BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan kepustakaan berisi tentang pendapat dan analisis dari beberapa peneliti, ahli maupun pakar dalam bidang tertentu. Dalam penelitian skripsi ini tidak lepas dari tinjauan kepustakaan yang didasarkan pada beberapa sumber sejarah dan disiplin ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi dan antropologi. Dalam bab ini peneliti memaparkan daftar literatur yang digunakan sebagai acuan berfikir terhadap penelitian skripsi yang berjudul “Kehidupan Pekerja Seks Komersial (PSK) Asal Indramayu di Saritem Tahun 1960-1998 (Suatu Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi)” Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dipilih karena sangat berhubungan dengan permasalahan yang dikaji. Hal ini dikarenakan belum ada buku yang menulis secara langsung mengenai prostitusi di Saritem, beserta kehidupan di dalamnya secara khusus dengan periode waktu dari awal berdirinya sampai zaman sekarang. Adapun kajian pada tinjauan kepustakaan ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu, Pertama, tinjauan umum mengenai prostitusi, Kedua, tinjauan umum mengenai pekerja seks komersial (PSK), Ketiga, tinjauan mengenai kontribusi/pengaruh sosialbudaya dan ekonomi terhadap suatu masyarakat.
15
2.1. Tinjauan Umum Mengenai Prostitusi Pembahasan mengenai prostitusi terdapat dalam buku karya Kartini Kartono (1992) yang berjudul Patologi Sosial. Buku tersebut memaparkan secara luas mengenai pengertian prostitusi (pelacuran), faktor penyebab prostitusi, akibat-akibat prostitusi, serta jenis prostitusi dan lokalisasi. Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Menurut Kartini Kartono (1992: 199), kata pelacuran berasal dari bahasa Latin Pro-stituere atau Pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah atau melakukan percabulan. Selain daripada itu ada beberapa ahli yang memaparkan mengenai pengertian prostitusi, salah satunya menurut pendapat W.A. Bonger seperti dikutip oleh Kartini Kartono (1992: 205), bahwa prostitusi merupakan gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Sementara itu, P. J. De Bruine Van Amstel seperti yang dikutip Kartini Kartono (1992: 205), menyatakan bahwa prostitusi merupakan bentuk penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran. Pengertian prostitusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 793) adalah suatu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau gejala hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Pengertian ini pada intinya hampir sama dengan pengertian prostitusi yang dipaparkan dalam Ensiklopedia Indonesia (1998: 278) yaitu suatu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai transaksi perdagangan. Prostitusi pun menganut hukum ekonomi dimana apabila ada
16
penawaran maka akan ada permintaan. Hal ini sesuai dengan pengertian di atas bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam prostitusi memang memiliki motivasi untuk memperoleh penghasilan berupa uang atau hadiah dalam suatu transaksi, seperti perdagangan. Sementara itu, Kartini Kartono (1992:240), memaparkan mengenai jenis prostitusi dan lokalisasi yang dibagi menurut aktivitasnya. Jenis prostitusi tersebut diantaranya sebagai berikut: a. Prostitusi yang terdaftar Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam suatu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada Dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum. b. Prostitusi yang tidak terdaftar Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok. Aktivitasnya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak menentu, mereka pun tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib, sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Dilihat dari dua kategorisasi di atas, dan dengan melihat kondisi di lapangan, maka status Saritem sendiri dapat dikatakan sebagai prostitusi yang terdaftar. Hal tersebut diberlakukan untuk menempatkan para PSK di satu tempat saja untuk
17
memudahkan pengawasan. Pendapat ini terutama dianut oleh warga Saritem yang menjalankan bisnis prostitusi, yaitu para PSK dan mucikari. Penduduk setempat sendiri tidak menyetujui tempat tinggal mereka tersebut disebut sebagai lokalisasi, dikarenakan adanya rasa keberatan dari sebagian warga dengan kegiatan prostitusi di Saritem (Wawancara dengan Yayan Kristian, tanggal 8 Maret 2007). Setelah dikonfirmasi ke Kantor Kelurahan Kebon Jeruk, didapatkan keterangan senada bahwa pemerintah pada dasarnya tidak menyetujui jika Saritem dikatakan sebagai lokalisasi, karena konotasi makna dari lokalisasi berarti ada pihak yang meresmikannya, dan pemerintah sendiri merasa tidak pernah meresmikan lokalisasi tersebut, karena keberadaan Saritem sendiri sudah ada sejak zaman Belanda (wawancara dengan Doddy Moch. Romdon, tanggal 6 Agustus 2007). Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa jika dilihat dari prakteknya, pemerintah (Dinas Sosial) juga ternyata memberikan penyuluhan setiap minggunya dengan mengadakan pemeriksaaan rutin kesehatan dan pemberian kondom gratis setiap minggunya (wawancara dengan Yayan Kristian, tanggal 8 Maret 2007). Masyarakat yang tidak mengetahui tujuan sebenarnya dari kegiatan tersebut dapat saja beranggapan bahwa pemerintah melindungi praktek prostitusi di Saritem dan menyetujui Saritem sebagai tempat lokalisasi, padahal tujuan sebenarnya dari kegiatan penyuluhan tersebut adalah untuk mencegah menyebar luasnya virus HIV penyebab penyakit AIDS di Saritem. Pemberian kondom dilakukan sebagai upaya pencegahan penularan penyakit tersebut dari PSK kepada langganan mereka. Penyuluhan tersebut dilakukan sekaligus sebagai pendekatan agar para PSK
18
meninggalkan pekerjaan mereka tersebut (wawancara dengan Yayan Kristian, tanggal 8 Maret 2007). Selain itu Kartini Kartono (1992: 242), mengkategorisasikan prostitusi menurut jumlahnya. Jenis prostitusi tersebut diantaranya: a) Prostitusi yang beroperasi secara individual; merupakan “single operator”, atau; b) Prostitue yang bekerja dengan bantuan organisasi dan “sindikat” yang teratur rapi. Jadi, mereka itu tidak bekerja sendirian; akan tetapi diatur melalui satu sistem kerja suatu organisasi. Jika dilihat dari ciri-cirinya, kawasan prostitusi di Saritem dapat digolongkan sebagai prostitusi yang terorganisir, yaitu terdapatnya mucikari/germo yang membawahi beberapa PSK dan bekerjasama dengan para calo sebagai penghubung dengan para pelanggan mereka. Sedangkan menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi 3 jenis, diantaranya: a) Segregasi atau lokalisasi, yang terisolir atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Komplek ini dikenal sebagai daerah “lampu merah”, atau petak-petak daerah tertutup. b) Rumah-rumah panggilan (Call houses, tempat rendezvous, Parlour). c) Di balik front-organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat (apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap dan pijat, pertunjukan wayang, sirkus, dan lain sebagainya).
19
Di Saritem sendiri, lokalisasi itu pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang dikelola oleh mucikari atau germo. Di luar negeri, germo/mucikari mendapat sebutan madam, sedangkan di Indonesia mereka biasa dipanggil dengan sebutan “papi” atau “mami”. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian dan alat berhias. Di tempat tersebut diterapkan pula peraturan yang tegas bagi para PSKnya, diantaranya dilarang mencuri uang pelanggan, dilarang merebut pelanggan orang lain, tidak boleh mengadakan janji di luar, dilarang memonopoli seorang langganan, dan lain-lain. Para PSK itu pun harus membagi hasil pendapatannya dengan para mucikari atau germo. Sebagian uang yang mereka peroleh dipergunakan untuk membayar pajak rumah dan untuk memeriksakan kesehatan mereka secara rutin ke dokter, sekaligus sebagai uang keamanan, agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya. Prostitusi selain disebabkan oleh adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dari para wanita yang melakukan aktivitas prostitusi atau yang lebih umum dikenal sebagai pekerja seks komersil (PSK) dan para pria yang menjadi pelanggan kegiatan ini. Prostitusi dapat disebabkan pula oleh keadaan-keadaan tertentu yang mempengaruhi kehidupan manusia. Kartini Kartono (1992: 232), menyebutkan beberapa peristiwa sosial yang menyebabkan aktivitas prostitusi, diantaranya sebagai berikut: 1. Tidak adanya Undang-Undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan.
20
2. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan. 3. Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo-germo maupun oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan prostitusi. 4. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat masyarakat mengalami kesejahteraan hidup. 5. Semakin menurunnya penghormatan terhadap harkat dan martabat kaum wanita sebagai manusia. 6. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitir kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil. 7. Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat di daerah-daerah perkotaan ibu kota, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial yang cepat dan radikal, sehingga masyarakatnya menjadi instabil.
2.2. Pekerja Seks Komersial (PSK) Pembahasan mengenai PSK terdapat dalam buku berjudul Patologi Sosial (1992), karya Kartini Kartono. Menurutnya, PSK atau wanita tuna susila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar ikatan perkawinan baik dengan imbalan jasa maupun tidak (Kartono, 1992: 183). Selain itu, menurut peraturan Pemerintah DKI Jakarta tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah prostitusi menyebutkan bahwa pelacur adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin di luar ikatan pernikahan yang sah (Kartono, 1992: 183). Menurut
21
Kartini Kartono (1992: 204-205), ciri-ciri khas dari PSK tersebut adalah sebagai berikut: a. Wanita b. Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif, menarik baik wajah maupun tubuhnya c. Masih muda-muda, 75 % dari jumlah PSK di kota-kota ada di bawah usia 30 tahun, yang terbanyak adalah antara usia 17-25 tahun. Prostitusi kelas rendahan dan menengah biasanya mempekerjakan gadis-gadis pra puber yang berusia antara 11-15 tahun. d. Pakaiannya sangat mencolok, beraneka warna, eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. e. Menggunakan teknik-teknik seksual tertentu. f. Seringkali berpindah dari tempat/kota yang satu ke tempat lainnya. g. Para PSK profesional dari kelas rendah atau menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah. Mereka pada umumnya tidak memiliki keterampilan khusus dan minimnya pendidikan yang mereka miliki. Berdasarkan uraian diatas, dan setelah melihat kondisi di lapangan, maka dapatlah dikatakan bahwa para PSK di Saritem sebagian besar memiliki ciri-ciri di atas, bahwa sebagian besar para PSK di Saritem tersebut berada pada usia15-25 tahun, bahkan ada beberapa yang masih berusia 14 tahun dan sudah mengalami dua kali pernikahan dan 3 kali aborsi (wawancara dengan Yayan Kristian, tanggal 8 Maret 2007). Mereka pada umumnya memakai pakaian yang menarik perhatian, karena semakian cantik PSK tersebut, maka bayaran yang mereka terima akan lebih tinggi
22
(wawancara dengan Yayan Kristian, tanggal 8 Maret 2007). Alasan utama mereka terjun dalam profesi tersebut adalah karena tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut, karena kurangnya keahlian untuk memulai usaha sendiri (wawancara dengan Yayan Kristian, tanggal 8 Maret 2007), ciri-ciri tersebut sesuai dengan pernyataan Kartini Kartono di atas. Kartini Kartono pun menjelaskan mengenai faktor-faktor pendorong wanita menjadi PSK. Alasan tersebut tidak terbatas pada faktor ekonomi semata. Faktorfaktor tersebut antara lain sebagai berikut (Kartono, 1992: 30): a. Adanya tekanan ekonomi. b. Adanya nafsu-nafsu seks yang tidak terintegrasi dalam kepribadiannya. c. Adanya keinginan hidup bermewah-mewah, namun malas untuk bekerja. d. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. e. Rasa ingin tahu gadis-gadis pada usia puber pada masalah seks. f. Sebagai pemberontakan terhadap masyarakat terhadap norma-norma sosial yang dianggap terlalu mengekang. g. Karena bujuk rayu kaum laki-laki yang akhirnya dijerumuskan dalam rumahrumah pelacuran. h. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk film-film biru, gambar-gambar porno, majalah, dan lain-lain. i. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga broken homes j. Pekerjaan
sebagai
PSK
tidak
memerlukan
keterampilan/skill,
memerlukan intelegensia yang tinggi, mudah dikerjakan, dan lain-lain
23
tidak
k. Adanya pengalaman-pengalaman traumatis dalam hidupnya l. Adanya ajakan dari teman sekampung yang terlebih dahulu terjun ke dalam bisnis prostitusi Hal senada mengenai prostitusi terdapat dalam buku yang berjudul Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan Dalam Masyarakat karya Soedjono Dirdjosisworo (1997). Buku tersebut menjelaskan tentang alasan wanita menjadi Wanita Tuna Susila, diantaranya sebagai berikut: a) Karena tekanan ekonomi, dimana seseorang yang tidak memiliki pekerjaan tentu tidak akan mendapat penghasilan untuk nafkahnya, maka untuk memenuhi kebutuhannya, mereka terpaksa menjual diri mereka. b) Karena tidak puas dengan posisi yang ada, dimana seseorang walaupun sudah memiliki pekerjaan, namun belum puas karena tidak mampu membeli barangbarang yang lebih bagus. c) Karena kebodohan, dimana mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi, intelegensia dan keterampilan yang memadai. d) Karena tidak puas dengan kehidupan seks yang ada. Pendapat Soedjono tersebut sejalan dengan keterangan yang didapatkan di lapangan. Menurut Ketua RW 07, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bapak Yayan Kristian. Beliau memberikan keterangan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan para PSK tersebut rela melakukan aktivitas prostitusi ini sebagai pekerjaan, yaitu karena faktor kesulitan ekonomi, masalah sakit hati dan keinginan untuk mendapatkan uang secara instant. Beliau pun menambahkan faktor minimnya
24
pendidikan, dan minimnya pengetahuan agama sebagai faktor yang dapat mempengaruhi para PSK tersebut terjun ke dalam aktivitas prostitusi di Saritem ini. Sementara itu, Arif Wahyunadi, dkk (2004: 31), menambahkan faktor yang dapat menyebabkan wanita terjun ke dalam dunia prostitusi antara lain karena gaya hidup yang setiap saat dilihat dan didengar dari lingkungannya. Gaya hidup yang berkembang di kalangan remaja perkotaan yang dapat mendorong seseorang memasuki dunia pelacuran antara lain: konsumerisme, penggunaan narkoba dan pengalaman seks dini. Sementara itu keterangan mengenai hukum dan Undang-Undang yang mengatur masalah PSK dan prostitusi di Indonesia terdapat dalam tulisan Kartini Kartono (1992: 232) yang menyatakan bahwa salah satu alasan meningkatnya praktek-praktek prostitusi di Indonesia adalah karena tidak adanya Undang-Undang yang melarang praktek pelacuran, terutama para PSK, maka Nurhayati S (1997) dalam salah satu artikel surat kabar Pikiran Rakyat berjudul Masalah Pelacuran dan Upaya Pemindahannya menyatakan bahwa dalam Undang-Undang negara kita, belum ada satu pasal pun di dalam KUHP yang secara tegas mengancam para PSK dengan hukuman pidana. Hanya ada tiga pasal yang mengancam hukuman pidana pada germo (pasal 296 KUHP), pihak yang memperniagakan wanita termasuk lakilaki yang belum dewasa (pasal 297 KUHP), dan pasal 506 KUHP yang mengancam para Souteneur (pelindung) yang bertugas pula sebagai perantara atau calo. Tidak adanya hukuman yang tegas mengancam para PSK tersebut dapat menambah jumlah
25
PSK dalam aktivitas prostitusi, padahal PSK sendiri dapat dikatakan sebagai pelaku utama dalam aktivitas prostitusi. Sementara itu, pendapat Kartini Kartono (1992), yang menyatakan bahwa salah satu alasan maraknya usaha prostitusi di Indonesia adalah karena tidak terdapatnya Undang-Undang atau larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan, pendapat tersebut tidak sejalan dengan pendapat Laden Marpaung (1996: 42-43) dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, dimana dijelaskan terdapat Undang-Undang yang mengatur perzinahan di Indonesia. Perzinahan (Adultery) diatur dalam pasal 284 KUHP dimana pelakunya diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan. Pendapat Kartini Kartono (1992: 232) yang menyatakan tidak terdapatnya peraturan yang tegas mengenai perzinahan mungkin hanya sekedar pandangan pribadi peneliti setelah melihat realitas sosial yang ada di sekitarnya, dimana budaya seks bebas sudah semakin meningkat dan masyarakat seakan-akan sudah menganggapnya sebagai perbuatan yang sudah biasa terjadi, sehingga hukum pidana yang ada pun diacuhkan, karena banyaknya kasus perzinahan dan kehamilan di luar ikatan perkawinan.
2.3. Kontribusi Kondisi perekonomian dan Nilai/Norma Terhadap Masyarakat. 2.3.1.Kontribusi Kondisi Perekonomian Terhadap Masyarakat Pembahasan mengenai pengaruh kondisi perekonomian terhadap masyarakat terdapat dalam buku Ekonomi Sumber Daya Manusia, karya Sudarsono, dkk (1988).
26
Sesuai dengan judulnya, buku ini membahas keterkaitan antara ekonomi dengan masyarakat selaku sumber daya manusia dalam kegiatan perekonomian itu sendiri. Di dalamnya dijelaskan mengenai pengaruh permintaan angkatan kerja, pendidikan keterampilan, pengangguran, tingkat upah, dan lain-lain terhadap kehidupan masyarakat secara umum, khususnya dalam bidang perekonomian. Buku tersebut menjelaskan bahwa wanita Desa lebih aktif di pasar tenaga kerja daripada wanita kota, namun hal tersebut tidak berarti bahwa kehidupan wanita desa lebih baik daripada wanita kota. Alasan untuk menjelaskannya adalah bahwa, pertama, karena pada umumnya para wanita desa ini menikah dengan suami yang pada umumnya berpenghasilan lebih rendah daripada suami-suami di kota. Kedua, biasanya jenis-jenis pekerjaan yang tersedia bagi wanita desa lebih terbatas dan dengan tingkat upah yang lebih rendah daripada di Kota (Sudarsono, dkk, 1988: 1.12). Hal ini terlihat dari kehidupan para PSK asal Indramayu di Saritem. Pada umumnya mereka hidup dengan kemampuan ekonomi yang rendah, dan mayoritas adalah anak dari petani atau buruh tani yang berpenghasilan rendah. Para pria Indramayu bekerja ke kota besar kebanyakan menjadi buruh kasar, sementara para wanitanya, terutama yang masih muda dan cantik, memilih jalur prostitusi (tersedia di: http://www.gatra.com/2002-10-08/versi_cetak.php?id=21179). Berkaitan dengan pernyataan di atas, ternyata tingkat upah memiliki peranan langsung dengan jam kerja yang ditawarkan. Pada kebanyakan orang, upah merupakan suatu motivasi dasar yang mendorong orang untuk bekerja. Corak pengaruh tingkat upah bersifat positif dalam arti makin tinggi tingkat upah, maka
27
makin banyak jam kerja yang ditawarkan dengan batas-batas tertentu (Sudarsono, dkk, 1988: 1.13). Sementara itu, makin sedikit tingkat upah, maka semakin sedikit tenaga kerja yang diminta, begitu pula sebaliknya. (Sudarsono, dkk, 1988: 2.12). Hal tersebut dapat dilihat dari kehidupan para PSK asal Indramayu, bahwa sebagian dari mereka terjun ke dalam dunia prostitusi karena tergiur dengan besarnya jumlah upah yang ditawarkan oleh para calo yang menjanjikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di kota besar atau ke luar negeri, namun ternyata mereka malah dipekerjakan sebagai PSK. Kondisi di atas tidak akan terjadi, jika wanita-wanita tersebut memiliki keterampilan/keahlian tertentu untuk bekerja. Hal tersebut dapat dicapai melalui pendidikan. Pada umumnya jenis dan tingkat pendidikan dianggap dapat mewakili kualitas tenaga kerja. Pendidikan adalah suatu proses yang bertujuan untuk menambah keterampilan, pengetahuan dan meningkatkan kemandirian pada diri seseorang sebagai modal dasar yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan. Makin tinggi nilai aset, makin tinggi pula kemampuan untuk bekerja. Produktivitas mereka ditunjang oleh pendidikan, dengan demikian pendidikan dapat digunakan sebagai indikator mutu tenaga (Sudarsono, dkk, 1988: 1.12). Jika mengkaji pernyataan di atas dalam hubungannya dengan kehidupan para PSK asal Indramayu di Saritem, maka dapatlah dilihat salah satu faktor yang menyebabkan mereka terjun dalam aktivitas prostitusi di Saritem. Faktor tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Hal tersebut menyebabkan
28
tidak memadainya keahlian/keterampilan untuk bekerja, sehingga mereka memilih jalur prostitusi yang tidak menuntut keterampilan/keahlian yang memadai. Buku tersebut juga menjelaskan mengenai pengaruh pengangguran terhadap masyarakat. Menurut Sudarsono, dkk (1988: 1.15) menyebutkan bahwa tingkat pengangguran dapat menunjukkan situasi perekonomian. Reaksi penduduk terhadap perubahan situasi perekonomian dapat berbeda-beda. Waytanski, seorang peneliti masalah ketenagakerjaan mengajukan hipotesa yang bernama discourage-worker hypotesis. Menurut hipotesa ini, apabila perekonomian memburuk yang ditandai oleh naiknya angka pengangguran, masyarakat mengalami persaingan yang lebih ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja yang semakin sedikit, sehingga pencari kerja menjadi putus asa. Keputusasaan ini terlihat dari kehidupan para PSK asal Indramayu di Saritem. Sejak krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 terjadi, banyak orang kehilangan pekerjaan, sementara untuk mencari pekerjaan lain membutuhkan keahlian yang memadai, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka rela menjadi PSK. Sebaliknya yang terjadi adalah apa yang diajukan oleh additional worker hypotesis, yaitu apabila mencari pekerjaan menjadi lebih sulit maka justru memaksa anggota rumah tangga yang lain untuk membantu ekonomi dengan aktif mencari pekerjaan, akibatnya tingkat partisipasi angkatan kerja menjadi naik (Sudarsono, dkk, 1988: 1.15). Teori ini berlaku dalam melihat kehidupan sebagian masyarakat Indramayu dalam kaitannya dengan kegiatan prostitusi. Dalam pandangan sebagian masyarakat Indramayu, didapatkan suatu keterangan bahwa mereka mempekerjakan
29
anak wanitanya sebagai PSK sebagai penunjang ekonomi keluarga (Tersedia di: http:www.gatra.com/2001-05-01/artikel.php?id=5972). Sementara itu, berkaitan dengan fokus penelitian mengenai kehidupan PSK asal Indramayu yang terlibat dalam kegiatan prostitusi di Saritem, maka buku Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi (1984) karya Ester Boserup cukup memberikan gambaran mengenai kedudukan wanita dalam kehidupan perekonomian keluarga. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa di banyak negara berkembang, wanita merupakan bagian terbesar dalam angkatan kerja industri rumah tangga (Boserup, 1984: 98). Tingkat peran serta kerja wanita yang rendah cenderung menekan pendapatan keluarga di banyak negara berkembang. Pendapat Ester Boserup di atas sekaligus mematahkan anggapan bahwa pria merupakan sumber nafkah keluarga. Jika hal tersebut dihubungkan dengan kondisi kehidupan PSK asal Indramayu di Saritem, maka setelah melihat kondisi di lapangan, diperoleh informasi bahwa sebagian besar PSK-PSK asal Indramayu tersebut bekerja di Saritem untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di kampung. Mereka ratarata menjadi sumber pendapatan keluarga dan para orangtua pun menggantungkan hidupnya dari hasil pekerjaan anaknya tersebut. Para orangtua pada umumnya tidak berdaya dikarenakan penghasilan yang mereka peroleh setiap bulannya sebagai petani atau buruh tani tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Pendapat tersebut diperkuat oleh John P. Lewis, dkk (1987), yang menyatakan bahwa di negara-negara berkembang bagian terbesar (sekitar 40%) dari kaum paling miskin merupakan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pertanian
30
terutama kelompok buruh tani (Lewis, 1987: 61). Akibat-akibat perubahan ekonomi terhadap kaum miskin sangat bergantung pada kondisi-kondisi penggunaan tanah dan pembagian besarnya pemilikan tanah. Kemiskinan paling besar terdapat dimana tanah dibagi-bagi ke dalam banyak pemilikan kecil dan dimana terdapat pemusatan pemilikan tanah yang mencolok disertai pengolahannya oleh buruh tani atau petani penggarap. Pemusatan pemilikan tanah dalam kondisi-kondisi dimana para petani kecil dan buruh tani tidak mempunyai kesempatan kerja lainnya, maka hal tersebut memberi kesempatan kepada para pemilik tanah yang besar untuk membayar upah yang rendah kepada para buruh tani tersebut (Lewis, 1987: 66). Keterangan mengenai kondisi buruh tani diperlukan untuk menggambarkan latar belakang kondisi perekonomian PSK asal Indramayu di Saritem. Pada umumnya, sebagian besar orang tua mereka bekerja sebagai petani dan buruh tani yang tidak memiliki tanah, upah yang mereka terimapun sangat sedikit. Kehidupan mereka secara langsung bergantung pada majikan-majikan mereka. Ketidakmampuan orangtua tersebut mengakibatkan banyak keluarga mangalami kemiskinan. Pengaruh kemiskinan tersebut sangat luas terhadap kelangsungan hidup keluarga, diantaranya kurang terpenuhinya kebutuhan pokok keluarga, terabaikannya aspek pendidikan dan kesehatan keluarga, sampai kepada pengaruh yang lebih luas diantaranya mentalitas masyarakat. Dengan kondisi tersebut, banyak anak-anak wanita dari keluarga miskin berinisiatif mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, namun rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan banyak dari mereka harus menjalani
31
pekerjaan yang tidak menuntut keahlian tertentu seperti menjadi pembantu rumah tangga dan PSK.
2.3.2. Kontribusi Nilai dan Norma Terhadap Masyarakat Pembahasan mengenai nilai dan norma dan masyarakat erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat karena nilai dan norma tersebut merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Sumber yang membahas mengenai hal tersebut adalah buku karya Usman Pelly dan Asih Menanti (1994) yang berjudul Teori-Teori Sosial Budaya. Buku tersebut memaparkan mengenai hakikat kebudayaan, hakikat masyarakat, hakikat nilai budaya, beserta pemaparan mengenai hubungan antara kebudayaan dan masyarakat. Menurut E.B Taylor dalam Usman Pelly & Asih Menanti (1994: 23), kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan adalah sesuatu yang universal, yang berbeda adalah perwujudannya, sesuai dengan kebudayaan yang dikandung oleh suatu masyarakat tertentu yang tinggal di tempat tertentu pula. Perbedaan ini disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang berbedabeda dari masing-masing masyarakat. Kebudayaan bersifat dinamis, bagaimanapun juga kebudayaan itu akan berubah, hanya kecepatannya yang berbeda. Kebudayaan akan mewarnai setiap masyarakat, karena kebudayaan mencakup bidang yang melandasi tingkah laku manusia (Peli & Menanti, 1994: 24).
32
Sementara itu masyarakat dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang terbesar yang meliputi pengelompokkan-pengelompokkan manusia yang lebih kecil yang mempunyai hubungan yang erat dan teratur (Peli & Menanti, 1994: 28). Kebudayaan tercipta karena keberadaan manusia. Manusialah yang menciptakan kebudayaan dan manusia pula yang menjadi pemakainya, sehingga kebudayaan akan selalu ada sepanjang keberadaan manusia. Kebudayaan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan merupakan rujukan nilai, norma, aturan dan menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari anggota masyarakatnya dalam hidup berkelompok dan dalam kehidupan diri sebagai pribadi (Peli & Menanti, 1994: 31). Kebudayaan berperan pula sebagai kontrol masyarakat, yaitu cara yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota masyarakatnya yang menyimpang kepada tingkah laku normal. Kontrol sosial itu dilaksanakan dalam bentuk sanksi yang dikenakan kepada anggota masyarakat (Peli & +Menanti, 1994: 32). Pembahasan mengenai kebudayaan juga terdapat dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, karya Koentjaraningrat (1992). Menurutnya kebudayaan itu dalam arti yang amat luas dapat diartikan sebagai seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar (Koentjaraningrat, 1992: 1). Unsur- unsur dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, diantaranya:
33
1. Sistem religi dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi dan peralatan. Sementara itu Koentjaraningrat (1980), mengemukakan di dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi, bahwa dia setuju dengan pendapat Talcott Parsons dan A.L. Kroeber yang membedakan secara tajam antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide, konsep-konsep, dengan wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Koentjaraningrat menggolongkan tiga wujud kebudayaan, yaitu: 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1980: 200-201). Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah pada tingkah laku manusia di dalam masyarakat. kebudayaan ideal disebut sebagai adat tata-kelakuan, atau adat-istiadat. Lapisan yang
34
paling abstrak adalah sistem nilai budaya, diikuti oleh sistem norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan aktivitas dalam kehidupan. Wujud kedua kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial. Sistem sosial ini merupakan aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi, bergaul. Interaksi sosial ini selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan (wujud pertama kebudayaan). Sementara itu wujud kebudayaan ketiga disebut sebagai kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan ini berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba melalui pancaindera. Berdasarkan uraian di atas dan berdasarkan keterkaitannya dengan fokus permasalahan penelitian, yaitu dalam mengkaji kehidupan PSK asal Indramayu di Saritem, maka pembahasan tidak akan terlepas dari adanya faktor ekonomi dan budaya yang mempengaruhi aktivitas prostitusi di Indramayu. Keberadaan mereka tidak terlepas dari pola asuh keluarga yang membentuk tingkah laku yang berpola pada diri individu, yaitu kebiasaan (habit), dan tidak terlepas pula dari tingkah laku umum yaitu tingkah laku yang menjadi pola bagi sebagian masyarakat yang biasa disebut adat-istiadat (customs). Hal tersebut secara nyata terwujud dalam rangkaian aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain yang disebut sistem sosial (Wahyunadi, dkk, 2004: 24). Seluruh aspek ini telah tertanam dalam diri seseorang sejak dini dan seringkali mempengaruhi tindakantindakannya dalam menghadapi permasalahan hidup. Atas dasar-dasar inilah, maka terlihat jika aspek sosial-budaya mejadi penting artinya dalam menguraikan masalah prostitusi.
35
Sesuai dengan pembahasan permasalahan mengenai kehidupan para PSK asal Indramayu di Saritem dalam hubungannya dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Indramayu, maka perlulah dijelaskan mengenai definisi sistem nilai budaya beserta pengaruhnya terhadap masyarakat, khususunya dalam mengkaji nilai-nilai budaya masyarakat Indramayu. Koentjaraningrat memaparkan masalah tersebut dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropolgi (1987). Secara
definitif,
Theodorson
dalam
Koentjaraningrat
(1979:
455),
mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu nilai dapat dilihat sebagai pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1987: 85), nilai budaya terdiri dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang akan mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Lebih lanjut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1987: 17), mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian
36
konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai-nilai budaya. Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu, mereka akan berhasil. Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah menjadi tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, sebab nilai-nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa sistem nilai budaya suatu masyarakat merupakan wujud konsepsi dari kebudayaan mereka, yang seolah-olah berada di luar dan di atas para individu warga masyarakat itu. Berkaitan dengan fokus permasalahan penelitian, maka dapatlah dilihat bahwa nilai-nilai budaya yang tertanam pada sebagian masyarakat Indramayu akan sangat mempengaruhi masuknya para wanita di Indramayu ke dalam dunia prostitusi. Nilainilai budaya tersebut tertanam di sebagian masyarakatnya dan dijadikan pedoman mereka untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. Pendapat tersebut terlihat dalam buku Penelitian Partisipatori (Anak Yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu) karya Arif Wahyunadi, dkk (2004: 29), bahwa di Indramayu sendiri terdapat tradisi kawin muda, dan seringkali terjadi perceraian dalam waktu singkat. Perceraian tersebut ditoleransi oleh masyarakat lingkungan, bahkan pada sebagian masyarakat, orang tua bangga anaknya sering kawin cerai. Perceraian tersebut menjadi semacam tiket bagi wanita-wanita Indramayu untuk memasuki dunia
37
prostitusi. Masuknya mereka ke dalam dunia prostitusi tidak dianggap hal yang luar biasa. Mereka merasa tidak ada hambatan sosial dan bahkan orang tua seringkali tidak keberatan anaknya bekerja sebagai pelacur. Pemaparan mengenai fungsi kebudayaan bagi masyarakat terdapat dalam buku karya Soedjono Soekanto (2003) yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar. Menurutnya, disamping berfungsi penting sebagai alat kontrol sosial, kebudayaan juga berfungsi untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia, dan sebagai wadah segenap perasaan manusia (Soekanto, 2003: 182). Karsa masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Karsa merupakan daya upaya manusia untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang tersembunyi dalam masyarakat. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang buruk, manusia terpaksa melindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain (Soekanto, 2003: 179). Berdasarkan hasil penelaahan berbagai literatur, didapatkan keterangan yang menjelaskan mengenai budaya masyarakat Indramayu yang berkaitan dengan masalah prostitusi. Dalam buku Peneltian Partisipatori (Anak Yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu) karya Arif Wahyunadi, dkk (2004), bahwa orang tua wanita korban pelacuran di Indramayu melihat hidup berdasarkan pada norma dan
38
tradisi yang berlaku di wilayah itu. Sebagian berfikir bahwa pelibatan anak-anak mereka dalam pelacuran hanya merupakan fenomena yang bersifat sementara, sesuatu yang memang perlu dalam upaya mengumpulkan cukup uang untuk memperbaiki atau merenovasi rumah keluarga, atau membangun rumah permanen (dari batu bata). Meskipun demikian, sebagian anak korban pelacuran merasa bertanggung jawab atas keadaan ekonomi keluarganya dan anggota keluarga lainnya. Sejumlah orang tua ”memanfaatkan” perasaan ini dengan mengizinkan anak-anak mereka untuk bekerja sebagai PSK. Agama pun memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian seseorang (Soekanto, 2003: 189). Sesuai dengan fokus penelitian yaitu dalam mengkaji kehidupan PSK asal Indramayu di Saritem, maka perlulah dijelaskan pandangan agama mengenai pelacuran tersebut. Salah satu buku yang di dalamnya menjelaskan mengenai hukum perzinahan dan pelacuran dalam perspektif agama Islam, disamping mengkaji pelacuran dari sudut pandang lainnya, seperti ekonomi dan sosial-budaya adalah buku Penelitian Partisipatori (Anak yang Dilacurkan di Surakarta dan Indramayu), karya Arif Wahyunadi, dkk (2004). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa dalam ajaran Islam, perzinahan dirumuskan sebagai persetubuhan yang dilakukan pria dengan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah. Substansi pokok pelacuran dan perzinahan adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang sah (sebagaimana definisi zina), maka hukum pelacuran sama dengan perzinahan yaitu haram.
39
Salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur’an, yaitu Surat Al-Isra: 32, menyebutkan: ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk”. Menurut Prof. Mutawalli Asy Sya’rawi seperti yang dikutip oleh Arif Wahyunadi, dkk (2004: 48), maksud dari ayat tersebut adalah manusia jangan melakukan perbuatan zina, seperti memandang, bercampur dengan wanita atau perbuatan lainnya. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa dalam masalah yang dilarang, Allah SWT memberikan kesempatan kepada insan beriman untuk tidak mendekatinya dan memerintahkan untuk menjauhinya, sehingga setan tidak sampai menggodanya untuk melakukan pelanggaran terhadap larangan tersebut. Sebagai pertanggungjawaban tindak pidana, baik wanita yang berzina atau laki-laki yang berzina, maka keduanya dikenakan pidana yang sama beratnya. Firman Allah mengenai hukuman terhadap pelaku perzinahan terdapat dalam Surat An-Nuur ayat 2 yang artinya: ”Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya dengan seratus kali dera”. Dalam kaitannya dengan status pelaku perzinaan ini, maka perzinaan dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: 1. Zina Mukhson, yaitu perbuatan perzinaan yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami atau telah beristri atau masih terikat oleh perkawinan lain yang sah. hukuman yang dikenakan kepada para pelaku zina ini sangat berat, yaitu dirajam sampai mati di depan khalayak ramai.
40
2. Zina Ghoiru Mukhson, yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melangsungkan perkawinan. Hukuman yang dikenakan untuk para pelaku zina ini adalah sesuai dengan isi Surat An-Nuur ayat 2 di atas. Meskipun ajaran Islam secara jelas melarang perbuatan perzinaan dan pelacuran serta hukumannya pun cukup jelas, namun pelanggaran masih terus terjadi. Para PSK asal Indramayu di Saritem menjadi salah satu bukti yang menunjukan bahwa kurangnya pemahaman seseorang akan hukum agama, dapat menjerumuskan mereka ke dalam praktek-praktek kemaksiatan. Kurangnya pendidikan agama yang diberikan keluarga sebagai institusi terkecil dimana para wanita tersebut tinggal memberikan pengaruh yang besar terhadap pemahaman agama anak-anaknya (Wahyunadi, dkk, 204: 89), disamping faktor budaya yang dianut sebagian masyarakatnya yang seakan ”menghalalkan” praktek-praktek prostitusi.
41
42