KARYA TULIS HUKUM
PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK PELAKU KEJAHATAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA
SERAFINA SHINTA DEWI, S.H. Perancang Peraturan Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta
Yogyakarta, 2011
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Permasalahan
5
C. Tujuan Penulisan
5
D. Tinjauan Kepustakaan
5
1. Anak dalam Aspek Hukum
5
2. Kenakalan Anak
7
3. Peradilan Anak
9
4. Perlindungan Anak BAB II
12
PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK ANAK PELAKU KEJAHATAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA
BAB III
A. Perlindungan Anak pada Tahap Penyidikan
16
B. Perlindungan Anak pada Tahap Penuntutan
19
C. Perlindungan Anak pada Tahap Persidangan
20
D. Perlindungan Anak pada Tahap Pemasyarakatan
23
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
26
B. Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Orang tua merupakan orang yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Orang tua wajib memelihara kelangsungan hidup anak serta mendidiknya sampai dengan anak tersebut dewasa dan mandiri. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak berhak atas : (1) kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; (2) pelayanan
untuk
mengembangkan
kemampuan
dan
kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna; (3) pemeliharaan dan perlindungan, baik dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan; dan (4) perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan anak. Terutama rasa kasih sayang yang diberikan dari orang tua. Tetapi dalam kenyataannya, banyak anak dibesarkan dalam kondisi yang penuh dengan konflik sehingga seringkali menyebabkan perkembangan jiwa anak tersebut menjadi tidak sehat. Perkembangan kepribadian anak yang 3
berada dalam situasi seperti itu dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang sering dikategorikan sebagai kenakalan anak. Kenakalan anak dewasa ini semakin meningkat dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya meresahkan orang tua dari si anak pembuat kenakalan, tetapi masyarakat di lingkungan sekitar anak tersebut juga menjadi terganggu keamanan, kenyamanan dan ketertiban kehidupannya. Kenakalan anak pada akhirnya bukan sekedar merugikan orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi lebih jauh mengancam masa depan bangsa dan negara, dimana anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan negara Indonesia. Atas dasar hal tersebut, anak perlu dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang lain di sekitarnya baik kerugian mental, fisik maupun sosial, mengingat kondisi dan situasi anak yang pada hakikatnya masih belum dapat melindungi dirinya dari berbagai tindakan yang menimbulkan kerugian. Sebagaimana diketahui bahwa para ahli hukum mempunyai pengertian yang berbeda-beda mengenai istilah “hukum”. Salah satu ahli hukum E. Utrecht memberikan pengertian bahwa hukum merupakan himpunan petunjuk hidup yang berupa perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa. Menurut pendapat Dr. Maidin Gultom, SH., M.Hum dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, tujuan hukum itu adalah mengadakan keselamatan, 4
kebahagiaan dan tata tertib di dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan sehingga anggota-anggota masyarakat
dalam
memenuhi
kepentingannya
tersebut
mengadakan
hubungan-hubungan yang ditur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan masyarakat. Jika seseorang atau beberapa orang melakukan pelanggaran hukum, maka terjadi kegoncangan keseimbangan karena pelanggaran hukum tersebut kemungkinan mendatangkan kerugian bagi pihak lain. Di Indonesia, untuk menciptakan keseimbangan masyarakat, terdapat sanksi bagi pelanggaran hukum yang berlaku, yaitu sanksi administrasi dalam bidang hukum Tata Negara, sanksi perdata dalam bidang hukum Perdata, serta sanksi pidana dalam bidang hukum Pidana. Menurut pendapat Prof. Dr. Moeljatno, SH. yang dikutip oleh La Ode Ali Dalfin, SH. dalam tulisan berjudul Pengertian Hukum Pidana menurut Para Ahli pada Shvoong.com, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : -
menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
-
menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi sebagaimana yang telah diancamkan;
5
-
menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang bersangkutan telah melanggar larangan tersebut. Di Indonesia, Hukum Pidana dibagi menjadi dua macam, yaitu yang
dikumpulkan dalam suatu kitab kodifikasi yang merupakan Hukum Pidana Umum atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta yang tersebar pada berbagai undang-undang yang mengatur tentang hal-hal tertentu yang merupakan Hukum Pidana Khusus. Sedangkan untuk pelanggaran terhadap peraturan Hukum Pidana, dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak kejahatan atau pelanggaran. Peradilan yang menangani perkara pidana disebut dengan peradilan pidana yang merupakan bagian dari peradilan umum, mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa : “Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan
yang
diatur
dengan
undang-undang”.
Peradilan
Anak
merupakan salah satu Peradilan Khusus yang menangani perkara pidana anak, disamping adanya beberapa Peradilan Khusus lain yang berlaku di Indonesia, yaitu Peradilan Lalu Lintas Jalan dan Peradilan Ekonomi (sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986). Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak serta Petugas Pemasyarakatan Anak merupakan satu kesatuan yang termasuk dalam suatu sistem yang disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System), bertujuan untuk menanggulangi kenakalan anak sekaligus juga 6
diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak yang mengalami masalah dengan hukum.1
B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi inti permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya, adalah : “Bagaimana perlindungan terhadap hak-hak anak pelaku kejahatan dalam proses Peradilan Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ?”
C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini, adalah : “Untuk mengetahui mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak pelaku kejahatan dalam proses Peradilan Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.”
D. Tinjauan Kepustakaan 1. Anak dalam Aspek Hukum Terdapat berbagai ragam pengertian tentang anak di Indonesia, dimana dalam berbagai perangkat hukum berlaku penentuan batas anak yang berbedabeda pula. Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum. Hal tersebut mengakibatkan beralihnya status usia anak menjadi usia dewasa atau menjadi 1
Lihat Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung : Refika Aditama, 2008, hlm. 4
7
subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukannya. Beberapa pengertian anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain adalah : 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Pasal 330 KUHPerdata : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa.” 2. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak : Pasal 1 angka 2 : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.” 3. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : Pasal 1 angka 1 : “Anak adalah orang yang dlam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” 4. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : Pasal 1 angka 5 : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” 5. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : 8
Pasal 1 angka 1 : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 6. Menurut Hukum Adat : “Ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi dari ukuran yang dipakai adalah : dapat bekerja sendiri; cakap melakukan yang diisyaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus kekayaan sendiri.”2 Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat.
2. Kenakalan Anak Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency” atau yang biasa diartikan sebagai “kejahatan remaja” dan dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam Wikipedia.org yang merupakan situs ensiklopedia bebas, istilah remaja dapat diartikan sebagai waktu manusia berumur belasan tahun, dimana pada masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia
2
Lihat Irma Setyowati Sumitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hlm. 19.
9
dari anak-anak menuju dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Menurut pendapat Prof. Dr. Romli Atmasasmita sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Gultom, SH., MHum. dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.3 Kedudukan keluarga sangat fundamental dalam pendidikan anak. Apabila pendidikan keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan tidak jarang menjurus ke arah tindakan kejahatan atau kriminal. Dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, B. Simanjuntak berpendapat bahwa, kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin dapat menghasilkan “anak nakal”, adalah :4 a. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat, pemabuk, emosional; b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian, perceraian atau pelarian diri; c. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat inderanya, atau sakit jasmani atau rohani; 3
Lihat Maidin Gultom. Op.cit., hlm 55-56.
4
Lihat B. Simanjuntak. Kriminologi. Bandung : Tarsito, 1984, hlm. 55.
10
d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu, terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain yang campur tangan; e. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah piatu, panti-panti asuhan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan definisi mengenai anak nakal dalam Pasal 1 angka 2, yang berbunyi : “Anak Nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” Setiap manusia dalam perjalanan hidupnya pasti pernah mengalami kegoncangan
pada
masa
menjelang
kedewasaan,
dimana
tindakan-
tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena hal terseebut, diperlukan pengawasan dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga masa perubahan menjelang kedewasaan itu dapat dilewati dengan baik tanpa terjadi tindakan-tindakan yang menjurus ke arah perbuatan kriminal. . 3. Peradilan Anak Apabila dilihat dari sudut pandang sosiologis, peradilan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Peradilan juga disebut sebagai lembaga sosial yang merupakan himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
11
Kaidah-kaidah tersebut meliputi peraturan yang secara hierarki tersusun dan berpuncak pada pengadilan yang mempunyai peran untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat, yaitu kebutuhan untuk bisa hidup secara tertib dan tenteram. Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo sebagaimana telah dikutip oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Peradilan Anak di Indonesia, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun satau siapapun dengancara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting” (premanisme).5 Penggunaan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas perkara yang ditangani, yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut juga harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun anak yang disidangkan dalam Peradilan Anak ditentuakan berumur antara 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur bahwa apabila anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tetapi diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka tetap diajukan
5
Lihat Romli Atmasasmita. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 1997, hlm. 51.
12
ke Sidang Anak. Berdasarkan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, maka petugas dituntut ketelitiannya dalam memeriksa surat-surat yang berhubungan dengan buktibukti mengenai kelahiran serta umur dari anak yang bersangkutan. Peradilan Anak merupakan suatu pengkhususan pada lingkungan Peradilan Umum, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan kualifikasi perkara yang sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam hal melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena hal tersebut, maka secara sistematika hukum (recht sistematisch) isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh :6 1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) Badan Peradilan Umum; 2. Memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain, seperti Badan Peradilan Agama. Dalam Sistem Peradilan Anak, terkait beberapa unsur yang merupakan satu kesatuan, yaitu : Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak serta Petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak. Peradilan Anak yang adil akan memberikan perlindungan terhadap hakhak
anak,
baik
terpidana/narapidana.
6
sebagai Oleh
tersangka, karena
itu,
Lihat Romli Atmasasmita. Op.cit., hlm. 51
13
terdakwa, dalam
maupun
pembentukan
sebagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Peradilan Anak, hak-hak anak adalah dasar dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
4. Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut secara wajar, baik fisik, mental, maupun sosial. Hal tersebut adalah sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak menjadi berakibat negatif. Perlindungan
anak
harus
dilaksanakan
secara
rasional,
bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak memiliki kemampuan
dan
kemauan
dalam
menggunakan
hak-haknya
dan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
14
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi
anak
dengan
berbagai
cara,
mencegah
kelaparan
dan
mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.7 Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak,
telah
diatur
bahwa
yang
berkewajiban
dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah
7
Lihat Maidin Gultom. Op.cit., hlm 37-38.
15
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi yang mengusahakan perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya. Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang menjamin mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun peraturan lain yang berhubungan dengan permasalahan anak. Dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Hak-Hak Anak, mantan hakim agung, Bismar Siregar mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, di mana masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi juga perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.8 Perlindungan khusus terhadap anak yang berada dalam situasi darurat, misalnya anak yang sedang berhadapan dengan hukum serta anak dari kelompok minoritas dan terisolasi diatur secara terperinci dalam Bab VIII
8
Lihat Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986, hlm.22.
16
Bagian Kelima Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 59 adalah meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, yang merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.
17
BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK ANAK PELAKU KEJAHATAN DALAM PROSES PERADILAN ANAK
A. Perlindungan Anak pada Tahap Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana. Tindakan penyidikan meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan barang bukti, penggeledahan serta pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Dalam melakukan penyidikan anak, diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita dan dalam beberapa hal, jika dipandang perlu dapat dilaksanakan dengan bantuan polisi pria. Penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 43 ayat (1) diatur bahwa penangkapan Anak Nakal delakukan sesuai dengan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena hal itu, maka yang digunakan sebagai dasar dalam penangkapan Anak Nakal adalah Pasal 16 KUHAP yang menyatakan bahwa tujuan penangkapan tersangka adalah untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan dalam Pasal 17 KUHAP, ditegaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Anak harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Dalam melakukan tindakan 18
penangkapan, asas praduga tak bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Menangkap anak yang diduga melakukan kenakalan, harus didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktu yang terbatas. Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari. Apabila untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, Penyidik harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Jangka waktu penahanan Anak Nakal lebih singkat daripada penahanan orang dewasa.9 Hal tersebut merupakan suatu tindakan yang positif karena dari aspek perlindungan anak, maka si anak tidak perlu terlalu lama berada dalam tahanan sehingga dapat meminimalisir terjadinya gangguan dalam pertumbuhan anak baik secara fisik, mental, maupun sosial. Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa
penahanan
dilakukan
setelah
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dalam melakukan tindakan penahanan penyidik harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang semua akibat yang akan dialami oleh si anak dari tindakan penahanan dari segi kepentingan anak serta mempertimbangkan adanya unsur kepentingan masyarakat untuk memperoleh keadaan yang aman dan tenteram.
9
Lihat Maidin Gultom. Op.cit., hlm 98-99.
19
Ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, menghendaki agar pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Pendekatan secara efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaan tersebut tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Sedangkan pendekatan secara simpatik mempunyai maksud bahwa pada waktu pemeriksaan, penyidik harus bersikap sopan dan ramah serta tdak menakut-nakuti tersangka.10 Perlindungan hukum terhadap anak telah tercermin dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, apabila dilaksanakan oleh penyidik sebagaimana yang telah diatur dalam ketentaun tersebut. Tetapi apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1), tidak ada sanksi yang bisa dikenakan serta tidak mempunyai akibat hukum apapun baik terhadappejabat yang memeriksa maupun terhadap hasil pemeriksaannya. Hal tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwaa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya. Hal ini
10
Ibid., hlm. 101
20
mencerminkan suatu perlindungan hukum agar keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif, baik bagi si anak maupun terhadap pihak yang dirugikan serta bagi massyarakat. Dalam ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan. Tindakan penyidik mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap penyidikan wajib dilakukan secara rahasia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap penyidik apabila kewajiban tersebut dilanggar serta tidak mengatur akibat hukum dari hasil penyidikan. Hal itu dapat mempengaruhi kualitas kerja penyidik serta menyebabkan kerugian pada si anak baik secara fisik, mental maupun sosial karena dapat menghambat perkembangan kehidupan anak.
B. Perlindungan Anak pada Tahap Penuntutan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada prinsipnya menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki Penuntut Umum Anak (sesuai dengan pengertian Penuntut Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6) untuk menangani Anak Nakal. Tetapi apabila Kejaksaan Negeri tidak mempunyai Penuntut Umum Anak karena belum ada yang memenuhi syarat yang ditentukan atau karena mutasi/pindah, maka tugas penuntutan perkara Anak Nakal dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
21
Hal tersebut apabila ditinjau dari aspek perlindungan anak, maka dapat dikatakan bahwa anak tidak mendapatkan perlindungan. Bila penuntutan Anak Nakal tidak dilakukan oleh Penuntut Umum Anak, dikhawatirkan sasaran perlindungan
anak
menjadi
diabaikan
karena
Penuntut
Umum
yang
bersangkutan tidak memahami masalah anak, sehingga tindakan hukum yang dilakukan dalam
penuntutan mempunyai kemungkinan tidak mencerminkan
prinsip-prinsip perlindungan anak. Penuntut Umum Anak dalam melakukan tugasnya yaitu meneliti berita acara yang diajukan oleh Penyidik, jika dianggap perlu serta dengan persetujuan Hakim Anak, tidak perlu mengajukan anak ke Pengadilan. Anak cukup dikembalikan kepada orang tuanya dengan teguran dan nasihat. Orang tua/wali/orang tua asuh anak perlu diberi peringatan dan nasihat. Atas ijin Hakim Anak, Penuntut Umum Anak dapat meminta bantuan dari para ahli atau membentuk tim sendiri. Petugas sosial seperti dari Balai Pemasyarakatan serta orang tua/wali/ orangtua asuh anak juga dilibatkan dalam
menangani
dan
membina
anak.
Hal
tersebut
dilakukan
atas
pertimbangan bahwa anak membutuhkan perhatian, cinta kasih, asuhan, perlindungan, pembinaan, pendidikan serta rasa aman dan tenteram baik secara rohani maupun jasmani.11
C. Perlindungan Anak pada Tahap Persidangan Pada permulaan persidangan, Hakim Anak menanyakan kepada Penuntut Umum tentang orang tua/wali/ orang tua asuh, apakah hadir dalam
11
Ibid., hlm. 111
22
persidangan atau tidak. Kehadiran orang tua/wali/orang tua asuh anak sangat diperlukan untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak dan motif anak melakukan tindakan pidana. Bila orang tua/wali/orang tua asuh tidak hadir, maka sidang ditunda sampai mereka dapat menghadiri persidangan. Sebelum sidang dibuka, Hakim Anak memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan untuk menyampaikan Laporan Penelitian Kemasyarakatan. Setelah laporan tersebut dibacakan, Hakim membuka sidang dan dinyatakan tertutup untuk umum. Kemudian terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang sidang dengan didampingi orang tua/wali/orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam persidangan anak, terdapat perlakuan khusus yang meliputi :12 1. Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum; 2. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, oleh karena itu Hakim, Jaksa dan petugas lainnya tidak memakai toga serta atribut/tanda kepangkatan masing-masing; 3. Adanya keharusan pemisahan persidangan dengan orang dewasa, baik yang berstatus sipil maupun militer; 4. Balai
Pemasyarakatan
turut
serta
membuat
Laporan
Penelitian
Kemasyarakatan terhadap anak; 5. Hukuman lebih ringan. Sesuai ketentuan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada waktu pemeriksaan saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang. Tetapi orang
12
Ibid., hlm. 116
23
tua/wali/orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan, untuk tetap hadir di dalam persidangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang dapat mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus cermat dan teliti terhadap keadaan terdakwa, untuk dapat menentukan anak harus keluar ruang ssidang pengadilan atau tidak pada saat pemeriksaan saksi. Jika diperkirakan keterangan
saksi dapat mempengaruhi jiwa
anak,
maka anak yang
bersangkutan harus dikeluarkan dari persidangan dalam rangka perlindungan anak. Setelah pemeriksaan saksi, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa. Dalam melakukan pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak memakai pakaian seragam dengan tujuan untuk menghilangkan rasa takut dalam diri anak. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka sebelum mengambil keputusan, Hakim memberi kesempatan kepada orang tua/wali/orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, diatur mengenai tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal yang meliputi : mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan
kepada
Departemen
Sosial
atau
organisasi
sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
24
Selama proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi, yang meliputi asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang tua/wali/orang tua asuh, hak untuk berhadapan dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding.13 Penerapan hak-hak anak dalam proses peradilan merupakan suatu hasil interaksi antara anak dengan keluarga, masyarakat, serta penegak hukum yang saling mempengaruhi untuk meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan anak demi kesejahteraan anak.
D. Perlindungan Anak pada Tahap Pemasyarakatan Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
terdapat
batasan
pengertian
mengenai
Anak
Didik
Pemasyarakatan, yaitu : 1. Anak Pidana : anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; 2. Anak Negara : anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; 3. Anak Sipil :
13
Ibid., hlm. 134.
25
anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan tersebut, berdasarkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, masing-masing jenis Anak Didik Pemasyarakatan memiliki hak yang hampir sama, yaitu : 1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; 2. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 4. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5. menyampaikan keluhan; 6. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; 7. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya; 8. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 9. mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan untuk perbedaan hak dari ketiga jenis Anak Didik Pemsyarakatan itu, adalah : 1. Anak Negara mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan : a. pembebasan bersyarat; b. cuti menjelang bebas. 26
2. Anak Pidana mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan : a. pembebasan bersyarat; b. cuti menjelang bebas; c. pengurangan masa pidana (remisi). Dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga diatur mengenai hak anak yang ditempatkan di Lapas, meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut kemudian dicantumkan secara lebih jelas mengenai hakhak Anak Pidana, Anak Negara, serta Anak Sipil dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan
negara
dalam
menjadikan
narapidana
menjadi
anggota
masyarakat yang baik. Lembaga Pemasyarakatan Anak ikut berperan dalam pembinaan
narapidana
yang
mempunyai
tugas
untuk
memperlakukan
narapidana agar menjadi baik. Dalam pembinaan itu, yang perlu dibina adalah pribadi narapidana dengan membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat sehingga setelah mereka keluar dari Lapas bisa menjadi manusia yang berpribadi baik dan bermoral tinggi.
27
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian mengenai Peradilan Anak yang terjadi di Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : “hak-hak anak pelaku kejahatan dalam proses peradilan masih belum sepenuhnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sehingga Undang-Undang tentang Pengadilan Anak tersebut belum dapat dijadikan dasar secara menyeluruh dalam usaha untuk memperjuangkan hak-hak anak pelaku kejahatan di Indonesia.”
B. Saran Saran yang dapat diberikan atas kondisi yang saat ini terjadi, adalah : 1. Hak-hak anak dalam proses peradilan harus dipahami sebagai suatu perwujudan keadilan. Dalam hal ini, keadilan yang dimaksud adalah suatu kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang. Oleh karena hal tersebut, maka standar Peradilan Anak agar menjadi efektif dan adil harus memenuhi syarat sebagai berikut : 14 a. Hakim dan stafnya harus mampu menerapkan pelayanan secara individual dan tidak menghukum; b. Tersedianya fasilitas yang cukup dalam sidang dan dalam masyarakat untuk menjamin :
14
Lihat Bismar Siregar. Op.cit., hlm. 33-34.
28
1) Disposisi pengadilan didasarkan pada pengetahuan yang terbaik tentang kebutuhan anak; 2) Jika anak membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan, dapat menerimanya
melalui
fasilitas
yang
disesuaikan
dengan
kebutuhannya dan dari orang-orang yang cukup berbobot dan mempunyai kekuasaan untuk memberi kepada mereka; 3) Masyarakat menerima perlindungan yang cukup. c. Prosedur dirancang untuk menjamin : 1) Setiap anak dalam segala situasinya dipertimbangkan secara individual; 2) Hak-hak yuridis dan konstitusional anak dan orang tua serta masyarakat dipertimbangkan secara tepat dan dilindungi. 2. Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat berfungsi dengan baik, diperlukan adanya keserasian 4 (empat) unsur, yaitu :15 a. Peraturan hukum itu sendiri, dimana terdapat kemungkinan adanya ketidakcocokan peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang hukum tertentu, dimana kemungkinan lainnya yang dapat terjadi adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, dan sebagainya; b. Mentalitas petugas yang menerapkan hukum, dimana para petugas hukum (secara formal) yang mencakup hakim, jaksa, polisi, penasihat hukum dan sebagainya harus memiliki mental yang baik dalam 15
Lihat M. Yahya Harahap. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 36
29
melaksanakan (menerapkan) suatu peraturan perundang-undangan; karena apabila tidak demikian maka akan terjadi gangguan atau hambatan dalam sistem penegakkan hukum; c. Fasilitas
yang
diharapkan
dapat
digunakan
untuk
mendukung
pelaksanaan suatu peraturan hukum karena apabila tidak tersedia fasilitas yang memadai maka akan menimbulkan gangguan atau hambatan dalam pelaksanaannya; d. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan hukum.
30
DAFTAR PUSTAKA
Bismar Siregar dkk. 1986. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali. B. Simanjuntak. 1984. Kriminologi. Bandung : Tarsito. Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Bumi Aksara. Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung : Refika Aditama. M. Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung : Citra Aditya Bakti. Romli Atmasasmita. 1997. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
31