BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
dan
Acquired
Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) 2.1.1 Definisi HIV merupakan sebuah retrovirus yang memiliki genus lentivirus, genus ini memiliki tipe klinis seperti sumber penyakit infeksi yang kronis, periode
laten klinis yang panjang, replikasi virus yang persisten dan
terlibat dalam sistem saraf pusat. Virus ini berbeda dengan virus lain karena tubuh manusia tidak dapat menyingkirkan virus ini. HIV menyebar melalui cairan tubuh dan memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel CD4 atau sel-T. 9, 10, 11 AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan stadium ketika sistem imun penderita jelek dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi yang dinamakan infeksi oportunistik. Pada individu yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 < 200µL juga merupakan definisi AIDS meskipun tanpa adanya gejala yang terlihat atau infeksi oportunistik10,12,13
8
9
2.1.2 Patofisiologi HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeki ke janinnya atau melalui laktasi. Siklus replikasi HIV dimulai dari ikatan antara HIV’s gp120 binding protein yang terletak di permukaan virus dengan reseptor CD4. Molekul gp 41 akan menetrasi membrane plasma sel target kemudian membawa virion masuk kedalam sel target.13 Sebuah kompleks preintegrasi virus yang terdiri dari RNA dan enzim virus dilepaskan ke dalam sitoplasma sel target. Kompleks tersebut akan mencapai nukleus dan mempromosikan transkripsi dari genom RNA menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. Kompleks protein coat akan menghasilkan double stranded DNA. Pada proses ini, genom viral rentan terhadap faktor imunitas seluler yang menghambat progresifitas infeksi. DNA virus akan terintegrasi ke dalam kromosom host oleh enzim integrase.13 Telah diketahui bahwa sejumlah mekanisme untuk menurunkan CD4 dapat diinduksi oleh infeksi langsung dan destruksi oleh HIV. Kombinasi dari patogenitas virus dan respon kekebalan tubuh yang terjadi selama infeksi mempengaruhi perkembangan stadium lanjut penyakit yang merupakan suatu kompleks dan bervariasi.13
10
2.1.3 Klasifikasi stadium klinis Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering digunakan untuk remaja dan dewasa yaitu klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventoin (CDC) Amerika Serikat. Di negaranegara berkembang menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi CDC. Klasifikasi menurut WHO digunakan pada beberapa Negara yang pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium, yaitu:12,16 Tabel 2. Stadium HIV menurut WHO Gejala Klinis
Stadium I
Tidak ada penurunan berat badan Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
II
Penurunan berat badan <10% ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo) Dermatitis Seboroik Infeksi jamur pada kuku
III
Penurunan berat badan >10% Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
11
TB Paru dalam 1 tahun terakhir Limfadenitis TB Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50 109 per liter) IV
Sindroma Wasting (HIV) Pneumoni Pneumocystis Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan Kandidiasis esofagus Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan Limfoma Sarkoma Kaposi Kanker Serviks yang invasif Retinitis CMV TB Ekstra paru Toksoplasmosis Ensefalopati HIV Meningitis Kriptokokus Infeksi mikobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati multifokal progresif Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas Dikutip dari kepustakaan 19
12
2.1.4 Diagnosis Langkah
pertama
untuk
mendiagnosis
HIV/AIDS
adalah
anamnesis secara keseluruhan kemudian ditemukan adanya faktor resiko dan menemukan temuan klinis pada pemeriksaan fisik. Tes diagnostik untuk HIV yang sampai sekarang masih digunakan adalah ELISA ( enzyme-linked immunoabsorbent assay), rapid test, Western Blot, dan PCR (Polymerase chain reaction) dengan sampel whole blood, dried bloodspots, saliva dan urin.12,17 Rapid test disarankan untuk kasus kecelakaan kerja bagi petugas yang terpapar darah penderita HIV/AIDS atau pada penderita yang kemungkinan tidak mau datang kembali untuk menyampaikan hasil tes HIV. Tes ELISA merupakan pemeriksaan yang umum dilakukan karena praktis dan sensitifitasnya tinggi. Rekomendasi WHO jika tes ELISA dengan 3 reagen yang berbeda hasilnya postif semua atau rapid test dengan 3 reagen hasilnya positif semua maka tidak dianjurkan tes Western Blot (WB).12,17 Tahun 2007, di Indonesia oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) diagnosis AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai
13
minimal terdapat 2 gejala mayor atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor.18 Tabel 3. Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS Gejala Mayor Berat badan turun >10% dalam 1
Gejala Minor Batuk menetap > 1 bulan
bulan Diare kronik, berlangsung > 1 bulan
Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan > 1 bulan
Herpes Zooster multisegmental dan berulang
Penurunan Kesadaran
Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati
Herpes simpleks kronis progresif Limfadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita Retinitis Cytomegalovirus Dikutip dari kepustakaan 18
2.2
Penatalaksanaan Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) Penanganan pada penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Jika pasien sudah ditetapkan
positif
HIV/AIDS
maka
langkah
selanjutnya
adalah
menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB dan infeksi oprtunistik lainnya, pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ARV, pemberian PPK jika
14
tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan, positive prevention dan konseling KB.4 Setelah langkah – langkah tersebut pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu pasien yang memenuhi syarat ARV, pasien belum memenuhi syarat ARV dan pasien ada kendala kepatuhan. Pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 adalah 12 1. Stadium III dan IV WHO, atau jumlah CD4 ≤350/mm3 2. Jumlah CD4 > 350 - ≤500 /mm3 tanpa memandang stadium WHO 3. Pasien dengan koinfeksi TBC aktif tanpa memandang jumlah CD4 dan stadium WHO 4. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa memandang jumlah CD4 dan stadium WHO 5. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk mengurangi transmisi penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif 6. Wanita hamil dan menyusui dengan HIV. Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs (nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan nevirapin. 2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang diperkuat ritonavir merupakan lini ke dua, sedangkan lini
15
ke tiga adalah gabungan antara integrase inhibitor, generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs.19 Ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register terapi ARV. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan sekali , dengan waktu yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia, lost follow-up, dan tidak diketahui.5 Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi, mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan setpoint virus dalam jangka waktu yang lama. Beberapa studi mengatakan bahwa terapi pada infeksi HIV akut dapat menurunkan viral load dan meningkatkan respon spesifik sel T helper.5,9 Pemberian terapi ARV merupakan terapi seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml.
16
Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien HIV/AIDS. Kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV. 4,14
2.3
Lost to Follow-up Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) 2.3.1 Definisi Lost to Follow-up Lost to follow-up merupakan salah satu klasifikasi pasien HIV/AIDS yang sedang menerima terapi ARV. Lost to follow-up berkaitan erat dengan kepatuhan pasien. Namun, dua hal tersebut mempunyai arti yang berbeda. Jika lost to follow-up adalah ketidakhadiran pasien ke klinik VCT untuk kontrol dan mengambil obat, sedangkan ketidakpatuhan adalah pasien tidak meminum obat sesuai aturan dengan berbagai alasan meskipun datang ke klinik dan mengambil obat secara rutin.5,15 Menurut Joseph Kwong-Leung Yu et al, dikatakan pasien lost to follow-up jika tidak hadir ke klinik VCT dalam dua kali kunjungan secara berturut - turut atau lebih atau dalam kurun waktu 2 sampai 3 bulan. Penelitian Karl Peltzer et al menyebutkan bahwa pasien lost to follow-up adalah pasien dalam jangka waktu lebih dari 1 bulan dan dua kali berturut – turut tidak hadir ke klinik VCT. Dalam systematic review dan Meta-analisis Martin W.G
17
Brinkhof et al ada 3 definisi lost to follow-up yaitu tidak berkunjung ke klinik sebanyak 2 atau 3 kali yang telah dijadwalkan, melewatkan jadwal kunjungan terakhir dalam waktu 2 hingga 4 minggu, dan melewatkan kunjungan dalam waktu lebih dari 3 bulan. 5,20 Menurut penelitian Chi, Benjamin H. et al dari analisis statistik di 111 fasilitas kesehatan yang ada di Afrika, Asia dan Amerika Latin pada tahun 2010 telah membuat standar definisi dari lost to follow-up yaitu pasien HIV/AIDS yang tidak hadir ke klinik setelah ≥ 180 hari setelah kunjungan terakhir atau kembali ke klinik setelah beberapa saat. Hasil penelitian tersebut telah diadopsi pada penelitian Bygrve Helen et al yang mengatakan bahwa definisi paling umum lost to follow-up adalah tidak berkunjung ke klinik setidaknya dalam waktu 3 bulan.6,21 Hingga saat ini definisi terbaik lost to follow-up adalah pasien yang tidak melakukan kunjungan ke klinik dalam waktu 180 hari (3 bulan) atau kembali ke klinik setelah beberapa saat. Lost to follow-up terbagi menjadi dua yaitu lost to follow-up permanen dan lost to follow-up sementara. Dikatakan lost to follow-up permanen jika pasien tidak melakukan kunjungan ke klinik dalam waktu 180 hari kemudian tidak pernah berkunjung kembali. Pasien tidak melakukan kunjungan ke klinik dalam waktu 180 hari kemudian
18
berkunjung kembali setelah beberapa saat disebut dengan lost to follow-up sementara.7 2.3.2 Prevalensi Lost to Follow-up Suatu analisis gabungan di Eropa dan Amerika Utara tahun 2011 mengatakan bahwa paien yang menerima terapi ARV selama 6 bulan, 27 %nya adalah lost to follow-up dengan median lebih dari 3,75 tahun. Pada Swiss HIV Cohort Study (SHCS) melaporkan lost to follow-up sebanyak satu per 1000 pasien per tahun pada periode terapi pre ARV, namun jumlah tersebut menurun pada periode terapi ARV yaitu 33,6 per 1000 pasien per tahun. Data dari jaringan program terapi ARV pada beberapa Negara ditemukan prevalensi rata – rata 21% pasien lost to follow-up pada enam bulan awal terapi. Sebuah review dari program terapi ARV di SubSaharan Afrika ditemukan sekitar 40% pasien lost to follow-up selama dua tahun, dengan variasi yang besar dalam tingkat retensi antar program.20, 22 Laporan jumlah pasien lost to follow-up di Malawi pada tahun 2007 sebanyak 4226 pasien. Fridman ,V et al pada tahun 2010 di Buenos Aires, Argentina menyebutkan terdapat 123 (54%) pasien dari 227 pasien tidak datang kembali setelah kunjungan ke klinik pertama kali. Pada penelitian yang dilakukan oleh TAHOD pada tahun 2011 ditemukan 21,4 % per tahun kasus lost to followup dari 3626 pasien. 5, 7, 8
19
Desember 2013 kementrian kesehatan RI melaporkan sebanyak 12.779 pasien (17,32%) HIV/AIDS sebagai pasien lost to follow-up dan jumlah
lost to follow-up di Jawa Tengah
sebanyak 792 pasien. Hasil dari pasien yang lost to follow-up yang telah diterima, relatif masih mendapatkan sedikit perhatian.3,20 2.3.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi Lost to Follow-up Secara umum faktor – faktor yang mempengaruhi pasien lost to follow-up diantaranya adalah meninggal dunia, pindah ke fasilitas kesehatan lain, faktor internal dan faktor eksternal. Meninggal dunia dan pindah ke fasilitas lain sebenarnya tidak masuk dalam kriteria lost to follow-up , namun dari banyak hasil penelitian pasien lost to follow-up yang telah disurvei hasilnya terdapat meninggal dunia dan pindah ke tempat pelayanan kesehatan lain. 5,8,15, 23 a.
Faktor Eksternal 1) Keterjangkauan klinik VCT Jangkauan akses ke klinik VCT mempengaruhi kunjungan pasien seperti lama waktu yang harus dihabiskan untuk menjangkau klinik, jarak yang harus ditempuh serta besarnya biaya transportasi yang digunakan pasien. Semakin jauh jarak tempuh ke klinik VCT maka biaya yang harus dikeluarkan pasien semakin banyak. Pada penelitian yang
20
dilakukan di Malawi, 35% dari keseluruhan pasien lost to follow-up penyebabnya adalah besarnya biaya transport yang harus dikeluarkan untuk mengunjungi klinik VCT.5 Masalah
ekonomi
merupakan
salah
satu
faktor
mempengaruhi pengobatan ARV, karena pengobatan ARV membutuhkan waktu yang lama sehingga konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan menjadi besar. Meskipun obat ARV dapat diperoleh secara cuma – cuma, namun mereka harus tetap mengeluarkan biaya transportasi, tes laboratorium dan obat untuk infeksi oportunistik serta biaya dokter. 27,29,30,31 2) Kepercayaan religi Keyakinan terhadap agama mempengaruhi kepatuhan terapi ARV. Di Jawa Barat masih sedikit tokoh agama yang terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS. Keyakinan umum yang berlaku HIV/AIDS masih dianggap sebagai hukuman yang layak diderita oleh orang yang berdosa. Berbeda dengan kondisi di Papua, dukungan ODHA oleh tokoh agama terlihat menonjol. Gereja menejadi salah satu penyediaan ARV bagi ODHA yang sulit mengakses ke Rumah Sakit atau Puskesmas. Secara tidak langsung tokoh gereja
mengurangi
angka
lost
to
follow-up
dan
meningkatkan angka kepatuhan ODHA. Dukungan secara moril membuat ODHA lebih semangat untuk hidup dan
21
termotivasi untuk beribadah oleh tokoh agama baik melalui ceramah atau ibadah lainnya.15,30,31 3) Dukungan sosial Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Yuyun et al di Jawa Barat tidak ditemukan adanya kasus penolakan jenazah ODHA oleh masyarakat karena pada umumnya masyarakat sendiri tidak tahu status ODHA. Seandainya masyarakat tahu, mungkin terjadi penolakan. Sikap menutupi status ini tidak terlepas dari kekhawatirann akan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap kepatuhan ODHA dalam minum ARV karena ODHA membutuhkan dukungan tanpa stigma dan diskriminasi.14,15 Stigma berawal dari adanya pemahaman yang salah mengenai cara penularan HIV/AIDS dan anggapan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit yang menjijikan yang menjangkiti orang yang menyimpang perilaku seksualnya. Bagi masyarakat awam, interaksi sosial dikhawatirkan menjadi
penyebab
penularan.
Masih
banyak
yang
menganggap bahwa sentuhan, pelukan, jabat tangan, berciuman, penggunaan alat makan atau minum bersama, tinggal serumah, gigitan nyamuk bahkan berenang bersama dengan penderita bisa menularkan HIV/AIDS.26
22
Kondisi keluarga bisa sebagai pendukung atau penghambat ODHA untuk terapi ARV. Bagi ODHA yang sudah diketahui statusnya dan diterima oleh keluarganya maka faktor keluarga biasanya menjadi pendukung utama. Keluarga dalam hal ini bisa berfungsi menjadi PMO (Pengawas Minum Obat) bagi ODHA. Ada pula kondisi keluarga yang justru menghambat kepatuhan misalnya takut diketahui pasangannya sebagai penderita HIV sehingga harus berhenti terapi.15 4) Pelayanan dan fasilitas klinik VCT Pelayanan serta fasilitas yang diberikan kepada pasien meliputi lamanya antrian saat pengobatan, sikap dokter atau petugas kesehatan, prosedur administrasi, tes laboratorium, dan sarana pra sarana klinik merupakan faktor yang pertama kali mempengaruhi pasien untuk mengunjungi klinik. Beberapa hal tersebut sangat mempengaruhi persepsi pasien dalam perjalanan terapi ARVnya.15 5) Pengobatan herbal atau alternatif Saat ini banyak di jual pengobatan herbal atau alternatif lain untuk pengobatan HIV/AIDS yang bebas di pasaran. Hal ini menyebabkan pasien menghentikan pasien untuk terapi ARV dan menggantinya dengan obat herbal. Seperti pada penelitian Peltzer, Karl et al di Afrika Selatan angka lost to
23
follow-up meningkat pada pasien dengan pengobatan herbal.14,15 6) Faktor lingkungan Lingkungan mempengaruhi pasien untuk terapi ARV. Kawasan perindustrian yang kurang maju memiliki angka lost to follow-up lebih tinggi. Peltzer, Karl et al
juga
menyebutkan bahwa pasien yang memiliki lingkungan yang kurang mendukung menyebabkan pasien enggan untuk berkunjung ke klinik. Pasien yang tinggal di perkotaan memiliki angka lost to follow-up lebih rendah.23 b.
Faktor Internal 1) Efek samping dan persepsi efek samping terapi ARV Hasil paparan dari tim peneliti UGM menyebutkan bahwa sebagian pasien yang enggan datang ke klinik VCT, dikarenakan efek samping obat ARV. Terutama gejala yang muncul pada kulit. Persepsi efek samping obat dari pasien juga sering muncul, setelah minum obat ARV, yang sebenarnya bukan merupakan efek samping obat ARV karena pasien tersebut tidak memiliki riwayat alergi seperti mual dan muntah. 2) Pengguna alkohol dan narkotika
24
Sebagian pasien yang lost to follow-up memiliki riwayat pengguna alkohol atau narkoba. Hal tersebut mempengaruhi kunjungan ke klinik.23 3) Infeksi oportunistik 4) Persepsi kondisi klinis pasien Persepsi kondisi pasien ditunjukkan dengan pada pasien yang merasa dirinya sehat lebih enggan untuk mengunjungi klinik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Fridman,V et al alas an utama pasien yang lost to follow-up adalah merasa dirinya cukup sehat dan tidak membutuhkan perhatian medis.8 5) Status mental pasien Status mental pasien ditunjukkan oleh penelitian penelitian Peltzer, Karl et al di Afrika Selatan dengan teori IMB ( Informational-Motivational-Behavioural
Model)
menunjukkan bahwa ODHA yang memiliki tingkat depresi yang lebih rendah memiliki angka lost to follow-up lebih rendah.14,15 6) Kesadaran pribadi Motivasi untuk bertahan hidup, tingkat kesadaran yang tinggi akan fungsi dan manfaat ARV serta keimanan terhadap agama atau keyakinan merupakan faktor internal utama yang mempengaruhi kepatuhan ODHA. Hal ini
25
sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa kesadaran ODHA merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kepatuhan ODHA. 7) Pengetahuan mengenai ARV ODHA dengan tingkat pengetahuan yang tinggi biasanya lebih patuh karena mereka sudah tahu keparahan penyakit mereka dan kepatuhan terapi ARV telah member perbaikan bagi kualitas hidup mereka baik secara fisik, psikologis maupun sosial.22,27 8) Aktivitas sehari – hari atau pekerjaan Gaya hidup dan aktivitas sehari – hari seperti terlalu sibuk mempengaruhi kepatuhan ODHA. Nelayan yang biasanya melaut selama 3 -4 bulan mengalami kesulitan jika harus mengambil obat setiap bulan. Keterjangkauan dan akses merupakan masalah bagi ODHA. 9) Kepatuhan terapi ARV Pasien yang tidak patuh minum obat ARV dengan berbagai macam faktor, biasanya enggan datang ke klinik VCT untuk kontrol dan mengambil obat. Sebagian dari pasien lost to follow-up memiliki riwayat ketidakpatuhan terapi ARV.
26
2.3.4 Dampak Lost to Follow-up Secara umum lost to follow-up memberikan dampak negatif bagi pasien yaitu peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hal itu disebabkan karena pada pasien yang lost to follow-up tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai untuk kasus HIV/AIDS yaitu pemberian obat ARV dan status klinis mereka tidak dapat dipantau secara jelas. Pasien lost to follow-up secara umum lebih sakit dan memberikan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tetap dalam perawatan. Estimasi angka kematian lebih tinggi pada pasien yang pasif follow-up. Togun, toyin et al menyebutkan bahwa kematian pada lost to follow-up mencapai 47,1% per tahun.24 Lost to follow-up pada pasien yang menerima terapi ARV menyebabkan konsekuensi yang serius seperti berhentinya terapi dan peningkatan resiko kematian. Lost to follow-up pada pasien HIV/AIDS menyebabkan mereka tidak mendapatkan terapi ARV sehingga viral load terus meningkat dan jumlah CD4 terus menurun. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan jumlah dan keparahan infeksi oportunistik.
Penyebaran infeksi HIV/AIDS
yang semakin luas juga bisa disebabkan karena dampak lost to follow-up dikarenakan pasien tidak mendapatkan edukasi tentang pencegahan penularan. Misalnya
pencegahan penularan pada
27
hubungan seksual dengan profilaksis ARV, mereka yang lost to follow-up tidak mendapatkan obat tersebut.7 2.3.5 Pencegahan Lost to Follow-up Pencegahan lost to follow-up pada pasien HIV/AIDS di Indonesia menjadi salah satu masalah yang memerlukan perhatian khusus dan perlu adanya intervensi untuk mencegah lost to followup. Penyediaan terapi ARV secara gratis seharusnya faktor biaya bukan menjadi penyebab utama pasien lost to follow-up. Namun efektivitas
biaya
transportasi,
infeksi
oportunistik
dan
pemeriksaannya bisa menjadikan faktor biaya sebagai penyebab lost to follow-up. 15 CEPAC
(Cost-Effectiveness
of
Preventing
AIDS
Complications) memiliki beberapa komponen intervensi dalam pencegahan lost to follow-up seperti menghilangkan obat ARV yang berbayar, menghilangkan biaya untuk pengobatan infeksi oportunistik,
meningkatkan
pelatihan
individu,
penyediaan
makanan dan penggantian biaya transport. Dari penelitian Losina, Elena et al menyatakan bahwa intervensi – intervensi tersebut memberikan respon yang baik dalam menurunkan angka lost to follow-up sebanyak 41%.25 Pencegahan lost to follow-up sangat berhubungan erat dengan kepatuhan terapi pasien. Kerjasama yang baik antara tenaga
28
kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk memenuhi terapi ARV. Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan dukungan kepatuhan harus dilakukan oleh petugas (konselor dan/ pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan antara lain:4 1. Memberikan informasi 2. Konseling perorangan 3. Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat rencana terapi. Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien berkunjung dan mengambil obat secara teratur sesuai dengan kondisi pasien. Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas kesehatan. Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien. Sikap petugas yang mendukung dan peduli, tidak mengadili dan menyalahkan pasien, akan mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan terapi. Konseling kepatuhan dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan secara terus menerus dan berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien merasa bosan. 4