BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Tinjauan kepustakaan berisi tentang pendapat dan analisis dari beberapa penulis, ahli maupun pakar dalam bidang tertentu. Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari tinjauan kepustakaan yang didasarkan pada beberapa sumber sejarah dan ilmu bantu dari disiplin ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi. Dalam bab ini penulis memaparkan daftar literatur yang digunakan sebagai acuan berpikir terhadap penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Kesenian Patingtung Di Kabupaten Serang Banten (Suatu Tinjauan Terhadap Pelestarian Nilai-nilai Budaya Lokal)”. Dalam melakukan tinjauan kepustakaan, berangkat dari terbatasnya sumber yang secara langsung dan khusus membahas mengenai kesenian patingtung dari sudut sejarah, sosial dan budaya, untuk itu penulis sengaja memilih beberapa sumber yang memiliki hubungan atau keterkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Walaupun ada sumber yang membahas langsung mengenai kesenian patingtung, maka sumber tersebut hanya memaparkan dan mengkaji patingtung pada sebatas bentuk kesenian secara umum. Berdasarkan kajian tersebut maka penulis menjelaskan tentang beberapa konsep yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, yaitu pertama, Tinjauan Tentang Seni Tradisional dan Seni Pertunjukan. Kedua, Tinjauan Tentang Seni dan Kebudayaan. Ketiga, Nilai-Nilai Budaya dan Kearifan Lokal
21
22
Masyarakat Kabupaten Serang dan keempat, Proses Kreativitas Seniman Dalam Pelestarian kesenian.
2.1. Seni Tradisional dan Seni Pertunjukan Jika di artikan kata demi kata, seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidamauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut. Secara harfiah, tradisional artinya sikap dan cara berpikir maupun bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turuntemurun. Jadi, dalam konsep ini ada acuan waktu. Selain masalah waktu, konsep ini mengabaikan batasan norma dan adat kebiasaan mana yang diacu. Pembahasan yang berkenaan dengan seni tradisional dan seni pertunjukan telah banyak dibahas oleh ahli atau penulis-penulis yang bergelut di dunia seni. Untuk mengungkap dan memahami seni tradisional dan pertunjukan, maka penulis mencoba berusaha untuk memilah beberapa buku yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami dan menghubungkan kesenian Patingtung sebagai seni tradisional dan seni pertunjukan. Berdasarkan hasil penelaahan yang dilakukan penulis terhadap beberapa buku yang mengutarakan tentang seni tradisional serta pertunjukan, penulis memperoleh gambaran bahwa seni tradisional merupakan seni yang tumbuh serta berkembang pada lokal tertentu,
23
serta pada umumnya dapat tetap hidup pada daerah yang memiliki kecenderungan terisolir atau tidak terkena pengaruh dari masyarakat luar. Seni pertunjukan yang di terjemahkan dalam Bahasa Inggris menjadi performance art adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu. Seni performance biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh si seniman dan hubungan seniman dengan penonton. Meskipun seni performance bisa juga dikatakan termasuk didalamnya kegiatankegiatan seni mainstream seperti teater, tari, musik dan sirkus, tapi biasanya kegiatan-kegiatan seni tersebut pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “seni pertunjukan” (performing arts). Jadi boleh dikatakan bahwa seni pertunjukan merupakan suatu bentuk seni yang pengungkapannya dapat dinikmati oleh penonton lewat indra penglihatan serta pendengaran yang hanya berlaku pada saat terjadinya pementasan dan terekam dalam pikiran manusia yang menyaksikannya. Gambaran mengenai seni tradisional dan pertunjukan penulis dapatkan dari beberapa sumber. Perihal yang menjadi acuan penulis dalam mengkaji seni tradisional dan seni pertunjukan adalah buku karya Umar Kayam yang berjudul Seni, Tradisi, Masyarakat (1981). Dalam bukunya Kayam berpendapat bahwa seni tradisional dapat dikategorikan dalam lima cabang, yaitu sebagai berikut : a. Seni Rupa, meliputi seni ukir, seni lukis dan seni tatah b. Seni Tari, meliputi wayang kulit, jatilan reog c. Seni Sastra, meliputi puisi dan prosa d. Seni Teater Drama, meliputi ketoprak e. Seni Musik, meliputi Jaipongan dan Tembang Sunda.
24
Bila melihat kelima kategori diatas, maka penulis berpandangan bahwa berdasarkan bentuk penyajiannya maka kesenian Patingtung merupakan salah satu kesenian tradisional yang termasuk ke dalam salah satu kategori seni musik dan tari. Selain membahas tentang kategori seni, Umar Kayam juga menjelaskan tentang ciri-ciri dari kesenian tradisional yaitu sebagai berikut : a. Seni tradisional memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang dapat menunjangnya. b. Seni tradisional merupakan sebuah pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan, disebabkan karena dinamik dari masyarakat penunjangnya memang demikian. c. Merupakan bagian dari suatu kosmos kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi. d. Seni tradisional bukan merupakan hasil kreatifitas individu-individu tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektifitas masyarakat yang menunjangnya. Melihat ciri-ciri diatas jelas bahwa Patingtung merupakan suatu kesenian tradisional khas yang lahir dari satu kultur masyarakat Serang Banten yang memiliki jangkauan terbatas pada lingkungan kultur yang dapat menunjangnya. Mengenai siapa penemu atau pencetus lahirnya kesenian Patingtung tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa orangnya namun kesenian Patingtung ini lahir begitu saja dari hasil kreativitas individu-individu bersamaan dengan sifat kolektifitas masyarakat yang menunjangnya pada saat itu.
25
Dalam pembahasan lain diungkapkan pula oleh Umar Kayam mengenai fungsi dari kesenian tradisional dalam masyarakat yaitu sebagai berikut : a. Segi Geografis : Wilayah penyebaran dari seni tradisional akan menunjukan suatu pola tertentu yang menunjukan letak geografis para penggemarnya. b. Fungsi Sosial : Daya tarik dari pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok, maka masyarakat akan memahami kembali nilai-nilai dan pola perilaku yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. c. Segi daya jangkau penyebaran sosialnya : Memiliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh aspek lapisan masyarakat, dapat pula mencerminkan komunikasi antar unsur dalam masyarakat dimana komunikasi terjadi baik pada pria dan wanita, antara lapisan atas dan bawah, serta antar golongan tua dan golongan muda. Dari fungsi kesenian tradisional yang disampaikan Kayam di atas, jelas bahwa Patingtung merupakan salah satu kesenian tradisional yang dapat dijadikan sebagai identitas lokal sekaligus sebagai pembangun solidaritas dalam memahami nilai-nilai lokal setempat. Selain itu kesenian Patingtung ini juga dapat di fungsikan sebagai alat komunikasi pemersatu antar unsur dalam suatu masyarakat baik pada gender, lapisan sosial atau antar golongan. Selanjutnya buku karya Edy Sedyawati yang berjudul Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981) dipaparkan sebuah kajian kesenian yang dipandang dari sudut antropologis dan sosiologis. Kajiannya yang mendalam tentang konsep-konsep
26
seni, sejarah seni pertunjukan Indonesia, perkembangan seni pertunjukan tradisional dan pada akhirnya bermuara kepada pelestarian budaya bangsa dibahas secara lugas. Buku ini memberikan gambaran perkembangan seni pertunjukan Indonesia yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist). Secara umum buku ini merupakan kumpulan artikel yang menggambarkan sejarah seni pertunjukan Indonesia seperti seni tari, seni teater dan seni musik. Secara khusus Edy Sedyawati menjelaskan tentang seni tradisional yang sesuai dengan tradisi dan mempunyai suatu pola kerangka ataupun aturan yang selalu berulang dalam kerangka tertentu. Kesenian yang tidak tradisional tidak terikat kepada suatu kerangka apapun. Meskipun terdapat perbedaan antara seni tradisional dan seni tidak tradisional, namun dalam bukunya Edi Sedyawati mengungkapkan bahwa terdapat sebuah kesulitan untuk membedakan keduanya apabila melihat suatu pertunjukan yang nyata. Lebih lanjut Edi Sedyawati menjelaskan bahwa untuk menyebutkan suatu pertunjukan tradisional atau tidak, perlu dibedakan datarandataran wilayahnya, apakah yang dimaksud unsur-unsur dasarnya ataukah unsurunsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan pola konvensi penyajian atau ketiga-tiganya. Dalam bukunya Edy Sedyawati juga mengungkapkan mengenai teori modulasi kesenian yang menyebutkan bahwa seni pertunjukan yang berasal dari lingkungan tradisional akan lebih mendapatkan perkembangannya justru apabila ditempatkan di daerah perkotaan, dimana terdapat tempat pagelaran kesenian, sistem imbalan jasa, dasar kesepakatan harga sebagai landasan pagelaran kesenian
27
dan kecenderungan pengkhususan dalam memilih bidang kegiatan. Modulasimodulasi yang dijelaskan dalam karya Edy Sedyawati pada dasarnya ditimbulkan oleh tata kehidupan kota, pada gilirannya bisa saja menyerbu ke daerah, ke desa dengan suatu tampang bahwa itulah ciri-ciri kemodernan. Berdasarkan unsurunsur dasarnya atau unsur-unsur yang mempunyai cara-cara berhubungan tetap dan pola konvensi penyajian, kesenian Patingtung saat ini merupakan salah satu kesenian pertunjukan yang bersifat tradisional. Dalam hal pertunjukan, sesuai dengan teori modulasi yang dipaparkan Edy Sedyawati, sepertinya kesenian Patingtung saat ini belum menunjukan adanya perkembangan ke arah sana, hal ini tidak lain karena pengelolaan atau manejemennya yang tidak professional. Selain itu dalam buku Edi Sedyawati yang berjudul Pertumbuhan Seni Pertunjukan, dipaparkan bahwa pengkajian mengenai upaya pengembangan kesenian tradisional diperlukan upaya kualitatif dan kuantitatif. Upaya kuantitatif adalah mengembangkan seni pertunjukan Indonesia berarti membesarkan volume penyajiannya, meluaskan wilayah pengenalannya. Berbeda dengan pengertian sebelumnya, sedangkan yang dimaksud dengan upaya kualitatif adalah mengolah, memperbaharui wajah dan penampilan kesenian tersebut. Edy Sedyawati juga memaparkan bahwa pengembangan seni pertunjukan tradisional selain secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan juga sarana dan prasarana serta karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Dalam konteksnya seni pertunjukan Indonesia berangkat dari lingkungan etnik ini terdapat suatu kesepakatan yang turun temurun mengenai perilaku, wewenang untuk menentukan bangkitnya seni pertunjukan.
28
Kajian-kajian yang membahas tentang kesenian Patingtung sudah dilakukan oleh beberapa orang. Secara keseluruhan penulisan mengenai kesenian Patingtung mencoba menggambarkan keberadaan kesenian Patingtung, sebagai kesenian asli masyarakat Serang yang tidak dapat dilepaskan dengan sebuah realitas sosial dan karakter budaya masyarakat Serang pada saat kesenian ini lahir. Sejak kelahirannya dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Banten atau Serang khususnya memang akrab dengan bela diri. Kesenian tradisional warisan leluhur masyarakat Banten ini terkenal sakral dan magis, mempunyai nilai-nilai keagamaan atau religi yang tinggi. Tulisan yang telah ada lebih menyoroti atau mengkaji kesenian Patingtung hanya dari aspek seninya saja, dimana yang dibahas hanya sejarah awal, nilai yang terkandung dan perkembangannya itupun dibahas secara garis besarnya saja. Kajian sebelumnya tidak mengkaji sisi lain yang sebenarnya sangat berpengaruh dan memiliki peran sangat menentukan dalam kelangsungan kesenian Patingtung ini. Sisi manusianya dalam hal ini seniman sebagai kreator seni Patingtung atau lebih luas masyarakat sebagai pendukung dan penyandang dana, kurang mendapat perhatian dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Padahal perkembangan dan perubahan yang di alami Patingtung sangat dipengaruhi oleh sikap dan kreatifitas dari si seniman ini. Penulis juga melihat bahwa secara keseluruhan kajian mengenai pengaruh globalisasi terhadap eksistensi kesenian lokal (etnik), berusaha menjelaskan pengaruh globalisasi yang ditandai dengan semakin majunya sistem komunikasi dan informasi, berdampak terhadap berubahnya minat dan kebutuhan masyarakat
29
terhadap seni yang pada akhirnya dapat menghambat kelangsungan atau eksistensi kesenian tradisional itu sendiri. Akibat realita yang seperti itu, penulis berusaha mengisi kekosongan ini dengan mengkaji lebih mendalam mengenai Kesenian Patingtung dengan melihat berbagai macam faktor yang dapat menghambat terhadap pelestarian nilai-nilai dalam kesenian ini yang ditujukan untuk melihat perkembangan kesenian ini. Selanjutya dihubungkan dengan peran manusia, dalam hal ini semua pihak yang terkait baik seniman sebagai ujung tombak pelestari kesenian maupun masyarakat sebagai penyandang dana dari seni pertunjukan dan pemerintah selaku lembaga yang membimbing serta mengawasi perkembangannya terutama dalam kaitannya dengan pengaruh globalisasi yang ditandai semakin pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi. Literatur lain yang digunakan penulis dalam mengkaji seni tradisional dan seni pertunjukan adalah karya R.M Soedarsono yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Buku ini terdiri dari tiga bab yang secara umum menggambarkan tentang sejarah seni pertunjukan Indonesia dari masa ke masa. Pada
awal
pembahasannya
Soedarsono
memaparkan
sejarah
perkembangan seni pertunjukan dengan dimulai dari masa pra sejarah yang meliputi ciri khas dan karakteristik seni pertunjukan masyarakat pra sejarah. Seni pertunjukan yang dilakukan memiliki tujuan untuk ritual upacara penyembahan kepada roh nenek moyang yang berkembang pada saat itu dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
30
Perkembangan selanjutnya adalah masa pengaruh Hindu terhadap seni tradisional, Soedarsono mengungkapkan bahwa lewat kontak dengan dunia luar khususnya India, kebudayaan Indonesia khususnya seni pertunjukan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Baik itu dari jenis, perangkat musik atau busana yang digunakan. Kesenian pada masa Hindu juga masih diarahkan untuk persembahan kepada dewa-dewa, sebagai
contoh seni tari-tarian
yang
dipesembahkan kepada Dewa Siwa. Pengaruh Hindu tersebut tersebar sampai ke seluruh pelosok nusantara meliputi Jawa, Sumatera, Bali dan sebagian Kalimantan. Perkembangan berikutnya yang dijelaskan oleh Soedarsono dalam bukunya adalah perkembangan seni pertunjukan pada zaman Islam. Masa pengaruh Islam merupakan masa perbedaan yang cukup mendasar. Soedarsono menjelaskan terdapat suatu perbedaan antara Hindu dan Islam. Hindu selalu mengikutsertakan seni perunjukan dalam ibadahnya sedangkan Islam tidak melibatkan semua bentuk seni dalam ibadahnya. Masyarakat Islam hanya menonjolkan seni arsitektur serta seni musik vokalnya. Hal ini sesuai dengan apa yang penulis kaji mengenai patingtung bahwa kesenian ini muncul dan berkembang pada masa penyebaran Islam di wilayah Banten. Patingtung merupakan salah satu seni pertunjukan yaitu pertunjukan beladiri yang menonjolkan musik sebagai pengiringnya. Perkembangan selanjutnya adalah masa pengaruh Barat. Pengaruh Barat terdapat di kota-kota besar dan istana-istana kerajaan, pengaruh-pengaruh itu tidak
31
begitu saja hadir tanpa adanya penyesuaian dengan budaya lokal. Salah satunya adalah bentuk arsitektur bangunan indis, sandiwara dan teater. Lain halnya dengan seni pertunjukan Indonesia pada zaman kemerdekaan, pada masa ini seni pertunjukan mengalami suatu kemajuan dengan ditandai banyaknya seni pertunjukan rakyat. Seni pertunjukan istana mengalami suatu perubahan. Pada awalnya hanya terbatas untuk kalangan istana kini dapat dinikmati oleh rakyat biasa. Meskipun demikian seni pertunjukan istana masih di anggap sebagai sesuatu yang adiluhung daripada seni pertunjukan rakyat biasa. Soedarsono lebih jauh memberikan suatu gambaran bahwa pada masa ini sudah ada upaya untuk menampilkan jati diri sebagai bangsa yang besar dengan ditandai oleh bahasa nasional Indonesia yang semakin kokoh, musik nasional Indonesia yang berawal dari lagu kebangsaan Indonesia. Pada bagian seni pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Soedarsono banyak memaparkan konsep-konsep kesenian yang berhubungan dengan pariwisata. Seni yang mengalami suatu pergeseran, pada awalnya berfungsi sebagai seni pertunjukan yang mempunyai nilai magis berubah fungsi menjadi seni yang bersifat hiburan dan mendapatkan keuntungan. Konsep seperti ini menurut J Maquet disebut sebagai art by metamorphosis. Soedarsono juga dalam bukunya memaparkan mengenai berbagai fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Soedarsono menjelaskan bahwa fungsi seni pertunjukan adalah sebagai sarana ritual, hiburan pribadi, dan sebagai presentasi estetik.
32
a. Fungsi seni ritual, seni pertunjukan Indonesia banyak berkembang di kalangan masyarakat yang dalam tata kehidupannya masih mengacu kepada nilai-nilai agraris serta memeluk agama yang dalam kegiatan ibadahnya sangat melibatkan seni pertunjukan seperti misalnya masyarakat Bali yang beragama Hindu Dharma. b. Seni pertunjukan yang bersifat hiburan pribadi adalah seni pertunjukan dimana penikmat dari tarian hiburan pribadi harus melibatkan diri di dalam pertunjukan (art by participation). Dalam jenis tari yang berfungsi sebagai hiburan pribadi setiap penikmat memiliki gaya pribadi sendiri-sendiri, tak ada aturan ketat untuk tampil di atas pentas. Biasanya asal penikmat bisa mengikuti irama lagu yang mengiringi tari serta merespon penari wanita pasangan kenikmatan pribadi akan tercipta. c. Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis merupakan seni pertunjukan kolektif, hingga penampilannya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. Pada bagian ini Soedarsono menggambarkan bagaimana biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh seni pertunjukan kolektif. Untuk itu diperlukan sponsor dalam menggelar seni pertunjukan kolektif. Digambarkan pula sistem manajemen dari seni pertunjukan ini dan sistem karcis yang akan menyandang dana. Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis ini merupakan seni pertunjukan yang bersifat komersial. Pada bagian ini Soedarsono menggambarkan juga beberapa kelompok seni pertunjukan yang ada di Indonesia mengalami kebangkitan.
33
Lebih lanjut lagi Soedarsono menjelaskan seni pertunjukan sebagai komoditi industri pariwisata di Era Globalisasi. Menurut Soedarsono di negaranegara berkembang fungsi seni pertunjukan sebagai presentasi estetis berkembang dengan pesat adalah seni pertunjukan yang dipresentasikan kepada para wisatawan. Soedarsono juga memaparkan konsep-konsep pariwisata dan seni pertunjukan untuk dijual kepada wisatawan. Disebutkan juga dalam buku Soedarsono bahwa seni yang sudah mengalami metamorphosis akan mengalami proses akulturasi. Akulturasi itu terjadi antara selera estetika seniman setempat dengan selera wisatawan. Berdasarkan pada klasifikasi jenis seni pertunjukan diatas, seni Patingtung merupakan jenis seni pertunjukan tradisional serta seni pertunjukan rakyat yang telah lama hidup, tumbuh dan berkembang pada sebuah masyarakat yaitu masyarakat Serang Banten yang keberadaannya telah menjadi bagian dari aspek kebudayaan masyarakat setempat. Sedangkan apabila dilihat berdasarkan fungsinya, seni Patingtung merupakan seni yang berfungsi sebagai sarana ritual yang pada awal kemunculannya seni ini ditujukan sebagai sarana penyebaran agama Islam. Seiring perjalanannya seni Patingtung ini mengalami perkembangan dengan adanya perubahan fungsi dari sarana ritual menjadi sarana hiburan pribadi bagi masyarakat yang menikmatinya.
2.2. Tinjauan Tentang Seni dan Kebudayaan Banyak orang bicara tentang kebudayaan, akan tetapi pengertian yang dipakai oleh setiap pembicara belum tentu sama. Sementara orang menggunakan
34
istilah kebudayaan untuk menyatakan hasil karya manusia yang indah-indah atau dengan lain perkataan terbatas pada kesenian. Dilain pihak orang menggunakan istilah kebudayaan untuk menyatakan ciri-ciri yang nampak pada sekelompok anggota masyarakat tertentu sehingga dapat dipergunakan untuk membedakan dengan kelompok masyarakat yang lain. Ada pula yang menggunakan istilah kebudayaan untuk menyatakan tingkat kemajuan teknologi yang didukung oleh tradisi tertentu untuk membedakan kebudayaan yang belum banyak menggunakan peralatan mesin dan teknologinya masih terbelakang. Timbul pertanyaan apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan kebudayaan apabila orang membicarakan tentang kebudayaan Indonesia, tentang nilai-nilai budaya yang perlu diwariskan, ataupun tentang kebudayaan yang merupakan daya tarik utama guna meningkatkan devisa pariwisata. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah. Oleh karena itu dua orang antropolog terkemuka yaitu Melville J. Herkovits dan Bronislawa Malinowski mengemukakan bahwa : Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu ( Soekanto, 2005 : 171-172).
Dalam sub-bab ini, penulis berusaha mengkaji dari beberapa literatur yang membahas tentang seni dan kebudayaan antara lain dari Soerjono Soekanto yang
35
berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar”. Dalam bukunya yang merujuk pada tulisan Koentjaraningrat dipaparkan bahwa kata kebudayaan berasal dari (bahasa Sanskerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin colere yang artinya mengolah atau megerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Kebudayaan menunjuk kepada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturanperaturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Menurut ilmu antropologi yang terdapat dalam buku Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat (1990:180) dikatakan bahwa : Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Dipandang
dari
wujudnya,
menurut
Koentjaraningrat
kebudayaan
memiliki, ide, bentuk dan prilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 (tujuh) unsur pokok yaitu sistim kepercayaan, bahasa, sistim ekonomi, sistim sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
36
Pada bagian yang lain, dalam buku “Sosiologi Suatu Pengantar” Soerjono Soekanto juga memaparkan bahwa dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan di artikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan. Dalam sebuah situs http://www.bapeda-jabar.go.id/bpd_site/index.php yang dikutip dari www.republika.co.id, Ismail F. Alatas menulis bahwa Seni, seperti kata filsuf Jerman, Martin Heidegger, adalah sesuatu yang menyodorkan kita sebuah kebenaran tentang adanya kebenaran yang tidak bersifat teoretis maupun praktis. Sebuah kebenaran tentang konflik antara alam (earth) dan dunia (world). Bagi Heidegger, alam adalah entitas-entitas azali yang ada di alam semesta ini dalam arti sebenarnya, tanpa adanya pemaknaan-pemaknaan manusia. Sedangkan dunia dapat diterjemahkan sebagai budaya, yaitu sistem makna yang memungkinkan manusia memahami diri dan sekitarnya. Dengan demikian menurut Heidegger seni adalah sebuah kreativitas manusia yang membuka dunia dari alam. Dengan kata lain, memberikan pemaknaan-pemaknaan kepada alam yang sebelumnya tidak bermakna. Sementara itu kontak sosial budaya saat ini antar warga negara Indonesia yang mempunyai latarbelakang keragaman budaya sudah menjadi lebih intensif. Demikian pula bahwa kontak dengan budaya asing telah dipercepat oleh adanya sistim komunikasi canggih. Semua persoalan ini merupakan masalah yang esensial dalam pembahasan mengenai seni dan pluralisme budaya, atau secara makro adalah seni dalam perspektif kebudayaan. Selanjutnya akan digambarkan
37
interaksi antara seni dengan unsur-unsur budaya yang lain, sekaligus menyatakan betapa pentingnya nilai-nilai budaya sebagai hakikat dan isi dari sebuah karya seni. Seni dipandang dari perspektif kebudayaan, akan terlihat kenyataankenyataan yang saling berhadapan, penuh paradoks, dan juga tegangan. Seni berada dalam tegangan dan hegemoni wacana maupun institusi internasional. Potensi terbangunnya kesalingmengertian dalam seni, semestinya terus di eksplorasi secara optimal. Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan identitas justru semakin besar. Inilah paradoks dan tegangan yang menghiringi wacana tentang identitas budaya. Di satu sisi terdapat gairah untuk masuk dalam arus dan percaturan internasional (yang diliputi oleh semangat menepis batas-batas geografis, idiologis, politis, etnis, bangsa), namun di sisi yang lain justru muncul semangat untuk kembali pada etnisitas dan lokalitas. Satu hal yang pasti penulis pahami dari beberapa literatur di atas bahwa, kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Manusia menyumbangkan peralatan dan caracara pengendaliannya untuk menyambung keterbatasan jasmaninya. Dengan demikian kehidupan manusia dipermudah dengan kebudayaan yang mereka
38
kembangkan. Akan tetapi kebudayaan yang mula-mula mereka kembangkan itu pada gilirannya akan menciptakan lingkungan baru dengan segala tantangannya. Akhirnya manusia mengembangkan kebudayaan bukan semata-mata terdorong oleh karena tantangan dan kebutuhan yang timbul dari lingkungannya, tetapi juga harus menanggapi tantangan dari lingkungan buatan yang bersifat kultural. Tidaklah mengherankan apabila di dunia ini berkembang beranekaragam kebudayaan, walaupun pada dasarnya beragamnya kebudayaan itu berkembang sebagai hasil upaya manusia dalam mempermudah usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (biologis) yang bersifat universal. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan pokok itu sendiri menimbulkan berbagai kebutuhan sampingan (denved needs) yang jauh lebih banyak ragamnya. Karena lingkungan buatan memerlukan perlunya organisasi tertentu maupun teknologi yang perlu dikembangkan di lingkungan setempat. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa dalam hal ini Patingtung yang berada di wilayah Kabupaten Serang merupakan satu bentuk kebudyaan yang di ekspresikan dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam bentuk suatu karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreativitas dalam hal olah imaji dan olah rupa, gerak, suara, dan sebagainya. Penciptaan Patingtung terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan kesenian Patingtung mengandung pengertian yang terpadu antara kreativitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena
39
dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat. Sebagai penampilan ekspresif dari penciptanya, kesenian Patingtung mempunyai hubungan yang erat dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Isi dan bentuk kesenian Patingtung tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam 7 (tujuh) unsur pokok kebudayaan di atas. Terutama pada nilainilai religi bahwa kesenian Patingtung identik dengan nilai-nilai keislaman yang tak lepas dari sejarah latar belakang kemunculannya yang berkaitan dengan penyebaran Islam di Banten. Dari seluruh uraian di atas penulis menilai bahwa hal yang perlu terus diperjuangkan saat ini terutama berkaitan dengan perkembangan kesenian Patingtung di Kabupaten Serang Banten adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus-menerus membangun dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang global, antara yang tradisi dengan yang modern, dengan tendensi untuk saling melengkapi, dan saling memperkaya. Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian tradisional termasuk dalam hal ini Patingtung, bagi kehidupan, dan
40
bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.
2.3. Nilai Budaya dan Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Serang Setiap negara mempunyai sistem nilai (filsafat) tertentu yang menjadi pegangan bagi anggota masyarakat, bangsa negara tersebut. Filsafat negara merupakan pandangan hidup bangsa yang diyakini kebenarannnya dan diaplikasikan dalam kehidupannya. Pandangan hidup bangsa merupakan nilainilai yang dimiliki bangsa tersebut. Nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi segala aspek kebudayaan suatu bangsa. Nilai adalah suatu konsepsi yang secara eksplisit maupun implisit menjadi milik atau ciri khas seseorang atau masyarakat. Pada konsep tersembunyi bahwa pilihan nilai merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku suatu masyarakat. Sistem nilai yang di anut suatu bangsa merupakan sistem nilai masyarakat budaya bangsa. Sistem nilai budaya adalah rangkaian konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta dapat pula dianggap remeh dan tak berharga dalam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat atau bangsa. Dengan demikian, fungsi sistem nilai budaya adalah sebagai pedoman dan pendorong warga masyarakat dalam bertingkah laku. Dalam hal ini, berarti sistem nilai budaya berfungsi sebagai tata kelakuan. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat sendiri merupakan tahap filosofis atau ideologis yang terbentuk karena pengalaman manusia, tahap
41
ini merupakan hasil pemikiran yang biasanya memiliki bentuk tekstual tersurat maupun tersirat dalam norma, aturan adat, cerita rakyat atau karya seni. Sistem nilai budaya terdapat dalam tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Koentjaraningrat (1969 : 18) bahwa : Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang di anggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.
Dalam kehidupan bermasyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap, dimana keduanya menentukan pola-pola tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya di jabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat sopan santun yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat. Adatistiadat menetapkan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertindak secara tertib. Nilai budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu. Sejak kecil “individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat” (Koentjaraningrat, 1969: 18).
42
Sehubungan dengan itu, di dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya itu mencerminkan stereotip tertentu. Untuk menjelaskan permasalahan ini penulis menggunakan sumber, misalnya dalam buku yang dikeluarkan oleh Biro Humas Setda Provinsi Banten yang berjudul “Apa dan Siapa Orang Banten : Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya” bahwa orang Banten itu sedikit keras, terbuka, gigih dan pantang menyerah, garihal, agamis, anti penindasan dan sebagainya. Kekhasan nilai budaya daerah dan perilaku praktisnya itu tentu saja secara relatif berbeda dengan kekhasan nilai budaya suku bangsa lain, misalnya stereotip orang Banten tadi tentu berbeda dengan stereotip orang Jawa, Sunda atau Bugis-Makasar. Penulis memahami bahwa dengan idealisme yang terdapat dalam buku tersebut, kita atau para pembaca diajak untuk menemukan nilai-nilai kearifan lokal yang terpendam, dan bahkan merumuskan jati diri masyarakat Serang Banten. Idealisme yang didasari pada kesadaran bahwa Banten membutuhkan sebuah kekuatan yang dulu pernah terbangun pada masa kejayaan kesultanan Banten. Kebutuhan ini pun terasa sangat mendesak mengingat secara sosiologis Banten atau khususnya Serang tidak lagi menjadi bumi dengan etnis tunggal. Sejarah peradaban Banten telah mengukir heterogenitas dengan multicultural interaction sebagai identitas yang sangat inhern dalam diri masyarakat Serang Banten. Maka sebenarnya tak pernah terbayang sedikitpun oleh Mpu Tantular bahwa ungkapan “Bhineka Tunggal Ika” sebenarnya telah menjadi urat nadi keidupan masyarakat Banten khususnya Serang, sesuatu yang di Majapahit baru tergantung sebagai idealita dan belum pernah ditemukan modelnya.
43
Bila dikaji secara mendalam, seperti yang dikemukakan dalam buku tersebut bahwa kebudayaan Banten memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan kebudayaan Sunda yang terdapat pada masyarakat Priangan ataupun Jawa. Kekhasan inilah yang kemudian dapat dijadikan sebagai jembatan emas bagi ditemukannya nilai-nilai budaya atau identitas lokal yang berwujud nilai-nilai kearifan lokal yang patut di revitalisasi, termasuk dalam bidang keseniannya. Dalam sejumlah kepustakaan, kearifan lokal merupakan translasi dari konsep local wisdom atau local knowledge. Kearifan lokal dengan sendirinya berada dalam tiga dimensi waktu yaitu : masa lalu, sekarang dan masa depan. Dengan demikian, maka kearifan lokal merupakan instrumen yang menjembatani kehidupan manusia dalam latar dan konteks yang berubah-rubah pada setiap zaman dan generasi. Oleh karenanya kearifan lokal memiliki peran penting dalam membangun kebudayaan lokal atau kebudayaan setempat serta menjaga kelanggengan kebudayaan tersebut. Berkaitan dengan hal di atas jelas bahwa Patingtung adalah produk kebudayaan khas masyarakat Serang Banten yang merupakan bagian dari jatidiri bangsa karena berakar dalam budaya masyarakat pendukungnya. Bagi masyarakat pendukungnya, Patingtung yang identik dengan nilai-nilai religi, magis dan bela diri khas Banten tentu dipercayai memiliki unsur atau nilai-nilai budaya yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Pelestariannya juga merupakan ketahanan budaya. Sebagai ketahanan budaya, agar dalam pengaruh dan pancaroba globalisasi, akulturasi, dan komunikasi lintas budaya bangsa ini dapat memelihara eksistensinya serta tidak kehilangan jati diri, harga diri ataupun sejarah
44
peradabannya. Mengenai jati diri dan karakteristik masyarakat Banten menurut penilaian pemerintah kolonial Belanda bahwa “orang Banten sebagai orang yang fanatik dalam agama, agresif, dan berjiwa pemberontak” (Asmara, 1996 : 237). Karakteristik yang keras ini mewarnai kehidupan masyarakat pada waktu itu, sehingga tidaklah heran banyak orang – orang Banten dikenal sebagai “jawara”. Karakteristik yang mewarnai setiap aspek kehidupan ini juga mempengaruhi budaya seni yang berkembang pada waktu itu. Kebudayaan akan terus berubah karena sistem nilai budaya juga mengalami
perubahan.
Perubahan
suatu
budaya
disebabkan
terjadinya
transformasi budaya karena akibat kontak budaya. Fenomena seperti ini mau tidak mau terjadi pula dalam kesenian Patingtung. Nilai budaya yang dipertahankan dalam Patingtung adalah nilai pokok yang menjadi identitas budaya serta menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Nilai budaya tradisional yang terdapat dalam kesenian Patingtung dapat berubah dan dapat pula di ubah, dapat bertahan atau dipertahankan sejauh masyarakat bersepakat melakukannya.
2.4. Proses Kreativitas Seniman Dalam Pelestarian Kesenian Dalam pengertiannya secara umum seni merupakan kreativitas dalam hal olah imaji, olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau dan sebagainya yang diekspresikan oleh jiwa manusia dalam wujud karya seni. Istilah kreativitas di atas merupakan kata kunci bagi seorang untuk melakukan sesuatu yang baru baik berupa ide, maupun karya nyata. Seniman sendiri adalah sebutan bagi orang-orang
45
yang memiliki kontribusi langsung dalam bidang atau dunia seni yang dalam hal ini disebut juga dengan pelaku seni. Kelangsungan sebuah seni tradisional dewasa ini terletak pada daya cipta kreatif senimannya yang merupakan sumbangan besar pada perkembangan masyarakat atau kebudayaan. Dalam upaya mempertahankan keseniannya maka para pelaku seni dituntut untuk mampu melakukan proses kreatif. Untuk mengungkap dan mengkaji lebih jauh mengenai proses kreativitas seniman dalam arus globalisasi, dibawah ini penulis menggunakan beberapa sumber. Buku pertama yang menjadi acuan penulis dalam mengkaji permasalahan kreativitas adalah buku karya Dr. Dedi Supriadi yang berjudul Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan IPTEK. Dalam bukunya ini Dr. Dedi Supriadi memaparkan mengenai pentingnya pengembangan kreativitas dalam kehidupan, baik pada tingkat individual, kelompok, maupun bangsa secara keseluruhan. Buku ini juga memaparkan mengenai definisi dari konsep kreativitas. Dalam bukunya dipaparkan bahwa kreativitas didefinisikan secara berbeda-beda. Pengertian kretivitas tergantung pada bagaimana orang mendefinisikannya “creativity is a matter of definition”. Tidak ada satu definisipun yang di anggap dapat mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini disebabkan oleh dua alasan diantaranya : 1. Sebagai suatu “konstruk hipotesis” kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional yang mengundang berbagai tafsiran yang beragam.
46
2. Definisi-definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi. Berdasarkan penekanannya, dalam buku tersebut diterangkan bahwa definisi-definisi kreativitas dapat dibedakan ke dalam dimensi person, proses, produk, dan press. Dalam buku tersebut Dr. Dedi Supriadi mengutip dari Rhodes (1961) bahwa keempat dimensi kreativitas tersebut dikenal dengan istilah atau sebutan “the four P’s of creativity”. Definisi kreativitas yang menekankan dimensi person dikemukakan misalnya oleh Guilford (1950) : “Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people”. Definisi yang menekankan segi proses diajukan oleh Munandar (1977) : “Creativity is a process that manifests it self in fluency, in flexibility, as well in originality of thinking”. Barron (1976) menekankan segi produk, yaitu : “The ability to bring something new in to existence”, sementara Amabile (1983) mengemukakan, “Creativity can be regarded as the quality of products or responses judged to be creative by appropriate observers”. Berdasarkan analisis faktor, Guilford menemukan bahwa ada lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali (redefinition). Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan
banyak
gagasan.
Keluwesan
adalah
kemampuan
untuk
mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise. Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu
47
secara terinci. Redefinisi adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh banyak orang. Masih ada puluhan definisi mengenai kreativitas. Namun pada intinya dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat persamaan antara definisi-definisi tersebut, yaitu kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan, menciptakan atau mengeluarkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan, maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dalam bukunya Dr. Dedi Supriadi juga memaparkan mengenai hubungan kreativitas dan kebudayaan. Mengenai hal ini beliau memaparkan bahwa kreativitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk dalam upaya pelestarian nilai-nilai budaya lokal tradisional. Melalui kreativitas yang dimilikinya, manusia memberikan bobot dan makna terhadap kehidupan dan nilai-nilai budaya setempat. Secara mikro, dipaparkan bahwa kreativitas diwujudkan dalam produk-produk kreatif individu, dan secara makro, kreativitas di manifestasikan dalam kebudayaan dan peradaban. Kreativitas secara akumulatif dan diskursif terus menerus mengisi dan memperkaya khasanah kebudayaan dan peradaban. Dalam hal ini Dr. Dedi Supriadi juga mengutip dari Sorokin (1976:86) bahwa menempatkan kreativitas merupakan faktor yang sangat penting dalam perubahan sosial budaya. Dengan kreativitasnya, manusia memberikan makna terhadap realitas alam semesta dan mengembangkan corak kehidupannya di bumi. Namun ada yang patut kita waspadai bersama bahwa tidak
48
semua kreativitas bersifat konstruktif. Ada karya kreatif yang bersifat sebaliknya yaitu destruktif bagi manusia itu sendiri, misalnya penciptaan bom atom. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, kreativitas berlangsung dalam setiap dimensi dan aktivitas kehidupan manusia. Kehidupan ini sendiri mengimplikasikan adanya kreativitas, sebab kreativitas itulah yang memberi isi, corak, dan nuansa kepada kehidupan. Mengacu kepada kata-kata pemikir Yunani klasik, Heraklitos, segala sesuatu mengalir dan berubah (pantarei). Perubahan yang progresif dalam kehidupan dan kebudayaan terjadi berkat kreativitas manusia, dengan beragam tingkat dan kualitasnya. Bila kita coba kaitkan dari uraian diatas, jelas bahwa kreativitas sangat dibutuhkan dalam berbagai hal termasuk dalam bidang kesenian khususnya kesenian Patingtung. Proses kreatif dalam mengembangkan kesenian tradisional khususnya kesenian Patingtung tentu saja dapat dilakukan dengan cara menciptakan formula atau warna baru dalam rangka menyesuaikan terhadap selera masyarakat saat ini dengan tanpa menghilangkan jatidiri atau identitas nilainilai yang terkandung didalamnya. Sebab walau bagaimanapun fungsi nilai-nilai itulah yang menjadi cirikhas atau identitas dari suatu seni tradisi yang telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari proses kreatif yang dilakukan para pelaku seni atau seniman itulah yang kemudian nanti memunculkan ide-ide atau sesuatu yang baru dalam bentuk karya nyata pertunjukan seni Patingtung. Buku kedua yang menjadi acuan penulis dalam mengkaji permasalahan kreativitas seniman adalah karya dari S.A. Salah yang berjudul Aspek Manusia Dalam Seni Pertunjukan (1996). Dalam buku tersebut Salah mengkaji mengenai
49
eksistensi kesenian tradisional khususnya seni Sunda yang sedang dihadapkan pada pengaruh globalisasi. Dijelaskan pula dalam bukunya bahwa proses globalisasi ditandai dengan semakin majunya sistem komunikasi dan informasi menjadikan masyarakat lebih cenderung meminati jenis hiburan yang ditayangkan oleh stasiun TV, baik itu kesenian nasional maupun seni yang datangnya dari budaya luar bila dibanding dengan hiburan berupa seni tradisional atau seni pertunjukan daerah. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa globalisasi juga mengakibatkan para penggarap seni khususnya seni karawitan Sunda dewasa ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat, apalagi dari generasi muda dan masyarakat urban, bahkan dikalangan pedesaan pun sudah terpengaruhi oleh tayangan-tayangan dari acara-acara TV dan media hiburan lain. Maka menjadi tidak heran apabila banyak seniman yang mundur dari bidang garapannya. (Salah, 1996: 32). Salah (1996 : 43) memaparkan bahwa, berubahnya minat masyarakat yang lebih memilih jenis kesenian yang ditayangkan oleh media elektronik membuat tugas seniman karawitan Sunda menjadi semakin berat. Para seniman harus membuat konsep garapan yang memperhatikan perkembangan zaman dan selera masyarakat, karena konsep garapan yang kurang memperhatikan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan anggota masyarakat, disamping memperhitungkan tentang keterampilan dan ilmu pengetahuan para penyajinya, maka penyajiannya kurang memperoleh perhatian dari para penonton secara kuantitatif. Dalam
bayang-bayang
globalisasi
dimana
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan tekhnologi yang semakin pesat, manusia, penyaji atau dalam hal
50
ini adalah seniman merupakan aspek yang paling bertanggung jawab terhadap jalannya atau kelangsungan dari sebuah kesenian. Dalam keadaan seperti itu para seniman dituntut untuk dapat legih kreatif dan inovatif dalam menggarap sebuah seni pertunjukan daerah atau kesenian tradisional. Mereka harus kritis dan tanggap terhadap makna, jiwa serta pesan yang harus disampaikan pada masyarakat. Selain itu mereka juga harus memperhatikan untung ruginya, untuk siapakah, kapan dan dimanakah kesenian tersebut dipentaskan. Dampak dari globalisasi juga mengakibatkan adanya perpaduan atau penggabungan antara kesenian tradisional dengan unsur seni yang datang dari Barat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan keberadaan kesenian tradisional di tengah-tengah derasnya arus budaya global, kolaborasi disini kebanyakan pada aspek musik pengiringnya. Terakhir yang berhubungan langsung dengan kreativitas seniman atau pelaku seni, Salah mengungkapkan bahwa subjek dalam kesenian adalah para seniman, jadi seniman merupakan unsur yang paling bertanggungjawab terhadap kelangsungan sebuah kesenian di tengah persaingan dengan kesenian yang datang dari luar, yang mampu merubah selera masyarakat. Sedangkan yang menjadi objek dalam hal ini adalah penonton dimana penonton akan memilih seni mana yang sesuai dengan kebutuhannya dan mampu memuaskannya. Namun pada dasarnya kedua pihak baik itu penonton maupun penyaji, keduanya memiliki kesamaan kebutuhan yaitu kebutuhan psikologis. Pada satu sisi seniman akan merasa senang bila hasil karyanya mendapat sambutan baik dari penonton. Di sisi
51
lain penonton akan merasa senang bila mereka puas setelah menyaksikan sebuah hasil karya seniman. Berdasarkan uraian di atas, kelebihan dari tulisan Salah ini adalah, sebagai seorang yang mengkaji tentang kesenian dan hubungannya dengan globalisasi yang jelas dapat menghambat dalam pelestarian nilai-nilai budaya lokal, kajiannya mencoba berusaha menghubungkan faktor utama dari globalisasi dan dampaknya yang nyata dari proses globalisasi tersebut terhadap seni lokal. Selain itu dalam kajiannya disertakan juga mengenai kreativitas seorang seniman sebagai subjek dari seni. Kekurangan dari kajian Salah ini adalah hanya memaparkan dampak globalisasi terhadap seni lokal secara umum tidak secara spesifik terhadap seni tertentu sehingga kajian menjadi tidak mendalam karena dalam kesenian tertentu didalamnya terdapat berbagai unsur seni yang mungkin tidak akan luput dari pengaruh globalisasi ini. Buku ketiga yang membantu penulis dalam memahami permasalahan kreativitas seniman dalam arus globalisasi adalah buku karya Saini K.M yang berjudul “Taksonomi Seni”. Buku ini berisi penjelasan mengenai tahap-tahap proses kreativitas yang dialami seorang seniman sehingga menghasilkan suatu karya seni. Dalam buku tersebut dipaparkan bahwa yang dimaksud dengan proses kreatif adalah seluk-beluk dan tahap-tahap kegiatan yang dilalui seniman untuk terciptanya karya seni. Proses ini tidaklah sederhana karena melibatkan banyak faktor dan unsur. Dapat dijelaskan pula oleh Saini K.M dalam bukunya bahwa apresiasi seni berhubungan dengan keterlibatan mental, intelektual dan bahkan
52
spiritual. Artinya sang apresiator di dalam menghadapi karya seni mendapat peluang untuk memasuki pengalaman hidup selengkap-lengkapnya dan sepenuhpenuhnya. Hal ini berarti dalam proses kreatif, senimanpun berhubungan dan berkepentingan dengan pengalaman. Pengalamanlah yang di olahnya hingga akhirnya menjadi bahan utama dari karya seninya. Pengalaman itu sendiri adalah apa yang terjadi dengan kesadaran setelah kesadaran itu bersinggungan dengan gejala atau kenyataan. Dengan kata lain bahwa pengalaman adalah dampak yang terjadi pada kesadaran sebagai hasil persinggungan, pergaulan, bahkan pergulatan, antara kesadaran itu dengan gejala atau kenyataan (realitas). Saini K.M juga memaparkan dalam bukunya bahwa yang dimaksud dengan kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau megidentifikasi suatu masalah secara tepat dan memberikan jawaban yang tepat terhadap masalah itu. Selain itu dipaparkan pula bahwa seorang seniman setelah kesadarannya bergulat dengan gejala atau fakta realitas dari sebuah kenyataan maka akan mendapatkan pengalaman yang kental tentang gejala dan kenyataan itu. Sebagai seniman ia memiliki dorongan yang kuat untuk berbagi pengalaman itu dengan orang lain. Maka ia pun menghadapi masalah, yaitu bagaimana ia harus mengungkapkan pengalamannya itu. Sesuai dengan bidang seni yang menjadi ajang kegiatannya, pada dasarnya seorang seniman akan melakukan dua hal, yaitu (1) memilih; dan (2) menyusun lambing-lambang. Seniman harus memilih dan mempergunakan lambanglambang yang paling cocok atau paling tepat sebagai pengungkap bagian-bagian dari pengalamannya itu, yaitu bagi pikiran dan perasaan-perasaannya. Setelah
53
menemukan sejumlah lambang yang tepat, seniman menyusunnya dalam struktur organis lambang-lambang itu. Struktur organis dari lambang-lambang itulah yang kemudian disebut karya seni. Dari penjelasan di atas kiranya jelas bahwa untuk menjadi kreatif atau menciptakan karya seni, diperlukan adanya pengalaman. Dengan demikian untuk menjadi seniman seperti halnya yang terjadi pada seni Patingtung, maka seseorang perlu memiliki beberapa kecenderungan. Pertama, ia harus memiliki minat yang besar terhadap kehidupan, atau dengan kata lain kesadarannya senantiasa terbuka pada gejala dan realitas yang ditemukannya dalam kehidupannya itu. Kedua, seorang seniman cenderung bersifat obsesif. Kesadarannya cenderung terlibat secara menukik (pekat, kental, intens) dengan gejala atau realitas yang menyinggung kesadarannya itu. Hasilnya ialah didapatnya pengalaman yang kental pula tentang gejala atau realitas yang digelutinya itu. Ketiga, seniman memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan apa yang dialaminya. Artinya ia memiliki kecenderungan yang kuat yang mendorongnya untuk mencipta karya seni atau kreatif. Buku-buku, hasil penelitian yang penulis kaji di atas cukup memberikan pemahaman terhadap judul secara umum. Namun buku-buku, hasil penelitian tersebut belum mampu menggambarkan secara spesifik mengenai perkembangan Kesenian Patingtung. Hal inilah yang akan menjadi bahan kajian bagi penulis untuk meneliti lebih dalam mengenai Perkembangan Kesenian Patingtung Di Kabupaten Serang Banten (Suatu Tinjauan Terhadap Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Lokal).