BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS 2.1.1. Pengertian HIV dan AIDS Virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk kedalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNAnya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan muncul tanda dan gejala Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS).
HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh. Bukan penyakit bawaan tetapi di dapat dari hasil penularan. Penyakit yang disebabkan oleh HIV ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia (Widoyono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar melebar. terdapat untaian RNA.
Pada pusat lingkaran
HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen
fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut adalah gag, pol dan env. Gag berarti grup antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope. Gen Gag mengode protein inti. Gen Pol mengode enzim reserse transcriptase, protease, dan integrase. Gen env mengode komponen struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein (Hoffmann, Rockstrob. dalam Nursalam dan Kurniawati, 2007).
Gambar 2.1 Virus HIV Sumber : http://putu-yudiarta.blogspot.com
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Patogenesis HIV menempel pada sel limfosit sel induk melalui gp120 sehingga akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV melalui enzim polymerase. Enzim inetgrasi kemudian akan membantu DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk. DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai sel DNA induk, akan membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun (imunosupresi) ini akan menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi limfosit T (Widoyono, 2005). 2.1.3. Cara penularan Penyakit ini menular melalui berbagai cara. Antara lain melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, cairan sperma dan ASI. Virus terdapat juga pada saliva, dan urin tapi dengan konsentrasi yang sangat rendah. HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata dan keringat. Terdapat tiga cara penularan HIV yaitu : a. Hubungan seksual; baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 70-80% dari total kasus sedunia.
Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit
Universitas Sumatera Utara
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih besar dibanding seks vagina, dan risiko lebih besar pada receptive daripada insertive. b. Kontak langsung dengan darah atau produk darah/jarum suntik; b.1 Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia b.2 Pemakaian jarum suntik tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Terdapat 5-10% dari total kasus sedunia b.3 Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Terdapat 0,1% dari total kasus sedunia c. Secara vertikal; dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan.
Risiko sekitar 25-40% dan angka
transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga. 2.1.4. Diagnosis Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi : a.
ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay); Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi
b.
Western blot; Spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,9-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal,membutuhkan waktu sekitar 24 jam
Universitas Sumatera Utara
c.
PCR (Polymerase Chain Reaction); Tes ini digunakan untuk : c.1 Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan tubuh yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut (pemeriksan HIV sering merupakan deteksi dari zat anti HIV bukan deteksi HIV nya sendiri) c.2 Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi c.3 Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi c.4 Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunya sensitifitas yang rendah untuk HIV-2.
2.1.5. Pengobatan Pengobatan pada penderita HIV/AIDS meliputi : a. Pengobatan suportif b. Penanggulangan penyakit oportunistik c. Pemberian obat antivirus d. Penanggulangan dampak psikososial Obat antivirus HIV/AIDS adalah : a. Didanosin (ddl)
Universitas Sumatera Utara
Dosis :
2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB <60 kg) 2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB <60 kg)
b. Zidovudin (ZDV) Dosis 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat penderita tidak tidur. c. Lamivudin (3TC) d. Stavudin (d4T) Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena : a. Obat ini bisa memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang daya tahan tubuh. b. Obat ini aman, mudah dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan sampai mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif dan pengelolaan klinis yang agresif. c. Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi belum memuaskan. Beberapa ahli mengusulkan penelitian tentang bagaimana agar CD4 tiruan diserang oleh virus, sehingga CD4 alami tetap normal. Bagian yang diserang virus HIV adalah sel darah putih terutama sel limfosit pada bagian CD4. CD4 adalah bagian dari limfosit yang menunjukkan seberapa besar fungsi pertahanan tubuh manusia. Jumlah CD4 yang rendah menunjukkan pertahanan tubuh yang lemah dan mudah terkena infeksi virus, bakteri dan jamur.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Pencegahan HIV/AIDS Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah “ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama di Uganda dan beberapa negara Afrika lain. Prinsip ‘ABC” ini telah dipakai dan dibakukan secara intenasional, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah : “A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang dengan pasangan (Abstinensia) “B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau hubungan jangka panjang tetap (Be faithful) “C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom) Untuk penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu : “D” : Drug; “say no to drug” atau katakan tidak pada napza/narkoba “E” : Equipment; “no sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian
2.2 Perilaku 2.2.1 Pengertian Perilaku Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus --- Organisme--- Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”. Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : a. Perilaku tertutup (covert behavior); Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus. b. Perilaku terbuka (overt behavior); Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) : a.
Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
Universitas Sumatera Utara
b.
Sikap (Attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
c.
Tindakan atau praktik (Practice) Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
2.2.2
Determinan Perilaku Kesehatan Lawrence W. Green dalam teorinya mencoba menganalisis masalah kesehatan
dengan membagi menjadi dua faktor yaitu masalah yang berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor non perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi.
Ketiga, faktor pendorong (reinforcing factors), yag
terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok referens, seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.
Universitas Sumatera Utara
Predisposing Factors - kebiasaan - kepercayaan - tradisi - pengetahuan - sikap
Pendidikan Kesehatan
Enabling Factors - ketersediaan fasilitas - ketercapaian fasilitas
Non Perilaku
Masalah Kesehatan Perilaku
Reinforcing Factors - sikap dan perilaku petugas - peraturan pemerintah
Gambar 2.2 Bagan Precede Lawrence W. Green Selain itu perilaku manusia juga merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, dan sikap.
Gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
pengalaman, keyakinan, sarana fisik, dan sosiobudaya masyarakat (Notoatmodjo, 1989). Kurt Lewin (1970) dalam teorinya berpendapat bahwa perilaku manusia adalah keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces).
Perilaku itu dapat berubah
apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri
Universitas Sumatera Utara
seseorang. Sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang itu, yakni : a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi adanya-adanya stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. b. Kekuatan-kekuatan penahan menurun.
Hal ini akan terjadi adanya stimulus-
stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. c. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan-kekuatan penahan menurun. Teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock berpendapat bahwa perilaku juga dibentuk oleh persepsi kita terhadap sesuatu. Persepsi akan menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Teori HBM oleh Rosenstock dalam Kalichman (1998) ini didasarkan pada empat elemen persepsi seseorang, yaitu: a. Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit b. Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut c. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk
mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan
finansial, fisik, dan psikososial
Universitas Sumatera Utara
d. Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan Selanjutnya, teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan faktorfaktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu: a. Variabel sosio-demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dsb. b. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dsb. c. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dsb. d. Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dsb. 2.2.3 Determinan Perilaku Terkait Penelitian a. Faktor Sosio demografi Variabel sosio demografi (umur, pendidikan dan status perkawinan) adalah berhubungan dengan perilaku kesehatan.
Umur adalah variabel yang selalu
diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi.
Angka-angka
kesakitan maupun kematian didalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur (Notoatmodjo, 2007). Pada kasus AIDS, umur berhubungan dengan perilaku yang menyebabkan penularan HIV. Chicago Multicenter AIDS Cohort Study (MACS) menemukan bahwa lelaki gay yang berusia lebih muda berisiko lebih besar untuk tertular AIDS dibanding yang lebih tua (Ostro, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima dan merespon terhadap berbagai informasi. Menurut Notoatmodjo (1989), pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentukbentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana dia hidup. Pendidikan merupakan proses sosial dimana seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, khususnya yang datang dari sekolah sehingga mereka dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. Studi Barliantari L. (2007) tentang perilaku penggunaan kondom pada pasangan tetap WPS di Jakarta menyimpulkan bahwa pendidikan berpengaruh signifkan terhadap perilaku penggunaan kondom. Status pernikahan, kawin, tidak kawin, cerai dan janda/duda menurut penelitian juga menunjukkan hubungan antara angka kesakitan maupun kematian. Angka kematian karena penyakit-penyakit tertentu maupun kematian karena semua sebab makin meninggi dalam urutan tertentu. Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian lebih tinggi pada yang tidak menikah dibandingkan yang
menikah
(Notoatmodjo, 2007). Dalam Survei Surveilens Perilaku (SSP) tahun 2004-2005 ditemukan bahwa status pernikahan berhubungan dengan perilaku seksual berisiko. Status pernikahan telah menikah terkadang malah menunjukkan hubungan dengan perilaku seksual berisiko seseorang.
Ini dibuktikan oleh hasil survey tersebut
bahwa dari 60% sopir/kernet truk dan 55% pelaut/ABK yang membeli seks dalam setahun terakhir adalah pria beristri.
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor Psikososial Faktor psikososial dalam penelitian ini adalah faktor dorongan PSK. Dorongan PSK mempunyai pengaruh terhadap penggunaan kondom pada pelanggan. Menurut Widodo E. (2009) dalam penelitiannya tentang praktek WPS dalam pencegahan IMS dan HIV/AIDS di lokalisasi Koplak, Kabupaten Grobogan, sebanyak 93% pelanggan WPS tidak memakai kondom karena posisi tawar para WPS yang lemah sehingga tidak berhasil mempengaruhi pelanggan. Hanya 7% WPS yang tetap mempertahankan agar pelanggan memakai kondom saat berhubungan seksual walaupun mengalami kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi, misalnya waktu yang dibutuhkan lebih lama untuk merayu pelanggan supaya tetap selalu memakai kondom, malah terkadang merelakan pelanggan untuk mencari WPS yang lain jika pelanggan tidak mau memakai kondom. c. Faktor Struktural Faktor struktural dalam penelitian ini adalah pengetahuan ABK. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010). Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan : c.1 Tahu (know)
Universitas Sumatera Utara
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya. c.2 Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c.3 Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. c.4 Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut. c.5 Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. c.6 Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan menjadi landasan penting untuk menentukan suatu tindakan. Pengetahuan, sikap dan perilaku akan kesehatan merupakan faktor yang menentukan dalam mengambil suatu keputusan (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menjadi pedoman untuk melakukan tindakan pencegahan yang benar agar tidak tertular virus tersebut. Dalam temuan kunci STBP 2011 dilaporkan bahwa tingkat pengetahuan pelanggan
Universitas Sumatera Utara
seks komersil masih sangat rendah, hal ini berbanding lurus dengan tingkat pemakaian kondom yang rendah pula. d. Persepsi Persepsi
adalah
suatu
proses
memperhatikan
dan
menyeleksi,
mengorganisasikan dan menapsirkan stimulus lingkungan. Proses memperhatikan dan menyeleksi terjadi karena setiap saat panca indera kita (indera pendengar, perasa, penglihatan, penciuman dan indera peraba) dihadapkan kepada begitu banyak stimulus lingkungan. Akan tetapi tidak semua stimulus tersebut kita perhatikan, karena kalau semuanya dipersepsikan akan menyebabkan kita bingung dan kewalahan. Oleh karenanya, kemudian ada proses pemilihan (perceptual selection) untuk mencegah kebingungan tersebut menjadi lingkungan kita lebih berarti (Gitosudarmo dan Sudita, 2000) Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2010) ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya, sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang mempersepsikan stimulus tersebut. d.1.Faktor eksternal : terdiri dari : 1) kontras, yaitu cara termudah untuk menarik perhatian adalah dengan membuat kontras baik pada warna, ukuran, bentuk atau gerakan ; 2) Perubahan intensitas yaitu suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau cahaya yang berubah dengan intensitas tinggi akan menarik perhatian seseorang ; 3) Pengulangan (repetition) misalnya iklan yang diulang-ulang akan
Universitas Sumatera Utara
lebih menarik perhatian seseorang,
walaupun
sering
kali
kita
merasa
jengkel dibuatnya. Dengan pengulangan, walaupun pada mulanya stimulus tersebut
tidak
masuk
dalam rentang perhatian kita, maka akhirnya akan
mendapat perhatian kita; 4) Sesuatu yang baru (novelty) yaitu suatu stimulus yang baru akan lebih menarik perhatian kita daripada sesuatu yang telah kita ketahui; dan 5) Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak yaitu suatu stimulus yang menjadi perhatian orang banyak akan menarik perhatian kita. d.2.Faktor internal : Faktor yang ada pada seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang
menginterpretasikan stimulus yang dilihatnya. Itu
sebabnya stimulus yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda. Contoh faktor internal adalah 1).Pengalaman/pengetahuan; 2) Harapan atau expectation; 3) Kebutuhan,
dimana
kebutuhan
akan
menyebabkan
seseorang
menginterpretasikan stimulus secara berbeda; 4) Motivasi dimana seseorang yang termotivasi untuk menjaga kesehatannya akan selalu melakukan tindakan pencegahan penyakit; 5) Emosi; 6) Budaya, seseorang dengan latar belakang budaya yang sama akan mempersepsikan orang-orang didalam kelompoknya secara berbeda.. Menurut teori HBM persepsi terdiri atas persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi terhadap perilaku pencegahan serta persepsi kemampuan diri, dimana persepsi seseorang akan mempengaruhi perilaku pencegahan terhadap penyakit.
Studi Widodo (2009) terhadap WPS di kabupaten Grobogan
Universitas Sumatera Utara
menyimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak memakai kondom dalam berhubungan seksual (93%) disebabkan karena rendahnya persepsi manfaat dan persepsi kemampuan diri
terhadap perilaku pencegahan. Penelitian
Yusnita E.
(2002) menyatakan bahwa rendahnya proporsi penggunaan kondom pada PSK Waria di wilayah Jakarta Barat (38,3%) berhubungan dengan persepsi keseriusan AIDS dimana 66% responden menganggap aspek finansial sebagai masalah yang paling serius, persepsi positif terhadap perilaku pencegahan dan persepsi kemampuan sendiri untuk menggunakan kondom (62,85%). 2.2.4 Prilaku Seksual Berisiko Tertular HIV/AIDS Dalam kaitannya dengan penularan HIV/AIDS, dikenal adanya perilaku seksual berisiko dan perilaku seksual aman. Perilaku seksual berisiko adalah segala perilaku seksual yang menimbulkan risiko dan memungkinkan terjadinya penularan/infeksi HIV/AIDS. Seseorang dikatakan berisiko HIV jika orang tersebut berada pada suatu kesempatan untuk terkena virus karena perilaku seksualnya. Sedangkan perilaku seksual aman adalah segala perilaku seksual yang terhindar dari suatu potensi penularan risiko tertular maupun menularkan HIV/AIDS, atau perilaku seksual aman adalah segala perilaku seksual yang tidak memungkinkan terjadinya penularan/infeksi HIV/AIDS. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS, perubahan perilaku pada prinsipnya adalah perubahan dari perilaku yang berisiko terjadinya penularan menjadi perilaku yang aman (Depkes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Studi Sonenstien dalam Dahlia (2000) menyebutkan bahwa perilaku penularan HIV dimasukkan menjadi beberapa kategori. Kategori ini digambarkan berjenjang dari tidak berisiko sampai berisiko untuk penularan HIV, meliputi : a). tidak pernah melakukan hubungan seks; b). mempunyai pengalaman seksual tetapi tidak melakukan hubungan seks dalam 12 bulan terakhir, c). aktif melakukan hubungan seksual tetapi dilaporkan menggunakan kondom dalam 12 bulan terakhir, d). melakukan hubungan seksual sekurang-kurangnya sekali tanpa kondom. semakin besar apabila pasangan juga punya banyak pasangan.
Risiko
Hal ini berarti
hubungan seksual dengan WPS meningkatkan risiko seseorang terinfeksi HIV/AIDS.
2.3. Kondom 2.3.1 Sejarah Kondom Kondom adalah salah satu jenis alat kontrasepsi tertua. Alat yang berbahan dasar olahan karet ini pertama kali diperkenalkan sekitar 1000 tahun sebelum masehi oleh orang-orang mesir. Seorang bernama Gabrielle Fallopius melakukan percobaan pembuatan
kondom
pada
tahun
1500-an,
pria
berkebangsaan
Itali
ini
mengembangkan kondom yang terbuat dari bahan kain linen untuk mencegah penularan penyakit kelamin pada laki-laki. Menurut Charles Panati, dalam bukunya Sexy Origins and Intimate Things, sarung untuk melindungi penis telah dipakai sejak berabad silam. Sejarah menunjukkan orang-orang Roma, mungkin juga Mesir, menggunakan kulit tipis dari kandung kemih dan usus binatang sebagai "sarung". Kondom primitif itu dipakai
Universitas Sumatera Utara
bukan untuk mencegah kehamilan tapi menghindari penyakit kelamin. Untuk menekan kelahiran, sejak dulu pria selalu mengandalkan kaum perempuan untuk memilih bentuk kontrasepsi, sehingga menurut persepsi kaum laki-laki pada saat itu tidak berpengaruh dalam pencegahan kehamilan. Seiring perkembangan waktu pembuatan kondom mulai dikembangkan dan berubah bahan dari kain linen menjadi kondom yang terbuat dari usus domba. Hal ini terbukti dari penemuan sisa-sisa kondom di reruntuhan Dudle Castle, dekat Birmingham Inggris. Diperkirakan perkembangan kondom di Inggris dimulai pada tahun 1640-an, pada saat itu terjadi perang antar pengikut Oliver Cromwell dengan prajurit Raja Charles I, kerena peperangan tersebut berlangsung lama maka, melibatkan banyak PSK dan menimbulkan banyak terjadi penularan penyakit kelamin yang mengakibatkan melemahnya daya gempur pasukan. Untuk menanggulanginya tabib kerajaan membuatkan pelindung untuk melindungi alat kelamin para prajurit, yang disebut Kondom. Nama “kondom” berasal dari bahasa latin “Condon” yang berarti wadah.. Di tahun 1980-an penggunaan kondom meningkat karena persebaran virus baru HIV/AIDS.
Pada saat itu kondom dirasa dapat menjadi alat yang bisa
menanggulanginya. Sampai saat ini kondom telah banyak ber-evolusi, dengan berbagai macam rasa dan bentuk agar lebih nyaman digunakan dan lebih variatif dalam memberikan sensasi berhubungan seks, bahkan di era 1990-an sampai 2000-an telah diperkenalkan
Universitas Sumatera Utara
juga kondom untuk wanita atau lebih dikenal dengan Fimidom. Namun sampai detik ini masih banyak manusia yang tidak mau memakai alat pengaman yang memiliki sejarah panjang ini (Donit, 2011). 2.3.2 Jenis-Jenis Kondom (Dumasari, 2008) a. Kondom laki-laki Kondom merupakan sarung dari latex yang tipis, digunakan pada penis ketika melakukan hubungan seksual.
Kondom berguna untuk mengumpulkan semen
sebelum, selama dan sesudah masa ejakulasi dan menghalangi sperma masuk ke vagina. Penggunaan kondom yang benar dapat mengurangi risiko penularan penyakit seksual dan dapat juga digunakan sebagai alat kontrasepsi. Kondom yang terbuat dari latex, efektif memberikan perlindungan terhadap virus termasuk HIV. Kondom latex dibuat oleh pabrik mempunyai bentuk, tekstur, warna, ketebalan, lebar dan panjang yang berbeda. Beberapa kondom mempunyai permukaan yang lembut dan ada juga yang mempunyai tekstur. Kebanyakan dari kondom berwarna pudar yang buram, tetapi ada juga yang berwarna dan beberap kondom dibuat mempunyai bau wangi-wangian, rasa (strawberry, mint). Kondom latex dirancang mempunyai permeabilitas membran yang dapat menghambat lewatnya organisme dalam berbagai ukuran seperti spermatozoa dengan diameter 0,003 mm (3000 nm) dan juga pathogen penyebab penyakit seksual seperti N.gonorrhaeae (800 nm), C.trachomatis (200 nm), HIV (125 nm) dan hepatitis B (40
Universitas Sumatera Utara
nm). Menurut penelitian yag dilakukan oleh team FDA kondom dapat menurunkan risiko terpapar dengan HIV sebanyak 10.000 kali lipat.
Gambar 2.3 Kondom Latex untuk Laki-laki Sumber : http://primbondonit.blogspot.com Cara penggunaan : a) Selalu menggunakan kondom latex yag baru dan gunakan sebelum tanggal kadaluarsa b) Buka kemasan kondom dengan hati-hati dan jangan menggunakan gigi c) Pasang kondom setelah penis ereksi d) Pegang ujung kondom diantara 2 jari (menjepit ujungnya) agar ada tempat untuk mengumpulkan sperma dan hilangkan udara dari ujung kondom untuk menghindari kondom robek ketika digunakan.
Universitas Sumatera Utara
e) Pasang kondom dari ujung penis,, kemudian ditarik hingga ke pangkal penis dan ujungnya tetap dijepit. f) Setelah ejakulasi dan sebelum penis menjadi lembek, tarik keluar penis dengan hati-hati dan pegang bibir kondom agar sperma tidak tumpah. g) Setelah pemakaian, kondom dibungkus dan tidak boleh dibuang kedalam toilet. Keuntungan pemakaian kondom latex: a) Dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit seksual b) Harganya tidak mahal dan mudah didapat c) Kemasannya ringan dan hanya untuk satu kali pemakaian d) Tidak membutuhkan resep untuk membelinya (dijual bebas) e) Dapat memperpanjang ereksi pada laki-laki f) Dapat mengurangi ejakulasi dini Keadaan yang kurang menguntungkan dari pemakaian kondom latex : a) Dapat timbul alergi b) Hilangnya sensasi ketika berhubungan seksual c) Kondom dapat rusak/bocor b. Kondom wanita Terdiri dari bahan polyurethane berbentuk seperti sarung atau kantong dengan panjang 17 cm (6,5 inci).. Bahan ini kurang menyebabkan alergi dibandingkan dengan latex. Bahan tersebut juga kuat dan jarang robek (40% lebih kuat dari latex) tetapi tipis sehingga sensasi yang dirasakan bisa tetap dipertahankan. Kondom wanita
Universitas Sumatera Utara
ini dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit seksual termasuk HIV apabila digunakan dengan benar.
Gambar 2.4 Kondom Polyurethane untuk Wanita Sumber : http://primbondonit.blogspot.com Pada tiap ujung kondom terdapat cincin/lingkaran yang lentur. Ujung yang tertutup dengan cincin yang lentur, dimasukkan ke dalam vagina untuk membantu supaya kondom tersebut tetap pada tempatnya. Sedangkan pada ujung yang terbuka, cincin tetap pada `berada di sebelah luar vulva (pintu masuk kedalam vagina). Tersedianya kondom dengan bahan dasar silikon sebagai lubrikasi didalamnya, tetapi penambahan lubrikasi dapat juga dilakukan.
Kondom wanita tidak mengandung
spermecide. Penggunaan kondom wanita sebaiknya tidak bersamaan dengan kondom laki-laki karena pergesekan antara kedua kondom tersebut dapat menyebabkan kondom rusak.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan kondom ini telah digunakan di Eropa sejak tahun 1992 dan pada tahun 1993 disetujui pemakaiannya oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat. Cara penggunaan : a. Buka bungkusan kondom dengan hati-hati b. Pastikan lubrikasinya cukup c. Cincin yang tertutup berada di sebelah bawah dan ujung yang terbuka dipegang menggantung d. Pegang cincin bagian dalam dengan ibu jari dan jari tengah dan kemudian masukkan cincin bagian dalam beserta kantongnya ke dalam vagina e. Letak kondom harus tetap lurus dan tidak boleh berputar didalam vagina. f. Cincin bagain luar tetap berada di luar vagina g. Untuk mengeluarkan kondom, putar cincin bagian luar dengan hati-hati dan kemudian tarik kondom keluar dan sperma tetap berada didalam. h. Setelah pemakaian, dianjurkan kondom tersebut jangan digunakan lagi dan tidak boleh dibuang kedalam toilet Keadaan yang kurang menguntungkan dari pemakaian kondom latex : a. Lebih sulit memasangnya b. Kemungkinan dapat timbul bising ketika berhubungan seksual c. Dapat menyebabkan iritasi pada vagina ataupun penis
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Efektifitas Kondom Hasil workshop yang dilaksanakan di Virginia pada tahun 2000 tentang efektifitas kondom laki-laki yang terbuat dari bahan latex dalam mencegah penyakit seksual melaporkan bahwa responden yang menggunakan kondom diperkirakan insiden HIV/AIDS dari 12 penelitian adalah 0,9 seroconversion/100 orang/tahun, sedangkan responden yang tidak pernah menggunakan kondom diperkirakan insiden HIV/AIDS adalah 6,7 seroconversion/100 orang / tahun. Dari workshop tersebut juga disimpulkan bahwa penggunaan kondom dapat menurunkan penularan HIV/AIDS sebanyak 85% dibanding dengan yang tidak menggunakan (Dumasari, 2008). Efektifitas kondom juga dibuktikan di Thailand, dimana penggunaan kondom menjadi program nasional dan seiring dengan meningkatnya pemakaian kondom dari 14% pada awal 1989 menjadi lebih dari 90% pada Juni 1992, kasus IMS juga menurun menjadi kurang dari 15.000 kasus/tahun. Sejak tahun 2000 dari 400.000 kasus/tahun pada Juli 2004 di Pembukaan International AIDS Congress, Perdana Menteri Thailand bahkan mengakui bahwa program ini telah mencegah lebih dari 5 juta infeksi HIV. Pelaksanaan program 100% penggunaan kondom di Kamboja dimulai pada Oktober 1998 di Sihanoukville, sebuah distrik yang banyak pekerja seksnya. Kemudian menjadi program nasional pada tahun 2001. Program ini berhasil menurunkan prevalensi HIV dan IMS di kalangan pekerja seks dan klien. Program
Universitas Sumatera Utara
ini juga dilaksanakan di beberapa negara asia lainnya, seperti Filipina dan Vietnam. Negara Asia lain yang menjalankan program 100% penggunaan kondom adalah Myanmar pada awal tahun 2001 di kota Bago, Pyay, Kwathaung dan Tachileik, kemudian berkembang ke 152 kota lainnya pada awal 2006. Terdapat laporan penggunaan kondom pada pekerja seks meningkat dari 60,7% (2001) menjadi 91,0% (2002),
terdapat
penurunan
prevalensi
sifilis
dari
6%
menjadi
3%
(Rojanapithayakorn, 2008).
2.4. Landasan Teori Dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan landasan teori Health Belief Model (HBM). HBM adalah model psikologis yang mencoba untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan dengan berfokus pada sikap dan keyakinan individu. Model perubahan perilaku kesehatan dikembangkan oleh Irwin M. Rosenstock pada tahun 1966 untuk mempelajari dan mempromosikan serapan pelayanan kesehatan. Model ini lebih lanjut dkembangkan oleh Becker dan rekannya pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Perubahan terus dilakukan hingga akhir tahun 1988, untuk
mengakomodasi bukti tentang peran pengetahuan dan persepsi. Awalnya, model ini dirancang untuk memprediksi respon perilaku untuk pengobatan yang diterima oleh pasien sakit akut atau kronis, tetapi dalam beberapa tahun, model ini telah digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan yang lebih umum. HBM ini menunjukkan bahwa keyakinan seseorang pada ancaman pribadi bersama dengan keyakinan
Universitas Sumatera Utara
seseorang dalam berperilaku kesehatan akan memprediksi kemungkinan perilaku itu. Sejak itu, HBM telah disesuaikan dengan mengeksplorasi berbagai tindakan jangka panjang dan jangka pendek kesehatan perilaku, termasuk perilaku seksual berisiko dan penularan HIV/AIDS. Para peneliti menunjukkan bahwa seorang individu yang dianggap memiliki kemampuan untuk berhasil melaksanakan strategi pemeliharaan kesehatan, seperti menggunakan
kondom
secara
konsisten,
sangat
mempengaruhinya
dalam
memberikan keputusan untuk menetapkan dan mempertahankan perubahan perilaku. Komponen HBM : 1) Ancaman (Threat); persepsi terhadap ancaman suatu penyakit merupakan langkah awal dalam proses bertindak mengurangi ancaman tersebut. Persepsi terhadap ancaman merupakan gabungan 2 faktor, yaitu persepsi terhadap risiko tertular suatu penyakit (perceived susceptibility) dan persepsi terhadap keseriusan suatu penyakit baik secara medis maupun sosial (perceived severity) 2) Harapan; persepsi terhadap harapan ini dibagi atas 3 faktor yaitu Persepsi positif terhadap suatu tindakan pencegahan (perceived benefit), dalam hal ini adalah persepsi positif terhadap penggunaan kondom, persepsi negatif terhadap penggunaan kondom (perceived barriers) misalnya biaya yang mahal, efek samping, rasa sakit, ketidaknyamanan, dan lain-lain.
Faktor lainnya adalah
persepsi kemampuan diri dalam melakukan tindakan pencegahan tersebut dengan sukses.
Keyakinan individu terhadap kemampuannya dapat menentukan
Universitas Sumatera Utara
bagaimana mereka berperilaku, berpikir, dan bereaksi terhadap situasi yang tidak menyenangkan.
Penilaian diri terhadap kemampuan yang dimilikinya akan
menentukan rangkaian perilaku yang harus ditampilkan dan berapa lama harus menjalaninya, pola pikir dan reaksi emosional. 3) Cues to action Cues to action adalah tanda/sinyal yang menyebabkan seseorang untuk bergerak kearah perilaku pencegahan. Tanda tersebut berasal dari luar (kampanye di media massa, nasihat dari orang lain, kejadian pada kenalan/keluarga, artikel di majalah) 4) Variebel sosiodemografi, sosiopsikologi dan struktural Variabel sosiodemografi meliputi, status ekonomi, ras, umur, pendidikan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Variabel sosiopsikologi meliputi dorongan dari peer group atau reference group . sedangkan variabel struktural mencakup pengetahuan dan pengalaman seseorang yang menjadikan dia berperilaku sehat. Variabel sosiodemografi, sosiopsikologi dan struktural mempengaruhi persepsi individu maka secara tidak langsung mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health-related behavior).
Tingkat pendidikan diyakini
mempunyai dampak tidak langsung terhadap perilaku dengan mempengaruhi perceived susceptibility, perceived severity, perceived barriers dan perceived benefit to action.
Universitas Sumatera Utara
Latar Belakang Faktor Sosiodemografi • Umur • Pendidikan • Status pernikahan Faktor Sosiopsikologi • Dorongan dari peer group atau reference group Struktural • Pengetahuan • Pengalaman
Persepsi
Tindakan
Ancaman • Persepsi terhadap risiko tertular penyakit • Persepsi terhadap keseriusan suatu penyakit
Harapan • Persepsi positif terhadap suatu tindakan • Persepsi negatif terhadap suatu tindakan • Persepsi terhadap kemampuan sendiri untuk bertindak
Cues to Action • Media massa • Informasi dari orang lain
Perilaku untuk mengurangi ancaman berdasarkan harapan
Gambar 2.5 Bagan Komponen Health Belief Model (HBM) Sumber : Rosenstock dkk. (1994) dalam Preventing AIDS
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut : Variabel Independent
Variabel Dependent
Faktor Sosiodemografi 1. Umur 2. Pendidikan 3. Status Pernikahan Faktor Sosiopsikologi 4. Dorongan PSK
Tindakan Penggunaan Kondom
Faktor Struktural 5. Pengetahuan Persepsi mengenai HIV/AIDS 6. Persepsi berisiko tertular 7. Persepsi keseriusan 8. Persepsi positif 9. Persepsi negatif 10. Persepsi keyakinan diri
Gambar 2.6 Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara