BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
2.1.1
Definisi HIV Russel mendefinisikan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus
yang secara progresif merusak
sel-sel darah putih yang disebut Limfosit (sel T
CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh karena sistem kekebalan tubuh karena sistem kekebalannya rusak. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi. Meskipun kedokteran telah dapat memperlambat laju perkembangan virus ini, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. Saat ini yang ada hanyalah menolong penderita untuk mempertahankan tingkat kesehatan tubuhnya (Keliat, 2014). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka telah dapat menulari orang lain. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem
11 Universitas Sumatera Utara
12
kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan terapi yang diberikan (Permenkes No. 51/2013). 2.1.2
Tanda dan Gejala HIV Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik)
untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik (Permenkes No. 51/2013). Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) (Noviana, 2013): 1. Gejala Mayor a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan. b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan. c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
Universitas Sumatera Utara
13
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis. e. Demensia/HIV ensefalopati. 2. Gejala Minor a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan. b. Dermatitis generalisata. c. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang. d. Herpes simpleks kronis progresif. e. Limfadenopati generalisata. f. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita. g. Retinitis virus sitomegalo. h. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan. 2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk (Permenkes No. 51/2013).
Universitas Sumatera Utara
14
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium (MAC) (Permenkes No. 51/2013). Waktu antara HIV masuk ke dalam tubuh sampai gejala pertama AIDS disebut juga masa inkubasi HIV adalah bervariasi antara setengah tahun sampai lebih dari tujuh tahun. HIV (antigen) hanya dapat dideteksi dalam waktu singkat kira-kira setengah bulan sampai dengan 2,5 bulan sesudah HIV masuk tubuh. Untuk membantu menegakkan diagnosis pemeriksaan mencari KOV tidak dianjurkan karena mahal, memakan waktu lama dan hanya dapat ditemukan dalam waktu terbatas. Tubuh memerlukan waktu untuk dapat menghasilkan antibodi. Waktu ini rata-rata 2 bulan, ini berarti bahwa seseorang dengan infeksi HIV dalam 2 bulan pertama diagnosisnya belum dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium berdasarkan penentuan antibodi. Lama waktu 2 bulan ini disebut Window Period (Noviana, 2013). 2.1.4 Penularan HIV Menurut Permenkes No. 51/2013 bahwa Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui: 1. Hubungan seksual Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
Universitas Sumatera Utara
15
sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital. 2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan. 3. Penularan dari ibu ke anak Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Universitas Sumatera Utara
16
Virus HIV hanya dapat ditemukan dalam cairan tubuh yaitu dalam darah termasuk darah haid dan darah plasenta pada wanita, air mani/cairan lain yang keluar dari alat kelamin laki-laki kecuali air seni dan cairan vagina. HIV dapat ditularkan melalui (Pinem, 2009): 1. Hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan heteroseksual). Diperkirakan sekitar 95% penularan terjadi melalui hubungan
seksual, baik
melalui vagina, anal maupun oral. 2. Parentral a. Transfusi darah yang tercemar HIV b. Penularan melalui jarum suntik atau alat kedokteran yang tidak steril. c. Penularan melalui alat-alat tusuk lainnya. d. Transplantasi organ tubuh. 3. Penularan perinatal Penularan perinatal adalah penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dilahirkannya yang dapat terjadi selama kehamilan berkisar sekitar 5-10%, pada saat persalinan sekitar 10-20% dan pada masa nifas (saat menyusui) sekitar 10-20%. Bila ibunya mengidap HIV, dan ibu telah menunjukkan gejala AIDS, kemungkinan bayi yang dilahirkan tertular HIV menjadi 50%. 2.1.5
Faktor yang Berperan dalam Penularan HIV dari Ibu ke Anak Berdasarkan Permenkes No. 51/2013 ada tiga faktor utama yang berpengaruh
pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
Universitas Sumatera Utara
17
1. Faktor Ibu a. Jumlah virus (viral load) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. b. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar. c. Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. d. Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. e. Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.
Universitas Sumatera Utara
18
2. Faktor Bayi a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. b. Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar. c. Adanya luka di mulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI. 3. Faktor obstetrik Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah: a. Jenis persalinan Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (sectio caesaria). b. Lama persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu ya ng tidak mendapatkan penganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui. 2.1.6
Pencegahan HIV
1. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam hal merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Kemenkes RI, 2012): a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC” yaitu Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan penyakit menular seksual HIV melalui hubungan seksual. Jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka
Universitas Sumatera Utara
20
pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom). Pencegahan ini menggunakan konsep ABCDE yakni: 1) A (Abstinence) yakni tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah. 2) B ( Be faithful) yakni bersikap setia kepada satu pasangan seksual. 3) C (Condom) yakni menggunakan kondom pada saat hubungan seksual. 4) D (Drug no) yakni tidak menggunakan narkoba. 5) E (Equipment) yakni menggunakan peralatan yang bersih, steril, sekali pakai, dan tidak bergantian. b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak menggunakannya secara bersama-sama. c. Sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar. d.
Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu.
Universitas Sumatera Utara
21
e.
WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV dan AIDS. Apabila sudah terinfeksi HIV dan AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan. Bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
2. Pencegahan Sekunder Infeksi HIV menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif, sehingga pengobatan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut (Kemenkes RI, 2012): a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin. b. Pengobatan infeksi oportunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV dan AIDS. Penanganan terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus menerus. c. Pengobatan antiretroviral (ARV) yang bekerja langsung menghambat kinerja enzim protease yang terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan
Universitas Sumatera Utara
22
morbiditas dan mortalitas dini. Tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV dan AIDS ataupun membunuh HIV. 3. Pencegahan Tersier Orang yang didiagnosa HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Untuk mencegah semakin meningkatnya angka kejadian Penyakit Menular Seksual HIV dan AIDS, maka perlu dilakukan beberapa pencegahan, yaitu (Kemenkes RI, 2012): a. Memutuskan rantai penularan infeksi PMS. b. Mencegah berkembangnya PMS serta komplikasinya. c. Tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. d. Menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Ada beberapa program yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan telah diterapkan di beberapa negara untuk dilaksanakan secara bersama-sama, yaitu (Mawar, 2009): a. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda. b. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran (peer group education). c. Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik. d. Paket pencegahan komprehensif untuk pecandu narkotika. e. Program pendidikan agama.
Universitas Sumatera Utara
23
f. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat. g. Pelatihan ketrampilan hidup. h. Program pengadaan tempat-tempat untuk test HIV dan konseling. i. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak. j. Program pencegahan dengan pengobatan, perawatan dan dukungan untuk ODHA. k. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat AZT.
2.2 Program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak) Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) adalah upaya yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara komprehensif dan terintegrasi
dengan
program-program
yang berkaitan
dengan
pengendalian
HIV/AIDS. Program ini bertujuan untuk mecegah penularan HIV dari ibu ke bayi, karena seorang ibu yang mengidap HIV dapat menularkan HIV kepada bayi selama proses kehamilan, persalinan, maupun menyusui.7,27,31 Infeksi HIV pada bayi sebagian besar diakibatkan anak tertular dari ibunya. Selain itu, PPIA juga bertujuan untuk mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi. Infeksi HIV yang menjadi epidemi dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas dan peningkatan beban biaya hidup akibat morbiditas dan mortalitas dari ibu dan bayi (Kemenkes, 2013). Upaya untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak dilakukan secara komprehensif melalui 4 komponen/prong yakni (Kemenkes, 2013):
Universitas Sumatera Utara
24
1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif. 2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV. 3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya. 4. Pemberian dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya. Prong pertama bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Sehingga perempuan muda tidak akan terkena infeksi HIV dan ketika hamil tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Prong kedua dilakukan dengan melakukan perencanaan kehamilan. Perencaan tersebut mencakup aspek medis dan sosial. Pada aspek medis, perlu dipertimbangkan viral load dan kadar CD4 pada ibu. Pada aspek sosial, pasangan harus sudah memahami resiko dan konsekuensi dari kehamilan, persalinan, dan pengasuhan anak. Selain itu, diperlukan pula persetujuan dari keluarga untuk menghindari penelataran anak dimasa mendatang (Kemenkes, 2013). Prong ketiga dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti layanan ANC yang terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, diagnosis HIV, pemberian terapi antiretroviral, persalinan yang aman, tatalaksana pemberian makanan bagi anak, pemberian profilaksis antiretroviral pada anak, dan pemeriksaan diagnostik HIV pada anak. Sedangkan untuk prong keempat, dapat dilakukan dengan memberikan dukungan medis keperawatan pada ibu, bayi, dan keluarga untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat. Selain itu, dilakukan pula dukungan psikososial pada ibu dan
Universitas Sumatera Utara
25
keluarga. Hal ini penting karena masih terdapatnya stigma dan diskriminasi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes, 2013). 2.2.1
Tantangan dan Hambatan Dalam melaksanakan program PPIA terdapat berbagai tantangan dan
hambatan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program. Beberapa hambatan (kelemahan) diantaranya yaitu (Kemenkes, 2013): 1. Program PPIA belum mendapat perhatian cukup dari para pemangku kepentingan, 2. Belum tersosialisasinya kebijakan nasional PPIA dan pedoman pelaksanaannya 3. PPIA belum dilaksanakan secara komprehensif (prong 1, 2, 3 dan 4); dan belum terintegrasi sepenuhnya kedalam kegiatan rutin KIA 4. Masih terbatasnya Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyediakan pelayanan PPIA termasuk ketersediaan bahan pendukung 5. Tenaga kesehatan masih belum memadai 6. Stigma dan diskriminasi Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV & AIDS. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia hingga kini masih merasakan adanya stigma dan dikriminasi. 2.2.2
Kebijakan Pelayanan PPIA Kebijakan pelayanan PPIA Tahun 2013-2017 adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berancana (KB) dan
Universitas Sumatera Utara
26
Konseling Remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara bertahap dan melibatkan peran swasta, LSM dan komunitas. 2. PPIA dalam pelayanan KIA merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS. 3. Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja harus mendapatkan informasi mengenai PPIA. 4. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan. 5. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB. Pemeriksaan dilakukan secara inklusif dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan. 6. Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu/berwenang memberikan pelayanan PPIA, dapat dilakukan dengan cara: a. Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai b. Pelimpahan wewenang (task shifting) kepada tenaga kesehatan lain yang terlatih. Penetapan daerah yang memerlukan task shifting petugas, diputuskan oleh kepala dinas kesehatan setempat 7. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat ARV dan mendapatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut (PDP)
Universitas Sumatera Utara
27
8. Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik (obat dan tes HIV) berkoordinasi dengan Ditjen PP&PL Kemenkes. 9. Pelaksanaan
Persalinan,
baik
pervaginam
atau
per
abdominan
harus
memperhatikan indikasi obstetrik ibu dan bayinya serta harus menerapkan kewaspadaan standar. Sesuai dengan kebijakan program bahwa makanan terbaik untuk bayi adalah pemberian ASI secara eksklusif 0-6 bulan. Untuk itu maka Ibu dengan HIV perlu mendapat konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal pertama sesuai dengan pedoman. Namun apabila ibu memilih lain (susu formula), maka ibu, pasangannya dan keluarga perlu mendapat konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan teknis. 2.2.3
Strategi PPIA
1. PPIA dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan ekspansi bertahap. 2. Semua fasilitas pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan PPIA. 3. Perlu adanya jejaring pelayanan PPIA sebagai bagian dari Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB). 4. Melibatkan peran swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun komunitas secara keseluruhan. 5. Daerah menetapkan wilayah yang memerlukan task shifting. 6. Ketersediaan logistik (obat dan pemeriksaan task shifting). 2.2.4
Target dan Sasaran Sampai dengan saat ini, layanan PPIA di Indonesia tersedia di 31 provinsi
dengan jumlah fasilitan pelayanan kesehatan PPIA sebanyak 92 RS dan 13 Puskemas.
Universitas Sumatera Utara
28
Selain itu, masih terdapat beberapa layanan swasta dan atau NGO yang memberikan layanan untuk masyarakat disekitarnya. Semua puskesmas memberikan Pelayanan PPIA komprehensif sesuai dengan ketersediaan sarana dan prasarana di puskesmas masing masing. Pengembangan ke seluruh puskesmas akan dilaksanakan secara bertahap. Prong 1 dan 2 dikembangkan ke seluruh puskesmas, sedangkan prong-3 dan 4 dikembangkan di puskesmas dengan sarana dan prasarana khusus, dilengkapi dengan jejaring ke semua puskesmas dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Pengembangan dilakukan bertahap dengan prioritas pada daerah epidemi HIV meluas, sedangkan untuk daerah epidemi HIV terkonsentrasi, minimal 5 Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota mampu melaksanakan pelayanan rujukan PPIA. Pengembangan PPIA akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan rencana pengembangan LKB. Pada fase awal pengembangan PPIA dan LKB, akan dilakukan sesuai dengan rencana pengembangan yang sudah ada. Pada akhirnya nanti, seluruh PPIA akan menjadi bagian integral dari LKB.
2.3 Peran Petugas Kesehatan dalam Layanan Tes HIV Layanan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK) merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan sehingga semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL–lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Pelaksanaan tes
Universitas Sumatera Utara
29
HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan. Terkait dengan PPIA layanan konseling atas inistiatif petugas ini dilakukan dalam pemeriksaan Ante Natal Care (ANC), dengan kegiatan: 1. Informasi pra tes (termasuk penawaran tes) dan tes HIV bagi ibu hamil Kegiatan ini dilakukan sebelum tes bagi ibu hamil yang belum mengetahui status HIV-nya. Kegiatan ini dilakukan pada saat pemeriksaan ANC pertama sampai menjelang persalinan. Melalui informasi diharapkan ibu hamil dapat memahami manfaat tes bagi dirinya serta janin yang dikandungnya dan mengurangi kecemasannya sehingga ibu dapat memutuskan apakah akan melakukan tes atau tidak. Pendekatan yang dilakukan dalam TIPK adalah pendekatan Option Out. 2. Konseling dan Tes HIV bagi pasangannya Secara ideal konseling dan tes HIV juga dilakukan kepada pasangan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan. 3. Konseling pasca testing Setelah menerima hasil tes, baik bagi ibu hamil dan pasangannya yang mendapatkan hasil positif maupun negatif harus mendapatkan konseling pasca testing. Penanggungjawab kegiatan: Direktorat Kesehatan Ibu dan Subdit AIDS. Peran petugas kesehatan dapat dibagi atas (Baziad dan Prawirohardjo, 2003): 1. Peran Petugas Kesehatan sebagai Motivator Motivator menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2008) adalah orang (perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu; pendorong; penggerak.
Universitas Sumatera Utara
30
2. Peran Petugas Kesehatan sebagai Edukator Peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh bagi ibu hamil dalam menjalani tes HIV. Peran seperti memberikan penyuluhan atau pembagian brosur-brosur atau selebaran mengenai apa manfaat tes HIV dan apa akibat bila ternyata ibu hamil mengidap HIV terutama bagi janin yang dikandungnya akan sangat berperan bagi ibu hamil Besarnya peran petugas kesehatan akan sangat membantu ibu dalam mewujudkan kemauannya menjalani tes HIV. 3. Peran Petugas Kesehatan Sebagai Fasilitator Peran lain petugas kesehatan adalah memfasilitasi (sebagai orang yang menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan ibu saat menjalani tes HIV. Petugas kesehatan harus membuka layanan konsultasi di fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau menyediakan sarana informasi seperti poster, brosur ataupun selebaran yang berguna bagi ibu hamil dalam memberikan pengetahuan mengenai HIV dan tes HIV. Jika hal ini sudah dipenuhi, maka kemauan ibu hamil menjalani tes HIV akan terwujud.
2.4
Perilaku Kesehatan
2.4.1
Definisi Perilaku Kesehatan Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati
bahkan dapat dipelajari. Skinner dalam Azwar (2010), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respon sangat tergantung
Universitas Sumatera Utara
31
pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Menurut Green (2005), perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang memiliki unsur-unsur perilaku dengan sakit dan penyakit, perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour), perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour), perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, perilaku terhadap makanan, dan minuman, serta perilaku terhadap lingkungan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perilaku terhadap sakit dan penyakit Perilaku terhadap sakit dan penyakit merupakan respons internal dan eksternal seseorang dalam menanggapi rasa sakit dan penyakit, baik dalam bentuk respon tertutup (sikap, pengetahuan) maupun dalam bentuk respons terbuka (tindakan nyata).
Universitas Sumatera Utara
32
2. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour) Perilaku seseorang untuk memelihara dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap masalah kesehatan. 3. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour) Segala tindakan yang dilakukan seseorang agar dirinya terhindar dari penyakit, misalnya imunisasi pada balita, melakukan 3M dll. 4. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour) Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan/atau kecelakaan, mulai dari mengobati sendiri (self-treatment) sampai mencari bantuan ahli. 5. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behaviour) Pada proses ini, diusahakan agar sakit atau cacat yang diderita tidak menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental dan sosial. 6. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan Perilaku ini merupakan respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern dan atau tradisional. 7. Perilaku terhadap makanan Perilaku ini meliputi pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (gizi, vitamin) dan pengolahan makanan.
Universitas Sumatera Utara
33
8. Perilaku terhadap kesehatan lingkungan Perilaku ini merupakan upaya seseorang merespons lingkungan sebagai determinan agar tidak memengaruhi kesehatannya. 2.4.2
Model Perilaku Kesehatan Terdapat berbagai macam model perilaku kesehatan yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku pemanfaatan pelayanan, model-model tersebut adalah (Ilyas, 2012): 1. Model Andersen dan Anderson Model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: predisposisi, kemampuan, dan kebutuhan. 2. Model Demografi Pada model ini variabel yang digunakan berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan dan besarnya keluarga. Variabel tersebut digunakan sebagai indikator yang memengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan. 3. Model Struktur Sosial Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan dan etnis. Variabel-variabel tersebut mencerminkan status sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat dan dapat pula menggambarkan gaya hidup individu dan keluarga. 4. Model Sosial Psikologis Pada model ini variabel yang digunakan adalah pengetahuan, sikap dan keyakinan individu
dalam
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan.
Variabel
tersebut
Universitas Sumatera Utara
34
memengaruhi individu untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam menggunakan pelayanan kesehatan. 5. Model Sumber Daya Keluarga Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendapatan keluarga dan cakupan mengenai pelayanan kesehatan. Variabel tersebut dapat mengukur kesanggupan dari setiap individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan. 6. Model Sumber Daya Masyarakat Pada model ini variabel yang digunakan adalah pelayanan kesehatan dan sumbersumber di dalam masyarakat. 7. Model Organisasi Pada model ini variabel yang digunakan adalah pencerminan perbedaan bentukbentuk pelayanan kesehatan. 8. Teori Health Believe Model (HBM) Model perilaku kesehatan Health Believe Model (HBM) dari Becker & Rosenstock didasarkan pada empat elemen persespsi yaitu: i) Perceived suscepilbility: penilalan individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit; ii) Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut; iii) Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan fmansial, fisik, dan psikososial; dan iv) Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.
Universitas Sumatera Utara
35
Menurut Azwar (2010), model hubungan perilaku ada yang menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Dalam teori perilaku terencana keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu pada norma-norma subjektif dan pada kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intense yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Dalam penelitian ini, konsep kemauan ibu hamil untuk mengikuti test HIV yang merupakan salah satu wujud perilaku kesehatan, sehingga bisa digunakan teori Green (2005), bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi, pemungkin dan penguat. 1. Faktor Predisposisi Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial/ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
36
2. Faktor Pemungkin Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. 3. Faktor Penguat Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan baik dan pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.5
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemauan Ibu untuk Tes HIV Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kemauan ibu untuk tes HIV antara
lain: 1. Umur Demissie, et al. (2009) mengatakan bahwa perilaku ibu hamil untuk mengikuti tes HIV tidak hanya berhubungan dengan umur, namun berhubungan dengan pekerjaan, pengetahuan,
persepsi risiko, persepsi manfaat dan keterlibatan
suami. 2. Pendidikan Wanita yang berpendidikan akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan perubahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang proposional karena manfaat pelayanan kesehatan akan mereka sadari sepenuhnya (Anindita, 2012). Notoatmodjo mangatakan bahwa pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi (Notoatmodjo, 2010). Paoli, et al
Universitas Sumatera Utara
37
(2004) mengatakan bahwa perilaku ibu hamil untuk mengikuti tes HIV tidak hanya berhubungan dengan pendidikan, namun berhubungan dengan persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi halangan, petunjuk berperilaku dan keterlibatan suami. 3. Pengetahuan Hasil penelitian Asmauryanah (2014) menunjukkan ada hubungan pengetahuan, sikap, peran suami dan peran petugas kesehatan dengan upaya ibu hamil dalam pencegahan penularan HIV ke bayi. Demissie, et al (2009) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan perilaku untuk tes HIV. Teori Green (2005) bahwa pengetahuan merupakan antesenden dari perilaku yang menyediakan alasan utama atau motivasi untuk berperilaku tersebut. Sehingga apabila ibu hamil memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV&AIDS dan VCT maka akan memotivasi ibu untuk melakukan tes HIV. 4. Dukungan Suami Ditekemena (2010) menyatakan bahwa salah satu faktor ibu hamil dalam upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah peran suami. Keterlibatan suami dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dalam mengendalikan infeksi HIV ke bayi sangat menguntungkan karena pengambilan keputusan ibu didiskusikan bersama suami. Penelitian Paoli (2004) dan penelitian Demissie, et al (2009) menunjukkan bahwa keterlibatan/dukungan suami berhubungan dengan perilaku untuk tes, karena suami merupakan pengambil keputusan. Partisipasi suami akan mendukung ibu hamil untuk datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta membantu ibu
Universitas Sumatera Utara
38
hamil pada saat-saat penting, seperti menentukan apakah ingin menjalani tes HIV, mengambil hasil tes, menggunakan obat ARV, ataupun memilih makanan bayi agar tidak tertular HIV. Teori Green mengatakan bahwa faktor penguat adalah faktor-faktor yang akan datang dari perilaku yang memberikan penghargaan (reward) atau perangsang untuk perilaku tersebut dan menyumbang kelangsungan dan pengulangan perilaku tersebut, di antaranya adalah dukungan suami (Green,2005). 5. Dukungan Bidan Teori Green mengatakan bahwa faktor-faktor yang akan datang dari perilaku yang memberikan penghargaan (reward) atau perangsang untuk perilaku tersebut dan menyumbang kelangsungan dan pengulangan perilaku tersebut, di antaranya adalah dukungan bidan (Green, 2005). 6. Dukungan Kader Hasil penelitian Legiati (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan kader dengan perilaku tes. Hal ini sesuai dengan teori Green (2005) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang akan datang dari perilaku yang memberikan penghargaan (reward) atau perangsang untuk perilaku tersebut dan menyumbang kelangsungan dan pengulangan perilaku tersebut, diantaranya adalah dukungan kader. 7. Kerentanan Teori Health Belief Model bahwa seseorang akan bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakit jika merasa dirinya rentan terhadap penyakit tersebut, termasuk akibat dari pekerjaan suami yang berisiko terhadap penularan HIV
Universitas Sumatera Utara
39
(Sarwono, 2007). Paoli, et al (2004) mengatakan persepsi terhadap kerentanan berhubungan dengan perilaku untuk tes HIV. 8. Manfaat VCT Penelitian Aini (2005) menunjukkan bahwa alasan ibu hamil melakukan tes adalah adanya manfaat VCT. Mereka merasa dengan VCT dapat melindungi ibu dan bayi, mendapatkan pengobatan dan perubahan perilaku. Hal ini sesuai dengan teori Health Belief Model yang mengatakan bahwa manfaat yang dirasakan menunjukkan keyakinan individu untuk berperilaku (Sarwono, 2007). 9. Stigma dan Diskriminasi Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV & AIDS.Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia hingga kini masih merasakan adanya stigma dan dikriminasi. Pemahaman kebanyakan orang masih keliru keliru tentang HIV & AIDS. AIDS dianggap sebagai penyakit yang berbahaya, karena sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan. Masalah HIV & AIDS dianggap hanya masalah bagi mereka yang mempunyai perilaku seks yang menyimpang. HIV & AIDS seringkali dikaitkan dengan masalah mereka yang dinilai tidak bermoral, pendosa dan sebagainya. Diskriminasi dalam memperoleh akses kesehatan saat ini justru lebih sering dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Sering terjadi, fasilitas pelayanan kesehatan yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan diskriminasi. Bahkan
Universitas Sumatera Utara
40
beberapa tenaga kesehatan/fasilitas pelayanan kesehatan secara terang-terangan menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika mengetahui pasien yang ditangani positif HIV/AIDS. Contoh diskriminasi meliputi petugas kesehatan di fasilitas pelayanan yang menolak memberikan pertolongan persalinan kepada ibu Hamil HIV karena takut tertular HIV, fasilitas pelayanan kesehatan hanya mau menolong persalinan apabila dilengkapi dengan sarana dan alat pertolongan persalinan yang berlebihan, membakar sarana dan alat yang digunakan setelah meolong persalinan ibu HIV. Diskriminasi ini timbul antara lain karena disebabkan karena banyak tenaga kesehatan yang belum paham dan mendapat informasi yang lengkap dan benar mengenai HIV/AIDS, sehingga stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk melakukan pemeriksaan tes HIV untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA adalah meningkatkan pemahaman tentang HIV & AIDS di masyarakat, khususnya di kalangan petugas kesehatan, dan terutama pelatihan tentang perawatan (Kemenkes, 2013). Stigma terhadap ODHA akan berdampak terhadap upaya pencegahan HIV seperti orang akan enggan untuk melakukan tes HIV karena takut akan mendapatkan stigma apabila hasil tesnya positif (UNAIDS, 2002).
Universitas Sumatera Utara
41
2.6
Landasan Teori Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) adalah upaya yang
bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara komprehensif dan terintegrasi
dengan
program-program
yang berkaitan
dengan
pengendalian
HIV/AIDS. Berdasarkan data RAN-PPIA bahwa di Indonesia infeksi HIV merupakan salah satu penyakit menular yang dikelompokkan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Meskipun berbagai upaya telah dilaksanakan selama beberapa tahun, masih perlu upaya peningkatan cakupan pelaksanaan program PPIA yang terintegrasi di layanan KIA sejalan dengan perkiraan peningkatan beban. Salah satu hambatan dalam pelaksanaannya adalah pengetahuan, keterampilan dan motivasi tenaga kesehatan masih belum memadai (Kemenkes RI, 2013). Dalam penelitian ini, konsep kemauan ibu hamil untuk mengikuti test HIV yang merupakan salah satu wujud perilaku kesehatan, sehingga bisa digunakan teori Green (2005), bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial/ekonomi; faktor pemungkin seperti ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat; dan faktor penguat seperti sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan baik dan pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Salah satu faktor yang berhubungan dengan tes HIV pada ibu hamil adalah peran petugas kesehatan. Menurut Baziad dan Prawirohardjo (2003), peran petugas kesehatan dapat dibagi atas:
Universitas Sumatera Utara
42
1. Peran Petugas Kesehatan sebagai Motivator Motivator menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2008) adalah orang (perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu; pendorong; penggerak. Peran petugas kesehatan sebagai motivator adalah memberikan dorongan atau keyakinan kepada ibu hamil agar mau mengikuti tes HIV. 2. Peran Petugas Kesehatan sebagai Edukator Peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh bagi ibu hamil dalam menjalani tes HIV. Peran seperti memberikan penyuluhan atau pembagian brosur-brosur atau selebaran mengenai apa manfaat tes HIV dan apa akibat bila ternyata ibu hamil mengidap HIV terutama bagi janin yang dikandungnya akan sangat berperan bagi ibu hamil Besarnya peran petugas kesehatan akan sangat membantu ibu dalam mewujudkan kemauannya menjalani tes HIV. 3. Peran Petugas Kesehatan sebagai Fasilitator Peran lain petugas kesehatan adalah memfasilitasi (sebagai orang yang menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan ibu saat menjalani tes HIV.
Universitas Sumatera Utara
43
2.7
Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan landasan teori, maka peneliti dapat merumuskan kerangka
konsep sebagai berikut : Variabel Bebas
Variabel Terikat (Y)
(X) Peran Tenaga Kesehatan sebagai: 1. Motivator 2. Edukator 3. Fasilitator (Baziad dan Prawirohardjo, 2003)
Test HIV pada Ibu Hamil
Karakteristik Ibu Hamil: 1. Tingkat Pendidikan 2. Pengetahuan 3. Dukungan Suami 4. Stigma (Green, 2005; Kemenkes, 2013; UNAIDS, 2002)
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara