BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Pengertian HIV HIV adalah kependekan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini merupakan kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan mengkopi cetak materi genetika diri di dalam materi genetika sel-sel yang ditumpanginya (Dep.Kes. RI, 1997). Virus HIV termasuk golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik (Dep.Kes. RI, 2003). HIV sangat lemah dan muda mati di luar tubuh manusia. Virus ini merusak salah satu jenis sel imun yang dikenal dengan sel T helper dan sel tubuh lainnya, antara lain sel otak, sel usus, dan sel paru. Sel T helper merupakan titik pusat pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi rusak (PPNI, 2004). Virus HIV ditemukan dan diisolasikan dari sel limposit T, Limposit B, sel makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Akan tetapi sampai saat ini hanya darah dan air mani yang jelas terbukti sebagai sumber penularan serta ASI yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya (Yayasan Spiritia, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Pengertian AIDS AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus HIV sehingga pasien AIDS mudah diserang oleh infeksi opportunistik dan kanker (Dep.Kes. RI, 2003).
2.1.3. Masa Inkubasi Masa inkubasi antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. Rata-rata masa inkubasi adalah 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa (PPNI, 2004).
2.1.4. Perjalanan Penyakit AIDS Orang yang mengalami AIDS dengan adanya transmisi virus, kemudian dilanjutkan dengan masuknya kuman HIV primer, setelah terinfeksi selama 1–8 minggu disebut sindrom retroviral akut. Apabila dilakukan tes antibodi, HIV akan positif/serokonversi, hal ini terjadi pada waktu 6-8 minggu karena adanya penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA–HIV dalam plasma. Selanjutnya terjadi infeksi kronik asimtomatik, yang apabila tidak diberikan terapi antiretroviral akan cepat menjadi infeksi kronik simtomatik dan akhirnya terjadi AIDS (PPNI, 2004).
2.1.5. Gejala AIDS Seorang dewasa (lebih dari 12 tahun) dianggap AIDS apabila menunjukkan test HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang–kurangnya
Universitas Sumatera Utara
didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor serta gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV (PPNI, 2004). a. Gejala minor yang mungkin akan timbul adalah : 1. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan. 2. Dermatitis generalisata. 3. Adanya herpes zooster multi segmental dan herpes zooster berulang. 4. Kandidiasis orofaringeal. 5. Herpes simpleks kronis progresif. 6. Limpadenopati generalisata. 7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita. 8. Retinitis virus sitomegalo. b. Gejala mayor yang muncul setelah sistem kekebalan tubuh menurun yaitu : 1. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam satu bulan. 2. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan. 3. Diare kronis lebih dari satu bulan baik secara berulang maupun terus-menerus. 4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis. 5. Demensial/HIV ensefalopaty. c. Gejala AIDS yang lengkap adalah gejala minor dan mayor disertai satu atau lebih penyakit oportunistik, yaitu : 1. Pneumocystis Cariini merupakan infeksi parasit pada paru-paru. 2. Sarkoma Kaposi merupakan jenis kanker yang tersebar pada kulit/mulut. 3. Tuberkulosis.
Universitas Sumatera Utara
4. Infeksi jamur berulang di kulit, mulut dan tenggorokan. 5. Infeksi gastrointestinal (Cryptosporidiosis) 6. Diare kronis dengan penurunan berat badan. 7. Infeksi neurologik (Cryptococcal atau meningitis sub akut). 8. Demam tanpa sebab yang jelas 9. Kelainan neurologis
2.1.6. Cara Penularan HIV/AIDS Penularan HIV/AIDS dapat melalui : 1. Hubungan seksual dengan seorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa alat pengaman (kondom). 2. Transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV. 3. Penggunaan alat suntik dan alat medis lainnya yang tidak steril, alat tusuk lainnya misal: jarum tindik, jarum tato, akupunktur, yang tercemar HIV. 4. Transplantasi organ atau jaringan tubuh dari seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Dep.Kes. RI, 2003). 5. Risiko penularan HIV dari ibu positif kepada bayinya sekitar 30%. Penularan ini dapat terjadi pada saat janin dalam kandungan, semasa partus atau menyusui. Risiko terbesar terjadi pada masa partus. Risiko penularan pada masa menyusui sekarang
mendapat
perhatian
yang
lebih
karena
pengamatan
terakhir
menunjukkan risiko penularan pada masa menyusui cukup besar yaitu sekitar 14% sampai 29% (Maryunani, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.7. Cara Pencegahan HIV/AIDS (Depkes RI, 2003 ; 2007) 1. Cara mencegah penularan HIV/AIDS lewat hubungan seks a. Abstinensia (tidak melakukan hubungan seks). b. Melakukan prinsip monogami, yaitu tidak berganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya. c. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko dianjurkan menggunakan kondom 2. Cara mencegah penularan HIV/AIDS melalui bermacam alat yang tercemar darah HIV a. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, pisau cukur) harus disterilisasi. b. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain 3. Cara mencegah penularan HIV/AIDS lewat transfusi darah adalah dengan melakukan skrining terhadap semua darah yang akan ditransfusikan. 4. Pencegahan penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya.
2.1.8. Testing HIV Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbedabeda karena perbedaan prinsip metode yang digunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma.
Universitas Sumatera Utara
Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya. Pada saat ini belum digunakan spesimen lain seperti saliva, urin, dan spot darah kering. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilens, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis maupun manusia dan administratif. Petugas laboratorium (perawat) mengambil darah setelah klien menjalani konseling pra testing (Depkes RI, 2006).
2.1.9. Penanggulangan HIV/AIDS Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mampu membunuh HIV maupun vaksin untuk mencegah penularan. Obat-obatan yang ada dan digunakan saat ini lebih upaya melemahkan daya progresivitas virus, memperlambat perkembangbiakan virus, memperkuat daya tahan tubuh dengan meningkatkan antibodi yang akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Terapi yang dikenal sebagai terapi Anti Retro Viral (ARV) seperti Nevirapine, Efavirens, Tenovir dan lain-lain dapat diperoleh di rumah sakit tertentu dan terbukti sangat menolong ODHA (Dep.Kes.RI, 2003). Penanggulangan HIV/AIDS yang perlu diprioritaskan adalah upaya pencegahan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pendidikan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
reproduksi, program pendidik sebaya (peer educator) merupakan komponen penting dalam KIE disamping upaya lainnya seperti penanggulangan NAPZA, konseling, pendamping dan perawatan ODHA.
2.2. Komite HIV/AIDS (Loly, 2007) Komite HIV/AIDS adalah salah satu organisasi peduli AIDS yang didirikan HKBP sebagai wujud perhatian gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Komite ini dibentuk dengan tujuan : 1. Meningkatkan kualitas spiritual anggota gereja untuk mampu memelihara dirinya mencegah penularan HIV/AIDS sehingga tidak terinfeksi HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA. 2. Merawat, mengobati dan mendukung meningkatkan kualitas hidup ODHA dan penyalahgunaan NAPZA. 3. Mengupayakan RS HKBP Balige sebagai pusat rujukan penanggulangan HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA untuk daerah sekitarnya. 4. Memotivasi pelayan dan anggota gereja atau masyarakat bertekad menghentikan suasana penolakan dan kebisuan (breaking silence) ditengah gereja dan masyarakat. 5. Mengembangkan fungsi Komite Penanggulangan HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA di tingkat pusat dan Distrik dalam bentuk koordinasi. 6. Mengembangkan
institusi
Komite
Penanggulangan
HIV/AIDS
dan
penyalahgunaan NAPZA HKBP untuk mandiri dalam sumber daya.
Universitas Sumatera Utara
Komite HIV/AIDS memiliki program-program strategis : a. Mengembangkan pola-pola KIE yang sesuai dengan sasaran b. Memperjuangkan akses yang sama untuk ODHA dalam care dan treatment sesuai dengan kebutuhan. c. Memberdayakan RS HKBP memberikan pelayanan kesehatan yang holistik bagi ODHA. d. Mengadakan program membangun jaringan kerja untuk Komunikasi Informasi Edukasi mempunyai sasaran kelompok pendeta Kristen dan Katholik di Kabupaten Toba Samosir. e. Melakukan advokasi terhadap pengambil kebijakan yang akhirnya dapat membela ODHA. f. Mengadakan program meningkatkan mobilisasi sumber daya manusia. g. Membangun kelembagaan yang permanen ditingkat pusat dan distrik. h. Membangun sistem koordinasi antara pusat dan distrik. 7. Capacity Building, meliputi : a. Pelatihan kelompok pendeta dan konselor pendamping ODHA. b. Pelatihan untuk pendidik sebaya. c. Mendidik tenaga medis untuk meningkatkan kewaspadaan universal dan ketrampilan dalam merawat ODHA. 8. Advokasi, meliputi : a. Mengadvokasi pimpinan gereja untuk keperdulian gereja akan masalah HIV/AIDS.
Universitas Sumatera Utara
b. Advokasi kepada penentu kebijakan untuk akses ARV. c. Memotivasi pendeta, anggota gereja dan masyarakat untuk menghentikan suasana penolakan dan kebisuan (breaking silence) di tengah gereja dan masyarakat. 9. Pengembangan Community Support, berupa : a. Menyediakan pelatihan dan dukungan bagi mereka yang menderita HIV/AIDS dengan cara mendengarkan mereka dan mengikutsertakan mereka dalam program. b. Memberdayakan ODHA dan pengguna dalam berbagai kegiatan/ ketrampilan. c. Refleksi teologis mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan terkait dengan HIV/AIDS dengan ODHA dan OHIDA. 10. Komunikasi, Informasi dan Edukasi, meliputi : a. Mengadakan program anti AIDS kepada pendeta di tingkat resort, distrik dan masyarakat b. Mengadakan program KIE tentang kesehatan reproduksi di seluruh jemaat. c. Mengadakan program KIE tentang penyakit menular seksual di gereja dan penanggulangannya. d. Pengembangan mekanisme kerjasama lintas sektor dan lintas program dalam rangka penanggulangan NAPZA terhadap pemakai NAPZA. e. Penyampaian KIE tentang bahaya HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA serta penanggulangannya.
Universitas Sumatera Utara
f. Menyebarluaskan informasi melalui media HKBP yaitu: Kelompok Imanuel, Kelompok Ina, Suara Pemuda, Berita Pengabaran Injil. g. Menerbitkan brosur, poster, leaflet, modul. 11. Program Infra struktur, berupa : a. Pengadaan ARV. b. Pengembangan sarana, prasaran dan prosedur untuk pengadaan darah yang steril. c. Peningkatan kemampuan RS HKBP menangani HIV/AIDS. d. Pengembang VCT. 12. Mitra, dengan usaha–usaha meliputi : a. Mendukung gereja-gereja dalam menjalin jaringan dengan kelompok lain. b. Peningkatan kerja sama antara gereja dengan lembaga di dalam dan diluar negeri.
2.2.1. Voluntary Counselling Test (Loly, 2007) 1. Defenisi VCT VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi
dan
pengetahuan
HIV/AIDS,
mencegah
penularan
HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/ AIDS.
Universitas Sumatera Utara
2. Peran VCT Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik dan ARV. b. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat. c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi dan risiko. 3. Prinsip Pelayanan VCT a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan klien.
Universitas Sumatera Utara
Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan. b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui. c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk untuk mengurangi perilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif. d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien.
Universitas Sumatera Utara
4. Klinik VCT AIDS Daerah Sejak 15 Januari 2007 komite AIDS Daerah memiliki klinik VCT (Test HIV secara sukarela). Berlokasi di kompleks RS HKBP Balige. Pembiayaan klinik ini difasilitasi oleh Evangelical Luteran Church, FHI-ASA (Famili Health Internasional-aksi Stop AIDS) dan HKBP dengan stake holder Yayasan Bina Insani, KPAD Tobasa, Dinas kesehatan Tobasa dan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (Loly, 2007). Klinik VCT KPAD Balige dilayani oleh staf penuh waktu bersertifikat nasional yang terdiri dari : a. Kepala Klinik VCT 1) Bertanggungjawab akan keberhasilan program secara keseluruhan. 2) Bertanggungjawab akan pelaksanaan program dimulai dari perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. b. Dokter 1) Memfasilitasi berbagai kegiatan termasuk pertemuan rutin. 2) Bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan di Klinik. 3) Berkoordinasi dengan RS HKBP Balige dalam melakukan pemeriksaan dan mendiagnosa, menterapi serta konseling pada pasien. 4) Mengontrol petugas klinik lainnya untuk mencapai kinerja yang baik. 5) Memberikan dukungan teknis serta menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan program. 6) Mengatur pelaksanaan lintas program bersama pimpinan lembaga lain.
Universitas Sumatera Utara
7) Bersama dengan koordinator lapangan merencanakan dan memberikan bimbingan kepada petugas lapangan dalam pelaksanaan kegiatan. 8) Menjamin kualitas kegiatan dan pelaporan. 9) Memastikan hasil yang direncanakan dicapai sesuai dengan jadwal. 10) Bertanggungjawab kepada Direktur RS HKBP Balige dan Direktur Program. c. Manager Program 1) Bertanggungjawab terhadap seluruh pelaksanaan kegiatan program. 2) Berkoordinasi dengan koordinator lapangan dan petugas lapangan dalam mengembangkan rencana tindak lanjut suatu kegiatan. 3) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. 4) Memastikan rencana telah sesuai dengan rencana dan tepat waktu. 5) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program melalui kunjungan lapangan dan mereview laporan rutin kegiatan. 6) Melaporkan perkembangan program dan hasil monitoring/evaluasi kepada Direktur Program. d. Keuangan dan Administrasi 1) Merencanakan sistem keuangan dan membukukan seluruh aliran dana. 2) Membantu Program Direktur dalam membuat laporan keuangan rutin. 3) Membantu Direktur mengelola keuangan untuk keseluruh program. 4) Bertanggungjawab terhadap semua kegiatan administrasi di Klinik mulai dari pendaftaran pasien, penyimpanan file dan kelengkapan formulir klinik.
Universitas Sumatera Utara
5) Menjamin terpenuhinya segala kebutuhan administrasi di Klinik. 6) Bertanggungjawab
terhadap
kesiapan
pelaksanaan
segala
macam
pertemuan dan pelatihan. 7) Bertanggungjawab terhadap urusan surat menyurat. 8) Menjamin kelancaran laporan kegiatan. e. Entri Data Program 1) Merekap, mengolah dan menganalisa semua data lapangan. 2) Bertanggungjawab menyelesaikan laporan. 3) Memberikan feed back terhadap hasil lapangan. 4) Bersama-sama dengan staf klinik mencari solusi penyelesaian masalah berdasarkan rekap data. 5) Memasukkan dan mengolah data pasien setiap minggu dua kali. 6) Membuat laporan bulanan kegiatan klinik. f. Bidan 1) Melakukan pemeriksaan pada pasien. 2) Mendiagnosa dan menterapi pasien di dampingi dokter. 3) Melakukan kunjungan di lapangan. 4) Melaksanakan tugas konseling pasien. g. Petugas Laboratorium 1) Mengambil darah klien sesuai Standar Operasional Prosedur 2) Melakukan pemeriksaan laboratorium sesuai Standar Operasional Prosedur laboratorium yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
3) Mencatat hasil testing HIV dan sesuaikan dengan nomor identifikasi klien. 4) Menjaga kerahasiaan hasil testing HIV. 5) Melakukan pencatatan, menjaga kerahasiaan dan merujuk ke laboratorium rujukan. h. Konselor 1) Merupakan staf yang sudah dilatih sesuai dengan pelatihan standar konseling. 2) Bertanggungjawab melakukan konseling sebelum dan sesudah tes HIV untuk klien. 3) Bertanggungjawab dalam mengelola dan menyimpan dokumentasi konseling VCT. 4) Berpartisipasi dalam kegiatan rutin promosi VCT. 5) Mengikuti pelaksanaan VCT sesuai standar minimum konseling. 6) Berpartisipasi
dalam
supervisi
dan
monitoring
terjadwal
dalam
pelaksanaan konseling VCT. i. Manajemen Kasus 1) Merupakan staf yang sudah mengikuti pelatihan penuh manajemen kasus HIV/AIDS. 2) Bekerjasama dengan staf VCT dan tim medis dalam penyediaan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk pasien HIV. 3) Bertanggungjawab untuk pengalihan kebutuhan klien, terkait dengan kebutuhan
psikologis,
sosial
dan
mengkoordinasi
pelayanan
komprehensif.
Universitas Sumatera Utara
4) Berpartisipasi dalam penanganan kegiatan advokasi yang sesuai. 5) Mengadakan kunjungan ke rumah pasien sesuai dengan kebutuhan. 6) Menyiapkan pasien/keluarga dengan informasi HIV/AIDS dan dukungan dengan tepat dan sesuai. 7) Mengikuti standar minimum manajemen kasus. Sasaran adalah mereka yang diduga memiliki resiko tinggi dalam penularan HIV yaitu pekerja seks komersial dan pelanggannya yang ada di Tobasa. Walaupun demikian klinik ini tidak menutup pelayanan VCT bagi pemakai narkoba suntik dan masyarakat umum lainnya yang juga memiliki resiko tinggi dalam penularan HIV. Layanan yang di berikan oleh klinik VCT ini adalah : 1. Pencegahan berupa penyuluhan-penyuluhan hingga penanggulangan HIV. 2. Pemeriksaan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS). 3. Konseling dan test HIV. 4. Pengadaan obat IMS dan infeksi Oppurtonistik dan Anti Retroviral (ARV). 5. Rujukan ARV. 6. Rujukan Pasien. 7. Mobile Klinik. 8. Pendampingan ODHA dan keluarga. Kegiatan- kegiatan Klinik VCT adalah : Capacity Building : 1. Menugaskan tiga orang staf klinik untuk mengikuti pelatihan. Kegiatan ini ditujukan bagi dua orang staf kesehatan laboran dan bidan, serta satu orang finance.
Universitas Sumatera Utara
2. Satu orang staf klinik mengikuti pelatihan Program Manager di Cirebon 3. Satu orang staf klinik mengikuti pelatihan Laboratorium di Surabaya 4. Pelatihan administrasi dan keuangan di Parapat. 5. Pelatihan Konselor dan manajemen kasus di Kediri, Jawa Timur 6. Pelatihan data manager di Berastagi Komunikasi, informasi dan edukasi : 1. Penyuluhan HIV dan AIDS di lembaga permasyarakatan Padang Sidempuan. 2. Penyuluhan HIV dan AIDS Padang Sidempuan. 3. Penyuluhan infeksi menular seksual di Rumah Tahanan Balige. 4. Sosialisasi tentang HIV dan AIDS kepada kelompok dampingan di Perumahan Ganda Uli II Onan Raja, Balige. 5. Penyebaran brosur ke masyarakat yang ada di pasar, supir,dan supir becak. 6. Promosi tentang VCT KPAD Balige kepada kelompok dampingan yang dilaksanakan di Losmen Carolina. 7. Promosi tentang VCT KPAD Balige kepada kelompok dampingan di Sihail-hail, Balige. 8. Kampanye hari AIDS se Dunia. 9. Pengumpulan tanda tangan di Balige. 10. Pembagian stiker, pembagian brosur, di Soposurung dan di Balige. 11. Malam renungan di Balige. 12. Gerak Jalan santai di Balige.
Universitas Sumatera Utara
Hambatan dari Klinik VCT adalah berhentinya dana dari FHI-ASA dan kurangnya komitmen dari pimpinan-pimpinan distrik HKBP dalam mensukseskan program Klinik VCT.
2.3. Demografi Masyarakat Demografi adalah ciri khusus yang mempunyai sifat sesuai dengan perwatakan tertentu. Dalam suatu penelitian, demografi merupakan variabel ‘universal’, yang amat sering memiliki relevansi pada penelitian kelompok atau populasi, sehingga pemasukan variabel tersebut harus selalu dipertimbangkan. Jenis kelamin, usia, paritas, etnis, agama, status perkawinan, status sosial yang meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kepadatan rumah, tempat tinggal yang meliputi desa-kota dan morbiditas merupakan variabel-variabel universal yang sering diperhitungkan untuk diikutsertakan dalam suatu penelitian meskipun tidak secara otomatis digunakan sebagai variabel penelitian (Abramson, 1997). Menurut Kotler (1996), demografi dari masyarakat yang berpengaruh terhadap perilaku pembelian terdiri dari faktor kultural (kultur, subkultur, kelas sosial), faktor sosial (kelompok referensi, keluarga, aturan dan situasi), faktor pribadi (umur dan tahap pengalaman hidup), pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup dan kepribadian, dan faktor psikologi (motivasi, persepsi, pengetahuan, sikap dan keyakinan). Dalam segmentasi pasar jasa, demografi masyarakat yang menjadi variabel utama untuk dikaji karena berhubungan erat dengan perilaku masyarakat. Meliputi
Universitas Sumatera Utara
faktor geografis (wilayah, ukuran daerah, kepadatan dan iklim), faktor demografi (umur, jenis kelamin, besar keluarga, siklus hidup keluarga, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras dan kewarganegaraan), faktor-faktor psikografis (kelas sosial, gaya hidup dan kepribadian) dan perilaku (peristiwa, manfaat, status pemakai, tingkat pemakaian, status kesetiaan, tahap kesiapan membeli dan sikap terhadap produk (Kotler, 1996). Variabel karateristik, ikut menentukan kepuasan masyarakat, antara lain: umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup masyarakat. Dengan kata lain kepuasan masyarakat dipengaruhi oleh demografi masyarakat. (Chriswardani, 2004).
2.4. Pengetahuan Masyarakat Notoatmodjo (1997) pengetahuan adalah hasil tahu yang berasal dari proses penginderaan manusia terhadap suatu obyek dan pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman dan dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku dan surat kabar, pengetahuan sangat berhubungan dengan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan diri, semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga meningkat produktifitas dan kesejahteraan keluarga (Notoatmojo, 1997). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Menurut Notoatmodjo (1997), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif ini mempunyai 6 tingkat, yaitu : 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.
Universitas Sumatera Utara
5. Sintesis (Synthesis) Sintesis
menunjuk
kepada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (Evaluasi) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.
2.5. Pekerja Seks Komersial (PSK) Pekerja Seks Komersial (PSK) dapat diartikan suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri pada umum untuk melakukan hubungan seksual dengan mendapatkan upah. Pada masyarakat pekerja seks komersial (PSK) sering disebut pelacur atau kupu-kupu malam, yakni perempuan yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja yang membutuhkan kepuasan hubungan seksual dengan pemberian bayaran (Pratomo, 2002) Berdasarkan cara menjalankan pekerjaannya PSK dibedakan menjadi 4 kategori antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1. Brothel prostitution (PSK Bordil), yaitu praktek PSK yang sebagian penghasilannya
diserahkan
kepada
seseorang
yang
mengkoordinirnya/
Germo.Biasanya PSK kategori ini telah memiliki tempat tertentu atau biasa disebut lokalisasi. Namun dalam kenyataannya PSK kategori ini beroperasi tidak hanya pada lokalisasi yang resmi melainkan juga pada lokalisasi tidak resmi seperti rumah makan, kafe, pantai pijat, salon dan sebagainya. 2. Call girl prostitution (PSK Panggilan) yaitu PSK yang melayani seseorang dengan cara dipanggil ke suatu tempat atau biasanya hotel dan pada umumnya dipanggil lewat telpon. 3. Street Prostitution (PSK Jalanan) yaitu PSK yang mencari pelanggannya di jalan atau tempat umum kemudian pergi ke tempat tertentu untuk melakukan hubungan seksual. 4. Unorganized proffesional prostitute (PSK Profesional), yaitu PSK yang menjalankan pekerjaannya di tempat-tempat yang disewanya, memiliki pelindung dan perantara khusus atau melalui sopir-sopir taksi sebagai perantara.
2.6. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kebutuhan kesehatan (health need) pada dasarnya bersifat obyektif
dan
karena itu untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat, upaya untuk memenuhinya bersifat mutlak. Tuntutan kesehatan (health demands) bersifat subjektif. Tuntutan kesehatan banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial ekonomi (Azwar, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Tuntutan kesehatan ada kaitannya dengan tersedia tidaknya pelayanan kesehatan. Perkembangan teknologi harus selalu diperhatikan untuk kemajuan pelayanan kesehatan, karena kemajuan teknologi dapat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tuntutan kesehatan (Azwar, 1996). Menurut Azwar (1996) yang mengutip pendapat Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Agar pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : tersedia (available), wajar (appropriate), berkesinambungan (continue), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), efisien (efficient) dan bermutu (quality). Karakteristik
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
dapat
dikategorikan
berdasarkan jenis, tujuan maupun unit kesehatan. Pelayanan kesehatan berdasarkan jenis/tipe pelayanan di rumah sakit, psikolog, dokter gigi, perawat dan lain-lain. Pelayanan kesehatan juga dikategorikan berdasarkan tujuan, seperti pelayanan primer, sekunder, tersier maupun custodian. Karakteristik terakhir menggambarkan pemanfaatan kesehatan berdasarkan unit kesehatan seperti jumlah pertemuan dengan tenaga kesehatan selama periode waktu tertentu (Andersen, 1974). Menurut Sorkin (1997), faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh :
Universitas Sumatera Utara
1.
Sosial budaya
2. Organisasi penyedia pelayanan kesehatan 3. Faktor konsumen, meliputi persepsi sakit, mobilitas, kecacatan, sosiodemografi: umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pendapatan, pekerjaan dan faktor sosio psikologi yang terdiri dari persepsi terhadap penyakit, kepercayaan dan agama. 4. Organisasi dan proses pelayanan kesehatan (kemampuan institusi menciptakan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, perilaku provider, keragaman pelayanan, peralatan dan teknologi canggih). 5. Faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain adalah pendapatan, harga, lokasi dan mutu pelayanan. Menurut Dever (1984) pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Faktor sosiokultural, yang terdiri dari faktor teknologi pengobatan dan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat. 2. Faktor organisasi, yang terdiri dari ketersediaan sumber daya, akses geografis, akses sosial, karakteristik proses dan struktur organisasi pelayanan kesehatan. 3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen, yang terdiri dari : (a) faktor sosiodemografis yaitu umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dan (b) faktor sosial psikologis yaitu persepsi terhadap penyakit serta sikap dan keyakinan tentang pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor yang berhubungan dengan produsen, yang terdiri dari faktor ekonomi dan karakteristik provider. Menurut Smet (1994) keyakinan masyarakat awam tentang kesehatan dan kesakitan lebih spesifiknya mengenai etiologi juga akan mempengaruhi perilaku mencari bantuan, yaitu apakah orang akan mencari bantuan atau tidak serta pegawai kesehatan mana yang akan dimintai konsultasi oleh si sakit. Selain itu ciri-ciri karakteristik seperti jenis kelamin, ras, umur yang sering ditetapkan dalam berbagai literatur menjadi variabel yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Perbedaan karakteristik seperti : orang yang lebih tua (umur), wanita (jenis kelamin), tidak menikah atau diceraikan (status perkawinan), orang yang hidup sendiri (status kediaman), pengangguran (status pekerjaan), tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi, melaporkan lebih banyak gejala penyakit. Menurut Sarwono (2007) yang mengutip pendapat Mechanic proses yang terjadi dalam diri individu sebelum dia menentukan untuk mencari upaya pengobatan, antara lain : (a) dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/ tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya (c) dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja dan dalam kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena gejala (susceptibiliy) atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu, (g) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/
Universitas Sumatera Utara
berperilaku mengatasi gejala sakit, (i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial (rasa malu, takut dan sebagainya). Dari faktor di atas dapat dibuat kategorisasi faktor pencetus perilaku sakit, yaitu faktor persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis dan sosio budaya : faktor intensitas gejala (menghilang atau terus menetap); faktor motivasi individu untuk mengatasi gejala yang ada serta faktor sosial psikologis yang mempengaruhi respons sakit. Berdasarkan gejala yang dirasakan, faktor-faktor yang membuat seseorang mencari pelayanan kesehatan adalah : (a) gejala penyakit terasa mengerikan sedangkan perawatannya tersedia, (b) orang biasanya akan berobat terhadap gejala penyakit diperkirakan akan menyebabkan akibat yang serius, (c) merasa cemas, hal ini terkait dengan krisis interpersonal, (d) gejala penyakit yang timbul dapat mengancam hubungan dengan orang lain, dan (e) ada dukungan dari orang lain seperti teman untuk mencari pelayanan kesehatan (Folland, 1997). Menurut Engel (1994) yang mengutip pendapat Arrow, hubungan antara keinginan sehat dan permintaan akan pelayanan kesehatan hanya kelihatannya saja sederhana, tetapi sebenarnya sangat kompleks. Penyebab utamanya adalah karena misalnya persoalan informasi yang umumnya dilakukan oleh para ahli kesehatan kepada masyarakat. Dari informasi yang mereka sebarkan itulah masyarakat kemudian terpengaruh untuk melakukan permintaan dan penggunaan pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Becker perilaku yang berkaitan dengan tindakan seseorang yang sedang sakit untuk mencari penyembuhan disebut perilaku sakit. Dalam hal ini ada beberapa tindakan yang timbul adalah : (a) Didiamkan saja, artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari, (b) Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri, baik obat tradisionil maupun dengan beli obat di warung, (c) Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yakni ke fasilitas kesehatan. Seseorang baru akan mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau dari informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan itu dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Sarwono, 2007).
2.7. Landasan Teori Konsep umum yang dijadikan sebagai landasan teori dalam penulisan ini adalah konsep Andersen (1974) dimana pemanfaatan pelayanan kesehatan didasari pada tiga tahap model terdiri dari komponen predisposisi, komponen pemungkin dan tingkat penyakit. Seperti tergambar pada kerangka teori berikut :
Universitas Sumatera Utara
Diagram Skematis Individual Determinants of Health Service rvice Utilization Faktor Predisposisi
Faktor Pemungkin
Demografi - Umur - Jenis kelamin - Status Marital - Riwayat penyakit
Keluarga - Pendapatan - Asuransi kesehatan - Jenis sumber reguler - Akses ke sumber reguler
Struktur Sosial - Pendidikan - Ras - Pekerjaan - Ukuran keluarga - Etnis - Agama - Mobilitas tempat tinggal
Tingkat kesakitan
Dugaan - Ketidakmampuan - Gejala penyakit - Diagnosis - Keadaan Umum
Komunitas - Perbandingan fasilitas dan petugas kesehatan terhadap populasi - Nilai pelayanan kesehatan negara - Karakter kota desa
Evaluasi - Gejala-gejala - Diagnosadiagnosa
Keyakinan - Fokus keyakinan kesehatan dan kesakitan - Perilaku berhubungan dengan pelayanan kesehatan pengetahuan tentang penyakit.
Gambar 2.1 : Landasan Teori (Sumber : Andersen & Newman, 1974)
Universitas Sumatera Utara
2.8. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian dan studi kepustakaan dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut : Variabel Independen ndependen
Variabel Dependen
Demografi -
Umur
-
Tingkat Pendidikan
-
Lama kerja
-
Pendapatan
Pemanfaatan Pelayanan Klinik KPAD Balige
Pengetahuan HIV/AIDS - Pengetahuan tentang penularan - Pengetahuan tentang pengobatan - Pengetahuan tentang penanganan oleh VCT - Pengetahuan tentang kelompok risiko tinggi - Pengetahuan tentang kerentanan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa defenisi konsepnya adalah sebagai berikut : 1. Variabel independen adalah segala hal yang berperan pada : a. Demografi masyarakat, meliputi : 1) Umur 2) Tingkat Pendidikan 3) Lama Kerja 4) Pendapatan b. Pengetahuan responden tentang HIV/AIDS, meliputi : 1) Pengetahuan tentang penularan 2) Pengetahuan tentang pengobatan 3) Pengetahuan tentang penanganan oleh VCT 4) Pengetahuan tentang kelompok risiko tinggi 5) Pengetahuan tentang kerentanan 2. Variabel Dependennya adalah : Pemanfaatan pelayanan klinik VCT KPAD Balige.
Universitas Sumatera Utara