14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka berisi tentang pendapat atau analisis dari beberapa penulis yang relevan dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Sumber-sumber tersebut dipergunakan sebagai referensi dan dasar rujukan dalam penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Rumah Zakat Indonesia di Kota Bandung pada Tahun 19982006: Suatu Tinjauan Sosial - Ekonomi“.
2. 1. Sistem Ekonomi Islam Buku pertama, karya Abdul Aziz. (2008). Ekonomi Islam: Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta: Graha Ilmu. Buku ini menjelaskan bahwa sistem ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai sistem ekonomi alternatif, karena ekonomi Islam tidak memusatkan pada individu saja seperti halnya sistem ekonomi kapitalis. Selain itu sistem ekonomi juga tidak memusatkan kepada kepentingan orang banyak, seperti halnya sosialis. Ekonomi Islam mengakui kepentingan individu dan kepentingan orang banyak. Hal ini berdasarkan pada prinsip kaidah dan syari’ah bahwa Islam mengajarkan keadilan, kebersamaan dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat. (Abdul Aziz, 2008: 138).
15
Konstribusi buku ini bagi penulis bila dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji, maka ZIS yang diberikan oleh donatur kepada LAZ dalam konsep sistem ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai sistem ekonomi alternatif. Dikarenakan fungsi ZIS ialah sebagai funding to distribute atau pooling fund (aspek sosial) dan effort to flowing (aspek pengendalian). Maksudnya, kita dilatih supaya tidak egois dan individualistik serta menjadikan kita untuk saling tolong-menolong sesama anggota masyarakat. (Abdul Aziz, 2008: 92). Buku kedua, karya Mohammad Daud Ali. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press. Buku ini terdapat definisi dari sistem ekonomi Islam, sebagaimana menurut Syafrudin Prawiranegara yaitu: “sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan perkataan lain pengaruh yang dipancarkan oleh ajaran-ajaran Islam terhadap prinsip ekonomi yang menjadi pedoman bagi setiap kegiatan ekonomi. Tujuannya ialah mencipatakan alat-alat (barang dan jasa) untuk memuaskan berbagai keperluan manusia”. (Mohammad Daud Ali, 1988: 18). Ajaran Islam mengenai sistem ekonomi diantaranya ialah pelarangan riba, adanya zakat fitrah ataupun zakat mal, infaq dan shadaqah, kerjasama ekonomi yaitu sistem mudhorobah dan murobahah. Mudhorobah yaitu hanya pemberian pinjaman 100% pada pemohon dan harus mengembalikan pinjamannya sekaligus pembagian hasil usaha, sedangkan murobahah yaitu pemberian pinjaman yang berdasarkan pada suatu barang tertentu dan dikembalikan sesuai dengan perjanjian) yang didasarkan pada profit-loss sharing tanpa pembenanan bunga.
16
Hal lainnya ialah adanya Jaminan sosial (contohnya: QS. Al-Hasyr: 7 “...kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja..”. QS. Az-Zariyat: 19 “...pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta”), dan adanya peran negara (contoh: dalam segi hukum). Konstribusi buku ini bagi penulis ialah dapat dijadikan sebagai landasan berfikir terhadap pendayagunaan ZIS oleh LAZ yaitu RZI, terutama dalam program ekonomi. Semisal dengan adanya lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), RZI dapat memberikan dana bantuan kepada kelompok usaha kecil menengah tanpa adanya riba. Buku ketiga, karya Sahri Muhammad. (1982). Pengembangan Zalat dan Infak Dalam Usaha Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat: Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama Islam. Malang: Avicenna. Buku ini menjelaskan bahwa sistem ZIS dalam ekonomi Islam pada dasarnya adalah suatu sistem pengalihan kekayaan (pendapatan dan pemilikan) dan mobilitas modal untuk pembangunan kelompok lemah dalam suatu sistem yang jelas dan terarah. Mobilisasi hasil zakat tersebut dalam Al-Qur’an surat At-Taubah: 60, ditetapkan delapan jalur yang berhak menerimanya (delapan asnaf), yaitu: 1) Orang fakir: orang yang pendapatan perharinya sangat rendah dan sengsara, tidak mempunyai harta untuk memenuhi penghidupannya termasuk penganggur yang tidak memiliki modal kecuali tenaganya, yang
17
berarti
memerlukan
lapangan
kerja
dan
tentunya
membutuhkan
keterampilan. 2) Orang miskin: orang yang masih kekurangan modal (di bawah nishab), menurut A. Hassan (1983: 227) berdasarkan hadis Rasul maka ada tiga klasifikasi miskin, yaitu: a) seseorang yang tidak memiliki sesuatu nishab (H.R. Bukhari-Muslim), b) seseorang yang tidak memiliki atau pendapatan 50 dirham pertahun/ sekitar $ 125 (H.R. Ahmad), c) seseorang yang tidak mempunyai makanan sehari semalam (H.R. Abu Dawud). 3) Amil/pengurus zakat: orang yang bekerja sebagai pegawai dan karyawan untuk mengumpulkan dan membagi hasil zakat. 4) Muallaf (orang yang baru masuk Islam): orang yang masih lemah imannya dengan begitu zakat juga mengandung fungsi untuk menegakkan keimanan dan dakwah. 5) Riqab (memerdekaan budak): persamaan hak dan keadilan dalam masyarakat. 6) Gharimin (orang yang berhutang): menghindari ketergantungan dan memelihara harga diri menuju kemandirian. 7) Ibn sabil (orang yang dijalan Allah): orang yang melakukan suatu pekerjaan atas kemaslahatan agama dan masyarakat. 8) Ibn sabil ( orang-orang yang sedang dalam perjalanan/kesulitan).
18
Perincian delapan golongan dalam (Q.s At-Taubah: 60) dalam sistem ZIS, menurut Sahri Muhammad (1982: 29-30) mempunyai arti yaitu: 1) Berorintasi pada kelompok lemah dalam masyarakat baik material maupun spiritual. 2) Secara horizontal sistem zakat menembus segi sosial, politik, ekonomi, keamanan, keimanan, dan akhlak. 3) Bahwa yang sangat menonjol untuk terlaksananya sistem zakat secara tepat sasaran maka aspek management mulai dari tingkat perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan, kordinasi dan evaluasi memegang kunci utama, bahkan terpenting. Konstribusi buku ini bagi penulis ialah dengan pemaparan sistem ekonomi Islam dan disertai penjelasan siapa saja yang berhak mendapatkan dana ZIS, maka penulis akan terbantu pada saat pendayagunaan ZIS yang dikelola oleh RZI di kota Bandung. Semisal dilihat dari empat program yang dijalankan oleh RZI yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial. Empat program tersebut akan terlihat arah dari pendayagunaan ZIS terhadap Q.S At-Taubah ayat 60.
2. 2 Lahirnya UU Tentang Pengelolaan Zakat No. 38 Tahun 1999 Buku pertama, karya Eri Sudewo. (2004). Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat. Buku terdapat pembahasan mengenai lahirnya UU No. 38 tahun 1999 sebagai penguat berdirinya LAZ, menurut Eri Sudewo ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: “Pertama, zakat yang dikeluarkan belum menjadi pengurang pajak, zakat hanya sebatas pengurang penghasilan kena pajak (PPKP). Kedua, tidak adanya sanksi bagi yang tidak megeluarkan zakat, sanksi justru diberikan pada lembaga pengelola zakat yang menyimpangkan dana zakat di luar ketentuan delapan mustahik (penerima zakat)”.
19
Tidak adanya sanksi bagi yang tidak mengeluarkan zakat (muzaki), yaitu sebenarnya saat masih jadi draft UU tentang zakat muzaki dicantumkan. Namun pada saat pembahasan final draft, ada pendapat pemberian sanksi amat sukar dilakukan. Sebab zakat masih belum tersosialisasi, masih begitu banyak masyarakat yang tidak paham tentang zakat. Memberi sanksi dalam kondisi demikian, tentu menimbulkan soal besar di masyarakat. Di samping, siapa yang akan memberi sanksi? Pemerintah sendiri belum membuat lembaga yang kridibel, profesional dan dapat dipercaya. Jika diserahkan pada lembaga zakat yang ada di masyarakat, landasan hukumnya apa? (Eri Sudewo, 2004: 274). Konstribusi buku ini bagi penulis ialah memberikan pemahaman mengapa dalam UU tentang pengelolaan zakat tidak terdapat sanksi bagi yang berkewajiban membayar zakat, padahal penduduk Indonesia dan khususnya di kota Bandung mayoritas beragama Islam. Adapun sanksi hanya untuk LAZ, berarti bila RZI sebagai LAZ tidak benar dalam meneglola ZIS, semisal tidak jujur dan amanah maka akan diberikan sanksi menurut UU yang berlaku yaitu berdasarkan keputusan Mentri Agama RI. Adapun sanksi bagi LAZ ialah hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). (Depag, 2000: 9). Sanksi yang hanya untuk LAZ, sepertinya langkah awal membenahi lembaga sebelum total masuk ke masyarakat. Begitu juga dengan RZI,
20
RZI tidak begitu saja berdiri ketika adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. RZI menjadi sebuah LAZ adalah melalui proses yang cukup lama yaitu lima tahun, yang dulunya bernama DSUQ. DSUQ mendapat SK Menteri Agama RI No. 157 pada tanggal 18 Maret 2003, yang bersekretariat di Jln. Turangga no. 33 Bandung. Pembenahan lain yang dilakukan RZI, sebelum total masuk ke masyarakat sebagaimana persyaratan yang mengacu kepada keputusan Mentri agama nomor 581 tahun 1999 pasal 22. Keputusan tersebut yaitu LAZ harus berbadan hukum, memiliki data muzzaki dan mustahik, memiliki program kerja, memiliki pembukuan, dan melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit (Depag, 2000: 33). Buku kedua, karya Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang. (2006). Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum Zakat. Dalam bukunya terdapat ciri khas dari para donatur ZIS sebelum lahirnya UU tentang pengelolaan zakat, sebagaimana menurut Didin Hafihudhin yaitu: 1) Pada umumnya diberikan langsung oleh donatur zakat (muzaki) kepada penerima zakat (mustahik) tanpa melalui amil zakat. 2) Jika pun melalui amil zakat hanya terbatas pada zakat fitrah. 3) Zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. 4) Harta obyek zakat hanya terbatas pada harta-harta yang dikemukakan secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist, yaitu : emas, perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba), perdagangan(terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk barang, dan rikaz (harta temuan). (Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, 2006: 7578).
21
Kondisi di atas, menurut Didin Hafihudhin diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: a) Belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat, kecuali di beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIS DKI. b) Rendahnya kepercayaan masyarakatpada amil zakat. c) Profesi amil zakat masih dianggap sambilan. d) Sosialisasi tentang zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan kagiatan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat, masih sangat jarang dilakukan. Zakat setelah tahun 1990 terutama ketika adanya UU tentang pengelolaan zakat No. 38 tahun 1999, zakat mulai diserahkan atau dipungut selain kepada BAZ tetapi juga oleh LAZ. Obyek zakat pun mengalami perluasan sebagaimana dalam Bab IV, pasal 11 ayat 2 zakat yang wajib di zakati yaitu: a) emas, perak, dan uang, b) perdagangan dan perusahaan, c) hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan, d) pertambangan, e) hasil peternakan, f) hasil pendapatan dan jasa, d) dan rikaz (hasil temuan). Bila ciri perzakatan di Indonesia setelah tahun 1990, mengalami perubahan paradigma semisal di legalkannya LAZ dan juga obyek zakat. RZI memang tidak secara langsung berdiri, tetapi dengan melalui proses yang cukup lama namun pada akhirnya RZI pun menjadi sebuah LAZ. Pembahasan mengenai UU No. 38 tahun 1999, dalam buku ini dijelaskan bahwa keinginan untuk melahirkan UU tentang zakat sudah cukup lama yaitu sejak tahun 1950-an. Mengapa baru ada sejak tahun 1999, dalam buku tersebut hanya dijelaskan selain dorongan dari kaum muslimin tetapi juga memanfaatkan momentum. Maksudnya pada tahun 1999 adalah masa pemerintahan B.J. Habibie,
22
Habibie cukup produktif dalam menerbitkan UU sehingga kurang lebih berjumlah 190 UU. Lahirnya UU zakat, nampaknya lebih karena memanfaatkan momentum dan tidak bicara substansi yang mendalam. (Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, 2006: 160). Konstribusi buku ini bagi penulis ialah mengetahui latar belakang lahirnya UU tentang pengelolaan zakat, selain itu penulis juga dapat menelaah kecenderungan kaum muslimin di kota Bandung dalam memberikan dana ZISnya selain kepada LAZ yaitu RZI di kota Bandung sebagaimana yang di utarakan oleh Didin Hafihudhin. Hal lainnya ialah penulis dapat mengetahui zakat apa saja yang terdapat di RZI, semisal adanya zakat profesi atau zakat pendapatan. Adapun pemaparan secara rinci mengenai zakat apa saja yang wajib dizakati, peneliti akan mencantumkanya di bagian lampiran beserta cara penghitungannya yang mengacu pada buku Majfuk Zuhdi (1996: 240) atau mengacu pada kalkulator zakat (www.rumahzakat.org).
2. 3 Lembaga Amil Zakat (LAZ) Buku pertama yaitu karya
Eri Sudewo. (2004). Manajemen Zakat:
Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat. Buku ini menjelaskan mengenai pentingnya sebuah manajemen dalam LAZ, karena untuk menjalankan LAZ akan di hadapkan pada tiga hal, yaitu: pertama, kepercayaan masyarakat. Kedua, berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas. Ketiga, LAZ butuh izin operasional dari Direktur zakat dan wakaf Depag. (Eri Sudewo, 2004: 283).
23
Karya tulis dari Eri Sudewo telah memberikan konstribusi penting bagi penulisan skripsi karena berhubungan tentangLAZ, yaitu RZI di kota Bandung. Menurut Eri Sudewo (2004: 47-49) LAZ yang sudah terbentuk, harus memiliki beberapa prinsip agar dapat dipercaya masyarakat dan khususnya oleh para donatur ZIS. Prinsip LAZ diantaranya: dari segi perencanaan yaitu menyusun activities plan, produk LAZ ialah syarat akan nilai, tujuan LAZ ialah tidak mencari profit, pemilik LAZ ialah stakeholder, sumber daya manusia (SDM) LAZ ialah harus berkualitas semisal dengan cara mengikutsertakan dalam berbagai training dan diadakan fit and proper test. Pengelolaan yang dilakukan LAZ ialah profesionalitas, pengembangan LAZ ialah melakukan ekspansi, pembiayaan oleh LAZ ialah perlu biaya operasional, evaluasi yang dilakukan LAZ ialah secara berkala. Prinsip lainnya yang harus dimiliki oleh LAZ ialah: 1) Figur yang tepat, maksudnya agar menarik simpatik dari donator dan masyarakat namun juga tidak mengabaikan prinsip keprofesionalan. 2) Non-politik, maksudnya dalam kegiatan politik praktis seperti berkampanye untuk partai tertentu dan juga amil zakat tidak boleh duduk struktrural kepartaian, hal ini dikhawatirkan akan muncul kecurigaan yaitu dana ZIS dipakai untuk berkampanye partainya. 3) Non-golongan,
maksudnya
tidak
mendeskriminasikan
terhadap
golongan satu dengan golongan lainnya seperti mengabaikan kelompok fakir-miskin.
24
4) Independen, maksudnya tidak terlalu memaksakan kehendak kepada donator supaya memberikan harta ZIS kelembaga tertentu. 5) Netral-obyektif,
maksudnya
pengelola
ZIS
diharapkan
tidak
mempertentangkan perbedaan pendapat semisal dalam menafsirkan ZIS. Prinsip yang di utarakan Eri Sudewo merupakan pijakan dasar bagi penulis dalam melihat prinsip apa yang digunakan oleh RZI sebagai LAZ. Semisal, dalam segi perencanaan RZI membuat activities plan yaitu program apa yang akan dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan pada akhirnya di implementasikan kedalam empat program. Empat program tersebut ialah pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan sosial. Untuk menjalankan ke empat program tersebut, maka diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan pada akhirnya di adakan fit and proper test. Buku kedua yaitu karya Mohammad Daud Ali. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press. Buku ini terdapat penjelasan mengenai LAZ yaitu pola apa saja yang dapat di lakukan oleh LAZ dalam penggalangan dana ZIS. Sebagaimana menurut M. Dawam Rahadrjo bahwa pola LAZ dalam penggalangan dana ZIS-nya, terbagi atas tiga pola yaitu: 1) Lembaga amil yang membatasi dirinya hanya mengumpulkan zakat fitrah saja. 2) Lembaga amil yang menitikberatkan kegiatannya pada pengumpulan zakat mal atau zakat harta ditambah dengan infaq dan shadaqah. 3) Lembaga amil yang kegiatannya meliputi semua jenis harta yang wajib dizakati yang dipunyai oleh seorang muslim. Pola ini mengarah kepada
25
pembentukan Baitul Mal (menghimpun dana dan harta) (Mohammad Daud Ali, 1988: 38). Konsribusi tulisan karya Mohamad Daud Ali bagi penulis ialah memberikan refleksi terhadap pola apa yang dilakukan oleh RZI dalam penggalangan dana ZIS di kota Bandung. Adapun pola yang dilakukan RZI, sebagimana merujuk pada M. Dawam Rahardjo adalah pola yang ke-2 dan ke-3. Buku ketiga yaitu dari Hamid Abidin. (2004). Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Pemanfaatan Zakat, Infak, Sedekah. Jakarta : Piramedia. Buku ini memperkuat penjelasan dari buku Muhammad Ali yaitu mengenai penggalangan dana ZIS, namun dalam buku ini lebih menitikberatkan pada strategi LAZ dalam penggalangan dana ZIS agar mendapatkan hasil yang optimal. Strategi yang dimaksud haruslah modern yaitu sistem penggalangan dana yang dikemas dengan cara profesional, canggih dan inovatif. Strategi ini semisal dilakukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa (DD) di Jakarta, Yayasan Dana Sosial AlFalah (YSDF) di Surabaya, Yayasan darut Tauhid (DT) di bandung, Pos keasilan Peduli Umat (PKPU) di Jakarta, dan Rumah Zakat Indonesia (RZI) di Bandung. Semisal dengan direct mail or phone (penggalangan dana lewat surat atau telepon), media campaign (kampanye di media), membuat paper atau bulletin, membership (merekrut donatur menjadi anggota lembaga atau partisipan program), special event (lewat kegiatan khusus), secara On-line, melalui Bank, melakukan kerjasama dengan instansi baik dari swasta maupun dari pemerintah (Hamid Abidin, 2004: xiii-xiv).
26
Konstribusi tulisan karya Hamid Abidin bagi penulis ialah dapat menelaah strategi yang dilakukan RZI di kota Bandung dalam menggalang dana ZIS agar optimal. Buku keempat, karya Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang. (2006). Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum Zakat. Buku ini terdapat penjelasan mengenai keuntungan dari pemberi donatur ZIS melalui LAZ, sebagaimana merujuk pada pendapat Didin Hafidhudin (Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, 2006: 79) yaitu: 1) Lebih sesuai dengan tuntunan syariah dan sirah nabawiyah maupun sirah para sahabat dan tabi’in. 2) Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar terutama zakat. 3) Untuk menjaga perasaan rendah diri para penerima ZIS. 4) Memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintah Islami. 5) Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritasyang ada pada suatu tempat. Konstribusi buku ini bagi penulis bila dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji ialah dapat dijadikan sebagai jawaban terhadap masyarakat khususnya di kota Bandung yang masih belum mempercayakan dana ZISnya untuk dikelola oleh LAZ, semisal RZI. Buku kelima, karya Wahbah Al-Zuhayly. (2005). Zakat: Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: Remaja Rosdakarya. Al- Zuhayly dalam memaparkan tentang zakat dalam bukunya tidak lepas dari pendapat beberapa imam mazhab, yaitu: mazhab imam Hanafi, imam Maliki, imam Hambali, dan imam Syafi’i, imam Ahmad, dan lain sebagainya. Kendati demikian, terkadang Al-Zuhayly mendukung salah satu atau semua pendapat dari imam mazhab.
27
Sebagai contoh, Al- Zuhayly sependapat dengan semua imam mazhab mengenai harta benda yang menjadi kebutuhan pokok dan tidak produktif, tidak wajib dizakati semisal: pakaian untuk menutupi tubuh, harta yang dipakai, rumah tempat tinggal, perabot rumah tangga, binatang kendaraan, senjata yang digunakan, buku-buku ilmiah yang tidak diniati sebagai buku dagangan dan perabot kerja. Al-Zuhayly berpendapat bahwa harta yang wajib dizakati, disyaratkan produktif yaitu berkembang sebab salah satu makna zakat adalah berkembang (zaka). Maksud dari berkembang yaitu harta yang kita miliki memang siap untuk dikembangkan, semisal untuk perdagangan, peternakan, dan lain sebagainya. Harta yang berkembang baru wajib zakat ialah setelah mencapai nisab (kadar yang ditentukan syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban mengeluarkan zakat), hawl (mencapai setahun atau saat musim panen), dan hartanya milik penuh (contoh, tidak mempunyai hutang atau dikurangi terlebih dahulu untuk membayar hutang). (Wahbah Al-Zuhayly, 2005: 95-101). Pandangan Al-Zuhayly mengenai obyek wajib zakat pada zaman sekarang ini (kontemporer), telah mengalami perubahan pradigma. Semisal, modal dalam bentuk uang tidak hanya dikonsentrasikan kepada pengolahan tanah dan perdagangan tetapi juga sudah mengarah kepada pendirian bangunan untuk disewakan, pabrik-pabrik atau sarana transportasi udara, laut dan darat, serta peternakan.
28
Pertemuan Cendikiawan Muslim tingkat Internasional pada tahun 1965 yang membahas masalah-masalah ke-Islaman, salah satunya memutuskan mengenai permasalahan zakat yaitu bahwa harta kekayaan yang tumbuh dan berkembang dan belum ada nash (ketentuan fiqih) untuk wajib zakat, maka hukumnya sebagai berikut: “Harta kekayaan berupa bangunan, pabrik, kapal, pesawat terbang, dan sebagainya tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya, akan tetapi keuntungan (bila dijual) bersihnya perlu dizakati jika keuntungan tersebut sudah mencapai nisab, maksudnya. Apabila harta kekayaan itu milik sebuah perusahaan patungan, yang dijadikan patokan nisab bukanlah keuntungan bersih perusahaan tetapi nisabnya dilihat dari keuntungan bersih orang-orang yang ikut serta dalam patungan tersebut”. Keputusan Cendekiawan Muslim, menurut
Al-Zuhayly
senada dengan
riwayat dari imam Ahmad dan sebagian pengikut mazhab imam Maliki. Pendapat dari imam Ahmad yaitu bahwa keuntungan bersih harta kekayaan seperti itu perlu dikeluarkan zakatnya. Begitu pula menurut sebagian pendapat pengikut mazhab imam Maliki, bahwa keuntungan bersih harat kekayaan seperti itu wajib dizakati ketika keuntungan sudah diterima. (Wahbah Al-Zuhayly, 2005: 273-274). Konstribusi buku ini bagi penulis bila dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji, dapat dijadikan sebagai rujukan bagi LAZ yaitu RZI di kota Bandung ataupun setiap individu dalam memahami zakat secara komprehensif.
2. 4 Pendayagunaan ZIS oleh LAZ Buku pertama, karya Eri Sudewo. (2004). Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat. Menurut Eri Sudewo,
bahwa
“jatuh
bangunnya
LAZ
terletak
pada
kreativitas
divisi
29
pendayagunaan”. Apabila pendayagunaan ZIS hanya bersifat santunan dan berbagi sembako, mengapa harus bersusah payah membuat LAZ? para donatur ZIS pun bisa melakukannya sendiri. Para amilin harus sanggup menggagas konsep yang berangkat dari akar sosial, tajam dalam mengamati realitas sosial, serta jernih menyisihkan mana yang menjadi penyakit sosial dan mana yang jadi potensi untuk dikembangkan. Maksudnya amilin harus mencari mustahik (penerima zakat) yang mau berubah hidupnya, tidak malas, gigih dan terus melakukan upaya demi perbaikan nasib. (Eri Sudewo, 2004: 218-223). Konstribusi buku ini bagi penulis bila dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji ialah melihat sejauh mana pendayagunaan ZIS oleh RZI agar berdampak signifikan terhadap masyarakat di kota Bandung terutama dalam masalah sosialekonomi. Seperti dilihat dari program kesehatan, ekonomi, pendidikan dan sosial. Buku kedua, karya Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang. (2006). Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum Zakat. Buku ini memaparkan suatu teori yang menyebabkan kemiskinan lalu dihubungkan dengan arti penting ZIS sebagai solusi untuk masalah kemiskinan. Teori yang dibahas yaitu dari Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan dari Inggris. Robert Chambers menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan adalah adanya deprivation trap (jebakan kemiskinan). Jebakan kemiskinan terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit keluarga miskin, yaitu: “(1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan”.
30
Kelima “kemalangan” di atas saling berkaitan satu sama lain, sehingga meyebabkan jebakan yang berkepanjangan. Namun dalam buku ini, dibahas dua poin yang harus diperhatikan akibat lima “kemalangan” sebagaimana disebutkan Robert Chambers. Dua poin itu ialah kerentanan dan ketidakberdayaan, kerentanan adalah ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi situasi darurat, seperti datangnya bencana alam dan penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga yang miskin. Ketidakberdayaan membuat keluarga miskin harus semakin miskin, karena lemahnya posisi jika dihadapkan pada peraturan, kebijakan pemerintah atau orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Merujuk pada pendapat Robert Chambers yaitu pada aspek kerentanan dan ketidakberdayaan, maka ada dua hal yang harus diprioritaskan dalam pendayagunaan ZIS untuk mengentaskan kemiskinan. Solusi pada aspek kerentanan, dana ZIS yang dikelola oleh LAZ dapat digunakan untuk concern pada masalah kesehatan dan penanggulangan bencana. Solusi pada aspek ketidakberdayaan, semisal dengan program pendidikan dan pemberdayaan ekonomi (usaha kecil/usaha kecil menengah). (Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang, 2006: 123-126). Konstribusi buku ini bagi penulis bila dikaitkan dengan masalah yag diteliti ialah dapat menelaah pendayaguaan ZIS oleh RZI dengan teori dari Robert Chambers terutama aspek kerentanan dan ketidakberdayaan. Implemetasi dari aspek kerentanan dan ketidakberdayaan yaitu dengan adanya poliklinik gratis, bantuan sosial bagi bencana alam atau pemberian sembako (sembila bahan pokok) murah, program beasiswa dan pemberian modal usaha bagi kelompok usaha kecil menengah.
31
Buku ketiga, karya Hamid Abidin. (2004). Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Pemanfaatan Zakat, Infak, Sedekah. Jakarta : Piramedia. Buku ini menjelaskan bahwa pada dasarnya pendayagunaan zakat mengacu pada surat AtTaubah ayat 60, yaitu: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amilin (pengurus-pengurus zakat), para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), para riqab (budak), para gharimin (orang yang berhutang), sabillilah (orang yang di jalan Allah), ibn sabil (orang yang sedang perjalanan), sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Para ahli tafsir menguraikan kedudukan ayat di atas dengan uraian yang beragam, baik terhadap kuantitas, kualitas, dan prioritas. Berikut adalah penjelasannya (Hamid Abidin, 2004: 8-9): a) Menurut sebagian Ulama, zakat boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari delapan golongan, yaitu diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan. Ulama tersebut mengacu kepada mazhab imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali. b) Menurut sebagian Ulama lain, zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf (golongan) secara merata dan tidak boleh diberikan kepada selain delapan asnaf. Pendapat tersebut cenderung pada mazhab imam Syafi’i. c) Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya menarik kesimpulan, bahwa tidak ada cara tertentu dan tetap sejak masa Rasulullah SAW maupun pada masa Al-Khilafaurrasyidin (masa Abu Bakar As-Shidiq, Umar
32
bin Khatab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). AlKhilafaurrasyidin menempuh kebijaksanaan sistem prioritas. d) Sebagian lain, tidak ada penjelasan mengenai perincian pembagian di antara delapan golongan tersebut. Surah At-Taubah ayat 60, hanya menetapkan kategori-kategori yang berhak menerima zakat hanya ada delapan golongan. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah menerangkan cara pembagiannya seperti apa. Bahkan beliau memberi mustahik sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan disesuaikan pula dengan jumlah persiapan harta benda yang ada. Dari berbagai pendapat yang sudah dijelaskan, telah mengisyaratkan bahwa konsep pendayagunaan zakat dalam penerapannya memberikan keleluasaan pintu ijtihad (membuat keputusan) baik bagi BAZ ataupun LAZ. Pendayagunaanya disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi, serta dengan kemaslahatan (kebaikan) yang dapat dicapai dari potensi zakat yang ada. Semisal, pendayagunaan ZIS di RZI menyamaratakan pembagiannya berdasarkan pada pendapat dari Imam Syafi’i yaitu 12,5% kepada delapan golongan yang tercantum dalam surat At-Taubah ayat 60. Sumber keempat, artikel dari internet, Ahmad Hasan Ridwan. (2008). Pemberdayaan Zakat. [Online]. Tersedia: http://persis.or.id/?p=21. [15 Juni 2009]. Dalam situs tersebut, Ridwan mencoba memberikan penjelasan mengenai pendayagunaan menurutnya secara konseptual, pendayagunaan terdiri dari dua kata yaitu: kata “daya” berarti power, energy, dan capacity. Daya mengisyaratkan
33
kekuatan atau tenaga untuk menggerakkan. Sementara daya guna berarti daya kerja yang mendatangkan hasil yang sebanyak-banyaknya yang bermanfaat (using, efficiency, usefulness). Dengan demikian program pendayagunaan berarti program yang diberikan (peruntukan) untuk dimanfaatkan secara produktif dan untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Ridwan, para amilin harus mempunyai pemikiran outside in (dari luar ke dalam) daripada pemikiran inside out (dari dalam ke luar). Maksudnya, untuk mengidentifikasi problem mendasar (problem root) dari umat Islam. Penemuan akar masalah akan memberikan trend kebutuhan mendasar bagi masyarakat, yang kemudian diartikulasikan menjadi suatu produk yang mampu memenuhi harapan dan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, upaya mendayagunakan dana ZIS mesti melahirkan nilai (value) yang bermanfaat yaitu berdaya dan berguna. Perkembangan selanjutnya, keunggulan dari amilin harus diorientasikan pada sistem manajemen yang profesional, SDM dan profil personalia yang handal, serta servis delivery-nya yang excellent. Dengan kata lain pengelola ZIS bukan hanya menjalankan sistem pengumpulan, pendistribusian ZIS semata tetapi mulai meningkat pada sisi pendayagunaan dana yang tepat sasaran, sesuai kebutuhan dan berkelanjutan yang benar-benar berlandaskan syari`ah dan profesional. Konstribusi artikel ini bagi penulis ialah memberikan gambaran begitu pentingnya peranan amilin terhadap pendayagunaan ZIS, semisal oleh RZI di kota Bandung. Awal pembentukan RZI ialah adanya pemikiran dari luar ke dalam (outside in) untuk memperoleh permasalahan yang mendasar dalam masyarakat, yaitu bermula
34
dari pengajian Majlis Ta’lim Umul Quro. Majlis Ta’lim tersebut kemudian bergerak dalam bidang sosial untuk
membantu korban konflik SARA di Ambon dan di
Maluku Utara. Selesai konflik di Ambon dan di Maluku Utara, Majlis Ta’lim Umul Quro tidak berhenti untuk melakukan kegiatan sosial malah berkembang pada bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi secara berkelanjutan. Berkembangnya program yang dilakukan Majlis Ta’lim Umul Quro, kemudian berganti nama menjadi DSUQ hingga menjadi RZI. Menjadi amilin di RZI tidaklah mudah, karena harus melakukan fit and profer test dan memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menjadi seorang amil. Syarat untuk menjadi amil, setidaknya merujuk pada pendapat Yusuf Qardawi (2007: 551), yaitu: seorang muslim,
mukallaf
(orang dewasa yang sehat akal fikirannya), jujur,
memahami hukum-hukum zakat, dan berkemampuan menjalankan tugas. Syarat untuk menjadi amilin sangatlah penting karena tugasnya ialah: mensensus terhadap orang-orang yang wajib zakat dan macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang wajib dizakati, kemudian mengetahui para mustahik (penerima zakat). Berapa jumlah mereka, berapa kebutuhan mereka, serta yang perlu ditangani secara sempurna oleh para ahli dan petugas serta para pembantunya (Yusuf Qardawi , 2007: 546). Sumber kelima, artikel dari internet, Rama Arjuna. (2008). Penghimpunan dan Pendayagunaan Zakat.[Online].Tersedia:http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=34&no=18
[15 Juni 2009]. Dalam artikelnya, menurut Rama Arjuna ada beberapa langkah dalam
35
mewujudkan penggalangan dana agar optimal serta pendayagunaan ZIS yang signifikan oleh LAZ, yaitu: 1) Menjadikan pengelola ZIS sebagai amil zakat yang memiliki kekuatan penggerak untuk menyelamatkan ibadah umat dan penggerak untuk meningkatkan kesadaran berzakat. 2) Menjadikan pengelola ZIS sebagai fasilitator dan ujung tombak penggerak ekonomi sektor riil dengan menumbuhkan dan mengembangkan usaha kecil masyarakat bawah melalui perannya sebagai sumber permodalan yang mudah, sehingga ia dapat dijadikan sebagai tempat bagi proses akumulasi modal dari kalangan masyarakat bawah. 3) Membangun jaringan (networking) baik secara horizontal-dengan sesama LAZ dan lembaga-lembaga perekonomian lain, maupun secara vertikal dengan menjalin hubungan kemitraan (partnership) dengan lembagalembaga yang besar dan mapan, sebagai alternatif bagi pembinaan permodalan, manajemen dan SDM sekaligus berdasarkan prinsip kerjasama saling menguntungkan. Pendapat Rama Arjuna bila dikaitkan dengan penelitian skripsi, maka pada poin pertama tugas amilin di RZI ialah mensosialisasikan arti penting zakat pada masyarakat, semisal melalui TV, surat kabar, brosur tentang zakat (di RZI ada New Z), dan lain sebagainya. Hal lainnya pada poin nomor tiga, yaitu RZI bekerjasama dengan berbagai instansi yang sudah mapan. Instansi yang bekerjasama dengan RZI, semisal: bank BNI syariah, PT Artajasa, Telkomsel, Tran TV, dan lain sebagainya. Bahkan RZI pun bekerjasama dengan pihak luar negri, semisal: Project Relief Australia, forum silaturahmi muslimah Jepang (FAHIMA), Islamic Centre of Quebec (ICQ), Islamic Society of Melbourne South East Region (ISOMER), Mohammed bin Rasyid Al Maktoum Humanitarian and Charity, dan lain sebagainya.
36
Sumber keenam, karya Malayu S. P. Hasibuan. (2004). Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara.
Buku ini membahas secara
mendasar mengenai manajemen, dalam manajemen terdapat beberapa mazhab namun yang dipilih Hasibuan ialah mazhab manajemen sistem, karena untuk memenuhi tuntutan efisiensi dan efektivitas kerja setiap petugas diperlukan sistem kerja yang up to date, tepat guna serta sesuai dengan kondisi setempat. Hal lainnya ialah mendorong pelaku-pelaku manajemen untuk selalu berfikir mencari kreasi-kreasi sistem yang paling baik dan canggih. Penerapan sistem yang terbaik dan tercanggih diharapkan memperoleh hasil yang optimal. Hasibuan mendefinisikan sistem sebagai “suatu rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang kemudian membentuk suatu kebulatan yang teratur dalam rangka melaksanakan suatu bidang pekerjaan” (Malayu S. P. Hasibuan, 2004: 23-24). Lebih lanjut, Hasibuan mencoba menghubungkan mazhab sistem kedalam tataran teknisnya yaitu melalui pendekatan sistem sosio-teknik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh E.L Trist pada tahun 1951. Menurut E. L. Trist bahwa: “untuk memecahkan sosial dalam manajemen (masalah kerja sama) tidak cukup kalau hanya melihat dari sistem kerjasama sosial saja, seperti yang dikemukakan oleh Chester I. Barnard (attitude, habit, presure, dan conflicts), tetapi di dalam meningkatkan kerjasama dan produktivitas kerja harus melihat the technical system yang menyangkut metode-metode kerja, mesin, alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan tersebut”.
37
Inti dari pendekatan sosio-teknik ialah menyangkut masalah teknis, diantaranya: methods, machines, dan equipment. Menurut Hasibuan : “meskipun kerjasama baik, tetapi jika methods, machines, dan equipmentnya tidak sesuai maka produktivitas kerja tidak akan meningkat. Hal berdasarkan bahwa tingkah laku seseorang dan kelompok dipengaruhi pula oleh technical system di tempat mereka bekerja, semisal pada alat-alat yang dipergunakan, dan ruangan yang dipakai”. (Malayu S. P. Hasibuan, 2004: 2728). Konstribusi buku ini bagi penulis, semisal mengenai pendekatan sosio-teknik bila dihubungkan dengan RZI, maka untuk mengoptimalkan kinerja para amilin di RZI telah didukung oleh fasilitas yang cukup memadai agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Adapun fasilitasnya yaitu: ruangan ber-AC dan dilengkapi pula oleh pemasangan telepon, komputer yang dilengkapi dengan internet, serta hampir setiap karyawan di RZI mempunyai alat transportasi (motor) bahkan bagi jabatan yang cukup tinggi mempunyai mobil.