BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Definisi HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV (Mansjoer, dkk, 2001). 2.1.2. Definisi AIDS AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu sindrom atau kumpulan tanda/gejala yang terjadi akibat penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan karena dibawa sejak lahir. “Acquired” berarti didapat dengan pengertian bukan diturunkan/penyakit keturunan. “Immuno” adalah kekebalan tubuh untuk mengantisipasi adanya serangan mikro organisme dari luar tubuh, “Deficiency” berarti penurunan dari keadaan normal, sedangkan “Syndrome” adalah serangkaian tanda atau gejala yang terjadi akibat suatu serangan penyakit (Depkes RI, 1997).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Etiologi dan Patogenesis Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan (Djoerban, 2001). Virus HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (Nursalam, 2007). Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi (Mansjoer, dkk, 2001). Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode) (Runggu, 2009). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100
Universitas Sumatera Utara
sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/Μl (Mansjoer, dkk, 2001). Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap (Djoerban, dkk, 2010). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis (Nursalam, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Epidemiologi HIV/AIDS 2.3.1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS a. Berdasarkan Orang Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap infeksi HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS diasumsikan bersifat umum, tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan, sehingga setiap orang mungkin untuk terserang HIV/AIDS. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2011), terdapat 29.879 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan proporsi sebesar 43,69% pada kelompok umur 20-29 tahun, 29,56% pada kelompok umur 30-39 tahun, 9,50% pada kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,9 9% pada kelompok umur 5059 tahun, 0,78% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,88% pada kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), dengan desain case series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin perempuan, 37,2% berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan SLTP 33,5%, SLTA 32,3%, SD 19,5%, tidak sekolah 12,2% dan berpendidikan Akademi/PT 2,4%. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2009), sejak 1992 hingga April 2009 terdapat 1.680 jumlah kumulatif HIV/AIDS, 1.339 kasus pada pria (79,70%) dan 341 kasus pada perempuan (20,30%), 921 kasus pada kelompok
Universitas Sumatera Utara
umur 20-29 tahun (54,82%) dan 523 kasus pada kelompok umur 30-39 tahun (31,13%), 121 kasus pada kelompok umur 40-49 tahun (7,20%), 46 kasus pada kelompok umur 10-19 tahun (2,74%), 41 kasus pada kelompok umur >50 tahun (2,44%), 8 kasus pada kelompok umur 1-4 tahun (0,47%), masing-masing 5 kasus pada kelompok umur 5-9 tahun dan <1 tahun (0,29%) (Dinkes Sumut, 2009). b. Berdasarkan Tempat Menurut data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2009, di kawasan Sub-Sahara Afrika terdapat 22,4 penderita HIV/AIDS, dengan prevalensi rate pada orang dewasa sebesar 5,2%. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara terdapat 3,8 juta ODHA dengan prevalensi rate pada orang dewasa sebesar 0,3%. Di Asia Timur terdapat 850.000 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kematian 59.000 kasus. Menurut Chin (2000), dari sekitar 33,4 juta penderita HIV/AIDS di dunia tahun 1999, 22,5 juta diantaranya terdapat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, dan 6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta terdapat di Amerika Latin dan 665.000 di AS. Berdasarkan data SEARO (2009), prevalensi HIV/AIDS lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei rumah tangga yang dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa prevalensi HIV/AIDS 40% lebih tinggi di perkotaan dibanding dengan daerah pedesaan. Pada tahun 2008, dari 96 kasus
Universitas Sumatera Utara
baru yang dilaporkan di Sri Lanka, 61% berasal dari Colombo yang merupakan ibukota Sri Lanka. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2011), tercatat 29.879 kumulatif kasus AIDS terjadi di 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Prevalensi kasus AIDS nasional adalah 12,45/100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua 157,02/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi terendah dilaporkan dari Provinsi Kalimantan Timur 0,39/100.000 penduduk, sementara Provinsi Riau berada pada urutan kesembilan dengan prevalensi 12,73/100.000 penduduk c. Berdasarkan Waktu AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu penyakit yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik). Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lambat, namun sejak tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kasus AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai 2.873 kasus mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya (Depkes RI, 2006). Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2010), trend kecenderungan jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 terdapat 2.639 kasus baru, tahun 2007 meningkat menjadi 2.873 kasus baru, tahun 2008 meningkat
Universitas Sumatera Utara
menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2009 meningkat menjadi 4.969 kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31 Desember 2010 secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus. 2.3.2. Determinan HIV/AIDS a. Faktor Host Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use), kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat menular ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Narapidana dan anak-anak jalanan, penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV (Depkes RI, 2006). Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2011), rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual sebesar 49,45%, pengguna narkoba suntikan atau IDU 31,43%, homobiseksual 2,70%, perinatal 2,44%, transfusi darah 0,17% dan tidak diketahui penularannya 3,14%. Risiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8% (Adisasmoto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua (Chin, 2000). Risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular HIV (Adisasmito, 2007). Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1% (Wikipedia, 2009). Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita HIV/AIDS, angka serokonversi mereka <0,5% (Chin, 2000). b. Faktor Agent Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut. Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh
Universitas Sumatera Utara
(Nursalam, 2007). AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal (Adisasmoto, 2007). c. Faktor Environment Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota: pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8 kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan. Penelitian Silverman, dkk (2006), di Mumbai pada 175 orang perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3% diantaranya berasal dari India, 29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh dan 12% tidak diketahui asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan seks yang positif HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra lebih mungkin terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal Barat dengan Odds Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan Maharashtra merupakan daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan korban perdagangan seks yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Transmisi HIV/AIDS Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana (Djoerban, 2010). Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV (Wikipedia, 2009). 2.4.1. Transmisi Seksual Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual anogenital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi perlukaan dengan
Universitas Sumatera Utara
tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV (Adisasmoto, 2007). 2.4.2. Transmisi Non Seksual HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV. Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza suntik (IDU) (Adisasmoto, 2007). Pada umumnya, ibukota dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna napza suntik yang besar (SEARO, 2009). Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan (Adisasmoto, 2007). Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV (Wikipedia, 2009). Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu (Adisasmoto, 2007). Di negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap
Universitas Sumatera Utara
darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan (Wikipedia, 2009). HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS (Nursalam, 2007).
2.5. Pencegahan HIV/AIDS 2.5.1. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Depkes RI, 2006): a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABCD” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah
penularan
HIV/AIDS
melalui
hubungan
seksual,
jika
tidak
memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom), Drug
Universitas Sumatera Utara
artinya tidak menjadi pengguna obat-obat terlarang ( NAPZA) terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak mengunakannya secara bersama-sama. b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar. c. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. d. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Pencegahan Sekunder Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut (Depkes, RI., 2006): a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin. b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalo
Virus,
Papovirus)
dan
bakteri
(Mycobacterium
Tuberculose,
Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dan lain-lain). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang
Universitas Sumatera Utara
dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV. 2.5.3. Pencegahan Tersier Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya (Nursalam, 2007): Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaannya. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup : pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),
Universitas Sumatera Utara
persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman. 2.6. Perilaku 2.6.1. Definisi Perilaku Menurut Kwick dalam Azwar (2007), perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Skiner dalam Azwar (2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu : Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang. 2.6.2. Model Perilaku Kesehatan Terdapat berbagai macam model utilisasi kesehatan yang digunakan untuk menggambarkan prilaku pemanfaatan pelayanan, model-model tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Model Andersen Menurut Andersen dalam Ilyas (2003), model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model prilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: Presdisposisi Karakter ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu memiliki kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda dilihat dari ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan. Kemampuan Karakteristik kemampuan merupakan suatu keadaan dan kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Berdasarkan sumbernya karakteristik kemampuan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat Kebutuhan Andersen menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari faktor kebutuhan, penilaian kebutuhan didapatkan dari 2 sumber yaitu penilaian ndividu dan penilaian klinik.
Universitas Sumatera Utara
2. Model Zshock Menurut Zshock dalam Ilyas (2003), menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu: Status kesehatan, pendapatan dan pendidikan Faktor konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) Kemampuan dan penerimaan pelayanan kesehatan Resiko sakit dan lingkungan 3. Model Andersen dan Anderson Menurut Andersen dan Anderson dalam Ilyas (2003), menggolongkan model utilisasi kesehatan kedalam tujuh kategori berdasarkan tipe dari variabel yang digunakan sebagai faktor yang menentukan utilisasi pelayanan kesehatan. Ketujuh faktor-faktor tersebut adalah : a. Model Demografi Pada model ini variabel yang digunakan berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan dan besarnya keluarga. Variabel tersebut digunakan sebagai indikator yang mempengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan. b. Model Struktur Sosial Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan dan etnis. Variabel-variabel tersebut mencerminkan status sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat dan dapat pula menggambarkan gaya hidup individu dan keluarga
Universitas Sumatera Utara
c. Model Sosial Psikologis Pada model ini variabel yang digunakan adalah, pengetahuan, sikap, dan keyakinan individu di dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Variabel tersebut mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dan bertindak di dalam menggunakan pelayanan kesehatan. d. Model Sumber Daya Keluarga Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendapatan keluarga dan cakupan mengenai pelayanan kesehatan. Variabel tersebut dapat mengukur kesanggupan dari setiap individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan. e. Model Sumber Daya Masyarakat Pada model ini variabel yang digunakan adalah pelayanan kesehatan dan sumbersumber di dalam masyarakat f. Model Organisasi Pada model ini variabel yang digunakan adalah pencerminan perbedaan bentukbentuk pelayanan kesehatan. Pada umumnya variabel yang biasa digunakan adalah: Gaya praktik pengobatan sendiri (sendiri, rekanan, kelompok) Sifat alamiah dari pelayanan tersebut (pembayaran secara langsung atau tidak) Lokasi dari pelayanan kesehatan (pribadi, rumah sakit atau klinik) Petugas kesehatan yang pertama kali dihubungi oleh pasien (dokter, perawat atau yang lainnya).
Universitas Sumatera Utara
4. Model Becker Menurut Becker dalam Azwar (2007), pada model ini digunakan model kepercayaan yang menjadi sebuah bentuk dari model sosiopsikologis yang menganggap bahwa prilaku kesehatan merupakan fungsi pengetahuan maupun sikap infdividu. Selain itu model kepercayaan kesehatan ini juga merupakan salah satu pengembangan dari teori lapangan dari Lewin dalam Azwar (2007), dimana dalam konsep teori lapangan dijelaskan bahwa setiap individu dalam kehidupannya akan berada pada daerah antara daerah positif dan daerah negatif Dalam model Becker ada 4 variabel kunci yang mempengaruhi prilaku seseorang dalam bertindak untuk mencegah atau mengobati suatu penyakit, yaitu : a. Kerentanan yang dirasa Tindakan individu dalam mencari pengobatan atau melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit b. Keseriusan yang dirasakan Tindakan individu dalam mencari pengobatan dan pencegahan penyakit yang didorong oelh keseriusan penyakit itu sendiri c. Manfaat dan rintangan yang dirasakan Tindakan yang dilakukan akibat kerentanan dari suatu penyakit tergantung dari manfaat yang dirasakan d. Isyarat atau tanda-tanda
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan kegawatan dan keuntungan diperlukan isyarat berupa faktor-faktor dari luar yang berupa pesanpesan media massa, nasihat dari teman atau anggota keluarga yang pernah mengalaminya 5. Model Green Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: a. Faktor Predisposisi Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi b. Faktor Pemungkin (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat c. Faktor Penguat Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang, peraturanperaturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Ada beberapa model perilaku kesehatan yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah perilaku terbentuk, diantaranya yaitu teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock. Teori ini berpendapat bahwa persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya.
Universitas Sumatera Utara
Teori HBM oleh Rosenstock dalam Damayanti (2004), menyatakan ada 4 (empat) elemen yang mendasari persepsi seseorang, yaitu: Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan finansial, fisik, dan psikososial Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan. Selanjutnya, teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan faktorfaktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu (Smet, 1994; Damayanti, 2004): Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya. Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Persepsi Individu
Faktor perubahan
Tindakan
Umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian, sosial ekonomi, pengetahuan
Menerima tindakan
Merasa terancam penyakit tertentu
Perubahan perilaku
Merasa rentan terhadap penyakit tertentu
− − −
Petunjuk aksi: Pendidikan Gejala Media Informasi
Gambar 2.1 Gambar Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sumber: Glanz et, al, 2002.
2.6.3. Domain Perilaku Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari: pengetahuan, sikap dan tindakan. 1. Pola Pengetahuan dan Perilaku terhadap Risiko HIV/AIDS Gielen dan McDonald (1996), mengungkapkan bahwa secara umum perilaku seseorang dilandasi oleh latar belakang yang dimilikinya, termasuk pengetahuan mengenai HIV/AIDS. Seseorang yang berpengetahuan HIV/AIDS lebih baik diharapkan mempunyai tingkat pemahaman dan kesadaran tentang HIV/AIDS yang
Universitas Sumatera Utara
lebih baik, dan akhirnya diharapkan mempunyai perilaku seksual yang aman yang terhindar dari infeksi HIV. Sementara itu, Cognitive Dissonance Theori dari Festinger (1997) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan perilakunya. Menurut teori tersebut seseorang dapat mempunyai kesejajaran dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku. Namun demikian, bisa juga seseorang yang mempunyai pengetahuan dan sikap positif tetapi negatif di dalam perilakunya. Paling tidak ada 4 (empat) cara yang kerap dianjurkan oleh para penyuluh kesehatan bagi kelompok berisiko dalam berperilaku seks, yaitu tidak berhubungan seks (abstinence), berhubungan seks hanya dengan satu pasangan setia (be faithful), bila tetap ingin membeli seks sebaiknya menggunakan kondom dan tidak menggunakan narkoba suntik secara bersama. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 menyebutkan bahwa 59% wanita pernah kawin dan 73% pria kawin mengatakan bahwa mereka pernah mendengar tentang AIDS. Namun demikian, pengetahuan tentang cara terpenting untuk menghindari infeksi HIV masih sangat terbatas, hanya 5% wanita dan 13% pria yang menyebutkan tentang memakai kondom, 14% wanita dan 18% pria mengatakan tentang membatasi seks pada satu pasangan dan saling setia. Pengetahuan yang benar mengenai cara penularan HIV/AIDS dapat menjadi pedoman untuk melakukan tindak pencegahan agar tidak tertular virus tersebut. Tetapi hasil SSP 2004-2005 juga menyebutkan masih banyak responden yang mempunyai pengetahuan yang salah tentang HIV/AIDS, misalnya adalah anggapan bahwa minum
Universitas Sumatera Utara
obat dapat mencegah HIV. Pada kelompok wanita pekerja seks, angkanya mencapai 42%, sedangkan pada kelompok pelaut/ABK, sopir/kernet truk yang punya anggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV rata-rata di atas 30%. Besarnya proporsi laki-laki sebagai pelanggan penjaja seks digambarkan dalam report yang diterbitkan oleh AusAID (2006) berjudul “Impact of HIV/AIDS 20052025”, bahwa pemerintah Indonesia mengestimasi jumlah laki-laki pelanggan seks di Indonesia mencapai 7 sampai dengan 10 juta orang. Sedangkan menurut Utomo dan Dharmaputra (2001) bahwa separuh dari laki-laki di Indonesia mengunjungi pekerja seks setiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi jalur yang sangat potensial untuk menyebarkan HIV/AIDS melalui pelanggan penjaja seks. Hasil SSP (survei surveilance perilaku) 2004-2005 pada kelompok pria menunjukkan bahwa sopir/kernet truk yang membeli seks dalam setahun terakhir meningkat dari 40% pada tahun 2002/2003 menjadi 59% pada tahun 2004/2005. sedangkan pelaut/ABK yang membeli seks juga meningkat dari 48% menjadi 55%, dan tukang ojek meningkat dari 28% menjadi 31% pada kurun waktu yang sama. Sementara itu perilaku selalu menggunakan kondom, hanya berkisar antara 3-11%. Disamping itu, penyakit menular seksual seperti syphilis dan gonorhoe bila dikombinasikan dengan seringnya melakukan seks yang tidak aman dengan laki-laki yang sering mobile akan menambah kerentanan penjaja seks untuk terinfeksi HIV. Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004), menunjukkan sekitar 42% pekerja seks di tujuh kota di Indonesia telah terinfeksi gonorrhoea. Sementara itu,
Universitas Sumatera Utara
prevalensi HIV diantara pekerja seks di sorong mencapai 17%. Peningkatan kasus penularan HIV di kalangan berisiko ini menjadi salah satu indikator potensi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan. Sehingga meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit ini melalui pendidikan dan advokasi masyarakat menjadi hal yang utama. Tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran epidemik lebih luas lagi. Karena jika tidak, maka stigma, diskriminasi dan ketidaktahuan akan tetap menjadi kendala bagi upaya penanggulangan HIV/AIDS. Perilaku minum alkohol juga merupakan perilaku antara untuk seseorang tertular HIV. Dalam keadaan mabuk, maka orang akan lupa untuk menggunakan kondom pada kegiatan seks komersial. Di Afrika Selatan, perilaku minum alcohol dan aktifitas seks yang tidak aman bahkan sudah menjadi masalah pada kelompok anakanak yang masih sangat muda. Visser (1995), melakukan penelitian di sekolah pendidikan dasar di Pretoria, Afrika Selatan, dan respondennya adalah murid kelas 6 dan 7. hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 27% dari anak-anak yang rata-rata usianya 12-14 tahun ini, sudah mengkonsumsi alkohol. Sebesar 14% dari anak-anak ini pernah minum alkohol hingga mabuk dalam 30 hari terakhir. Sebagian besar alas an anak-anak ini minum alkohol adalah untuk melupakan masalah mereka (23%), dan karena mereka minum alkohol untuk bersenang-senang (21%). Selain alkohol, ternyata sekitar 7% dari anak-anak ini juga pernah menghisap ganja, dan sekitar 24% dari pelajar ini sudah aktif secara seksual, padahal sebagian besar anak-anak ini tidak mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS dan cara penularannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Sikap terhadap Risiko HIV/AIDS Pengetahuan dan sikap melalui berbagai cara dapat mempengaruhi perilaku individu, termasuk perilaku seksual. Dalam konteks pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, maka sangat penting untuk mengetahui secara jelas tentang penyakit tersebut dan cara-cara pencegahannya. Informasi tentang pengetahuan seks yang diperoleh dari suatu kelompok dapat menentukan perilaku seksual dan dapat digunakan sebagai acuan untuk mengubah perilaku seksual kelompok tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Mariyah (1992) terhadap perilaku seksual buruh bangunan migran di Denpasar menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi responden untuk mencari pekerja seks diantaranya yaitu karena pengaruh teman dan mengendornya norma-norma yang diyakini. Selain itu, keyakinan yang kuat dapat mencegah terjadinya perilaku seksual berisiko (menggunakan jasa pekerja seks dan berganti-ganti pasangan). Penelitian yang dilakukan oleh Godin dkk. (2005) dan Stulhofer dkk. (2007) juga menyatakan bahwa sikap dan norma sosial dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang terhadap HIV-AIDS (penggunaan kondom). Di sisi lain, hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 menemukan banyak kelompok yang berisiko sadar bahwa perilaku seksual mereka rentan terhadap penularan HIV. Namun pada mereka yang merasa berisiko tertular HIV ini persentase perilaku seksual yang tidak aman justru lebih besar, yaitu tidak pakai kondom ketika berhubungan seks komersil, dibanding mereka yang merasa tidak berisiko. Dari responden yang pernah berhubungan seks komersil tanpa menggunakan kondom,
Universitas Sumatera Utara
69% supir/kernet truk dan 65% pelaut/ABK merasa mereka berisiko tertular HIV (Puslitkes UI, 2003). 3. Tindakan atau Praktik Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : a) praktik terpimpin (guided response), apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan; b) praktik secara mekanisme (mechanism), apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis; dan c) adopsi (adaption) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Sebuah penelitian yang dilakukan Sasongko (2000) di Jakarta tentang efek perlindungan kondom dalam pencegahan infeksi HIV/AIDS telah dilakukan dengan mengikuti 245 pasangan heteroseksual dimana salah satu dantara pasangan tersebut mengidap HIV. Studi tersebut memperlihatkan bahwa kondom digunakan secara konsisten dalam setiap hubungan seks dan tidak ditemukan adanya penularan HIV kepada pasangannya. Sedangkan pada 121 pasangan heteroseksual lainnya yang tidak
Universitas Sumatera Utara
menggunakan kondom secara konsisten mempunyai daya perlindungan efektif terhadap terjadinya penularan HIV. 2.7. Landasan Teori Teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock mengatakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu (Smet, 1994; Damayanti, 2004): Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya. Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel, surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dan sebagainya.
2.8. Kerangka Konsep Penelitian
Sosiodemografi: 1. Umur 2. Pendidikan 3. Lama bekerja Upaya Pencegahan HIV/AIDS 1. Pengetahuan 2. Sikap Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara