sejalan dengan kebijakan umum kesehatan ibu dan anak dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.Layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi diintegritas dnegan
Universitas Sumatera Utara
paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan informasi pencegahan penularan HIV selama masa kehamilan dan menyusui .Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu : 1.
Prong 1: Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi;
2.
Prong 2: Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
3.
Prong 3:
Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya;
4.
Prong 4:
Memberikan dukungan psikologis, sosial dengan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang padat diimplementasikan semua prong. Keempat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.
2.3.6. Konseling dan Tes HIV Sukarela Konseling HIV menjadi salah satu komponen dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela pencegahan penularan HIV dari ibu
Universitas Sumatera Utara
ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela. Tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit rujukan ODHA (Orang dengan HIV AIDS) yang telah ditetapkan pemerintah. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak. Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamils digunakan beberapa kriteria, seperti memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan pengguna narkoba, dan lain-lain. Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi. Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket pelayanan kesehatan ibu dan angka dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV (Depkes RI, 2007) Pada pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang memberikan layanan konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-tes counseling) bagi perempuan
HIV negatif diberikan bimbingan untuk tetap HIV
negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengkuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan bantuan biaya konseling dan tes HIV bagi
Universitas Sumatera Utara
ibu hamil di tiap jenjang layanan kesehatan. Protokol pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil HIV positif mengikuti Pedoman Nasional Pengobatan ARV di Indonesia. Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil HIV positif secara gratis untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi. Pemerintah juga menyediakan ARV secara gratis untuk tujuan pengobatan jangka panjang jika ibu atau anaknya telah membutuhkan ARV untuk mempertahankan kualitas fisiknya (Depkes RI, 2007). Ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan secara operasi seksio sesarea ataupun persalinan normal.Pelaksanaan persalinan, baik secara operasi seksio sesarea maupun persalinan normal, harus memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif. Tindakan menolong persalinan ibu hamil HIV positif, baik secara operasi seksio sesarea maupun persalinan normal, mengikuti standar kewaspadaan universal yang biasa berlaku untuk persalinan ibu hamil HIV negatif. Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi pemerintah memberikan bantuan layanan persalinan gratis kepada ibu hamil HIV positif (Depkes RI, 2007).
2.3.7. Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Arti Penting Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah upaya yang penting (Depkes RI, 2007). Alasannya adalah sebagai berikut : 1. Sebagian besar perempuan HIV positif berada dalam usia reproduksi aktif.
Universitas Sumatera Utara
2. Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses dari ibu ke bayi. 3. Sepanjang akses pengobatan antiretroviral belum baik, bayi HIV positif akan menjadi anak yatim/piatu. Dari 61 anak- dengan HIV/AIDS di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta (Januari 2003-Desember 2004), sebanyak 23 orang diantaranya menjadi yatim dan 3 orang menjadi yatim piatu. 4.
Bayi HIV positif akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Anak dengan HIV/AIDS lebih sering mengalami penyakit infeksi bakteri ataupun virus.
5.
Perlakuan diskriminatif akan dihadapi anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS. Stigma negatif terhadap HIV/AIDS menyebabkan anak-anak dengan HIV/AIDS seringkali didiskriminasi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, di sekolah, dan sebagainya.
6. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan ibu HIV positif, meskipun ibunya masih hidup,
secara signifikan memiliki risiko
kesakitan dan kematian yang lebih tinggi. 7. Setiap anak memiliki hak untuk hidup sehat, panjang umur, dan mengembangkan potensi diri terbaiknya.
a. Faktor Ibu Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kandungan HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya,
Universitas Sumatera Utara
satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang (Digram I), Kadar HIV tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah terjadi 3-6 minggu setelah terinfeksi (disebut infeksi primer). Setelah beberapa minggu, biasanya kadar HIV mulai berkurang dan relatif terus rendah selama beberapa tahun pada periode tanpa gejala (asimptomatik). Ketika memasuki masa stadium AIDS (dimana tanda-tanda gejala AIDS mulai muncul), kadar HIV kembali meningkat (Depkes RI, 2007).
b. Faktor Bayi Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga lebih rendah untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh yang tersebut belum berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa, dll. Sebuah studi di Tanzania menunjukkan bahwa bayi yang lahirkan sebelum 24 minggu memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa-masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. HIV terdapat di dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di dalam darah. Antara 10-20% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih). Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Umur Bayi Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru lahir. Antara 50-70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia enam bulan pertama kali. Setelah tahun kedua umur bayi, risiko penularan menjadi lebih rendah. 2. Luka di Mulut Bayi Bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI.
a. Faktor Cara Penularan Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan.Ketika proses persalinan, tekanan pada plasenta meningkat yang bisa menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi. Hal ini lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi (Depkes RI, 2007).
2.4. Pengertian dan Peran Bidan Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional. Pengertian bidan dan bidang prakteknya telah diakui oleh International Confederation Midwives (ICM) dan International Federation of Gynaecologist dan Obstetrion (FIGO) serta World Health Organitation (WHO). Secara lengkap pengertian bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi ijin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri itu. Bidan harus mampu memberikan
Universitas Sumatera Utara
supervisi, asuhan dan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita pada masa hamil, persalinan, pasca persalinan, memimpin persalinan atas tanggungjawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak (Syafrudin Cs, 2009). Asuhan yang dimaksud termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi serta mengupanyakan bantuan medis, melakukan tindakan pertolongan gawatdarurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pedidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita hamil, bersalin dan pasca pesalinan saja tetapi juga untuk keluarga dan komunitasnya. Pendidikan yang dimaksud mencakup pendidikan untuk kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, persiapan menjadi orang tua, keluarga berencana, kesehatan bayi dan anak. Bidan bisa praktek di Rumah Sakit Klinik, Unit kesehatan, Rumah- rumah perawatan dan fasilitas kesehatan lainnya. (Syafrudin Cs, 2009). 2.5.Komponen Komunikasi Terhadap PMTCT Pada proses komunikasi promosi kesehatan khusus yang dilakukan petugas PMTCT yaitu mencegah terjadinya transmisi penyakit menular HIV di antara ibu dan janin, pihak petugas berfungsi sebagai inisiator (komunikator awal). Pihak pasien adalah penerima pesan. Pesan yang diberikan inisiator adalah materi tentang masalah HIV/AIDS dan anjuran-anjuran supaya penerima pesan terbujuk untuk memeriksakan diri mereka ke fasilitas VCT (Voluntary Councelling and Test) sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kesehatan masing-masing pasien.
Universitas Sumatera Utara
Masalah efektifitas dari suatu komunikasi dalam mempromosikan usaha pencegahan penyebaran HIV/AIDS melalui jalur PMTCT terhadap komunitas keluarga yang memeriksakan diri ke Puskesmas, sementara petugas Puskesmas sudah banyak yang terlatih untuk pekerjaan khusus PMTCT, tergantung dari bagaimana informasi dapat memberi / menyentuh hati pasien/keluarga sehingga membetuk suatu sikap yang sadar dan terbujuk (affective). Kesadaran dapat meningkat ke perilaku mau melakukan pemeriksaan diri ke VCT. Pihak komunikan (penerima pesan) pada pihak lain memiliki karakteristik yang heterogen. Karakteristik latar belakang pendidikan, temperamen, budaya serta kondisi-kondisi ekonomis lain dapat pula menjadi faktor penghalang komunikasi efektif yang dijalankan oleh pihak bidan dalam mempromosikan PMTCT dan VCT. Lembaga pencegahan penyakit HIV AIDS melakukan promosi dengan aneka rupa dan cara mulai dari komunikasi tatap muka dilakukan oleh masing-masing petugas. Pengaruh komunikasi yang biasanya multi tahap jadi sering lebih efektif bila dipaparkan secara simultan dan serentak oleh lembaga. Model komunikasi mana yang kemudian paling berpengaruh dan mampu merubah sikap serta perilaku pasien PMTCT untuk mau menjalani proses VCT, hal itulah yang ingin diketahui melalui penelitian ini (Jamaludin, 2010). Tidak ada jaminan bahwa pihak masyarakat komunikan datang ke VCT semata-mata karena pengaruh komunikasi oleh bidan, tetapi bila selama ini tidak ada suatu kegiatan VCT dapat dikaitkan dengan proses pemeriksaan sebagai akibat langsung komunikasi bidan dan pasien, hal tersebut perlu dipertanyakan. Mengapa hal itu terjadi dan apakah pelatihan serta pembelajaran
Universitas Sumatera Utara
tentang fungsi dan kewajiban bidan melaksanakan promosi dan prevensi HIV AIDS sama sekali tidak bermanfaat untuk promosi dan prevensi tersebut. Kalau tidak bermanfaat, bagaimana cara selanjutnya untuk membuat fungsi promosi dan prevensi HIV AIDS melalui PMTCT harus direvitalisasi (Jamaludin, 2010).
2.6. Landasan Teori HIV-AIDS adalah suatu penyakit menular dapat mengakibatkan penderita mengalami kekurangan pada daya tahan (imunitas) tubuh. Penderita yang terinfeksi akan mengalmi kekurangan kekebalan (imunitas) menahan infeksi sekunder yang dapat berakibat fatal. Penyakit HIV-AIDS ini belum dapat disembuhkan secara tuntas, jadi tetap memerlukan pemeliharaan yang mahal di sepanjang umur hidup ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Cara penularan-nya biasa melalui hubungan seksual, pencemaran alat suntik pada pemakaian silang, transfusi darah, luka – luka tercemar pada proses kelahiran ataupun operasi yang tercemar, serta transmisi dari ibu tercemar pada bayinya baik dalam kandungan maupun setelah lahir. Sampai saat ini belum ada suatu obat apapun yang dianggap efektif dapat mengeradikasi penyakit secara tuntas sehingga pasien dapat dianggap murni sembuh dari
HIV-AIDS.
Usaha
pemeliharaan
kesehatan
dengan
mengendalikan
pengembangan tingkat keparahan penyakit banyak yang efektif memperpanjang kenyamanan masa hidup penderita tetapi semua itu cukup riskan dan berbiaya mahal. Usaha prevensi adalah pilihan mengendalikan HIV-AIDS supaya tidak menyebar kependerita – penderita berikutnya. Salah satu dari usaha mencegah penyebaran /
Universitas Sumatera Utara
penularan agar individu adalah PMTCT (Prevention Mother to Child) yaitu usaha pencegahan transmisi penyakit HIV-AIDS dari ibu yang tercemar kepada anak yang dikandung dan kemudian dilahirkan. Pada usaha prevensi yang ditujukan mengendalikan penularan HIV-AIDS metode komunikasi tatap muka yang dapat diperankan bidan. Bidan sebagai petugas garis depan potensil paling efektif karena tugas dan kedekatan profesi mereka dengan pasangan yang dilayani. Kedekatan ini karena ada keakraban komunikasi diantara bidan dengan pasien-nya. Jumlah bidan bagaimanapun lebih banyak tersebar melayani masyarakat Dari kenyataan adanya keakraban komunikasi, diharapkan terjadi efektifitas komunikasi positif dan bermanfaat pada diri pasien sehingga terbujuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS ke VCT. Komunikasi yang efektif tidak dapat berdiri sendiri oleh kegiatan pihak pemberi pesan (komunikator). Komunikasi PMTCT memiliki keterlibatan komponen : (1) komunikator; (2) penerima pesan dan (3) efek adopsi ataupun penolakan pesan ditandai indikator pasien yang kemudian berkunjung ke VCT. Pada tahap awal penelitian, yang diteliti adalah bagaimana efektifitas pengaruh kelompok bidan (komunikator) menyampaikan pesan sehingga dapat mengugah hati dan perilaku pasien. Pasien yang tergugah mengikuti pemeriksaan di VCT (Voluntary Councelling and Testing) HIV AIDS. Proses komunikasi berlangsung oleh variabel variabel independent : komunikator, pesan, media komunikasi, penerima pesan (komunikan). Effek komunikasi atau variabel dependent (effek) dapat diukur dengan indikator keikut sertaan pasien dalam program VCT.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep Variabel Independent
Variabel Dependent
Komponen Komunikasi
Komunikator Pesan Media Komunikan
Kunjungan Klien PMTCT ke klinik VCT
Gambar 2.5. Pengaruh Komponen Komunikasi Dalam Pelaksanaan PMTCT Terhadap Kunjungan Pasien Pada Pelayanan Voluntary Counselling and Test (VCT).
Universitas Sumatera Utara