BAB II PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.7 Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan. 26 Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 27 26
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hal 4. 27 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip. P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. 28 Sistem peradilan pidana yang sudah dipunyai sebagaimana tergambar dalam KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981), adalah gambaran betapa komponen hukum pidana yang dipunyai kurang mampu diharapkan untuk mengawal penegakan hukum pidana materil. 29 Kelemahan mendasar yang terlihat dari KUHAP adalah terabaikannya hak-hak tersangka/ terdakwa/ terpidana dan korban
kejahatan
yang
harus
diperhatikan
kemungkinan
mendapatkan
perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan, tidak mendapat pengaturan yang memadai. Kekerasan baik fisik maupun psikis seringkali dialami oleh tersangka/ terdakwa/ terpidana ketika mereka harus mengikuti prosedur tetap yang dimainkan oleh aparat penegak hukum dengan dalih semua perbuatan aparat penegak hukum sudah menjalankan tugas dan kewajiban penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini KUHAP. 28
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press, 2005),
29
Ibid
hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah. Namun demikian, penyelesaian perkara di Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu : faktor substansi perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya hukum, faktor komunikasi dalam persidangan, faktor pengaruh dari luar, faktor aparat pengadilan, faktor hakim, dan faktor manajeman. 30 Walaupun faktor-faktor diatas mempunyai pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang benar-benar sederhana, cepat dan murah. Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai proses yang tidak bertele-tele, berbeli-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, mudah dipahami,mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan maupun aparat penegak hukum. Namun dalam praktek nyata, sering kali asas tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan. Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan, dan dipihak lain aparat penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman aparat penegak hukum sendiri. Kesederhanaan seharusnya dipahami tidak sebatas pada persoalan administrasi saja, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi aparat
30
Ibid
Universitas Sumatera Utara
penegak hukum dalam gaya dan pola kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan komitmen aparat penegak hukum dalam menjalankan asas sederhana juga harus dimulai dalam diri sendiri, kemudian pada insitusi dalam semua tingkatan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Cepat, dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan pidana sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitas institusi peradilan (kepolisian, kejakasaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Satu saja komponen tidak berfungsi maka unsur cepat tidak akan tercapai. 31 Kecepatan proses, hasil, dan evaluasi tersebut menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat. Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal seperti lex specialis de rogat lex generalis dan lainnya), tepat dalam memilih dan memilah Pasal-Pasal yang dipergunakan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif) terhadap keputusannya, tepat dalam menentukan kerangka sosiologis (menjamin rasa keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial, mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat,
31
Abdussalam dan DPM Sitompul., Op. cit
Universitas Sumatera Utara
dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam proses, hasil maupun evaluasinya. Murah, mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilainilai lain yang dapat mengaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup di dunia secara universal. Apabila asas sederhana, cepat, murah sebagaimana telah diuraikan diatas menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien dapat diwujudkan. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang serius. Pembenahan sistem peradilan pidana akhirnya tidak dapat hanya bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas sederhana, cepat, dan murah saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif dan sistem yang membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan. Di Indonesia, peradilan pidana mengacu pada kodifikasi pidana formil yaitu Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui UndangUndang No. 8 Tahun 1981. Tetapi belum ada upaya yang sistematis dan
Universitas Sumatera Utara
signifikan dalam rangka untuk mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum pidana formil yang hanya mendasarkan pada acuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut adalah apa yang disebut dengan kebijakan pidana. Sementara itu tuntutan perkembangan sistem informasi dan teknologi, semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan Undang-Undang ini. Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Namun terjadi masalah yang sering menjadi penghalang tercapainya peradilan yang diharapkan. Apabila dicermati, muara persoalan tersebut mengarah kepada tiga hal yaitu : tidak ada sanksi apabila prosedur yang ditetapkan tersebut dilanggar, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dirumuskan, kurang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena terdapat tahapan proses yang tidak diperlakukan dan mubazir serta berbelit dan sia-sia, formulasi Pasal-Pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda, yang kemudian dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. 32 Berbagai kendala dan kelemahan yang terjadi, juga tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang baik dan transparan. Walaupun ada lembaga pengawas, biasanya juga tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran lembaga-
32
Ibid., hal. 22
Universitas Sumatera Utara
lembaga pengawas tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti dalam menjamin terwujudnya penegakan hukum. Banyak pengaduan, laporan, dan desakan baik secara demokratis dan tidak jarang dapat mengundang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat atas ketidakpuasan kinerja lembagalembaga pengawas tersebut.
B. Fungsi dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Pelaksanaan sistem peradilan pidana masih memiliki banyak kelemahan dalam berbagai aspek. Kelemahan tersebut salah satunya bersumber dari perangkat hukum positif yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya sistem peradilan pidana yang transparan, akuntabel. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat turut mempengaruhi kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pada gilirannya, akan menghambat upaya pengendalian kejahatan di masyarakat karena pada dasarnya, menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas toleransi yang dapat diterimanya. 33 Sistem peradilan pidana pada hakekatnya juga merupakan masalah sosial. Hulsman mengungkapkan, terdapat empat alasan yang menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan masalah sosial (social problem), yaitu: 34 1. The criminal justice system inflict suffering 2. The criminal justice system does not work in terms of its own declared aims 33
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 140. 34 Muladi, Op. cit hal. 1
Universitas Sumatera Utara
3. Fundamental uncontrollability of criminal justice system 4. Criminal justice approach is fundamentally flawed. Dalam hal fungsi sistem peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, Noval Morris berpendapat, bahwa: 35 The Criminal Justice System is best seen as a crime conteinment system, one of the method that society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to eccept. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduce criminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processes of detection, convistion, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so mended and so acculturated. Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana 2. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik criminal (criminal policy) 3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy). 36 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
35
UNAFEI, Criminal Justice System: The Quest for an Integrated Approach, (Unafei, 1982), hal. 5. 36 Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 54
Universitas Sumatera Utara
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan. 37 Sedangkan fungsi dan tujuan dari SPPT seperti yang digambarakan oleh Davies, Croall, and Tyrer sebagai berikut: 38 1. protecting the public by preventing and dettering crime, by rehabilitating offenders in incapacitating others who continue a persistant threat to the community. 2. upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by ensuring due process and proper treatment of suspect, arrestees, defendand and those held in custody, successfully prosecuting criminal and acquitting innoncent people accused of a crime 3. maintaining law and order. 4. punishing criminals with regard to the principles of just deserts. 5. registering social disapproval of censured behaviour by punishing criminals. 6. aiding and 7. advising the victims of crime. Dengan bahasa yang lebih sederhana Loebby Loqman berpendapat tujuan sistem peradilan pidana adalah menghilangkan kejahatan (bukan penjahatnya) untuk mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan. 39
37
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia.., op.cit., hal.84 Davies, Croall, and Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and Wales, (London: Longman, 1995), hal. 4. 39 Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta, Datacom, 2002, hal 22-23. 38
Universitas Sumatera Utara
C. Model dan Sistem Peradilan Pidana Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) untuk menggantikan HIR yang dipandang sudah tidak sesuai dengan cita-cita nasional Indonesia., membawa perubahan fundamental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia secara konsepsional maupun implemental. KUHAP meletakkan dasar humanisme didalamnya sehingga tujuan utama yang hendak dicapai bukanlah ketertiban dan kepastian hukum tetapi perlindungan atas hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Perlindungan hak asasi seorang tersangka atau terdakwa diharapkan dilaksanakan pada setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana yaitu mulai dari seorang tersangka ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili di pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 juga terkandung harapan untuk memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara pidana. Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction, mengungkapkan ada dua model dalam proses peradilan pidana (Two Models of The criminal Process), yaitu crime control model (model pengendalian kejahatan) dan due process model (model perlindungan hak). 40 Crime control model adalah bentuk pendekatan yang memandang pelaku kejahatan sebagai objek dalam pemeriksaan perkara sedangkan due process model adalah bentuk pendekatan yang memandang pelaku kejahatan sebagai subjek dalam pemeriksaan perkara.
40
Herbert L. Packer dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Op. cit, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik dari crime control model adalah efesiensi bekerjanya proses pemeriksaan perkara yaitu cepat tangkap dan cepat diadili serta digunakannya asas praduga bersalah sedangkan karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka dan untuk menentukan kesalahan seseorang harus melalui suatu persidangan yang adil dan tidak memihak. Berdasarkan makna yang terkandung dalam KUHAP yaitu perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah pendekatan due process model.
D. Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Sistem peradilan pidana Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memiliki empat sub sistem, yaitu: Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung serta Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sub sistem lainnya. Sebagai
lembaga
pembinaan,
perannya
sangat
strategis
dalam
merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (suppression of crime). Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif manakala pembinaan narapidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas narapidana itu menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif apabila bekas narapidana yang pernah dibina itu menjadi penjahat kembali. Kegagalan lembaga pemasyarakatan dalam membina narapidana merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Fakta ini telah mensahkan kegagalan tugas lembaga pemasyarakatan. Beban yang sangat menghimpit dalam menjalankan tugasnya adalah tidak sebanding falsafah pembinaan yang baru berupa pemasyarakatan sebagai proses, dengan sistem pemasyarakatan sebagai metodenya yang masih memakai Gestichten Reglemen (Reglemen Penjara) 1917 No. 708; dengan sebagian sarana fisik berupa bangunan penjara sudah tidak memenuhi persyaratan kesehatan maupun peralaan kerja, terlebih sarana personalia berupa tenaga pembina yang sangat minim. Di lain pihak, sistem pemasyarakatan itu mempunyai tujuan akhir: “memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) warga binaan dengan/ ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsurunsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”. Dapat dibayangkan bahwa yang paling banyak melakukan hubungan dengan narapidana saat menjalani hukuman adalah para petugas yang tingkat pendidikannya sekolah menengah ke bawah, sedangkan karakteristik pendidikan
Universitas Sumatera Utara
narapidana berbeda-beda pula. Jadi dalam hal ini, usaha pembinaan narapidana lebih banyak ditentukan oleh kemampuan petugas untuk memberikan pengarahan dan bimbingan yang bersifat psikologis serta pribadi. Dengan tidak mengecilkan arti kemampuan petugas Pembina yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas, tetapi merupakan suatu fakta kalau dikatakan bahwa petugas Pembina dalam melakukan pembinaan di dalam lembaga lebih banyak mengandalkan pendekatan ketertiban. Oleh karena itu, lembaga pemasyarakatan membutuhkan tenaga-tenaga yang berkualitas, seperti apa yang dikatakan oleh Karsono Adisumarto, bahwa pelaksanaan pemasyarakatan pada hakikatnya memerlukan tenaga-tenaga ahli seperti psikiater, psikolog, sosiolog, dokter, insinyur, ahli perusahaan dan lainlain, sesuai dengan kebutuhan teknis operasional lembaga pemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa sifat pekerjaan pemasyarakatan memerlukan kualitas personil tertentu. Memahami keberadaan lembaga pemasyarakatan sebagai penerima orangorang yang dinyatakan sebagai penjahat, secara psikologis memiliki beban yang cukup berat bagi sub sistem lainnya yang dalam tugasnya mau menentukan atau menyatakan seeorang itu bersalah. Hal seperti di atas terjadi dan dialami oleh lembaga pemasyarakatan. Beban berat yang diberikan kepada lembaga ini sekaligus menampakkan dirinya sebagai sub sistem yang punya potensi melakukan rehabilitasi. Ketidaktenteraman di dalam penjara merupakan suatu gambaran ketidakstabilan kerja para personilnya dalam menjalankan sistem yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakstabilan personil yang melakukan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kesejahteraan yang kurang memadai jika dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang cukup berat. Bahkan kalau terjadi perkelahian atau penyimpangan bahkan pelarian narapidana, maka hal ini akan berakibat terhadap kondisi kepegawaiannya. Di samping itu faktor pendidikan dan mentalitas petugas pun sangat mempengaruhi.
Universitas Sumatera Utara