1
Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Perlindungan Rahmah Perindha Novera, Topo Santoso
Program Studi Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak Dalam sistem peradilan pidana anak dikenal suatu proses peralihan penyelesaian perkara anak keluar sistem peradilan pidana yang disebut dengan diversi. Dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi memperoleh kedudukan resmi dalam sistem peradilan anak. Dalam undang-undang tersebut, pengaturan diversi bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya diberikan dalam satu pasal, yaitu pasal 21. Sementara pasal tersebut beserta penjelasannya tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana konsep diversi yang dimaksud oleh undang-undang bagi anak yang belum berumur 12 tahun tersebut. Skripsi ini membahas bagaimana pandangan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, serta Pekerja Sosial terhadap pasal tersebut, beserta kendala yang berpotensi terjadi dan antisipasi yang diterapkan. Penelitian ini dilakukan mengingat praktek diversi telah diterapkan dalam sistem peradilan anak sebelum Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku, sehingga aparat penegak hukum beserta lembaga-lembaga yang terlibat tentunya telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai diversi. Kata Kunci
: Diversi, Anak, Sistem Peradilan Pidana Anak
Diversion Concept In The Criminal Justice System As Children Safeguards
Abstract
In the juvenile justice system recognized a settlement transitioning children out of the criminal justice system called diversion. With the enactment of Law No. 11 of 2012 on the Children
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
2 Criminal Justice System, diversion obtain an official position within the juvenile justice system. In the law, regulation of diversion for children under 12 years old only given in one article, namely article 21. Whilst the article and the explanation is not enough to explain how the concept of diversion is meant by the law for children who have not aged 12 years. This thesis discusses how the Investigator, Probation Officer, and Social Workers view of the article, as well as obstacles that could potentially occur and anticipation are applied. This research was carried out considering the practice of diversion has been applied in the juvenile justice system before the Children Criminal Justice System Law applies, so that law enforcement officers and the agencies involved must have had considerable knowledge of diversion.
Keywords : Diversion, Children, Children Criminal Justice System
Pendahuluan Kemajuan suatu bangsa seringkali diukur dari keberhasilan atau prestasi anak-anaknya. Seiring dengan perubahan zaman, perkembangan teknologi, dan pertukaran informasi yang kian cepat, maka tumbuh kembang anak pun ikut terpengaruh karenanya. Perubahan tersebut kadang membawa pengaruh positif atau negatif. Tentunya tidak ada masalah apabila pengaruh positif lebih cenderung diperoleh dari perubahan itu, yang menjadi masalah adalah ketika terjadi sebaliknya, perubahan itu menimbulkan kenakalan pada anak. Dalam hal kenakalan anak merupakan suatu tindak pidana, maka perkaranya akan diproses melalui sistem peradilan pidana. Akan tetapi proses peradilan itu seringkali membawa pengaruh buruk bagi anak, menimbulkan stigmatisasi oleh masyarakat terhadap anak, dan rawan terjadi pelanggaran hak anak. Oleh karena itu, diperlukan upaya penyelesaian perkara anak di luar sistem peradilan pidana. Dalam perkembangan selanjutnya munculah suatu pemikiran dengan cara mengalihkan penyelesaian tersebut atau yang biasa disebut diversi. Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan
perlindungan
terhadap
semua
pihak
dengan mengedepankan
prinsip
kebersamaan. Konsep ini lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
3 dalam tindak pidana tertentu melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan.1 Pada dasarnya tindakan diversi dapat dilakukan pada tahapan manapun dalam proses peradilan pidana. Penerapan diversi bergantung pada keputusan polisi, jaksa, pengadilan, atau badan-badan sejenis.2 Namun demikian, dalam banyak sistem keputusan diversi dibuat pada awal proses peradilan pidana. Diversi dapat juga disebut penyelesaian di luar pengadilan (outof-court settlement) di mana tuntutan terhadap terdakwa dihentikan atau dicabut, namun sebagai gantinya tersangka harus mentaati persyaratan-persyaratan yang disepakati oleh para pihak.3 Dalam kebijakan formulasi hukum pidana formal anak tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur tentang diversi. Dalam UU Pengadilan Anak, tidak menentukan diversi secara tegas dalam rumusan Pasal-Pasalnya, akan tetapi konsep diversi dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 5 UU Pengadilan Anak, yaitu bagi anak yang belum berumur delapan tahun melakukan tindak pidana oleh pihak kepolisian pada tahap penyidikan diserahkan kembali kepada orang tua/wali atau orang tua asuhnya ataupun kepada Departemen Sosial.4 Sedangkan bagi pelaku anak yang telah berumur delapan tahun atau lebih tidak ada ketentuan diversi baginya. Ketiadaan ruang bagi kemungkinan diversi dalam UU Pengadilan Anak ini merupakan celah hukum yang
1
Novelina MS Hutapea, “Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice”, http://www.usi.ac.id/downlot.php?file=novelina-1.pdf, diunduh pada 15 Februari 2014, hal. 10. 2
Hal ini dikemukakan oleh Inter-Parliamentary Union & UNICEF dalam “Improving the Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice”, sebagaimana dkutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, “Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”, http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-yang-Berhadapandengan-Hukum-dalam-Perspektif-Hukum-HAM-Internasional3.pdf diunduh pada 21 Februari 2014, hal.1. 3
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 10.
on Delivery:
4
Restorative
Justice
Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. (2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
4 menjadi salah satu alasan perlunya penggantian undang-undang ini dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).5 Program diversi dapat menjadi bentuk restorative justice jika: mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban, memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses, memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga, memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.6 Sebelum berlakunya UU SPPA tidak terdapat diversi yang secara tegas dituangkan dalam peraturan yang ada adalah apa yang disebut dengan restorative justice dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (SKB). Restorative penyelesaian
dimana semua
pihak
justice
yang
sendiri
terlibat
dimaknai sebagai
dalam pelanggaran
berkumpul bersama untuk memutuskan secara kolektif cara
suatu
hukum
mengatasi
proses tertentu
konsekwensi
pelanggaran dan implikasinya dimasa mendatang. Dalam konteks ini upaya penyelesaian lebih difokuskan pada pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut, bukan pembalasan bagi pelaku.7 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA) merupakan pergantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang memberikan perubahan terhadap sistem peradilan anak, terutama dengan memperkenalkan konsep diversi sebagai salah satu cara penyelesaian perkara anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan pada tanggal 20 Juli 2012 dan baru akan berlaku setelah dua tahun sejak tanggal diundangkan, meskipun demikian hal ini 5
“Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba394c5b732f/revisi-uu-perlindungan-anak-kedepankan-diversi, diunduh pada 21 Februari 2014. 6
Hidayati, Nur Hidayati, “Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dan Kepentingan Terbaik bagi Anak”, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 2, Agustus 2013, hal. 150. 7
Hutapea, Op. Cit., hal. 11.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
5 tidak menjadi hambatan bagi aparat penegak hukum dalam mempraktikkan diversi dalam kasus anak. Di Provinsi Kepulauan Riau, proses diversi telah dilakukan sejak sebelum UU SPPA diundangkan, yaitu tahun 2011. Sejak Januari hingga Desember 2013, di Kepulauan Riau didapati sebanyak 142 perkara anak, 20 perkara di antaranya dapat diselesaikan di luar jalur sidang, hal ini mengalami peningkatan sebesar lima persen dibanding tahun sebelumnya. 8 Selain di Kepulauan Riau, diversi juga telah dilakukan untuk pertama kalinya oleh Polisi Sektor Bontang Selatan Kota Bontang, Kalimantan Timur pada 13 April 2014. Diversi dilakukan terhadap kasus pencurian motor yang dilakukan AM yang masih berusia 13 tahun.9 Proses diversi juga sudah dilaksanakan di Kabupaten Brebes dengan melibatkan lembaga pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak “TIARA” Kabupaten Brebes. Meskipun upaya ini sulit dilakukan karena sebagian besar dari pihak korban merasa tidak terima dan tidak bersedia untuk menyelesaikan persoalan diluar jalur hukum atau dengan musyawarah.10 Terlepas dari kendala yang dihadapi dalam penerapan diversi di wilayahwilayah tersebut, kita dapat melihat bahwa aparat penegak hukum sudah cukup tidak asing atau bisa dikatakan sudah memiliki pengetahuan tentang penerapan diversi, meskipun diversi baru pertama kali secara tegas dikemukakan dalam UU SPPA dan undang-undang ini sendiri belum berlaku. Meskipun dalam artikel berita mengenai penerapan diversi di daerah-daerah tersebut tidak menerangkan lebih lanjut mengenai dasar penerapan diversi, namun menurut Modul Pembimbing Kemasyarakatan yang dikeluarkan Ditjenpas ada beberapa peraturan (sebelum UU SPPA berlaku) yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan diversi, antara lain:11
8
Irma dan Toeb, “Provinsi Kepri Terbaik Dalam Perlindungan Anak”, http://infopublik.org/read/64511/provinsi-kepri-terbaik-dalam-perlindungan-anak.html, diunduh 22 Februari 2014. 9
Suratmi, “Polsek Bontang Selatan Gelar Sidang Diversi”, http://www.antarakaltim.com/berita/13317/polsek-bontang-selatan-gelar-sidang-diversi, diunduh 22 Februari 2014. 10
Oye, “Jejaring Penanganan ABH Kabupaten Brebes Sepakati Diversi”, http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1610:jejaring-penanganan-abh-kabupaten-brebessepakati-diversi&catid=110:brebes&Itemid=133, diunduh 22 Februari 2014. 11
Sri Susilarti, Tatan Rahmawan, dan G.A.P. Suwardhani, Modul Pembimbing Kemasyarakatan: Modul V Diversi, (t.k: direktorat jendral pemasyarakatan, 2012), hal. 203-204.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
6 1. Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada pasal 42 ayat (2) disebutkan bahwa dalam melakukan penyidikan perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. 2. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 66 ayat (4) disebutkan penangkapan, penahanan atau pidana penjara bagi anak hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. 3. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 16 ayat (3) disebutkan bahwa penangkapan, penahanan atau hukuman pidana penjara bagi anak yang dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. 4. Kesepakatan bersama antara Departemen Sosial RI, Departemen Hukum dan HAM RI, Departemen Pendidikan Nasional RI, Departemen Kesehatan RI, Departemen Agama RI dan Kepolisian Negara RI, masing-masing dengan nomor: Nomor:
12/PRS-2/KPTS/2009;
Nomor:
M.HH.04.HM.03.02
tahun
2009;
Nomor:
11/XII/KB/2009; Nomor: 1220/Menkes/SKB/XII/2009; Nomor: 06/XII/2009 dan Nomor: B/43/XII/2009 tanggal 15 desember 2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. 5. Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, masing-masing dengan nomor: Nomor : 166A/KMA/SKB/XII/2009; Nomor : 146A/A/J/12/2009; Nomor : B/45/XII/2009; Nomor : M.HH-08.HM.03.02 Tahun 2009; Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, dan Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. 6. TR Kabareskrim Mabes Polri No. Pol : TR/395/DIT-I/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008, salah satu isi TR tersebut disebutkan bahwa tindak pidana yang dialihkan secara diversi dengan diskusi komprehensif atau Restorative Justice, dilakukan berdasarkan hasil Litmas dari bapas, merupakan tindak pidana biasa. Dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA disebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Lalu
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
7 bagaimana jika anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun? Dalam Pasal 21 UU SPPA, bagi anak yang belum berumur 12 tahun yang melakukan tindak pidana, maka baginya akan diambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional untuk diserahkan kembali kepada orang tua, atau mengikutsertakan anak tersebut dalam program pendidikan,
pembinaan,
dan
pembimbingan. Keputusan tersebut
selanjutnya diserahkan kepada pengadilan untuk ditetapkan dalam jangka waktu tiga hari. Meskipun dalam Pasal 21 UU SPPA beserta penjelasannya tidak menyebutkan ada proses diversi dalam ketentuan pasal ini, akan tetapi apabila dikaitkan dengan makna diversi sebagai upaya mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal, maka jelas terlihat bahwa dalam ketentuan ini terdapat diversi. Masalah yang kemudian timbul adalah mengenai pandangan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional terhadap penerapan Pasal ini apakah sudah memiliki persepsi yang sama. Kemudian bagaimana peran yang dilakukan masing-masing pihak untuk mencapai keputusan terbaik bagi anak tersebut. Selanjutnya jangka waktu dalam pengambilan keputusan oleh para penegak hukum tersebut yang terlalu singkat, yaitu tiga hari, apakah memungkinkan untuk mencapai keputusan diversi. Pokok Permasalahan 1. Bagaimana pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak? 2. Bagaimana pandangan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial terhadap Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? 3. Kendala apa yang mungkin dihadapi dalam penerapan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? 4. Bagaimana antisipasi yang akan dilakukan dalam menghadapi kemungkinan kendala tersebut? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yakni penelitian terhadap sistematika hukum. Penelitian hukum normatif (legal research) disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
8 dianggap pantas.12 Penelitian sistematik hukum adalah penelitian yang dilakukan terhadap pengertian dasar sistematika hukum yang meliputi subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, serta objek hukum.13 Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan informasi untuk menjawab isu yang dibahas dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan ini memberi kesempatan untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya.14 Selain pendekatan undang-undang, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.15 Penelitian ini juga menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa wawancara kepada narasumber, selain metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Wawancara yang dimaksud dilakukan terhadap narasumber untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai
praktik
diversi dalam peradilan anak pada
umumnya dan praktik diversi dalam Pasal 21 UU SPPA pada khususnya. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 21 UU SPPA, yaitu penyidik anak, pekerja sosial, pembimbing kemasyarakatan, dan salah seorang anggota penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah dari UU SPPA. Penelitian ini difokuskan di daerah Jakarta Selatan, sehingga Penyidik Anak, yaitu Mariana Widiastuti yang penulis wawancarai berasal dari Polres Metro Jakarta Selatan dan Pembimbing Kemasyarakatan, yaitu Saida Sitanggang, Karto Sugiarto, dan Sri Sinta dari Balai
12
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1, (Jakarta: PT. RrajaGrafindo Persada, 2006), hal. 118. 13
Sri Mamudji, et. all., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 93.
15
Ibid., hal. 95.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
9 Pemasyarakatan Jakarta Selatan. Sedangkan Pekerja Sosial, yaitu Sudayana berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra Handayani yang berlokasi di Jakarta Timur, dikarenakan panti sosial milik Kementerian Sosial hanya ada satu di Jakarta. Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial yang penulis wawancarai, masing-masing ditentukan sendiri oleh lembaga yang bersangkutan. Sedangkan Christina Sri Widyastuti yang merupakan Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien Dewasa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penulis memilih untuk mewawancarai karena beliau merupakan Anggota penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah dari UU SPPA dan telah berpengalaman mengenai diversi, selain itu penulis juga mendapat rekomendasi dari Dosen penulis untuk mewawancarai beliau. Wawancara dilakukan secara berencana dimana peneliti menyusun daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan wawancara bersifat terbuka, dimana narasumber mengetahui kalau dia diwawancarai dan apa tujuan dari wawancara tersebut. 16 Setelah semua data terkumpul, akan dilakukan proses analisis data dengan menghubungkan data yang dihasilkan dari penelitian kepustakaan dengan data hasil wawancara dan data hasil pengamatan terlibat, yang kemudian akan dianalisis secara kualitatif.
Pembahasan A. Pengaturan diversi: internasional dan nasional Pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak terdapat dalam instrumen nasional maupun internasional. 1. Pengaturan diversi dalam instrumen hukum internasional antara lain terdapat dalam Konvensi Hak Anak (KHA), United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures (Tokyo Rules), UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh Guidelines), dan Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). a. Konvensi Hak Anak Pasal 40 ayat (2) menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum, dan harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, di mana anak-anak memiliki hak untuk diberitahu segera tuduhan yang disangkakan terhadap mereka, dan mendapatkan bantuan dari orang tua mereka dan bantuan hukum pada semua tahap pemrosesan. Pasal 39 menyatakan bahwa Anak-anak tidak boleh
16
Burhan Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 100.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
10
b.
c.
d.
2.
mengalami penyiksaan atau tindakan kejam lainnya, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman, dan hak mereka untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengaku bersalah harus dijamin. Tokyo Rules menyatakan bahwa perkembangan tindakan non-custodial baru harus didorong dan diawasi secara ketat (Rule 2.4). Aturan ini juga menyatakan bahwa pertimbangan harus diberikan untuk menangani para pelaku di masyarakat, menghindari sejauh mungkin penggunaan prosedur formal atau sidang pengadilan, sesuai dengan perlindungan hukum dan supremasi hukum (Rule 2.5). Dalam rangka memberikan keleluasaan yang lebih besar sesuai sifat dan beratnya pelanggaran, kepribadian dan latar belakang pelaku, dan perlindungan masyarakat dan juga untuk menghindari pemenjaraan yang tidak perlu, sistem peradilan pidana harus menyediakan berbagai tindakan noncustodial, dari tahap sebelum sidang sampai tahap pasca pemidanaan. Jumlah dan jenis tindakan non-custodial yang tersedia harus ditentukan sedemikian rupa sehingga pemidanaan yang konsisten tetap dimungkinkan (Rule 2.3). (Riyadh Guidelines) menekankan pentingnya layanan dan program berbasis masyarakat untuk mencegah dan menanggapi kejahatan anak. Mereka bersikeras bahwa 'lembaga resmi untuk kontrol sosial seharusnya hanya digunakan sebagai usaha terakhir' (Guideline 6) (Beijing Rules) menghendaki bahwa pertimbangan harus diberikan, di mana pun sesuai, untuk menangani pelaku anak tanpa harus disidangkan secara resmi di pengadilan oleh instansi yang berwenang. Diversi dapat digunakan pada setiap titik dalam proses pengambilan keputusan. Polisi, jaksa atau lembaga lain yang berhubungan dengan kasus anak harus diberikan wewenang untuk menghentikan kasus tersebut, sesuai diskresi mereka, tanpa bantuan pengadilan. Setiap diversi yang melibatkan penyerahan kepada komunitas yang sesuai atau lembaga lain mengharuskan persetujuan dari anak atau orang tua atau walinya, dan harus ditinjau oleh pejabat yang berwenang, pada pelaksanaanya. Dalam rangka memfasilitasi pengaturan diskresi pada kasus anak, program-program kemasyarakatan harus disediakan, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi, dan ganti rugi korban (Rule 11.1 sampai 11.4.). Pengaturan diversi dalam instrumen hukum nasional Sebelum berlakunya UU SPPA, tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur
tentang diversi anak, baik di dalam KUHP, UU Pengadilan Anak, UU Kesejahteraan Anak, UU HAM, UU Perlindungan Anak, maupun Surat Keputusan Bersama. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam Pasal tersebut bahwa terjadi upaya diversi, akan tetapi pada dasarnya ketentuan mengenai diversi dapat ditemukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak, yaitu bagi anak yang belum berumur 8 tahun yang melakukan/ diduga melakukan tindak pidana, penyidik dapat menyerahkan anak tersebut pada orang tua/ wali, atau kepada Departemen Sosial.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
11 Dalam Pasal 1 angka (7) UU SPPA, yang dimaksud dengan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak (Pasal 6 UU SPPA). tindak pidana yang wajib diupayakan diversi diatur dalam Pasal 7 di mana dijelaskan sebagai berikut : (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak
pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun (Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU SPPA). Diversi ditempuh dengan mekanisme musyawarah dan melibatkan seluruh pihak terkait, yaitu anak dan orang tuanya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Jika proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, maka proses
hukum anak akan
dihentikan, dan maksimal tiga hari, kesepakatan diversi akan disampaikan oleh pejabat yang bertanggungjawab ke Pengadilan Negeri untuk ditetapkan (pasal 12). Namun jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses hukum anak bisa dilanjutkan kembali.( Pasal 13: Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal: a.
proses Diversi tidak
menghasilkan kesepakatan; atau b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.)
B. Pandangan Penyidik, PK, Peksos Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan Jakarta Selatan 17, Penyidik Anak dari Polres Metro Jakarta Selatan ,yaitu Mariana Widiastuti, Kasubnit PPA, dan Pekerja
17
Dalam wawancara dengan PK di Bapas pada tanggal 2 Mei 2014, penulis mewawancarai tiga orang PK, Penulis pertama mewawancarai Kasubsie Bimkemasy, yaitu Saida Sitanggang, namun karena beliau merasa
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
12 Sosial (Peksos) dari Panti Sosial Marsudi Putra Handayani, yaitu Sudiyana, sebagai pihak-pihak yang nantinya akan melaksanakan ketentuan Pasal 21. Selain itu, penulis juga mewawancarai salah seorang anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU SPPA, yaitu Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, sebagai pihak diluar pelaksana yang dianggap memiliki pengetahuan lebih terhadap Pasal 21 UU SPPA. 1. Penyidik, PK, dan Peksos menganggap tindakan18 Penyidik, Pembimbing Kmasyarakatan, dan Pekerja Sosial mengambil keputusan bagi anak dalam Pasal tersebut merupakan proses diversi, sedangkan Penyusun RPP menganggap tindakan tersebut bukanlah proses diversi. Karena anak yang dimaksud pasal tersebut belum mencapai usia 12 tahun, sedangkan diversi diberlakukan untuk anak yang sudah mencapai usia 12 sampai dengan 18 tahun. Untuk anak yg belum mencapai 12 tahun tidak boleh dimasukan ke proses diversi, yang dapat didiversikan adalah anak usia 12 sampai dengan 18 tahun dengan tingkat tuntutan hukuman di bawah 7 tahun, bukan residivis. Pendapat Christina Sri Widyastuti tersebut ada benarnya, apabila kita merujuk pada Bab II tentang Diversi pada UU SPPA, maka dapat kita ketahui bahwa Anak yang dimaksud dalam bab tersebut adalah Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, yaitu anak yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun. Sedangkan dalam Pasal 21 ayat (1) jelas dikatakan bahwa anak yang dimaksud Pasal ini adalah anak yang belum berumur 12 tahun. Sehingga ada benarnya bila beliau menganggap bahwa diversi hanya berlaku bagi anak umur 12 sampai 18 tahun, dan diluar dari pada itu bukan disebut diversi. Namun, apabila kita melihat dari pengertian diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, maka pengambilan keputusan bagi anak oleh Penyidik, PK, dan Peksos dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut adalah proses diversi perkara pemahamannya kurang mengenai Pasal 21 UU SPPA, maka beliau menyarankan penulis untuk mewawancarai rekan beliau, yaitu Sri Sinta, yang merupakan Kasubsi Bimbingan Kerja Klien Anak, di tengah wawancara ternyata Sri Sinta harus memenuhi panggilan kerja, maka beliau minta digantikan oleh Karto Sugiarto yang merupakan Kasubsi Registrasi, yang juga telah mengikuti Bimtek (Bimbingan Teknis) mengenai UU SPPA. 18
Pasal 21 ayat (1) UU SPPA berbunyi: (1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
13 anak yang dilakukan dengan pemberian tindakan berupa anak dikembalikan pada orang tua, atau anak diserahkan ke LPKS. 2. Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi: “Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.”
Sri Sinta (PK) mengatakan bahwa yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (2) adalah bahwa hasil keputusan yang didapat melalui Pasal 21 ayat (1) kemudian diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan oleh pengadilan dalam jangka waktu 3 hari. Pendapat tersebut diamini oleh Crhistina Sri Widyastuti (penyusun RPP) yang berpendapat bahwa jangka waktu 3 hari dimaksud Pasal 21 ayat (2) adalah jangka waktu untuk menunggu penetapan pengadilan, karena untuk menitipkan anak tanpa penetapan pengadilan itu tidak diijinkan, walaupun di LPKS. Sedangkan untuk jangka waktu bagi proses pemeriksaan anak yang belum 12 (Pasal 21 ayat (1)) semakin cepat semakin baik, tapi tidak ditentukan waktunya. Kedua pendapat tersebut berbeda dengan Mariana Widiastuti (penyidik), yang sebelumnya berpendapat bahwa proses diversi pada Pasal 21 ayat (1) berlaku di tingkat pengadilan, maka Pasal 21 ayat (2) merupakan penegasan bahwa diversi itu terjadi di tingkat pengadilan, maka diversi ditetapkan oleh pengadilan. Sedangkan Sudiyana (peksos) mengaku kurang paham dengan maksud Pasal 21 ayat (2). Tetapi kemudian Sudiyana berpendapat bahwa hasil diversi tidak dikuatkan dengan penetapan pengadilan, justru menghindari proses peradilan karena dikhawatirkan ada traumatik bagi anak, beliau cenderung mengartikan Pasal tersebut sebagai langkah apabila diversi tidak berhasil dan kemudian kasus dilanjutkan ke proses persidangan di pengadilan. Apabila dilihat dari redaksi Pasal 21 ayat (2), yang dalam penjelasan Pasalnya dikatakan “cukup jelas”, berarti bahwa hasil keputusan yang diambil oleh Penyidik, PK, dan Peksos bagi anak kemudian diserahkan ke pengadilan untuk mendapat penetapan pengadilan, bukan berarti proses hukum anak dibawa ke pengadilan, karena penetapan bukan berarti putusan pengadilan, keduanya berbeda. Penetapan adalah perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi negara dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang berwenang dan berwajib. Sedangkan putusan adalah hasil dari pemeriksaan suatu perkara,
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
14 yang terdiri dari putusan bebas, yaitu putusan akhir yg menyatakan pelaku bebas dari perkara dan putusan sela, yaitu putusan sementara/pertengahan dalam suatu perkara.19 3. Evaluasi oleh Bapas sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (3)20 dilakukan dengan cara Bapas melihat perkembangan si anak, kesehatannya, tingkat kemahiran si anak dalam keahlian yang diperolehnya (misal keahlian montir). Selain itu Bapas juga melakukan konfirmasi terhadap petugas LPKS mengenai perkembangan anak. Program pendidikan bagi anak yang berada di LPKS ditentukan sendiri oleh pihak LPKS, sementara Bapas hanya melakukan evaluasi terhadap perkembangan anak selama berada di LPKS.21 Kemudian Karto Sugiarto menambahkan bahwa evaluasi yang dilakukan oleh Bapas terhadap anak yang berada di LPKS dilakukan dengan melihat keadaan si anak apakah menuruti peraturan-peraturan yang ada di LPKS itu ataukah malah berbuat onar. Di LPKS anak direhabilitasi dan mendapat pembinaan sesuai perbuatannya (tindak pidana yang dilakukannya), LPKS juga bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan arahan pengasuhan yang baik bagi anak, memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan.22 4. Perpanjangan masa pembinaan sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (4). 23 Christina Sri Widyastuti (penyusun RPP) menganggap keputusan untuk perpanjangan pembimbingan anak diperoleh dari musyawarah antara Penyidik, PK, dan Peksos lagi. Mariana Widiastuti (penyidik) berpendapat bahwa mengenai perpanjangan masa pembimbingan bagi anak merupakan wewenang pengadilan atas permintaan Bapas, mengingat pendapat sebelumnya bahwa Pasal 21 khusus mengatur diversi di tahap pengadilan, maka tentunya yang berwenang memperpanjang masa pembinaan dalam Pasal ini adalah pengadilan melalui penetapannya. Sementara dari Pembimbing Kemasyarakatan, Karto Sugiarto, berpendapat bahwa perpanjangan masa bimbingan di LPKS dilakukan sendiri oleh LPKS tanpa perlu ada surat
19
Kamus istilah hukum http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/kunena/30-kumpulan-istilahhukum/592-kamus-istilah-hukum.html diunduh pada 19 Mei 2014. 20
Pasal 21 ayat (3) menyatakan bahwa Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. 21
Wawancara dengan Saida Sitanggang, Kasubsie Bimkemasy Bapas Jakarta Selatan, 2 Mei 2014.
22
Wawancara dengan Sudiyana, Pekerja Sosial PSMP Handayani, 6 Mei 2014. Pasal 21 ayat (4) menyatakan bahwa, dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. 23
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
15 penetapan dari pengadilan terlebih dahulu. Bila LPKS melihat bahwa anak belum dapat dikeluarkan dan perlu bimbingan lebih lanjut, maka pihak LPKS akan memberi tahu orang tua bahwa masa bimbingan anak diperpanjang. Pihak dari LPKS sendiri, yaitu Sudiyana sebagai Peksos, sama halnya dengan Karto Sugiarto, menganggap bahwa perpanjangan masa pembimbingan itu dilakukan oleh LPKS, yang dilakukan dengan rekomendasi dari pekerja sosial pada orang tua untuk meminta persetujuan orang tua. Meskipun demikian, setelah lewat masa pembinaan di LPKS anak diutamakan untuk dikembalikan ke orang tua. Penulis setuju dengan pendapat Penyusun RPP bahwa keputusan untuk perpanjangan pembimbingan anak diperoleh dari musyawarah kembali antara Penyidik, PK, dan Peksos, karena keputusan bagi anak untuk dibimbing di instansi pemerintah atau LPKS berasal dari Penyidik, PK, dan Peksos, maka sudah sewajarnya kalau keputusan untuk memperpanjang masa pembimbingan juga berasal dari ketiga lembaga tersebut. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan diversi sejauh ini, perpanjangan masa pembimbingan dilakukan sendiri oleh LPKS sebagaimana dikemukakan Sudiyana dan Karto Sugiarto tersebut.
C. Kendala Atas Penerapan Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Beserta Antisipasinya 1. Kendala yang datang dari Christina Sri Widyastuti sebagai anggota tim penyusun RPP UU SPPA dan Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, yaitu: a. Untuk perpanjangan masa pembimbingan bagi anak yang masih memiliki orang tua, maka perpanjangan pembimbingan itu diserahkan pada orang tua, tapi bagi anak yang tidak ada orang tua masih dipermasalahkan mengenai perpanjangan masa pembimbingannya (dalam penyusunan RPP juga masih dipermasalahkan). Hal ini dikarenakan belum ada sinkronisasi antara polisi, Bapas, dan Peksos tentang siapa yang akan mengawasi lebih lanjut, apakah tugas polisi terus, atau Bapas harus mendampingi terus, sementara klien Bapas bukan anak saja, lebih banyak org dewasa, sedangkan anak tdk sampai sepertiganya. Jumlah klien Bapas 64000, sedangkan anak hanya 3000. Pengaturan dalam UU SPPA berbeda dengan UU Pengadilan Anak, dimana anak yang tidak jelas
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
16 keberadaan orang tuanya menjadi anak negara, sedangkan dalam UU SPPA sudah tidak ada pembagian anak menjadi anak negara. Menurut Chritina Sri Widyastuti, anak negara sudah tidak ada di UU SPPA karena dalam pembahasan undang-undang ini, orang tidak paham bahwa rata-rata yang melakukan pelanggaran hukum adalah anak yang bermasalah dengan orang tua, yaitu anak yang tidak diakui orang tua, anak yang diambil dari orang tuanya, atau orang tua si anak sudah meninggal, sehingga anak berdiri sendiri tidak ada arahannya. b. Diversi bagi anak yang belum 12 tahun yang melakukan tipiring tidak sulit dilakukan, tapi kalau anak melakukan tindak pidana berat atau di atas 7 tahun, misal pembunuhan, penganiayaan berat, pelecehan seksual, terhadap anak tersebut polisi tidak boleh menahan, Bapas juga, sementara kalau anak kembali ke orang tua, maka orang tua terancam, sedangkan bila ke LPKS tidak ada pengamanannya. Orang tua terancam karena ada kemungkinan bagi masyarakat, terutama korban dan keluarga korban untuk membalas perbuatan anak. Terhadap masalah ini dilakukan antisipasi dengan bersosialisasi pada masyarakat bahwa penjara bukan jalan terbaik bagi anak. Sosialisasi ini bisa berbentuk seminar, pamflet, brosur, kerja sama dengan pemda atau muspida dengan mengundang tokoh masyarakat, atau lewat acara televisi. Tanggapan dari masyarakat dan keberatannya juga diperhatikan agar semua bisa sinkron. c. Masih terdapat banyak kekurangan pada sarana prasarana. Bapas hanya ada di 72 provinsi, sementara tuntutan dari UU SPPA Bapas ada di kabupaten/ kota, berarti Bapas harus mencakup 365 kabupaten/kota. Selain itu dana juga menjadi salah satu kendala. Terutama bagi daerah yang luas, misalnya Irian, yang kalau menjangkau rumah klien bisa mencapai waktu seminggu. Untuk menghadapi kekurangan jumlah Bapas, maka Bapas mengadakan Bimtek (Bimbingan Teknis) online untuk membuat non PK menjadi PPK (pembantu pembimbing kemasyarakatan). Non PK adalah Petugas pemasyarakatan yang ada di lapas atau rutan. d. Panti pemerintah (LPKS) hanya berjumlah 8 di seluruh Indonesia. Padahal proses diversi banyak mengikutsertakan LPKS. Christina menyarankan untuk dibuat saja LPKS sementara di LP anak sebelum pemerintah mendirikan LPKS. Asal dipisah, sehingga nanti anak tidak terputus pendidikannya
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
17 2. Kendala yang datang dari Karto Sugiarto sebagai Pembimbing Kemsyarakatan dan Kasubsi Registrasi Bapas Jakarta Selatan, yaitu: a. Pihak korban sering tidak mau menyelesaikan perkara melalui diversi. Hal ini diantisipasi dengan musyawarah kembali bersama korban, Bapas, dan tokoh masyarakat untuk menambah pemahaman pihak korban bahwa diversi memang diperlukan. Apabila upaya ini masih tetap tidak disetujui oleh korban, maka proses hukum akan berlanjut. b. Orang tua pelaku sering menolak kedatangan PK untuk Litmas hal ini biasanya dikarenakan orang tua masih bingung dan pusing memikirkan masalah yang dilakukan anaknya. Hal ini diantisipasi dengan PK meminta bantuan ketua RT atau tokoh masyarakat untuk berbicara dengan orang tua pelaku. Apabila bantuan tidak diperoleh, maka PK akan menunggu selama beberapa hari agar pihak orang tua lebih tenang terlebih dahulu. c. Jangka waktu pembuatan Litmas yang hanya 3 hari dirasakan terlalu singkat. Hal ini diantisipasi dengan bekerja lebih giat. d. Kurangnya prasarana seperti kendaraan dinas dan juga komputer atau laptop yang jumlahnya masih sedikit. Sementara untuk membuat litmas maka PK harus mengunjungi banyak tempat dan litmas yang harus dikerjakan dalam 3 hari sementara jumlah komputer terbatas. Hal ini diantisipasi dengan menggunakan kendaraan pribadi dan juga laptop pribadi. 3. Kendala yang datang dari Mariana Widiastuti sebagai Penyidik Anak dan Kasubnit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Metro Jakarta Selatan, yaitu: a. Korban emosi karena kerugian yang diperolehnya berupa kerugian moril yang sulit dinilai dengan uang, sulit diganti, sedangkan kalau salah satu pihak menolak, maka diversi tidak bisa dilaksanakan, tidak bisa dipaksakan untuk terjadi diversi. Upaya untuk mengantisipasinya dengan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya diversi yaitu dengan melakukan penyuluhan tentang ABH dan KDRT di kelurahan. b. Waktu dan personil yang tersedia untuk melakukan penyuluhan tersebut jumlahnya terbatas dikarenakan banyaknya pekerjaan masing-masing personil. 4. Kendala yang datang dari Sudiyana sebagai Pekerja Sosial PSMP Handayani, yaitu: a. Kurangnya koordinasi, terutama koordinasi antar lembaga mengenai implementasi UU SPPA dan mengenai pembagian wewenang dari atas ke bawah. Juga kurang koordinasi
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
18 mengenai lama masa penitipan anak di LPKS yang dititipkan oleh polisi atau jaksa, sehingga masa penitipan anak sering molor dari jangka waktu yang disepakati. Misalnya mereka menjanjikan untuk menitipkan anak selama 7 hari namun nyatanya 7 hari sudah lewat anak tersebut belum juga diambil. Sedangkan pihak panti sering tidak diberi alasan mengenai keterlambatan itu. Antisipasinya dengan melakukan pendekatan terhadap instansi lain agar lebih kenal satu sama lain. b. Panti sosial dari kemsos seluruh indonesia hanya ada 8, jauh sekali bila dibanding jumlah penjara seluruh indonesia. Walau sekarang jumlah panti kurang, namun nanti setelah UU SPPA berlaku, baik panti pemerintah maupun panti swasta harus bersedia menangani ABH, tidak hanya PSMP. c. Selain jumlah panti, jumlah personil juga masih kurang, sementara amanat dari UU setiap kabupaten/kota harus ada. Kalau sekarang mengatasi kekurangan itu dengan memanfaatkan personil yang ada. d. Korban dan keluarganya ada yang tidak mau menerima penyelesaian perkara melalui diversi, masih pemikiran retributif dan belum memiliki pemikiran untuk mencapai hasil terbaik bagi anak. Antisipasinya dengan melakukan pendampingan terhadap korban juga, bukan hanya pelaku, agar korban mengerti pentingnya diversi. e. Sumber daya manusia (pegawai) kurang paham undang-undang atau hukum, hal ini diantisipasi dengan belajar lebih dalam mengenai undang-undang atau hukum.
Penutup A. KESIMPULAN 1. Pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak terdapat dalam instrumen nasional maupun internasional. Pengaturan diversi dalam instrumen internasional antara lain terdapat dalam Konvensi Hak Anak (KHA), United Nations Standard Minimum Rules for NonCustodial Measures (Tokyo Rules), UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh Guidelines), dan Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Selain konvensi, pedoman maupun standar minimum tersebut memang tidak mengikat secara hukum, tetapi tetap dapat dijadikan acuan bagi negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan program diversi.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
19 Sedangkan di dalam kebijakan formulasi hukum pidana formal anak di Indonesia, sebelum berlakunya UU SPPA, tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur tentang diversi, baik di dalam KUHP, UU Pengadilan Anak, UU Kesejahteraan Anak, UU HAM, UU Perlindungan Anak, maupun Surat Keputusan Bersama. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam Pasal tersebut bahwa terjadi upaya diversi, akan tetapi pada dasarnya ketentuan mengenai diversi dapat ditemukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak, yaitu bagi anak yang belum berumur 8 tahun yang melakukan/ diduga melakukan tindak pidana, penyidik dapat menyerahkan anak tersebut pada orang tua/ wali, atau kepada Departemen Sosial. 2. Belum tercapai kesatuan pendapat antara Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan (PK), Pekerja Sosial (Peksos), maupun anggota tim penyusun RPP dari UU SPPA (selanjutnya disebut Penyusun RPP) mengenai pemahaman terhadap Pasal 21 UU SPPA, sehingga seringkali terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam memaknai pasal 21 UU SPPA. 3. Kendala-kendala yang berpotensi terjadi terkait penerapan Pasal 21, yaitu: a. Ada kemungkinan bagi masyarakat, terutama korban dan keluarga korban untuk membalas perbuatan anak. b. Pihak korban dan keluarga sering tidak terima bila perkara diselesaikan melalui diversi. c. Masih terdapat banyak kekurangan pada sarana. Bapas hanya ada di 72 provinsi, padahal seharusnya mencakup 365 kabupaten/kota. Sedangkan panti pemerintah (LPKS) hanya berjumlah 8 di seluruh Indonesia. 4. Antisipasi terhadap kendala yang berpotensi terjadi, yaitu: a. Melakukan sosialisasi dengan masyarakat bahwa penjara bukan jalan terbaik bagi anak. Sosialisasi ini bisa berbentuk seminar, pamflet, brosur, kerja sama dengan pemda atau muspida dengan mengundang tokoh masyarakat, atau lewat acara televisi. Hal ini dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan. b. Selain itu, Bapas juga melakukan musyawarah bersama korban dan tokoh masyarakat untuk menambah pemahaman pihak korban bahwa diversi memang diperlukan. Upaya meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya diversi juga dilakukan pihak Kepolisian, yaitu dengan cara melakukan penyuluhan tentang ABH dan KDRT di kelurahan. Sedangkan Peksos mengantisipasinya dengan melakukan pendampingan terhadap korban juga, bukan hanya pelaku, agar korban mengerti pentingnya diversi.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
20 c. Untuk mengantisipasi kurangnya jumlah Bapas mengadakan Bimtek (Bimbingan Teknis) online untuk membuat non PK menjadi PPK (pembantu pembimbing kemasyarakatan). Sedangkan pihak LPKS menganggap kekurangan jumlah panti nantinya bisa diatasi setelah UU SPPA berlaku, baik panti pemerintah maupun panti swasta harus bersedia menangani ABH, tidak hanya PSMP. Sedangkan untuk saat ini mengatasi kekurangan itu hanya dengan memanfaatkan panti yang ada.
B. SARAN 1. Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai UU SPPA sebaiknya mengatur lebih jelas mengenai diversi Pasal 21, terutama dalam hal pihak-pihak yang terlibat, mekanisme pengambilan keputusan, perbedaan diversi bagi anak yang belum 12 dengan anak yang berusia 12 sampai 18 tahun, penegasan mengenai Pasal 21 ayat (2) bahwa penetapan pengadilan tidak berarti kasus anak
diproses melalui sidang pengadilan, pihak yang
berwenang untuk memutuskan perpanjangan masa pembimbingan anak, dan mekanisme evaluasi oleh Bapas. Sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman. 2. Selain penegasan hal-hal tersebut sebelumnya dalam RPP, sebaiknya juga diadakan pelatihan bersama terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pasal 21 UU SPPA pada khususnya, serta pihak-pihak pelaksana diversi anak pada umumnya. Hal ini dilakukan agar tercapai kesamaan persepsi diantara masing-masing pihak mengenai makna, cara pelaksanaan, serta peran setiap pihak dalam Pasal 21 UU SPPA. 3. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap warga masyarakat, terutama korban dan atau keluarga, mengenai pentingnya pelaksanaan diversi untuk menyelesaikan kasus anak, sekaligus untuk menghilangkan (setidaknya mengurangi) kecenderungan untuk membalas perbuatan pelaku anak. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat masyarakat terutama pihak korban yang sering tidak terima bila perkara diselesaikan dengan jalan diversi.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
21 Daftar Referensi BUKU Asikin, Amiruddin dan Zainal, H. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RrajaGrafindo Persada, 2006. Bungin, Burhan (Ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Mamudji, Sri, et. all. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010. Susilarti, Sri; Rahmawan, Tatan; dan Suwardhani, G.A.P. Modul Pembimbing Kemasyarakatan: Modul V Diversi. T.k: Direktorat Jendral Pemasyarakatan, 2012. ARTIKEL Hidayati, Nur, “Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dan Kepentingan Terbaik bagi Anak.” Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 2, Agustus 2013. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak. UU No. 3 tahun 1997. LN No. 3 Tahun 1997. TLN No. 3668. Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012. LN No. 153 Tahun 2012. TLN No. 5332. PUBLIKASI ELEKTRONIK Anonim.
“Revisi
UU
Perlindungan
Anak
Kedepankan
Diversi.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba394c5b732f/revisi-uu-perlindungan-anakkedepankan-diversi. Diunduh pada 21 Februari 2014. Hutapea, Novelina MS. “Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice.” http://www.usi.ac.id/downlot.php?file=novelina1.pdf. Diunduh 15 Februari 2014. Irma
dan
Toeb.
“Provinsi
Kepri
Terbaik
Dalam
Perlindungan
Anak.”
http://infopublik.org/read/64511/provinsi-kepri-terbaik-dalam-perlindungan-anak.html. Diunduh 22 Februari 2014.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
22 Oye.
“Jejaring
Penanganan
ABH
Kabupaten
Brebes
Sepakati
Diversi.”
http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1610:jejaringpenanganan-abh-kabupaten-brebes-sepakati-diversi&catid=110:brebes&Itemid=133. Diunduh 22 Februari 2014. Suratmi.
“Polsek
Bontang
Selatan
Gelar
Sidang
Diversi.”
http://www.antarakaltim.com/berita/13317/polsek-bontang-selatan-gelar-sidang-diversi. Diunduh 22 Februari 2014. Yayasan Pemantau Hak Anak. “Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak
Asasi
Manusia
Internasional.”
http://www.ypha.or.id/web/wp-
content/uploads/2011/04/Anak-yang-Berhadapan-dengan-Hukum-dalam-PerspektifHukum-HAM-Internasional3.pdf. Diunduh pada 21 Februari 2014. “Kamus istilah hukum.” http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/kunena/30-kumpulanistilah-hukum/592-kamus-istilah-hukum.html. Diakses pada 19 Mei 2014.
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014