PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN
Oleh: RIZQI FARAHYONA 102045125140
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:
Rizqi Farahyona 102045125140
Di Bawah Bimbingan:
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN” setelah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah. Jakarta, 10 Juni 2006 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., NIP: 150 210 422
PANITIA SIDANG MUNAQOSAH
Ketua
: Asmawi, M.Ag (………………...…) NIP: 150 282 394
Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag (………………...…) NIP: 150 282 403
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., (………………...…) NIP: 150 210 422
Penguji I
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (………………...…) NIP: 150 169 102
Penguji II
: Sri Hidayati, M.Ag (………………...…) NIP: 150 282 403
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN” setelah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah. Jakarta, 10 Juni 2006 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., NIP: 150 210 422
PANITIA SIDANG MUNAQOSAH
Ketua
: Asmawi, M.Ag (………………...…) NIP: 150 282 394
Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag (………………...…) NIP: 150 282 403
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., (………………...…) NIP: 150 210 422
Penguji I
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (………………...…) NIP: 150 169 102
Penguji II
: Sri Hidayati, M.Ag (………………...…) NIP: 150 282 403
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika kita bisa melihat atau merasakan sebuah impian menjadi kenyataan, bagi penulis skripsi ini adalah salah satu keindahan itu. Terima kasih dan rasa syukur yang tak terhingga terucapkan kepada Allah SWT sang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, yang telah memberikan cinta yang tak terhingga, nikmat yang tak berujung. Shalawat serta salam penulis persembahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. atas segala perjuangan dan amanah yang tak pernah padam sampai akhir zaman. Terima kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Ayahanda Drs. H. Teungku Anwar Abbas, Ibunda Dra. Cut Rahmani dan Adinda Putri Lubna Tari, S.S, Nenek tercinta Cut Cahya Khairani dan Ce’ Nurjannah Abbas, S.Pd. dan semua Cece’ juga seluruh keluarga besar di Aceh dengan rasa kasih sayang dari semuanya yang terus mendo’akan, menasehati, membimbing dan memberikan dukungan moral, dan materil. Tanpa mereka penulis tidak dapat merampungkan skripsi ini. Semoga Allah mengampuni dan membukakan pintu rahmat dan kelak menjadikan mereka penghuni surga firdaus-Nya… Amin yaa rabbal ‘alamin… 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M., selaku Pembimbing Penulis dalam penyusunan skripsi ini sekaligus Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah. 3. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 4. Seluruh
Karyawan
Perpustakaan
Fakultas
Syariah
dan
Hukum
dan
Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Semua teman-teman Pidana Islam ’02 Eva, Sari, Dian, Irma, Opah, Ulva, Wava, Sensen, Ari, Edi, Mamak, Cecep, Ewok, Ableh, Oman, Hafidz, dan lainnya yang tak bisa disebut satu persatu..(jangan marah ya…) 6. Sahabat-sahabat sejati dimanapun berada, Ana, Tante, Nora, Yayan, kostan RR thank you, para Balance cheer (jangan gossip mulu tar masuk neraka…), buat PSM slendro, rampak, reff, ce jazz, ka’ toleng, kromong, sarba juga deh, Sanggar TARI imapa Acut, Nada, D’nong, Inong, Linda, Ka’ Dina, Pooja, Rina (tetep kompak ya..), dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu. 7. Especially to my one and only brother in the world Mr. Abdel Salam every where you are, thank you for the support, thank you to take me to the place I’ve never been before, the exhibition is great and that’s amazing and unforgettable! Thank you for your kindness and your attention…
Akhirnya penulis berharap skripsi ini menjadi salah satu pengabdian penulis kepada Allah SWT, kontribusi penulis terhadap bangsa Indonesia dan pelayanan penulis kepada sesama manusia.
Jakarta, 30 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah..................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................
7
D. Tinjauan Pustaka.................................................................
8
E. Metode Penelitian ...............................................................
9
F. Sistematika Penulisan .........................................................
11
DESKRIPSI
PIDANA
KISAS
DAN
HAL-HAL
YANG
BERKAITAN
BAB III
A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas ........................
13
B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas ...............................
27
C. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas ...........
35
D. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kisas.................................
42
PERIHAL
PENCEGAHAN
KEJAHATAN
DAN
PERMASALAHANNYA A. Pengertian Pencegahan Kejahatan .......................................
50
B. Permasahalan Sekitar Pencegahan Kejahatan ......................
53
C. Kaitan Penegakkan Hukum Dengan Pencegahan Kejahatan
59
BAB IV
TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS DALAM HAL UPAYA MENCEGAH KEJAHATAN
BAB V
A. Penerapan Kisas Sebagai Hukuman Dalam Hukum Islam ...
64
B. Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegah Kejahatan ................
72
C. Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan..........................
77
PENUTUP A. .......................................................................................Kesimpula n ...........................................................................................
84
B. .......................................................................................Saransaran .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
85
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang diturunkan dengan tujuan menciptakan rahmatan lil ‘alamin yang fungsinya sebagai agama adalah sebuah pedoman dalam menjalankan roda kehidupan. Islam mengatur sisi kehidupan bahkan lebih sempurna dari sistem yang telah ada bukan hanya perkara muamalah dan ibadah dan tetapi juga mengatur masalah kehidupan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, ataupun tentang pertahanan dan keamanan tetapi juga masalah hukum terutama pidana, dikatakan lebih sempurna di sini adalah karena bersumber dari sang pencipta Allah SWT. Hukum yang berlaku haruslah selaras dengan kondisi sosial masyarakat melalui beberapa pertimbangan, artinya hukum tidak boleh bersifat kaku meskipun dari satu sisi harus tegas. Kebutuhan manusia terhadap suatu peraturan atau hukum itu adalah bagaimana seorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana pula yang harus dihindari. Allah SWT dalam mensyariatkan agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta ini dengan kemaslahatan umum. Melalui ketentuan yang dikaruniai yang berarti ketentuan hukum yang dapat memelihara kemaslahatan umum. Ketentuan dharuriyat ini secara umum bermuara pada upaya memelihara lima pokok kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, lima pokok kebutuhan tersebut adalah memelihara agama( ) ا, kedua memelihara akal ( ) ا, ketiga, memelihara jiwa () ا, keempat, memelihara keturunan () ا, dan kelima, memelihara harta benda ( )ال.1
1
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 126.
Memelihara jiwa mendapat kedudukan kedua dalam peringkat yang wajib dipelihara, hal-hal tersebut adalah gambaran utuh tentang teori Maqashid al-Syari’ah2 atau tujuan dari syariah agama yang artinya juga menjaga jiwa dan segala macam yang berhubungan dengan kehidupan manusia, di sini jelas terbaca bahwa agama Islam adalah agama yang benar-benar menjaga jiwa dan juga kehidupan manusianya secara menyeluruh yang tergambarkan jelas di atas. Guna terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang utuh tentram serta nyaman dan jauh dari ketidakteraturnya kehidupan maka diciptakanlah peraturan yang mana isinya adalah mengatur tata cara berkehidupan yang baik agar cita-cita untuk mewujudkan tatanan hidup masyarakat tentram dan damai akan terealisasi, permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat beraneka ragam baik yang menyangkut masalah sosial, pendidikan, kultur, ekonomi, kriminal juga merupakan salah satu problem yang harus diperhatikan karena akhir-akhir ini kriminalitas meningkat terutama di Indonesia, maka dari itu peraturan memiliki peran penting terutama dalam berbagai masalah apalagi untuk masalah kriminal. Peraturan dibuat untuk dipatuhi dan jika ada peraturan pastilah ada sanksi, sanksi adalah kata lain dari hukuman, jika seorang melanggar sebuah peraturan maka wajib baginya untuk dikenakan sanksi atau hukuman, yang mana hukuman atau sanksi tersebut adalah bertujuan untuk membuat jera dan agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa secara tidak langsung hukuman juga dibutuhkan untuk menjaga stabilitas keamanan bagi kehidupan, dan secara tidak langsung juga merupakan cara efektif untuk mencegah kejahatan.
2
Ibid.,
Setiap negara atau daerah tentu memiliki sistem hukum yang berbeda-beda, salah satu bidang hukum itu adalah hukum pidana. Salah satu contoh di Indonesia sendiri terlihat adanya beberapa perbedaan sistem hukum. Misalnya di Indonesia saat ini ada hukum yang berlaku secara formal serta ada hukum adat dan hukum Islam. Mayoritas agama penduduk Indonesia sendiri adalah Islam. Islam bukan saja merupakan agama resmi bahkan hukum yang berlaku di daerah tersebut adalah hukum Islam sehingga dari sini dapat dilihat bahwa ada keinginan dari kalangan umat Islam yang secara riil mayoritas untuk dapat hidup sesuai dengan agamanya dan salah satu dari ketentuan hukum Islam adalah hukum pidana Islam yang sayangnya selama ini banyak kalangan yang menganggap bahwa Hukum Pidana Islam adalah hukum yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati hak-hak asasi manusia, mungkin hal ini terjadi karena mereka hanya mempelajari Hukum Pidana Islam secara parsial belum menyeluruh. Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali dengan menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang sejajar dan sebanding untuk kemudian dipelajari dan ditelaah sepenuhnya sampai diperoleh norma hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang akan dapat memberikan sumbangan positif bagi pembinaan hukum pidana nasional yang akan datang. Dalam hukum positif di negara kita ini peraturan bermacam-macam mulai dari UUD 1945, KUHP, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Daerah, Qanun di Nanggore Aceh Darussalam, Peraturan Lalu Lintas, serta peraturan-peraturan yang lainnya, maka sanksi bagi pelanggaran peraturan-peraturan tersebut juga bermacam-macam di antaranya sanksi denda, penjara, pengasingan bahkan mati dan hukuman-hukuman yang lainnya.
Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam (Jina’ al-Islam) peraturanperaturannya bersumber langsung dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, Qiyas, dan beberapa ijtihad ulama lainnya, dalam Islam pelanggaran hukuman dikelompokkan pada dua istilah yaitu jinayah dan hudud. Jinayah yaitu pelanggaran yang dilakukan mengancam jiwa keselamatan jiwa manusia, seperti pemukulan, pembunuhan, perampokkan, dan sejenisnya, H.M Arsjad Thalib Lubis memasukan juga di dalamnya mengenai yang berkaitan dengan kenegaraan, misalnya hukum pengangkatan kepala negara, hukum kehakiman, hukum perang dan sejenisnya. 3 Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang dapat diberikan hukuman had (dera atau cambuk), ta’zir (penjara), atau hukuman kisas (balas). Hukuman itu tergantung tingkat pelanggaran yang dilakukan, sedangkan hudud adalah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang dilarang oleh syara’ seperti zina, qadzaf (menuduh orang berzina tanpa empat orang saksi), judi, minuman keras, menyamun, murtad, dan sejenisnya. Dalam hal ini kisas merupakan salah satu dari sekian sanksi (uqubah) yang dijatuhkan kepada pelanggaran peraturan kriminalitas (jarimah) dari tindak pidana atau jarimah yang dilakukan seseorang. Jarimah atau juga jinayat diidentifikasikan sebagai balasan berbentuk ancaman yang jenisnya ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan-peraturan demi terwujudnya kemaslahatan,4 macam-macam hukuman jarimah kisas serta uqubahuqubah kisas sebagian besar telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Berlakunya hukuman adalah untuk membenahi kehidupan agar manusia lebih teratur, kemaslahatan terjaga, hidup lebih terjamin, dan stabilitas umat manusia dapat terwujud dengan baik. Kisas merupakan salah satu bentuk hukuman yang membuktikan bahwa agama Islam dengan syariatnya menjaga hak-hak manusia. 3 4
http//www.artikelparamadina.ac.id Ibid.,
Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban umat manusia, setan semakin memainkan perannya, orang menjadi aniaya (zhalim) dan bodoh (jahl),
5
bukannya
mengikuti petunjuk yang dianugerahi Allah sang pencipta melalui Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa, tidak ada masalah betapapun murni dan barunya suatu masyarakat, tindak pidana tetap dilakukan karena itu pemutusan hukuman-hukuman yang sesuai perlu dilakukan guna mencegah meningkatnya rata-rata jarimah atau kriminalitas di masa yang akan datang. Di manapun masyarakat perlu disahkan juga struktur lembaga kemasyarakatan, pemimpin serta anggota masyarakat yang membantu dan merangsang timbulnya tindak pidana tertentu. Ibnu Hasan ketika membahas tentang seorang lakilaki tak berdaya karena lapar lalu makan bangkai atau daging babi yang diharamkan dalam Islam, beliau berkata: “Haram hukumnya bagi seorang muslim makan makanan yang diharamkan sekalipun dalam keadaan tak berdaya, tetangganya yang muslim atau dzalimi atau anggota masyarakat yang memiliki lebih makanan dan minuman diwajibkan memberi makan orang yang lapar tadi. Dalam keadaan demikian dia mempunyai hak untuk memperoleh makanan dari tetangga-tetangganya yang kaya. Bila dia harus berjuang untuk memperoleh makan kemudian terbunuh, pembunuhnya akan mendapatkan kisas”.6
Maka dari itu hukuman kisas secara tidak langsung juga memegang peranan penting dalam upaya menekan jumlah kriminal, karena kriminal tidak akan mungkin lenyap dari muka bumi dan hukuman kisas mungkin akan dianggap efektif dan benarbenar urgen, contohnya saja masyarakat yang bersalah dihukum secara tidak langsung masyarakat akan takut untuk melakukan kesalahan. Dalam hukum pidana Islam sanksi kisas dan kaitannya dengan upaya pencegahan kejahatan perlu dibahas guna mendapat kejelasan lagi. Maka dari itu 5
A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, h. 285. 6 Ibid.,
penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah upaya pencegahan kejahatan dengan kisas sebagai salah satu hukuman yang mungkin bermanfaat dan seberapa penting dan urgen perannya dalam hal pencegahan kejahatan. Melihat permasalahan di atas penulis memberi judul skripsi ini: “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Kisas merupakan permasalahan yang cukup luas dan kompleks yang hingga saat ini juga masih diperbincangkan apakah hukuman kisas ini layak dipakai sebagai hukuman atau tidak dan sejauh mana hukuman ini berperan sebagai sebuah bentuk usaha pencegahan kejahatan. Agar pembahasan masalah dalam skripsi ini tidak melebar dan meluas maka pembahasan dalam skripsi ini dibatasi kepada pengertian pidana kisas dan hukuman-hukumannya serta apa perannya dalam upaya pencegahan kejahatan. Dari pembahasan masalah tersebut dapat dirumuskan pokok-pokok bahasan skripsi ini sebagai masalah kisas yang seharusnya berlaku di negara Islam tetapi kisas ini tidak semua negara Islam menerapkan hukuman kisas.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang kisas lebih luas lagi dan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu kisas dan apa peranannya dalam mencegah perbuatan kejahatan, faktor apa yang membuat seseorang dijatuhi hukuman kisas, apakah kisas adalah hukuman yang setimpal dalam permasalahan ini. Penulis juga ingin menjabarkan bagaimana pendapat hukum pidana Islam dan sejauh mana peran pidana kisas dalam upayanya mencegah terjadinya kejahatan. Kisas bukanlah merupakan permasalahan yang mudah dan ringan dalam kehidupan, tetapi merupakan masalah yang pelik yang penuh dengan problematikanya, kajian tentang kisas ini telah ada sejak zaman dahulu begitu saja dengan penerapannya. Maka penulis ingin menggali lagi lebih jauh bagaimana pidana kisas saat ini dan sejauh mana dampaknya, apakah orang bisa jera melakukan tindakan tindakan kejahatan setelah adanya hukuman kisas itu. Selain itu tujuan primer pembuatan skripsi ini adalah syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam pada tingkat Strata 1 (S1) Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
D. Tinjauan Pustaka
Sumber-sumber yang akan diambil tentunya yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis bahas, diantaranya buku-buku yang didalamnya mencakup bahasan-bahasan tentang perbuatan jarimah yang dikenakan hukuman pidana kisas dan sepenting apakah peran pidana kisas dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan. Banyak sekali kajian, penelitian, seminar-seminar, juga buku-buku yang mengupas masalah kisas dan filsafat hukum Islam. Buku karangan Drs. Ahmad Wardi Muslih yang berjudul Hukum Pidana Islam berisi tentang penjelasan hukum-hukum pidana Islam seperti tindak pidana apa saja yang dikenakan hukuman-hukuman seperti diyat, kisas, tetapi dalam penelitian yang dilakukan, peneliti akan lebih mengupas tentang hukuman-hukuman kisas dan tidak semua hukuman yang ada dalam pidana Islam dibahas dalam penelitian ini tetapi hanya kisas. Dalam buku karangan A. Rahman I, Doi yang berjudul Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, juga salah satu buku yang menjelaskan hukuman pidana (al-‘Uqubat) dan hukuman (al-Hudud) dan juga referensi tentang tindak pidana lainnya, tetapi pada penelitian ini hanya dibatasi sebatas tindak pidana kisas begitu juga hukuman-hukumannya, hanya tentang pidana kisas tidak mencakup pidana-pidananya lainnya. Sedangkan materi-materi yang berhubungan dengan pendapat ulama peneliti memilih buku Ringkasan Kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i Abu Abdillah Muhammad bin Idris, yang mana di dalam buku ini berisi pendapat Imam Syafi’i tentang kisas dan masalah-masalah lainnya yang masih berhubungan dengan kisas. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional yang peneliti rasa juga perlu untuk dijadikan referensi dalam hal mencari makna dan pengertian tentang istilah-istilah yang ada dalam skripsi in.
E. Metode Penelitian Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang ilmiah sebaiknya dilakukan secara langsung maupun tidak langsung tentunya penulis atau peneliti harus mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bercorak studi kepustakaan (library research) yaitu memperoleh dan mengumpulkan data-data dan untuk mendapatkan data yang valid dan representatif sekitar permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan dalam skiripsi ini jenis datanya adalah data kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan adalah deskripsi berupa ungkapan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara alamiyah dan kualitatif mengenai peran hukuman kisas dalam mencegah kejahatan. Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi yang diperoleh dari penelitian kepustakaan secara mendalam. Dengan kata lain, penelitian ini untuk menggambarakan secara komprehensif konsep hukuman kisas baik dalam literatur hukum positif ataupun dalam literatur hukum Islam berdasarkan yang
didapat dari penelusuran perpustakaan, dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian, kemudian penulis akan menganalisis agar dapat memberikan pemahaman yang optimal. Analisis ini digunakan untuk mengetahui secara kualitatif tentang hukuman kisas dalam upaya mencegah tindak kejahatan, sehingga dapat membantu memecahkan dan menemukan solusi terhadap persoalan yang diteliti skripsi ini. Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, penulis menggunakan beberapa metode, yaitu: Pertama, deskrptif. Pada umumnya metode ini digunakan dalam mengurai sejarah, pengertian, mengutip, atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan dari dalam setiap uraian umum. Kedua, analisis. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisa lalu mengumpulkan bahan-bahan hukum Islam. Dalam hal ini berbagai kitab-kitab fiqih jinayah, dan buku-buku yang berhubungan dengan pidana kisas dan jinayah sebagai bahan penjelasan hukum Islam Ketiga, problem solving atau pemecahan masalah. Dari permasalahan yang ada penulis mengidentifikasi, menganalisis, kemudian memberikan alternatif pemecahannya melalui kritik dan saran. Kitab atau buku yang menjadi rujukan penulis dalam penelitian adalah kitab atau buku yang secara langsung mengungkap tentang pembahasan tentang hukuman kisas ini, bahan data yang bersifat primer adalah kitab-kitab atau buku-buku Fiqih Jinayah, tentang hukuman kisas dalam hukum Islam dan hukum positif, atau data-data yang berkaitan dengan apa yang peneliti teliti dan didukung dengan sumber yang bersifat sekunder seperti tabloid, media cetak lainnya dan media elektronik.
Sedangkan tekhnik penulisan, penulis berpedoman pada kaidah-kaidah penulisan skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penguraian dalam skripsi ini penulis membaginya ke dalam lima bab yang masing-masing bab dipecah ke dalam sub-sub yang gunanya untuk merinci keterangan bab yang umum sifatnya dan satu sama lainnya ada saling keterkaitan antara bab sebelumnya dengan bab berikutnya. Agar lebih jelas perinciannya adalah sebagai berikut: Bab I
: PENDAHULUAN, merupakan garis besar masalah yang akan dibahas dalam skripsi yang mana bab ini terbagi lagi atas lima sub bagian, yaitu: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN. Bab ini berisi Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas, Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas, Tindak Pidana yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas, dan Pendapat Ulama Syafi’i Tentang Kisas. BAB III : PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN DAN PERMASALAHANNYA. Bab ini berisi Pengertian Pencegahan Kejahatan, Permasalahan Sekitar Pencegahan Kejahatan, Kaitan Penegakan Hukum Dengan Pencegahan Kejahatan BAB IV :
TINJAUAN
PERAN
PIDANA
KISAS
DALAM
HAL
UPAYA
MENCEGAH KEJAHATAN. Bab ini berisi Penerapan Kisas Sebagai
Hukuman dalam Hukum Islam, Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegah Kejahatan dan Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan. BAB V : PENUTUP, sebagian penutup skripsi ini berisi rangkuman pembahasanpembahasan yang dibahas dan juga saran-saran penulis terhadap pembahasan dalam skripsi ini.
BAB II DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN
A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas Sebelum membahas kisas lebih jauh ada baiknya mengacu terlebih dahulu kepada pengertian tindak pidana (jinayah). Dalam hukum pidana positif dilihat dari garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atas sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian hukum publik yang memuat berbagai ketentuan-ketentuan tentang: 1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dan berhubungan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu. 2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. 3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alatalat perlengkapannya, misalnya polisi, jaksa, hakim terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana tersebut.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum merupakan sudah lazim terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan, diberikan oleh negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut tindak pidana (stafbaar feit).7 Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum”juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Pelanggaran Pidana. Perbuatan yang boleh dihukum. Perbuatan yang dapat dihukum Perbuatan Pidana.8 Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit9. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. 7
Chairur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h. 17. Ibid., h.18 9 Ibid., h.15 8
Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan10. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tindak berarti langkah atau perbuatan, pidana adalah hukuman kejahatan terhadap pembunuhan, perampokan, korupsi, kriminal. Dan sebagainya. Sedangkan tindak pidana adalah perbuatan pidana atau perbuatan kejahatan.11 Fiqih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah), dan hukumannya (‘uqubah) diambil dari dalil-dalil yang terperinci12. Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian fiqih dan jinayah. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan fiqih jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak pidana dan ‘uqubah atau hukumannya13. Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Mawadi sebagai berikut: “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan had atau ta’zir”14.
10
Ibid., Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h.871. 12 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta, Grafindo Persada, 2000, h. 1. 13 Ibid., h.1 14 Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halaby, 1975, h. 29. 11
Dalam istilah lain Jarimah disebut juga dengan jinayah, menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut: “Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”.15 Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan kisas, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir16. Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah di atas, maka pengertian jinayah dapat dibagi ke dalam dua jenis pengertian, yaitu: pengertian luas dan pengertian sempit. Klasifikasi pengertian ini dilihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah. 1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta'zir. 2. Dalam pengertian sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta'zir.
15 16
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, Juz I Beirut, Daarul Kitab al-Araby, h. 67. Djazuli, Fiqih Jinayah, h. 1
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan diancam dengan hukuman had atau ta'zir. Dalam kaitan ini, larangan tersebut dapat berupa larangan untuk tidak melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu. Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatanperbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara'. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara', maka larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab) dan, dari sebab itu, mampu memahami pembebanan (taklif) dari syara'. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif17. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Unsur atau rukun jinayah tersebut adalah : a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah "unsur formal" (al-Rukn al-Syar'i). b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah "unsur material" (al-Rukn al-Madi).
17
Ibid., h. 2
c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah "unsur moral" (al-Rukn al-Adabi)18. Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun tadi. Tanpa ketiga kategori tersebut, suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah. Disamping unsur umum ini, ada unsur khusus yang hanya berlaku di dalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lain, misalnya mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur khusus untuk pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur khusus di dalam perampokan yaitu mengambil harta orang lain dengan terang-terangan. Dari berbagai pengertian di atas, konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah "larangan" karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara'. Larangan ini timbul karena perbuatanperbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara. Sesuai dengan ketentuan fiqh, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak hanya cukup dengan niat baik, tetapi harus disertai dengan sanksi (hukuman). Hukuman tersebut diancam kepada seorang pelaku kejahatan, dan pada gilirannya pelaksanaan hukuman dapat dijadikan contoh oleh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.
18
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993, h.33.
Hukuman merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa secara intrinsik hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu kebaikan; sekurang-kurangnya bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Dalam pada itu, dari sisi lain, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai jinayah pun menguntungkan. Paling tidak, jinayah dapat menguntungkan pelaku kejahatan. Akan tetapi, keuntungan seperti itu tidak menjadi pertimbangan syara'. Alasannya, perbuatan yang tidak termasuk jinayah hanya memberi keuntungan bagi kepentingan-kepentingan yang bersifat individual, tetapi menimbulkan kerugiankerugian bagi kepentingan sosial. Sebagaimana
peristiwa
sosial
lainnya,
jinayah
mempunyai
dua
sisi
menguntungkan dan merugikan. Tidak ada perbuatan yang hanya menguntungkan atau merugikan semata. Setiap perbuatan memiliki keuntungan dan kerugian tertentu. Oleh karena itu, dasar larangan dari perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai jinayah adalah karena perbuatan-perbuatan itu merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penetapan perbuatan-perbuatan jinayah dan sanksi-sanksinya dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan serta kelangsungan hidup bermasyarakat. Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan kewajiban bukan karena adanya sanksi, tetapi semata-mata karena ketinggian moralnya, mereka orang-orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukkan di mana pun di dunia ini selalu ada orang-orang yang hanya taat karena adanya sanksi, oleh karena itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.
Setelah memahami apa itu
jinayah, pembahasan berikutnya adalah tentang
pengertian kisas. Perkataan kisas berasal dari kata ( ) ا, yang artinya mengikuti jejak ()ﻥ ا. Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan:
(64: 345 ءَاَرِهَِ ًََ )ا%َ&َ' َرْﺕَ(ا+ ِ,ََْ ﻡَآُ( ﻥ0ََِلَ ذ “Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula” (al-Kahfi: 64). Jadi kisas itu berarti memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Atau dengan perkataan lain, mengikuti jejak si fulan apabila si fulan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, maka kisas adalah mengikuti darah yang tertumpah dengan pembalasan penumpahan darah ()ﻥ ام ﺏ;د. Allah menyatakannya dalam surat al-Qashash ayat 11:
(11 :Kََ@ْ ُُونَ )اA ْBٍُُُ وَهD َ' ِEَََُِتْ ﺏ+ ِEGHُ ِEِْIُ ْJََ َو “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara perempuan Musa: Ikutilah dia, maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh sedang mereka tidak mengetahuinya”. (alQashash : 11) Dalam kamus besar bahasa Indonesia kisas berarti pembalasan dalam hukum Islam seperti hukuman bagi orang yang membunuh dibalas dengan membunuh lagi lalu mengkisas artinya adalah menjalankan kisas atau menuntut balas19. Dalam kamus istilah fiqih, kisas adalah hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dengan perbuatan atau pembunuhan atau melukai atau merusak anggota badan dan menghilangkan manfaatnya, berdasarkan ketentuan yang diatur syara’20. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa kisas ada dua macam: a) Kisas jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan. 19
Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h.42. M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994, h. 287. 20
b) Kisas anggota badan, yaitu hukum kisas atau tindak pidana melukai, merusak anggota badan dan menghilangkan manfaatnya. Baik bagi jenis kisas jiwa maupun kisas anggota badan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf) b. Pembunuh bukan ayah dari yang terbunuh c. Yang terbunuh sama derajatnya dari pembunuh, seperti muslim sesama muslim, merdeka sesama merdeka. d. Kisas itu dilakukan dalam hal yang sama, seperti jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga, dan lain-lain. e. Kisas dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh pembunuh atau yang melukai. f. Orang yang terbunuh berhak dilindungi jiwanya baik dari orang Islam maupun orang kafir. Sedangkan dalam ensiklopedi Islam kisas diartikan sebuah prinsip yang diberlakukan oleh al-Qur’an untuk menghukum pelaku tindak kejahatan penganiayaan ketika terjadi tindak pembunuhan dimana pihak korban dan pihak pelaku dalam status yang sama, maka pembunuhan terhadap pelaku merupakan hukuman akibat tindak pembunuhan yang dilakukan terhadap pihak korban, demikian juga dengan pelukaanpelukaan ringan pada korban berakibat hukuman perlakuan yang setimpal atas pelakunya.21 Bersamaan dengan pemberlakuan prinsip hukuman ini secara bijaksana Islam juga mengesahkan penggantian hukuman, berdasarkan adanya pemaafan dari
21
Ensiklopedi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, h. 328.
pihak korban dengan sejumlah ganti kerugian yang bersifat material untuk tindak kejahatan penganiayaan. Dalam prakteknya, Nabi Muhammad cenderung kepada penerapan hukuman yang lebih ringan atau kepada batas hukuman yang telah ditetapkan dalam menyelesaikan tindak kejahatan yang dilakukan kepada Nabi, sekalipun demikian Nabi memutuskan dengan mempertimbangkan sifat intrinsik yang terdapat pada kasus tertentu, namun pada suatu kasus Nabi memerintahkan eksekusi seorang laki-laki yang terbukti membunuh seorang wanita22. Dalam kasus tersebut nabi meneliti sifat kejahatan pembunuhan tersebut sebelum nabi mempermasalahkan status kekeluargaan antara kedua belah pihak. Prinsip kisas sesungguhnya merupakan bentuk modifikasi dari rasa keadilan bangsa Arab, hukum yang bercorak kesukuan di kalangan bangsa Arab telah mengenal prinsip hukuman pembalasan atas sebuah tindak penganiayaan dalam kasus pelukaan seseorang berlaku hukuman sa’r atau pembalasan darah,23 dan pembalasan ini bisa saja berlaku pada setiap anggota klan pelaku penganiayaan tersebut, sedang kisas menjadikan pelaku tindak kejahatan sebagai pribadi yang mempertanggung-jawabkan suatu tindak kejahatan dan ia sendiri yang layak dikenai suatu hukuman dan bahkan dalam kisas hukuman harusnya setimpal dengan kejahatan. Jadi, kisas merupakan esensi sebuah prinsip keadilan menegaskan adanya konsekuensi dalam sebuah tindak kejahatan atau adanya efek tertentu yang turut melatarbelakangi suatu tindakan dalam Islam sebagaimana dalam judaisme24 objektifitas kisas dijadikan sebagai prinsip hukum, prinsip ini menggantikan prinsip hukuman pembalasan kesukuan yang bersyarat subjektif yang telah ada sebelumnya.
22
Ibid., Ibid., h.329 24 Ibid., 23
Turunnya ayat-ayat tentang kisas dilatarbelakangi oleh perintah Allah untuk menghormati nyawa manusia. Atau larangan Allah untuk sikap atau tindakan tidak menghormati nyawa manusia. Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Bahkan memelihara nyawa manusia menempati tempat kedua dari kelima hal itu, yakni: memelihara agama, memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta benda.25 Allah menyatakan di dalam al-Qur’an:
ِEHGَِ;ِ َْ&َ َD ََْ+ ًْ&ُ;ﻡMَ وَﻡَ ُِ َ ﻡHNَOِْ( ﺏAُِ إQ َ(مَ اRِ(َﺕَُْ&ُ;ا ا(َْ اAَو (33 :ﺱاءWُ آَنَ ﻡَُ;رًا )اE( اَْْ ِ إِﻥRِ+ َُِْْفTَ+ ًَﻥUْ&ُﺱ “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh, sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (al-Isra:33).
ِ َْ ِْ وَاْ َُْ ﺏHُOِْ ﺏZُOْ ا%َ&َْْ اRِ+ ُُ اَِْصBُ5ْGَ&َ' ََُِ ا(\َِ ءَاﻡَُ;ا آ4Zََأ ِE ْGََِعُ ﺏَِْ ُْوفِ وَأَدَاءٌ إHَﺕ+ ُْءR َِ ﺵE GِIَُ ﻡِ ْ أE َ َR ُِ' ْ ََ+ %َ` ﺏِ ُْﻥ%َ`وَاُْﻥ ُBGَُِ 'َ\َابٌ أEَ&َ+ َ0َََِِ ا'ََْى ﺏَ َْ ذ+ ٌeَْ َْ وَرBُ5H ر(ﺏHُ ﻡ3Gِْaََ ﺕ0َِِ َْنٍ ذbِﺏ (178:)اة “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah yang dimaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula), yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.(al-Baqarah : 178)
25
Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001, h. 91.
Sebab turunnya ayat ini menurut suatu riwayat dari Qatadah bahwa orang-orang jahiliyah sudah dijangkiti penyakit suka melakukan kejahatan dan kedzaliman (jinayah) dan sudah tergoda setan. Perbuatan ini biasanya dilakukan apabila mereka merasa kuat, apabila budak mereka membunuh budak lain. Mereka lalu mengatakan bahwa kami tidak akan membunuh kecuali orang-orang merdeka, yang merupakan kesombongan mereka terhadap orang lain. Dan apabila wanita mereka membunuh wanita lain, mereka menyatakan kami tidak akan membunuh kecuali orang laki-laki, maka turunlah ayat:
(178: )اة%َ` ﺏُِْﻥ%َ` وَاْ َُْ ﺏِْ َِْ وَاُْﻥHُOِْ ﺏZُOْا “…orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita...“ (al-Baqarah : 178) Dalam suatu riwayat dari Said bin Juber diberikan bahwa orang-orang Arab pada masa sebelum datangnya Islam suka berperang karena persoalan kecil, maka terjadilah pembunuhan dan persoalan melukai itu adalah persoalan biasa bagi mereka, bahkan sampai mereka membunuh budak dan wanita. Keadaan itu berlangsung terus sampai masuk Islam. Maka merupakan kejadian biasa bila ada yang menyombongkan kekuatannya pada pihak lain. Misalnya, apabila di pihaknya ada budak atau wanita dibunuh oleh pihak yang menjadi korban tidak akan rela kalau tidak membunuh orang merdeka atau laki-laki dari pihak lawannya. Dalam al-Qur’an, dalil-dalil tentang kisas tertera pada QS 2: 179, 194 dan QS 5:45, QS 25:68.
(179: ْ ﺕَ(ُ;نَ )اةBُ5(&َ َ ِ اََْْبRَِْةٌ َأُوGَ ِ اَِْصRِ+ ْBُ5ََو “Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orangorang yang berakal supaya kamu bertaqwa” (al-Baqarah: 179)
َ'َُْوا+ ْBُ5ْGَ&َ' ََِ ا'ََْى+ ُُُﻡَتُ َِصOََْامِ وَاOِْْ ا4(@ََِامُ ﺏOُْْ ا4(@ا ِEْGَ&َ' (194 : )اة
“Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut diihormati berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu maka seranglah ia” (al-Baqarah: 194)
َ ُ وَاُْذ3 ن ِ َ ﺏَِْﻥ3ِْ وَاَْﻥGَ َِْْ ﺏGَ ْأَن( ا(َْ ﺏِ(ِْ وَاjَ4Gِ+ ْBِ4ْGَ&َ' َََْوَآ ْB( َُ وَﻡE( ُُ;َ آَ(رَة4َ+ ِEََِ ﺕََ(قَ ﺏ+ ُُُوحَ َِصlْ وَاHHِ( ﺏHﺏُِْذُنِ وَا (45 : ةn(ُِ;نَ )اMُ اBَُ ه0ِnَAُْوoَ+ ُQَلَ اpأَﻥjَِ ﺏBُ5ْOَ “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam Taurat bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan hak kisashnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim” (al-Maidah : 45)
HNَOِْ( ﺏAُِ إQ َ(مَ اRِ(ََُْ&ُ;نَ ا(َْ اAَََ وIً ءَا4َِِ إQََْ'ُ;نَ ﻡََ اA َِ\(وَا (68 : َ أََﻡً )ا نN&َ َ0َِْﻥُ;نَ وَﻡَ (ْ َ ْ ذpََAَو “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan dosanya” (al-Furqan : 68) Artinya pembalasan yang dimaksud ialah pembalasan yang dikenakan kepada orang yang melakukan pembunuhan dengan secara dibunuh juga, hukuman tersebut dijatuhkan oleh hakim melalui proses pengadilan. Namun apabila keluarga yang terbunuh itu memaafkan si pelaku pembunuhan maka hukum kisas tidak dikenakan pada pembunuh sebagai gantinya si pembunuh harus membayar diat.
B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas Dalam kamus besar bahasa Indonesia hukuman berarti siksa yang dikenakan kepada orang yang melanggar Undang-Undang dan sebagainya, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim, hasil atau akibat menghitung.26
26
Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.317
Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan.27 Pembunuhan dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Pembunuhan sengaja, yaitu suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebagai indikator dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya. Dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh korban adalah alat yang lumrahnya dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan lain sebagainya. Unsur-unsur pembunuhan sengaja adalah korban harus berupa manusia yang hidup, apabila korban bukan manusia hidup tetapi ia sudah meninggal terlebih dahulu maka ia bukanlah korban pembunuhan sengaja. Kematian adalah merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan. Pembunuhan dianggap sebagai pembunuhan sengaja apabila dalam diri pelaku terdapat niat untuk membunuh korban bukan hanya kesengajaan dalam perbuatannya saja tetapi niat untuk membunuh. 2. Pembunuhan menyerupai sengaja. Menurut Hanafiyah,28 pembunuhan menyerupai sengaja ada suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja memukul korban dengan tongkat, cambuk, batu, tangan, benda lain yang mengakibatkan kematian. Menurut definisi ini pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur yaitu, unsur kesengajaan. Terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan, unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja karena adanya kesengajaan dalam berbuat.
27 28
Ahmad Wadi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, h. 36. Ibid.,
Unsur-unsur lainnya yaitu perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan tetapi kematian yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. 3. Pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq: “Pembunuhan karena kesalahan adalah apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang dibolehkan untuk dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan membunuhnya.29 Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diambil intisari bahwa dalam pembunuhan karena kesalahan, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pidana pembunuhan terjadi karena kurang hati-hati atau karena kelalaian dari pelaku. Unsur-unsurnya perbuatan yang mengakibatkan kematian korban dan perbuatan tersebut terjadi karena kekeliruan. Adanya hubungan sebab akibat antara kekeliruan dan kematian, hukuman sebab akibat dianggap ada karena pelaku yang menjadi penyebab dari perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut.
Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan dalam syari’at Islam adalah kisas. Kisas juga merupakan hukuman pokok untuk pembunuhan yang disengaja selain kifarat. Sedangkan penggantinya adalah diat dan ta’zir30. Seseorang yang akan menjalani hukuman kisas haruslah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal karena kisas tidak bisa dilaksanakan untuk anak kecil dan orang gila, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja yaitu menghilangkan nyawa. Pelaku
29 30
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut, Dar al-Fikri, 1980, h. 438. Muslich, Hukum Pidana Islam, h.32
pembunuhan merupakan orang yang bebas (merdeka) dan tidak dipaksa melakukan pembunuhan31. Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan sengaja adalah kisas32, sedangkan hukuman pembunuhan menyerupai sengaja diancam dengan beberapa hukuman, yaitu diat dan kifarat tidak dengan kisas. Untuk pembunuhan karena kesalahan hukumannya adalah diat dan kifarat juga tidak dengan kisas. Hukuman untuk tindak pidana selain jiwa seperti bagian athraf33 dikenakan hukuman pokok yaitu kisas jika dilakukan dengan sengaja dengan hukuman penggantinya diat dan ta’zir34, adapun hukuman pokok untuk perusakan athraf yang menyerupai sengaja dan kekeliruan adalah diat sedangakan hukuman penggantinya adalah ta’zir. Jadi kisas khusus untuk perusakan athraf atau sengaja. Hukuman lain untuk pidana selain jiwa yaitu hukuman atas menghilangkan manfaat anggota badan adalah kisas. Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan hukuman kisas dalam tindak pidana menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut Jumhur Fuqaha selama hal itu memungkinkan, tetap diupayakan untuk melaksanakannya35.
Apabila
kisas
betul-betul
tidak
memungkinkan
untuk
melaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diat. Hukuman untuk syajjaj36 yang merupakan bagian dari tindak pidana atas selain jiwa. Dari sebelas jenis yang dikemukakan oleh Abu Hanifah37, hanya satu jenis yang
31
Ibid., Ibid., h.38 33 Tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan 34 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.38 35 Ibid., h.39 36 Pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala 37 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 32
disepakati oleh para fuqaha untuk dikenakan kisas yaitu Mudhihah38 sebagaimana telah dikemukakan mudhihah adalah pelukaaan yang agak dalam sehingga memotong dan merobek selaput antara daging dan tulang sehingga tulang tersebut kelihatan. Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah, yaitu hasyimah39, munqilah40, alammah41, dan ad-damighah42. Para fuqaha telah sepakat tidak berlaku hukuman kisas, karena sangat sulit untuk dilaksanakan secara tepat tanpa ada kelebihan43. Adapun jenisjenis syajjaj di bawah mudhihah, para fuqaha berbeda pendapat tentang diterapkannya hukuman kisas atas jenis-jenis syajjaj tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa dalam semua jenis syajjaj sebelum mudhihah berlaku hukuman kisas, karena hal itu masih mungkin untuk dilaksanakan. Menurut Imam Abu Hanifah, mengacu kepada riwayat alHasan tidak ada kisas kecuali pada mudhihah dan simhaq44, itupun kalau memungkinkan. Sementara menurut Imam Muhammad, kisas bisa diterapkan pada mudhihah, simhaq, badi’ah, dan damiyah, karena kesepadanan masih mungkin dilaksanakan dengan mengukur lukanya, baik lebar maupun dalamnya. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, tidak ada hukuman kisas pada syajjaj sebelum mudhihah, karena luka-luka tersebut tidak sampai pada tulang sehingga tidak ada batas pasti yang aman dari kelebihan45. Sedangkan hukuman kisas untuk jirah46 ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat bahwa kisas berlaku pada semua jirah, baik lukanya munqilah
38
Pelukaan yang lebih dalam sehingga memotong atau merobek selaput tersebut sehingga tulangnya kelihatan. 39 Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga memotong atau memecahkan tulang. 40 Pelukaan yang sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya. 41 Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada selaput tulang dan otak. 42 Pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak sehingga otaknya kelihatan. 43 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 44 Pelukaan memotong daging sehingga selaput antar daging dan tulang kelihatan. 45 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 46 Pelukaan anggota badan meliputi leher sampai batas pinggul.
maupun
hasyimah47.
Alasannya
adalah
kisas
dengan
keseimbangan
masih
memungkinkan, kecuali kalau menimbulkan kekhawatiran. Sedangkan untuk jaifah tidak berlaku hukuman kisas. Abu Hanifah berpendapat bahwa di dalam jirah tidak berlaku hukuman kisas sama sekali, baik jaifah48 maupun ghairu jaifah49. Alasannya adalah karena sulit untuk menerapkan kesepadanan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, apabila jirah tersebut mengakibatkan kematian, pelaku wajib di kisas jika ia sengaja melakukan pembunuhan50. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam jirah berlaku hukuman kisas apalagi pelukaannya sampai mudhihah, yaitu pelukaan yang sampai kepada tulangnya51. Alasannya karena dalam hal ini kesepadanan mungkin diterapkan karena ada batas, yaitu tulang. Akan tetapi, sebagian dari pengikut imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam jirah sama sekali tidak berlaku hukuman kisas alasan mereka adalah karena dalam mudhihah kepala dan wajah ada ganti rugi yang tertentu, sedangkan pada jirah tidak ada. Oleh karena itu, keduanya tidak boleh disamakan. Akan tetapi pendapat tersebut ditolak, karena dasar kisas bukan ganti rugi, melainkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 45:
(45 : ةnُُوحَ َِصُ )اlْوَا “Dan setiap luka ada qishasnya” (al-Maidah : 45) Hukuman untuk tindakan selain yang telah disebutkan di atas. Apabila tindak pidana atas selain jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, tidak pula menghilangkan manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut kebanyakan 47
Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40 Pelukaan sampai ke bagian dalam dari dada. 49 Pelukaan tidak sampai ke bagian dalam dada. 50 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.41 51 Ibid., 48
pendapat fuqaha dalam kasus ini tidak berlaku hukuman kisas. Tindakan penempelengan, pemukulan, dengan cambuk dan tongkat semuanya itu tidak dikenakan hukuman kisas apabila tidak meninggalkan bekas52. Imam Malik, berpendapat bahwa dalam pemukulan dengan cambuk berlaku hukuman kisas, walaupun tidak menimbulkan jirah atau syajjaj53. Akan tetapi, dalam penempelengan dan pemukulan dengan tongkat dan penempelengan tidak berlaku hukuman kisas, kecuali apabila menimbulkan luka jirah atau syajjaj. Menurut Syamsu Ad-Din Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, di dalam penempelengan dan pemukulan juga berlaku hukuman kisas, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 126:
Oٌْ ِ&(ﺏَِِ )اGَI َ;ُ4َ ْBُِ ﺹََْﺕsََِ وEِْ ﺏBُِْ ;ُ'ََ َ ُِ;ا ﺏِِ`ْ ِ ﻡ+ ْBَُْ َ' ْوَإِن (126 : “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (anNahl: 126) Ayat di atas menjelaskan tentang kesepadanan dalam hukuman dan perbuatan dalam kasus ini penempelengan dibalas dengan penempelengan dan pemukulan dibalas dengan pemukulan adalah suatu tindakan yang lebih dekat kepada kesepadanan dan keseimbangan disbanding dengan ta’zir yang berlainan jenis dengan perbuatan yang dilakukan oleh terhukum. Pendapat Ibnu Al-Qayyim ini diperkuat dengan merujuk kepada pendapat Imam Ahmad Ibnu Hambal yang mengatakan bahwa untuk penempelengan dan pemukulan berlaku hukuman kisas. Demikian pula para sahabat seperti Abu Bakar, Utsman, Ali, dan Khalid bin Walid pernah meng-kisas pelaku penempelengan54. 52
Ibid., Ibid,. 54 Ibid., h.42 53
Sebagian fuqaha dari kalangan Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa untuk penempelengan berlaku hukuman khusus jika tindakan tersebut menghilangkan daya penglihatan55.
Akan
tetapi
untuk
penempelengannya
sendiri,
mereka
tidak
memberlakukan hukuman kisas. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa menurut pendapat jumhur fuqaha, untuk tindak atas selain jiwa yang tidak mengakibatkan luka pada athraf, syajjaj, atau jirah, hukumannya adalah ganti rugi yang tidak tertentu atau hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya diserahkan kepada kebijaksanaan dan ijtihad hakim, dan ini hampir mirip dengan ta’zir. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum Pidana.56 Sedangkan, menurut Wiryono Prodjodikoro hukuman adalah hal-hal yang dipidanakan oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa hukuman adalah suatu penyiksaan atau penderitaan yang khusus dijatuhkan kepada orang yang melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah hukum pidana melalui vonis hakim. Dalam istilah hukum pidana Islam, pemidanaan ataupun hukuman disebut dengan istilah ‘uqubah.57 Dalam al-Quran tidak dijumpai kata ini, yang ada hanyalah kata ‘iqab yang disebut sebanyak 20 kali dalam 11 surat dan 20 ayat, yang berarti siksa
55
Ibid., R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1965, h. 26. 13 Kata ‘uqubah berasal dari akar kata ‘aqaba-ya’qibu/ya’qubu-‘aqban-‘uquban. Namun demikian, kata ‘uqubah identik dengan kata al-‘iqab dan al-qishash yang secara harfiah berarti hukuman. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif, Edisi II, h. 1022. 56
atau siksaan. Kata lain yang menyerupai kata ‘iqab adalah kata ‘adzab yang juga berarti siksa, di samping berarti sakit dan pedih (al-alam).58 Sedangkan secara terminologi, ‘uqubah adalah sebutan bagi sesuatu yang menyakitkan atau tidak menyenangkan yang dikenakan atau ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan dalam rangka mencegah (menghalangi) pelaku, atau suatu yang tidak menyenangkan atau menyakitkan yang disyariatkan (oleh Allah) untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan atau mafasid.59
C. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas Tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman kisas antara lain: Pembunuhan. Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan, atau cara membunuh.60 Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan (menghabisi, mencabut nyawa).61 Dalam bahasa Arab pembunuhan disebut (al-qatlu) berasal dari kata qatala yang sinonimnya amaaata62 yang artinya mematikan. Dalam istilah pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat Syarbini Khatib sebagai berikut: “Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”.63 Abdul Qadir Audah memberikan definisi pembunuhan sebagai berikut: 14
Muhammad Amin Suma, “Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif Qur’an dan Sunnah”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23-24 Juni 1999, h. 12. 15 Ibid., 60 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h. 138. 61 Ibid., 62 Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II, Daar Ihya’ At-turats al-‘Arabi T.Th, h. 715. 63 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989, h.217.
“Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain”.64 Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan sengaja ataupun tidak disengaja. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Qur’an. 1. Surat al-Isra ayat 31:
ًاGًَِ آsْUِI َْ آَنBُ4َ&َْ (ْ إِنBُْ وَإِ(آBُ4ُ ُُْ ﻥَْزO(َقٍ ﻥTَْ إِﻡeَGْ@َI ْBَُدَآAَْﺕَُْ&ُ;ا أَوAَو (31 :ﺱاءW)ا “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (al-Israa: 31) 2. Surat al-Isra ayat 33:
(33 :ﺱاءW )اHNَOِْ( ﺏAُِ إQ َ(مَ اRِ(َ َﺕُْ&ُ;ا ا(َْ اAَو
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan, melainkan dengan suatu alasan yang benar” (al-Israa: 33) 3. Surat al-Furqan ayat 68:
HNَOِْ( ﺏAُِ إQ َ(مَ اRِ(ََُْ&ُ;نَ ا(َْ اAَََ وIً ءَا4َِِ إQََْ'ُ;نَ ﻡََ اA َِ\(وَا (68 : َ أََﻡً )ا نN&َ َ0َِْﻥُ;نَ وَﻡَ (ْ َ ْ ذpََAَو “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan dosanya” (al-Furqan: 68) Larangan perbuatan juga terdapat pada beberapa hadits nabi, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
َ َB(&َِ وَﺱEGَ&َ' ُQ ا%(&َِ ﺹQل ا A ُ ْ;ُ َلَ رَﺱ:َُ َلEَْ' ُQَ اRِvَ'َ اﺏِْ ﻡَْ ُ;ْدٍ ر :ٍَثTَ ِْ َْيbِ( ﺏAِِ إQ رَﺱُ;ْلُ اRHُ وَأَﻥQ( اAَِ إEَِ إA َُْ أَن4ْ@َ ٍBِ&ُْ دَمُ اﻡِْئٍ ﻡZ ِOَ (EG&' Nِ )ﻡeَ'ََlْ&ِ ُِ اَُْرِقEِِِْ ُ وَا(ُْ ﺏِ(ِْ وَﺕَرِكRِ(اﻥpُ اHG(`ا 64
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, h. 6
“Dari Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah saw.telah bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku utusan-Nya, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: (1) Pezina Muhsan, (2) Membunuh, dan (3) Orang yang meniggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah.” (Muttafaqun alaihi)65 Dari beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits tersebut, jelaslah bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’, kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Selain pembunuhan tindak pidana yang dapat dikenakan kisas adalah tindak pidana atas selain jiwa. Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah: “Setiap Perbuatan yang menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetap tidak sampai menghilangkan nyawanya”.66 Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.67 Istilah tindak pidana atau selain jiwa ( ﻡ دون ا%&' eD) digunakan secara jelas oleh Hanafiah68. Istilah ini lebih luas daripada apa yang dikemukakan oleh UndangUndang hukum pidana Mesir, yang menyebutnya dengan istilah pelukaan (al-jarhu) dan pemukulan (al-dharbu). Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan dalam definisi di atas adalah perbuatan yang menyakiti. Dengan demikian yang termasuk 65
Muhammad Ibn Isma’il Al-Kahlani, Subulus Salam Juz. III, Mesir, Mustafa al-Baaby AlHalabiy, 1960, h. 260. 66 Ibid., 67 Ibid., 68 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.45
dalam perbuatan menyakiti, setiap jenis pelanggaran yang bersifat menyakiti, atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan. Oleh karena sasaran tindak pidana ini adalah badan atau jasmani manusia maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk dalam definisi di atas, karena perasaaan bukan jasmani dan sifatnya abstrak, tidak konkrit. Perbuatan yang menyakiti perasaan dapat dimasukkan dalam tindak pidana penghinaan atau tindak pidana lain yang tergolong jarimah ta’zir. Ditinjau dari sasarannya tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada lima bagian69, yaitu: 1. Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya. Adapun yang dimaksud dengan jenis yang pertama ini adalah tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan (athraf) baik berupa pemotongan atau pelukaan. Dalam kelompok ini termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah. 2. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh. Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka perbuatannya termasuk kelompok pertama, yaitu perusakan anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah menghilangkan daya pendengaran penglihatan, penciuman, pembicaraan, suara,
69
Ibid., h.47
rasa (dzauq), penguyahan (madhghun), pengeluaran mani (imna’), penghamilan (ihbal), persetubuhan (ijma’), pengeluaran air seni (ifdha’), daya gerak (bathsyu’), dan berjalan. 3. Hukuman Syajjaj. Yang dimaksud dengan asy-syajjaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka kepala termasuk kelompok keempat, yaitu jirrah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang saja, seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syajjaj, tetapi ulama yang lan berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak. 70 Adapun organ-organ tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun ada pada bagian muka, seperti mata, telinga, dan lainlain tidak termasuk syajjaj. Menurut Imam Abu Hanifah71, syajjaj itu ada sebelas macam: a) Al-Kharishah, yaitu pelukaan atas kulit, tetapi tidak sampai mengeluarkan darah. b) Ad-Dami’ah, yaitu pelukaan yang mengakibatkan pendarahan, tetapi darahnya tidak sampai mengalir, melainkan seperti air mata. c) Ad-Damiyah, yaitu pelukaan yang berakibat mengalirkan darah. d) Al-Badhi’ah, yaitu pelukaan yang sampai memotong daging. e) Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam daripada al-Badhi’ah.
70 71
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, h.206 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.48.
f) As-Simhaq, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam lagi, sehingga kulit halus (selaput antar daging dan tulang kelihatan. Selaputnya itu sendiri disebit simhaq. g) Al-Mudhihah, yaitu pelukaan yang lebih dalam, sehingga memotong atau merobek selaput tersebut sehingga tulangnya kelihatan. h) Al-Hasyimah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi, sehingga memotong atau memecahkan tulang. i) Al-Munqilah, yaitu pelukaan yang bukan hanya sekedar memotong tulang, tetapi sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya. j) Al-Ammah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada ummud dimagh ( )ام اﻡغ, yaitu selaput antara tulang dan otak. k) Ad-Damighah, yaitu pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak sehingga otangknya kelihatan. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, sebenarnya jenis syajjaj yang disepakati oleh para fuqaha adah sepuluh macam72, yaitu tanpa memasukkan jenis yang kesebelas yaitu ad-Damighah. Hal ini karena ad-Damighah itu pelukaan yang merobek selaput otak, sehingga karenanya otak tersebut akan berhamburan, dan kemungkinan mengakibatkan kematian. Itulah sebabnya adDamighah tidak dimasukkan ke dalam kelompok syajjaj. 4. Al-Jirah, adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala, dan atraf73. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Al-Jirah ini ada dua macam, yaitu:
72 73
Ibid., h. 49 Ibid.,
a. Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik pelukaan dari depan, belakang maupun dari samping. b. Ghair Jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada atau perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja. 5. Tindakan selain yang telah disebutkan di atas Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakan pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka atau syajjaj atau jirah74. Sebagai contoh dapat dikemukakan, seperti pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki atau badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau mengakibatkan luka, melainkan hanya memar, muka merah atau terasa sakit. Hanafiyah sebenarnya hanya membagi tindak pidana atas selain jiwa ini kepada empat bagian, tanpa memasukkan bagian yang kelima karena bagian yang kelima ini adalah suatu tindakan yang tidak mengakibatkan luka pada athraf (anggota badan), tidak menghilangkan manfaatnya, juga tidak menimbulkan luka syajjaj,dan tidak pula luka pada jirah75.
D. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kisas Siapa yang dijatuhi hukuman kisas dalam masalah pembunuhan maupun dalam masalah penganiayaan dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada kisas atas orang yang tidak wajib atasnya hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan kadarnya). Orang yang memiliki kriteria seperti ini dari kaum laki-laki adalah yang belum pernah mimpi bersenggama, sedangkan dari kaum wanita adalah yang belum 74 75
Ibid., h.50 Ibid.,
mengalami haid atau yang usianya belum cukup 15 tahun dari keduanya, serta orang yang akalnya tidak sehat dengan sebab apapun kecuali karena mabuk.76 Apabila seorang laki-laki baligh yang tidak dilarang membelanjakan hartanya
yang diterima
pengakuannya mengaku telah melakukan tindak kriminal secara sengaja dan ia memerinci tindak kriminal tersebut, lalu ia gila atau mengalami gangguan otak, maka kisas-kisas dilaksanakan atasnya. Adapun bila ia mengaku melakukan hal itu tanpa sengaja, maka ia harus mengganti kerugian yang ditimbulkan dengan hartanya. Akalnya yang terganggu tidak menghalangi untuk diambil hak orang lain darinya. Imam Syafi’i juga berpendapat apabila seseorang yang telah baligh mengaku telah melakukan tindak kriminal terhadap orang secara sengaja dan ia mengaku bahwa saat terjadinya tindak pidana itu ia masih di bawah umur, maka perkataannya dapat diterima di mana ia tidak dijatuhi hukuman kisas, namun ia tetap membayar kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Menurut Imam Syafi’i tindak pidana secara sengaja yang berlaku padanya kisas adalah pembunuhan yang dapat ditinjau dari tiga segi77 Pertama, pembunuhan yang disengaja dan berlaku padanya hukum kisas, dalam hal ini ahli waris orang yang terbunuh dapat menuntut pelaku agar dihukum bunuh. Kedua, pembunuhan serupa sengaja namun tidak berlaku padanya hukum kisas. Ketiga, pembunuhan tanpa sengaja tidak berlaku padanya hukum kisas. Batasan tindak pidana yang berlaku padanya hukum kisas adalah seseorang yang dengan sengaja mendatangi orang lain lalu menghujamkan senjata yang biasa digunakan untuk menumpahkan darah dan dapat melukai daging seperti pedang atau
76 77
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab al-Umm II, Jakarta, Pustaka Azzam, 2004, h. 570. Ibid.,
pisau karena senjata tersebut adalah senjata diperintahkan Allah untuk dibawa saat shalat khauf.78 Imam Syafi’i juga berpendapat apabila seorang memukul orang lain dengan menggunakan bagian lain sisi yang tidak tajam dari pedang atau pisau dan tidak melukainya namun korban meninggal dunia maka dalam kasus ini pelaku tidak dijatuhkan hukuman mati79. Seseorang dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh dan apabila besi yang ia gunakan dapat melukai atau mengoyakkan badan seperti batu yang besar. Apabila seseorang memukul orang lain dengan menggunakan sisi tajam pedang atau pisau dan korban tidak terluka namun ia meninggal dunia maka dalam kasus ini pelaku diharuskan membayar denda dan tidak dijatuhi hukuman mati. Jika seseorang memukul orang lain dengan menggunakan batu yang tidak bersisi tajam dan ukurannya relatif ringan, lalu batu itu dipukulkan ke kepala korban dan korban meninggal dunia maka dalam kasus ini pelaku tidak dijatuhi hukuman mati jika pelaku memukuli korban dengan batu itu dan menimbulkan luka di kepala yang umumnya dapat membawa kepada kematian maka pelaku dijatuhi hukuman mati sebab batu dapat melukai dengan sebab ukurannya yang berat sekiranya batu itu memiliki sisi tajam lalu melukai korban sehingga meninggal dunia, maka pelaku dijatuhi hukuman mati80. Adapun sesuatu yang lebih berat dari ini maka bila dipukulkan, ditindihkan atau dijatuhkan kepada seseorang, maka orang itu tidak akan bertahan hidup. Apabila seseorang menggunakan benda seperti ini untuk memukul atau melempar orang lain dan korban tidak mampu keluar darinya atau benda itu ditimpakan kepadanya lalu korban meninggal dunia maka dalam kasus ini berlaku hukum kisas. Sebagai contoh seseorang yang memukul orang lain dengan menggunakan kayu yang besar dan dapat melukai 78
Ibid., h. 571 Ibid., 80 Ibid., 79
kepala,
dada
maupun pinggang korban hingga membunuhnya, atau pelaku
menggunakan benda lain yang mirip dengan ini dimana umumnya orang yang dipukul dengan benda itu tidak akan bertahan hidup maka dalam kasus ini pelaku dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi sebagaimana cara ia membunuh korban. Begitu pula apabila seseorang menyalakan api lalu melempar orang lain ke dalam api itu dalam keadaan terikat atau ia mengikat orang lain dan melemparkan ke air dan korban meninggal dunia saat itu juga atau meninggal beberapa waktu kemudian akibat sakit yang ia derita karena penganiayaan itu maka dalam kasus ini pelaku dihukum mati. Imam syafi’i berpendapat barang siapa mengalami penganiayaan dari seseorang, maka hendaknya diperhatikan waktu terjadinya peristiwa itu. Apaila umumnya apa yang menimpanya dapat membunuh seseorang, maka pelaku dijatuhi hukuman mati. Dan apabila seseorang menempatkan orang lain dalam suatu ruangan tanpa menyisakan lubang yang dapat digunakan untuk mengirim makanan dan minuman kepada orang itu hingga berhari-hari lalu korban meninggal dunia atau ia memenjarakan orang itu di suatu tempat meski bukan dalam tembok tertutup lalu ia melarang untuk diberikan kepada korban makanan dan minuman selama waktu yang umumnya orang akan meninggal dunia dalam masa tersebut tanpa makan dan minum hingga akhirnya korban meninggal dunia maka pelaku dijatuhi hukuman mati.81 Adapun bila korban meninggal pada masa yang umumnya seseorang tetap hidup tanpa makan dan minum, maka pelaku tidak dijatuhi hukuman mati, tapi harus membayar denda. Dalam hal penganiayaan fisik secara sengaja yang tidak mencapai tingkat pembunuhan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penganiayaan fisik yang tidak mencapai tingkat pembunuhan berbeda dengan hukuman pembunuhan itu sendiri dalam sebagian
81
Ibid., h. 572
perkara yang dilakukan secara sengaja82. Apabila seseorang dengan sengaja menusuk mata orang lain dengan jari tangannya hingga mencungkilnya maka pelaku dijatuhi hukuman yang serupa dengan perbuatannya atau kisas. Demikian pula apabila seseorang memasukkan jari tangannya di mata orang lain hingga mata orang itu mengalami cedera sampai akhirnya ia buta maka pelaku dijatuhi hukuman yang sama dengan perbuatannya83. Allah telah menetapkan hukum yang adil juga telah menyamakan diantara hamba-hambaNya baik yang berstatus sosial tinggi maupun yang berstatus sosial rendah di hadapan hukum Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 50 :
: ةnَ;ْمٍ ُ; ُِ;نَ )اH ًْ5ُ ِQِ َْ|ُ;نَ وَﻡَْ أَ َُْ ﻡَِ اe(Gِ&َِهlَْ اBْ5ُOَ+َأ (50 “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (al-Maidah : 50) Sesungguhnya Islam diturunkan pada saat sebagian bangsa Arab saling membalas karena pembunuhan atau penganiayaan maka diturunkan pada mereka firman-Nya:
ِ َْ ِْ وَاْ َُْ ﺏHُOِْ ﺏZُOْ ا%َ&َْ ْ اRِ+ ُُ اَِْصBُ5ْGَ&َ' ََُِ ا(\َِ ءَاﻡَُ;ا آ4Zََأ ِEْGََِعُ ﺏَِْ ُْوفِ وَأَدَاءٌ إHَﺕ+ ُْءRَِ ﺵEGِIَُ ﻡِْ أEَ َRُِ' ََْ+ %َ` ﺏُِْﻥ%َ`وَاُْﻥ ُBGَُِ 'َ\َابٌ أEَ&َ+ َ0َََِِ ا'ََْى ﺏَ َْ ذ+ ٌeَْ َْ وَرBُ5H ر(ﺏHُ ﻡ3Gِْaََ ﺕ0َِِ َْنٍ ذbِﺏ ( 178: )اة “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa
82 83
Ibid., Ibid.,
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (alBaqarah:178) Imam Syafi’i berkata siapa saja yang membunuh seseorang maka ahli waris korban berhak memilih antara membunuh pelaku pembunuhan atau mengambil diyat atau memberi maaf tanpa mengambil diyat84. Allah SWT telah mengirimkan firmanNya:
ِEHGَِ;ِ َْ&َ َD ََْ+ ًْ&ُ;ﻡMَ وَﻡَ ُِ َ ﻡHNَOِْ( ﺏAُِ إQ َ(مَ اRِ(َﺕَُْ&ُ;ا ا(َْ اAَو (33:ﺱاءWُ آَنَ ﻡَُ;رًا )اE( اَْْ ِ إِﻥRِ+ َُِْْفTَ+ ًَﻥUْ&ُﺱ “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar, dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (al-Israa: 33)
Apabila ahli waris orang yang dibunuh memilih mengambil diyat dan tidak melakukan kisas maka pembunuh harus menerima keputusan ini baik ia tidak menyukainya karena sesungguhnya Allah SWT hanya memberi kekuasaan kepada ahli waris. Adapun yang memegang kekuasaan ini adalah seluruh ahli waris yang terdiri dari isteri dan selainnya. Tidak boleh bagi wali memutuskan untuk menuntut bunuh atas pelaku pembunuhan hingga berkumpul seluruh ahli waris. Ahli waris yang tidak berada di tempat ditunggu hingga hadir atau menunjuk wakil dan ahli waris yang masih kecil ditunggu hingga baligh adapun pembunuh tetap ditahan hingga ahli waris yang tidak berada di tempat hadir dan yang masih kecil menjadi baligh. Apabila ahli waris yang tidak hadir atau masih kecil maupun yang telah baligh meninggal dunia sebelum mereka berkumpul untuk menentukan hukuman atas pelaku pembunuhan anggota keluarga
84
Ibid., h. 575
mereka maka ahli waris yang tersisa tetap berhak memilih antara menuntut hukuman bunuh atau denda atau memberi maaf tanpa diyat85. Apabila satu kelompok yang terdiri beberapa orang memukuli satu orang secara bersama-sama hingga meninggal dunia namun satu orang diantara mereka menggunakan besi satu orang menggunakan tongkat yang ringan satu orang menggunakan batu atau cambuk lalu orang yang dipukuli meninggal dunia akibat perbuatan mereka maka mereka semua dianggap telah memukul secara sengaja namun tidak ada kisas atas mereka karena kita tidak tahu pasti pukulan mana yang mengakibatkan kematian86. Imam Syafi’i berpendapat apabila masing-masing keluarga korban yang dibunuh mengajukan bukti bahwa anggota keluarganya dibunuh terlebih dahulu maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan si pelaku pembunuhan87. Apabila pelaku tidak membuat pengakuan tentang siapa yang lebih dahulu yang dibunuh maka saya menyukai bila Imam mengundi diantara keluarga para korban itu siapa saja yang menang undian maka anggota keluarganyalah yang dinyatakan lebih dahulu dibunuh sementara keluarga korban yang lain berhak mendapatkan diyat dari harta pelaku pembunuhan itu. Demikian pula apabila si pelaku membunuh para korban itu secara bersamaan saya menyukai bila imam mengundi untuk menentukan siapa yang mendapatkan bayaran diyat dan dibalas dengan kisas.88 Apabila seseorang memotong satu tangan korban dan memotong kaki korban yang lain serta membunuh korban ketiga kemudian para wali korban itu menuntut dilaksanakan kisas maka terlebih dahulu dipotong tangan dan kakinya setelah itu dibunuh.
85
Ibid., Ibid., h. 576 87 Ibid., h. 588 88 Ibid., h. 588. 86
Batasan kisas untuk kejahatan yang tidak mencapai tingkat pembunuhan dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa kisas pada kejahatan yang tidak mencapai tingkat pembunuhan ada dua hal, yaitu luka dibalas dengan luka dan anggota badan dibalas dengan anggota badan.89 Apabila seseorang melukai orang lain hingga terlihat tulang yang terbentang antara dua telinga korban sementara jarak antara dua telinga korban lebih lebar dari pada jarak antara dua telinga pelaku maka yang diperhatikan adalah tempat tumbuh rambut hingga kedua telinga sebab kepala adalah salah satu anggota tubuh yang batasannya tidak lebih dari tempat tumbuh rambut. Oleh karena itu adalah satu bagian dari anggota tubuh maka kisas tidak dapat dilebihkan darinya ke anggota tubuh yang lain, demikian pula halnya dengan semua anggota tubuh, diperhatikan panjang anggota tubuh itu tanpa berlebihan pada anggota tubuh lain. Apabila korban dilukai dengan bentuk luka bulat maka pelaku dilukai dengan luka yang sama seperti itu. Demikian pula apabila luka berbentuk memanjang, maka pelaku dilukai seperti itu. Apabila seseorang menampar mata orang lain hingga penglihatannya rusak maka pelaku dapat ditampar pula pada matanya bila tamparan ini dapat merusak penglihatannya maka persoalan telah selesai tapi bila tamparan itu tidak merusak penglihatannya maka didatangkan para ahli untuk merusak penglihatan si pelaku dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit hingga batas maksimal.90 Kisas pada anggota badan didasarkan pada nama91 bukan didasarkan pada panjang pendeknya anggota badan yang terpotong, tangan dipotong karena memotong tangan kaki dengan kaki serta telinga dengan telinga. Begitu pula mata dicungkil dengan sebab mencungkil mata dan gigi dicabut apabila pelaku mencabut gigi korban sebab baik mata maupun gigi termasuk angota badan. 89
Ibid., h.613 Ibid., h.614 91 Ibid., h. 615. 90
BAB III PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Pencegahan Kejahatan Pencegahan berasal dari kata ‘cegah’ yang berarti dicegah dan ditangkal untuk melakukan sesuatu atau dikenai larangan. Mencegah berarti menahan sesuatu agar tidak terjadi, tidak menurutkan, merintangi, melarang, mengikhtiarkan supaya jangan terjadi.92 Pencegahan berarti proses atau cara perbuatan mencegah, penegahan, penolakan.93 Kejahatan berasal dari kata ‘jahat’ yang berarti sangat jelek, buruk, sangat tidak baik (kelakuan, tabiat, perbuatan). Kejahatan berarti perbuatan jahat, sifat yang jahat, dosa, perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan untuk melakukan demikian.94 Masyarakat pada umumnya pasti memandang perilaku kejahatan adalah perbuatan buruk karena manusia berakal sehat pada dasarnya menginginkan kehidupan dirinya dan keluarga adalah kehidupan yang aman dan nyaman bahkan tidak ada perilaku yang berkaitan dengan kejahatan sama sekali95. Masalah kebutuhan hidup ekonomi saja sudah merupakan persoalan yang besar, rumit, yang membutuhkan ketekunan, pemusatan perhatian, dan kerja keras. Untuk bisa memusatkan perhatian pada pekerjaan mencari nafkah secara halal membutuhkan kehidupan keluarga yang tenang dan nyaman serta berjalan normal tanpa gangguan. Setiap orang dewasa yang 92
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 871 Ibid., 94 Ibid., 95 JE Sahetapi dan B.Mardjono Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, Bandung, Alumni, 1990, h. 71. 93
berakal sehat sudah pasti tidak menginginkan anak-anaknya, sanak saudara, atau orang tuanya melakukan tindakan kejahatan, misalnya dia bisa membunuh atau menganiaya orang untuk merampas harta orang lain yang mana dikarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Karena itu, seharusnya diri sendiri tidak melakukan kejahatan bukan karena ia nantinya akan mendapat hukuman tapi dampak negatifnya sangat besar terutama keluarga, orang tua, atau saudaranya dan masyarakat yang mana pelaku akan lebih banyak merasakan nestapa. Setiap orang berakal sehat pasti tidak menginginkan nestapa terjadi padanya atau keluarganya. Apa yang buruk bagi kita juga buruk bagi orang lain dan apa yang diinginkan baik untuk kita dan keluarga kita juga diinginkan baik oleh orang lain dan keluarganya96. Manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh berpikir subjektif untuk kepentiingan dirinya dan keluarganya saja. Tetapi merugikan kepentingan orang lain. Hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW yang sangat populer, yaitu:
(EG&' Nِ )ﻡEَِِْ ZِOُ َِ ﻡEْGِIَِ (ِOُ %(َ ْBَُ ُ~ْﻡُِ أَ َُآA “Tidak beriman seseorang diantara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri”. (H.R Muttafaq ‘Alaihi)97 Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial, hanya yang menjadi masalah adakalanya orang dalam kondisi tertentu yaitu dalam keadaan nafsu untuk berbuat kejahatan dominan dari akal sehatnya maka pada waktu itu akal sehatnya tidak berfungsi sehingga ia melakukan kejahatan tersebut. Dalam situasi dan kondisi nafsu manusia yang memuncak, perbuatan kejahatan bukan saja akan menutupi akal sehat tapi juga akan menutupi keimanan yang telah
96 97
Ibid., Muhammad Fuad al-Baqi, al-Lu’lu wa al-Marjan, Jilid I, t.k: daar al-Fikri, tth. 11.
bersemi di dalam hati manusia dan menghilangkan rasa malu dan rasa bersalah untuk berbuat kejahatan98. Aturan hukum pidana Islam yang memandang perilaku kejahatan sebagai perbuatan yang sangat buruk dan keji sifatnya yang diharamkan Allah merupakan aturan hukum yang sangat sesuai dengan akal sehat serta dapat dipandang adil karena di dalamnya terdapat keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban manusia sebagai individu dengan individu yang lain dalam masyarakat dan adanya keseimbangan antara kejahatan yang dilakukan dengan hukuman terhadap pelakunya99. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan individu lain dalam masyarakat merupakan jaminan dapat terciptanya ketertiban, ketentraman dan kenyamanan hidup dalam masyarakat sehingga terpelihara kehidupan agama, manusia, akal sehat, serta kehormatan keluarga dan anak keturunan manusia dan harta benda kekayaan manusia, terhindar dari perbuatan kejahatan berperan bagi terwujudnya kelima tujuan syariat tersebut karena maraknya perilaku kejahatan berperan bagi rusaknya kelima tujuan syariat tersebut dalam masyarakat100. Jika masyarakat atau akal sehat manusia memandang perbuatan kejahatan adalah perbuatan buruk atau sangat buruk maka sudah barang tentu mestinya masyarakat atau manusia akal sehat menginginkan perbuatan kriminal tersebut tidak terjadi dalam masyarakat karena hukuman terhadap perbuatan kejahatan yang dibutuhkan masyarakat secara logika akal sehat adalah hukuman yang keras yang bernilai daya preventif dan edukatif yang paling tinggi, sebab apabila hukuman terhadap pelaku kejahatan tersebut tidak keras atau hanya ringan-ringan saja yang tidak bernilai daya preventif dan edukatif tinggi maka
98
Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, h. 72 Ibid., h. 211 100 Ibid., 99
harapan masyarakat agar perbuatan kejahatan itu tidak ada artinya hukuman tersebut karena masyarakat yang sekaligus merupakan tujuan syariat itu tidak akan tercapai101. Dengan perkataan lain hukuman ringan yang diberikan itu sama saja dengan hukuman main-main karena hukuman ringan tersebut tidak akan mampu mematahkan nafsu berbuat kejahatan yang mendominasi akal sehatnya. Pelaku perbuatan kejahatan tidak akan jera mengulang perbuatan kejahatan dan anggota masyarakat lain yang rendah akhlaknya tidak akan ada rasa takut dan rasa malu sedikitpun untuk berbuat kejahatan dan agamapun akan dijadikan permainan untuk melakukan kejahatan102.
B. Permasalahan Sekitar Pencegahan Kejahatan Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah "urban crime")103, antara lain: a. Kemiskinan,
pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan atau
kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok atau serasi. b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena 81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpanganketimpangan sosial. c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. d. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain. 101
Ibid., h. 212 Ibid., 103 Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan “Suatu Pengantar Ringkas”, Bandung, Armico, 1984, h. 140. 102
e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian atau kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan klan lingkungan pekerjaan. f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga. g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam
lingkungan masyarakatnya,
keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya. h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas. i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian. j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikapsikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikapsikap tidak toleransi.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan "penal'104. Disinilah keterbatasan jalur penal klan oleh karena ltu harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah lewat jalur kebijakan
104
Barda Nawawi, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang,Raja Grafindo Persada, 1971, h. 152.
sosial105. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB106, bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu : a. Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang, tidak memadai atau tidak seimbang. b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral. c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau integrasi. Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan atau kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya107. Prof. Soedarto, pernah juga mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna dan kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan108. Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan adalah sangat penting dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia 105
Ibid., Ibid., 107 J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, Bandung, Alumni, 1990, h. 82. 108 Ibid., 106
untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan109. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yanag sehat jiwa atau rohaninya tapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan rohani atau mental, tapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pandangan hidup kemasyarakatan110. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat tidak harus berorientasi pada pendekatan religius tapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional. Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif111. Sumber lain itu misalnya media pers atau media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini Prof. Soedarto menyatakan bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinyu termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh preventis bagi penjahat (pelanggar hukum)112. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia atau operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif-edukatif dengan masyarakat perlu diefektitkan113. Kegiatan operasi-operasi untuk pemberantasan kejahatan bukan merupakan hal yang baru di kepolisian, misalnya operasi atau razia pemilikan senjata api gelap, operasi 109
Ibid., h. 157 Ibid., 111 Ibid., h. 159 112 Ibid., h. 160 113 Ibid., 110
penembakan pelaku kejahatan (residivis) dan lain-lain114.Kegiatan ini mempunyai tujuan ganda yakni pertama sebagai upaya jangka pendek untuk dalam waktu singkat menekan peningkatan angka kejahatan dan kedua menciptakan pemenuhan kebutuhan warga masyarakat atas rasa aman. Kegiatan itu seringkali juga memperlihatkan tanggapan kelembagaan aparat keamanan atas kecemasan bahkan rasa takut atas kejahatan (fear of crime) yang diyakini dalam proses pengendalian sosial115. Keberhasilan dan efektivitas langkah-langkah operasional polisi jelas hanya dapat dicapai dengan dukungan kedua aspek lain yaitu lingkungan tempat polisi bekerja dan faktor intern polisi116. Dalam hubungan itu, maka hubungan polisi dengan masyarakat harus senantiasa diperhitungkan kedalam rencana-rencana operasi dan dikonkritkan dalarm bentuk tim kerja ini memerlukan syarat telah berjalannya pengembangan gagasan mengenai tanggung jawab bersama atas bekerjanya tata peradilan pidana dan telah terciptanya pengertian bersama dengan masyarakat. Faktor intern polisi yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas serta efektivitasnya117, yakni perbandingan rasional antara sumber daya yang dicapai. Persyaratan lainnya terletak pada unsur operasional, seperti stabilitas patroli dalam wilayah-wilayah geografsis yang rawan serta interaksi maksimal dengan masyarakat dan unsur-unsur organisasional seperti kesatuan supervisi dan peningkatan profesionalisme. Penghukuman yang merupakan pencegahan dari segi represif juga tidak boleh mengabaikan segi pembinaan dengan dasar pemikiran bahwa prilaku hanya mungkin 114
Soedjono D, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan “Crime Pervention”, Bandung, Alumni, 1970, h. 119. 115 Ibid., 116 Ibid., 117 Ibid.,
melalui interaksi maksimal dengan kehidupan masyarakat dan pelaksanannya tidak dapat dipisahkan dari strategi perencanaan sosial yang lebih luas. Perlu juga kiranya penyuluhan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk sedikit demi sedikit mengurangi proses stigmatisasi atau proses pemberian cap terhadap pelanggar hukum dan bekas narapidana118. Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada119. kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan120. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adalah bagian dari masyarakat.
C. Kaitan Penegakkan Hukum Dengan Pencegahan Kejahatan “Serahkan apa yang menjadi hak negara kepada Kaisar (pimpinan negara) dan serahkanlah apa yang menjadi hak agama kepada Tuhan”.121 Begitulah kaum sekularis berteriak padahal tujuan fundamental kehadiran agama Islam adalah menciptakan 118
Ibid., h.133 Ibid., 120 Ibid., 121 Said Agil Husein Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Pena Madani: Jakarta, 2004), h. X 119
keadilan sosial dengan menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan seperti dalam firmanNya:
ًْ أَ'َْءBُُْ إِذْ آBُ5ْGَ&َ' ِQَ اJَْ َ ﺕََ( ُ;ا وَاذْآُُوا ِﻥAَ ً وGَِD ِQَْ ِ اOِوَا'َُِْ;ا ﺏ َِ ا(رH ﺵََ َُْةٍ ﻡ%َ&َ' ْBُُْ;َاﻥً وَآIِِ إEَِْ ِِ ﺏBُْOََْﺹoَ+ ْBُ5َِْ ُ&ُ;ﺏGََ ﺏ3(َoَ+ ( :َُْونَ )ل 'ان4َْ ﺕBُ5(&َ َ ِEِْ ءَاَﺕBُ5َ ُQُ اHGَُ َ0َِ\ََ آ4ْH ﻡBَُﻥَ\َآoَ+ Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran : 103)
:َُ اُْﻡُ;رُ )ل 'انDُِْ ﺕQ ا%َِ اَْرْضِ وَإRِ+ َ ا(َوَاتِ وَﻡRِ+ َِ ﻡQَو (109 Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (Ali Imran : 109)
ْBُْ ِ وَهG(ءَ اjَِ ءَاﻥQُ َْ&ُ;نَ ءَاَتِ اeَِnjَ ُe(َِبِ أُﻡ5ْْ أَهْ ِ اHُْ;ا ﺱَ;َءً ﻡGَ َُُونlَْ (113 : )ل 'ان “Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)”. (Ali Imran : 113)
Karenanya barang siapa menghendaki pencapaian suatu tujuan, hendaklah bersedia melakukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut bukankah mengurusi masalah-masalah manusia merupakan salah satu syariat di antara syaratsyarat terpenting dari kehadiran sebuah agama bahkan tanpa mengurusi masalah-
masalah manusia agama tidak akan bertahan karena tugas agama adalah memberikan proteksi moralnya untuk tegaknya sebuah hukum yang adil122. Doktrin pokok yang dikemukakan al-Qur’an adalah pencapaian hidup manusia di dunia ini maupun di akhirat kelak, dua kebahagiaan ini hanya mungkin dicapai kalau manusia mampu memahami kehendak Allah dimanifestasikan dalam bentuk hukumhukum yang dibangun manusia sejalan dengan kebutuhan objektifnya123. Ikhtiar pembentukan hukum perlu kiranya memperhatikan beberapa landasan epistimologis yang berintikan antara lain dasar keadilan dan kebenaran, nilai sosial dan kultural, nilai yuridis dan normatif yang menghidupi masyarakat sejalan dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di sebuah negara124. Dalam konteks pembentukan hukum dalam upaya pencegahan kejahatan dan pembangunan hukum yang berskala besar sejatinya melibatkan dimensi-dimensi pembangunan hukum yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan saling menopang, yaitu dimensi “pemeliharaan” yang maksudnya sebagai memelihara yang lama dan yang masih baik. Yang kedua adalah dimensi “pembaruan” dimaksudkan sebagai mengambil yang baru yang lebih baik125. Dan kedua dimensi ini sejalan dengan kaidah ushul.
َِ&َِِْْ اَْﺹlِْْ\ُ ﺏIَِْ ا(ِِ وَاBَِْْ ا%َ&َ' ُeَMَ+َOُْا “Memelihara yang lama yang masih baik seraya mengambil yang baru yang lebih baik”. Terakhir dimensi “penyempurnaan” dimaksud sebagai ikhtiar serius untuk melakukan kritik internal terhadap teks dan hukum agar selalu relevan dengan ruang dan waktu manusia yang mana gagasan ini sejalan dengan kaidah ushul126 yaitu :
122
Ibid., h. 9 Ibid., 124 Ibid., h.11 125 Ibid., 126 Ibid., 123
ِeَِ5ِْ اَْزْﻡَنِ وَاَْﻡZGَ|ََِمِ ﺏ5ْ َُْ اZGَ|َﺕ “Perubahan suatu hukum bergantung pada perubahan waktu dan ruang” Itu berarti penyempurnaan konsep hukum selalu melibatkan dimensi ruang dan waktu127. Paradigma hukum saat ini dalam suatu tatanan sosial merupakan kelanjutan dari paradigma hukum masa lalu dan paradigma hukum masa depan akan lebih banyak ditentukan oleh corak dan perspektif hukum yang dibangun pada masa kini, bangunan hukum masa kini sudah pasti haruslah berpijak pada perubahan sosial dan budaya yang dirancang secara sistematis dan berlanjut dari waktu ke waktu seiring dengan kebutuhan pencegahan kejahatan dan terciptanya penegakkan hukum secara keseluruhan. Sesungguhnya materi hukum meliputi aturan tertulis maupun tidak tertulis aturan ini berlaku normal dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara serta bersifat mengikat baik bagi semua pihak, materi hukum tersebut ditujukan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang penegakkan hukum akan mencegah kejahatan. Penegakan hukum di negara yang penduduknya beragama Islam unsur agama menjadi sangat urgen untuk diperhatikan.128 Pencegahan kejahatan menjadi lebih mendesak untuk penegakan hukum hal itu disebabkan penegakkan hukum telah mendorong pencegahan kejahatan selalu mengadakan penataan karena terciptanya suatu suasana yang akan saling mendukung satu sama lain. Penegakan hukum akan mencegah tindakan kejahatan dan begitu pula sebaliknya bila tindakan kejahatan berkurang penegakan hukum akan berjalan. Pada hakikatnya pembangunan dalam bidang hukum sangat berkaitan dengan pencegahan kejahatan dan juga penegakkan hukum yang mana merupakan ikhtiar
127 128
Ibid., h.13 Ibid., h.15
bersama dalam mengadakan pembangunan di bidang tersebut129. Al-Qur’an menetapkan bahwa Allah SWT menghendaki setiap muslim melaksanakan hukum-hukumNya karena sudah menjadi keyakinan setiap muslim bahwa jika manusia menjalankan hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah akan berakibat kesengsaraan hidup di dunia ini maupun di akhirat nanti.130 Sebagai akibat logis dari sifat keuniversalan hukum Islam adalah ketentuan hukumnya ada yang ditujukkan khusus untuk orang-orang Islam, adapula yang ditujukkan khusus untuk orang-orang non Islam, penghapusan ini dimaksudkan agar prinsip-prinsip hukum Islam yang ingin ditegakkan haruslah senantiasa menghargai dan menghormati elemen hukum yang ditegakkan oleh agama lain. Prinsip Islam adalah tidak ada paksaan di dalam agama131.
129
Ibid., Ibid., h. 18 131 Ibid., 130
BAB IV TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS DALAM HAL UPAYA MENCEGAH KEJAHATAN
A. Penerapan Kisas Sebagai Hukuman Dalam Hukum Islam Dalam memahami arti Islam, kadang-kadang timbul kesalahan. Kesalahpahaman tersebut muncul baik dari orang-orang non muslim maupun dari kalangan orang Islam itu sendiri. Penyebab kesalahpahaman tersebut bisa terjadi karena tidak atau kurang memahami substansi Islam dengan benar dan lengkap atau kesalahan metodologis dalam memahami Islam tersebut. Menurut Daud Ali, paling tidak ada tiga hal-hal yang menyebabkan munculnya kesalahpahaman terhadap Islam dan hukum Islam132, yaitu: 1) Salah memahami ruang lingkup ajaran Islam 2) Salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam 3) Salah menggunakan metode mempelajari Islam. Kesalahan memahami ruang lingkup ajaran Islam itu terjadi, disebabkan karena orang menganggap bahwa semua agama itu sama, maka ruang lingkup ajarannyapun sama133. Umpamanya karena dipengaruhi oleh ajaran Nasrani yang ruang lingkupnya hanya menganut hubungan manusia dengan Tuhan, maka kemudian orang menganggap agama Islam pun demikian juga. Padahal kita tahu sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa konsep dien al-Islam yang mencakup pengaturan hubungan manusia dengan 132
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, h. 57. 133 Ibid., h. 26
Tuhan dan hubungan antar makhluk Tuhan, berbeda dengan konsep religion yang hanya mengandung norma pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan134. Kesalahan memahami Islam dan hukum Islam, karena salah menggambarkan agama Islam, tidak secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Mereka menggambarkan Islam secara parsial, sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian saja, tidak utuh. Umpanya dengan membuat gambaran yang memberi kesan seolah-olah agama Islam itu hanyalah berisi akidah, atau hanya berisi ajaran hukum Islam, atau hanya berisi moral saja.135 Kesalahan memahami Islam dan hukum Islam bisa terjadi karena salah mempergunakan metode mempelajari Islam. Umpama kesalahan yang dilakukan para orientalis sebelum perang dunia kedua. Mereka menjadikan bagian-bagian bahkan seluruh ajaran Islam semata-mata sebagai obyek studi analisa. Dengan mengutip katakata Fazlurrahman, selanjutnya Daud menulis: “Laksana dokter bedah mayat, para orientalis itu meletakkan Islam di atas meja operasinya, memotong bagian demi bagian dan menganalisa bagian-bagian itu dengan mempergunakan norma-norma atau ukuran-ukuran mereka sendiri yang unislamic. Artinya mereka mempergunakan metode mempelajari dan menganalisa ajaran Islam dengan metode dan analisa serta ukuran-ukuran yang tidak Islami, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hasilnya tentu saja tidak memuaskan dan pasti menimbulkan salah paham terhadap Islam”.136
Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran Islam yang benar, dan tidak menimbulkan kesalahpahaman terhadap Islam, maka Islam harus dipelajari, harus dikaji dengan metode yang sesuai dengan ajaran Islam. Untuk mendapatkan gambaran tentang Islam yang benar, banyak metode yang telah dikemukakan oleh sarjana muslim seperti Ismail R. Faruqi, M. Najib Alatas, S.Hossein Nasr, Fazlurrahman, Ali Syari’ati, Deliar 134
Ibid., Hukum Islam, Azas-azas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h. 26. 136 Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 60 135
Noer, dan Harun Nasution. Islam bisa dipelajari, dikaji umpanya melalui metode filosofis, metode sejarah dan sosiologis, dan untuk gejala-gejala alam bisa menggunakan metodologi ilmu alam, demikian juga bagi kajian hukum Islam, maka harus dipelajari, melalui metodologi kajian ilmu hukum137. Apapun metodologi yang digunakan dalam mengkaji Islam, kajian tersebut harus tetap konsisten bahwa Islam sebagai al-Din, tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan sumber-suber samawi (al-wahyu al-ilahy), yaitu sumber ajaran yang datang dari Tuhan138. Islam tidak hanya berisi konsep yang bertujuan menciptakan kebahagiaan hidup manusia di dunia, namun Islam juga mengandung ajaran tentang kebahagiaan di akhirat kelak. Berkenaan dengan kesalahan pemahaman tentang Islam, Harun Nasution antar lain menulis : Di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan Islam tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan Islam. Kekeliruan paham ini terjadi karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadat, fiqih, tauhid, hadits, dan bahasa Arab. Dan itupun ibadat, fiqih, tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu madzhab dan aliran saja… Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang tersebut di atas seperti aspek teologi, aspek ajaran spiritual dan moral, aspek sejarah, aspek politik dan aspek hukum…139
Kesalahan atau kekeliruan memahami Islam dan hukum Islam, bisa juga muncul karena memandang dan memahami Islam dari perilaku sebagian orang Islam. Seseorang yang pemahamannya sempit tentang Islam ia memandang atau mengidentikkan bahwa ajaran Islam itu adalah sebagaimana dipraktekkan oleh sebagian umat Islam pada masa 137
Ibid., h. 27 Ibid., 139 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1985, h.6. 138
atau suatu wilayah tertentu. Tidak jarang ada bangsa Arab adalah identik atau disamakan dengan ajaran Islam, sehingga oleh karenanya wajib diikuti secara mutlak. Padahal sebenarnya tidak semua yang dipraktekkan oleh orang (bangsa) Arab secara mutlak adalah ajaran Islam, sekalipun nabi Muhammad saw, berasalah dari bangsa Arab dan sumber hukum Islam yang utama berbahasa Arab.140 Kembali kepada pemahaman hukum Islam, untuk mendapatkan gambaran pemahaman hukum Islam yang benar, menurut Daud Ali141 dalam mengkaji dan memahami Hukum Islam, maka berarti hukum Islam: 1) Harus dipelajari dalam kerangka dasar ajaran Islam, untuk mendapatkan gambaran pemahaman hukum Islam sebagai salah satu bagian dari agama Islam. 2) Harus dihubungkan dengan iman (akidah) dan kesusilaan (akhlak, etika, atau moral), karena dalam hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan itu tidak dapat dicerai-pisahkan 3) Harus dikaitkan dengan beberapa istilah kunci diantaranya adalah syari’ah dan fiqih yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dicerai-pisahkan. 4) Mengatur seluruh tata hubungan kehidupan manusia, baik dengan Tuhan, atau dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dan benda alam masyarakat serta alam sekitarnya. Salah satu kejahatan tertua di kalangan manusia adalah pembunuhan, yakni lakon Qabil-Habil142. Selain menghilangkan jiwa pembunuhan sering didahului dengan 140
Para ulama Ushul Fiqh membahas secara khusus tentang perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad saw, menjadi tiga kategori: (1) Perbuatan yang muncul dari Muhammad saw, sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk, jalan dan berpakaian. Walaupun tentu tidak dilarang akan mengikuti prilaku tersebut. (2) Perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad saw dan alasan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk dirinya, seperti shalat tahajjud tiap malam, puasa wishal, tidak menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan ini khusus untuk dirinya dan tidak wajib diikuti oleh ummatnya. (3) Perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad saw sebagai Rasulullah yang berkaitan dengan hukum, dan ada alasan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu berlaku juga bagi umatnya. Perbuatn ini menjadi syari’at bagi umat Islam. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996, h. 40. 141 Ali, Hukum Islam “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 63
kejahatan yang lebih ringan yaitu penganiayaan yang menyebabkan cedera atau cacat pada anggota tubuh. Untuk menyelesaikan problem ini, Allah SWT telah menetapkan hukum yang terdiri 3 tingkatan yaitu: kisas (balasan setimpal), diyat (denda damai) atau permintaan maaf. Meski telah menetapkan kisas sebagai hukuman maksimal atas kejahatan pembunuhan, Islam tidak memandangnya sebagai hukuman yang wajibmutlak harus dilaksanakan. Bagi wali korban atau ahli warisnya, syari’at Islam memberi pilihan antara menuntut kisas dan memberikan maaf143. Kejahatan-kejahatan yang oleh syari’at telah ditetapkan jenis hukumannya, merupakan pelanggaran terhadap hak Allah SWT144. Yakni hak-hak yang berkaitan dengan kehormatan agama, keturunan, dan ketentraman umum. Inilah yang disebut hududullah (batas-batas hukum Allah)145. Sedangkan kejahatan yang berkaitan dengan kehormatan jiwa dan anggota tubuh manusia, merupakan pelanggaran terhadapa hak hamba. Inilah yang mengandung konsekuensi hukum kisas. Dalam penerapannya, kedua hukuman tersebut harus dilakukan secara cermat dan sangat hati-hati, sebagaimana pesan Nabi saw : “Hindarkanlah hukuman hudud karena keraguan dan cegahlah pembunuhan (qishas) terhadap sesama muslim sekuat kalian. “Katanya lagi, “Hindarkanlah hukuman hudud atas seorang muslim sejauh dapat dilakukan”. Jika kalian melihat jalan kebebasan bagi muslim itu, maka bebaskanlah dia. Sesungguhnya seorang imam (penguasa) lebih baik keliru memberi maaf (membebaskan) daripada salah menjatuhkan hukuman”. Sepintas, hukuman kisas nampak kejam. Memang, ia hukuman yang kejam, karena pelakunya kejam dan sangat kejam 146. Lihatlah karena ambruknya wibawa dan penegakan hukum, nyawa manusia menjadi sangat murah. Bila kejahatan itu terus 142
Abdurrahman Madjrie dan Fauzan al-Anshari, Qishash Pembalasan Yang Hak, Jakarta, Khairul Bayan, 2003, h. III. 143 Ibid., 144 Ibid., h.IV 145 Ibid., 146 Ibid.,
dibiarkan, eksistensi kehidupan manusia akan terancam. Karena itu Allah SWT memeperingatkan kita dalam surat al-Baqarah ayat 179:
( 179: ْ ﺕَ(ُ;نَ )اةBُ5(&َ َ ِ اََْْبRَِْةٌ َأُوGَ ِ اَِْصRِ+ ْBُ5ََو “Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertaqwa”. (al-Baqarah : 179)
Kekejaman memang harus dihentikan dengan hukuman yang setimpal agar bisa menjerakan (deternsif). Dengan kisas, maka pelaku sebelum berbuat jahat akan pikirpikir dulu, karena korban atau ahli warisnya (bila korban meninggal) berhak membalas dendam dengan perlakuan setimpal147. Ada pengalaman menarik yang dialami oleh Abdurrahman Madjrie ketika menunaikan ibadah haji.148 Kala itu, ia cekcok dengan sopir taksi yang mengangkutnya lantaran si sopir memungut ongkos melebihi tarif semestinya. Sopir itu menahan barangnya sampai is mau membayar sesuai keinginannya. Ia menolak, sopir itu makin marah, matanya melotot dan tangannya bergoyang-goyang. Anehnya, meski berbadan lebih besar, ia tidak sampai memukul atau melukainya149. Datanglah seorang polisi melerai mereka. Akhirnya, ia menegur sopir tadi dan ia pun dibebaskan150. Ia sempat bertanya pada polisi bagaimana jika sopir tadi memukulnya. “Kalau begitu, dia akan dikenai hukuman kisas (balas pukul), didenda, atau dimaafkan. Hukuman itu bergantung pada pilihan anda atau ahli waris anda.” Tutur polisi.
147
Ibid., Ibid.,h.v. 149 Ibid., 150 Ibid., 148
Mendengar uraian tersebut, ia berkomentar, duhai andaikata kisas diterapkan di negerinya, niscaya orang-orang akan berpikir tujuh kali sebelum memukul, melukai, atau membunuh orang lain. Bagi sebagian orang, jenis hukuman kisas dinilai tidak manusiawi, primitif, barbar, atau ketinggalan zaman. Karenanya, orang-orang yang telah menjadi korban penyesatan opini semacam ini, menjadi benci terhadap hukum Islam, lalu memilih hukum lain (hukum positif)151. Padahal, penyakit sosial yang bernama pembunuhan yang hanya dapat dicegah dengan obat yang telah disediakan oleh yang menciptakan nyawa manusia dengan kisas. Penjara bukanlah obat mujarab bagi pembunuh152. Pasalnya, seringkali terjadi seorang pembunuh “kelas teri” tiba-tiba berubah menjadi pembunuh “kelas kakap” justru setelah ia keluar dari penjara. Karena, selama di penjara rupanya ia sering berinteraksi dengan pembunuh lainnya yang lebih profesional. Dan dia pun belajar kepada seniornya itu. Di samping itu, biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memberi makan para napi jelas memberatkan kas. Seperti diketahui, biaya makan setiap napi per hari adalah Rp. 3.500,00. jadi selama di penjara, misalnya 15 tahun seperti yang dijatuhkan kepada Tommy Soeharto, maka negara harus mengeluarkan dana makan sebesar: 15 x 365 x Rp.3.500,00 = Rp. 19.162.500,00, belum lagi biaya kesehatan, pakaian, dan sebagainya. Padahal, dia telah terbukti melakukan kejahatan.153 Jadi logiskah orangorang yang di luar penjara harus memberi makan orang-orang yang jahat yang dipenjara yang mungkin akan mengulangi kejahatannya.
151
Ibid., Ibid., 153 Ibid., h. VI 152
Obat harus diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita berdasarkan hasil diagnosis yang akurat. Karena itu, Allah SWT telah menyediakan obat mujarab untuk menanggulangi bentuk kejahatan manusia ini. Sebaliknya bila manusia mengambil obat selainnya, maka penyakit masyarakat tersebut kian parah. Demi kemaslahatan di dunia dan akhirat, Allah SWT meminta kaum beriman menjalankan Islam secara kaffah (utuh), sebagai firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 208:
ْBُ5َ ُE(َنِ إِﻥUْG(@ُ;َاتِ اUُI َ ﺕَ(ِ ُ;اAًَ وe(+jَِ آBْ&H اRِ+ ُ&ُ;اIَْ ا(\َِ ءَاﻡَُ;ا اد4Zََأ (208 : ُ )اةGِZ'َُو ﻡ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (al-Baqarah : 208)
B. Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegahan Kejahatan Banyak orang beranggapan bahwa hukum kisas ini adalah kejam dan tidak manusiawi. Memang hukum kisas ini kejam, karena pelaku tindak kejahatan juga kejam bahkan sering lebih kejam154. Sebelum kisas diberlakukan kebanyakan pelaku kejahatan menganggap murah harga orang lain. Bahkan di negara-negara Barat nyawa manusia lebih murah daripada anjing. Pembunuh sering menggunakan senjata canggih yang mudah didapat di pasar-pasar gelap. Sehingga tindakan kriminalitas lainnya sangat tinggil. Selain penjahat dengan seenaknya menghilangkan nyawa si korban, juga sering melukainya. Bahkan dalam banyak peristiwa kejahatan sering dibarengi dengan tindak kejahatan lainnya, seperti pemerkosaan, perampokan, penyanderaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, seharusnya kita bertanya: Mengapa kita merasa kasihan kepada para pembunuh itu? Mengapa kita tidak menaruh belas kasihan kepada para korban, ahli 154
Ibid., h.92
waris, dan calon mangsanya? Selain dengan ancaman kisas, apa ada cara lain yang lebih efektif dan efisien melindungi eksistensi dari bahaya pembunuh dan pencederaan? Dalam kenyataannya, kekejaman hukuman kisas telah menyelamatkan penjahat dari kisas, sebab sebagaimana juga tindakan itu telah menyelamatkan jiwa orang yang dijahati dan memlihara ketentraman untuk semua orang yang dijahati dan memlihara ketentraman untuk semua orang155. Hukuman kisas itu selalu dilakukan di depan publik dengan tujuan agar perbuatan membunuh atau melukai itu benar-benar jangan dikerjakan orang lain. Dr. Ma’ruf Ad-Dawalibi, delegasi Arab Saudi yang mengikuti seminar ilmiah tentang “Syari’at Islam dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM)” yang diselenggarakan di Riyadh, 22 Maret 1972, menceritakan kenyataan ketika hukum potong tangan diberlakukan di Arab Saudi: “Saya dapat mengumumkan di sini, bahwa saya telah tinggal di negeri ini selama tujuh tahun. Dalam masa itu, saya belum pernah mendengar atau menyaksikan potong tangan, karena hal itu sangat jarang terjadi. Demikianlah, apa yang tinggal dari hukuman ini adalah kekejamannya, suatu hal yang telah menjadikan manusia semuanya dapat hidup dalam keamanan dan ketentraman. Bahkan orang yang berniat untuk mencuri menjadi selamat tangannya, karena adanya hukuman ini. Karena kekejaman hukuman itu sendirilah yang telah melarangnya melakukan kejahatan”.156 Pada waktu negeri ini berada di bawah sistem hukum pidana Perancis pada zaman Kerajaan Utsmani, orang-orang haji tidak dapat melakukan perjalanan dengan perasaan aman dan tenteram terhadap jiwa dan harta mereka, (terutama dalam perjalanan) antara kedua kota suci Madinah al-Munawwarah dan Mekah alMukarramah, kalau tidak dilindungi oleh penjagaan tentara yang kuat. Tetapi, tatkala pemerintah di negeri ini berpindah ke tangan negara Saudi Arabia dan dinyatakan bahwa hukum al-Qur’an (syari’at Islam) berlaku, maka segala tindakan kejahatan itu 155
Ibid., h.93 Ibid.,
156
dengan segera berhenti. Orang-orang yang bepergian dari kota Dahran di tepi Teluk Arab (Persi) sampai ke kota Jeddah di tepi Laut Merah, jangankan perjalanan antara kedua kota suci itu, mungkin melakukan perjalanan sendirian dengan mobil pribadinya pasti dijamin keamanannya. Siapapun dapat menempuh padang pasir, menempuh jarak lebih dari 1500 km tanpa merasa khawatir akan keselamatan jiwa dan hartanya, sekalipun ia membawa uang jutaan dolar dan sekalipun ia orang asing di negeri ini. Kemudian delegasi itu melanjutkan kisahnya: “Demikianlah, harta benda milik negara di sini, dimana dijalankan syari’at Islam, dibawa dari sati kota ke kota yang lain dengan mobil biasa saja, demikian pula antara satu bank ke bank lainnya tanpa dijaga dan dikawal selain dari sopir kendaraan itu saja”. Cobalah terangkan kepada saya apakah negara-negara Barat mampu memindahkan sejumlah besar uang dari satu bank ke bank lainnya di salah satu ibu kotanya tanpa dikawal oleh sejumlah besar kendaraan berlapis baja? Hanya di negeri tempat hukum syari’at Islam dilaksanakan, kemanan terjamin157. Menteri Luar Negeri AS, Mr. Rogers, dalam kunjungannya ke Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1971 bersama rombongannya tidak menggunakan fasilitas anti peluru. Biasanya fasilitas ini selalu ada mengiringi mereka dalam pesawat-pesawat terbang khusus dalam setiap kunjungan mereka ke berbagai negara. Hanya di sinilah, Kerajaan Arab Saudi, kami tidak rela kalau para tamu itu mempergunakan kendaraan anti peluru mereka. Pada bagian akhir dari kunjungan itu, Mr. Rogers tidak lagi menggunakan pengawal kehormatan yang disediakan baginya, sebagaimana yang disediakan bagi tamu-tamu kehormatan yang datang di negara lain. Ia pergi ke pasar sendirian tanpa
157
Ibid., h. 94
penjagaan158. Ia berkata, bahwa hanya di negara ini sajalah orang merasa aman tenteram dan tidak perlu ada penjagaan dan pengawalan. Akhirnya Dr. Dawalabi menyudahi pidatonya: “Setelah mendengarkan semuanya itu, apakah anda semua tidak merasa bersama kami. Setelah menyaksikan hasil yang amat hebat itu, yang berupa keamanan, ketentraman, dan ketenangan hati di negeri ini, baik terhadap jiwa maupun harta. Adalah menjadi kewajiban bagi kami untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum agama kami dalam hal memberikan hukuman kepada tindakan-tindakan kriminal yang hampir (mustahil dihentikan di negara Anda) dan tidak pernah kedengaran ada di negeri ini. Sedangkan, konon di kota-kota metropolitan lain yang (konon) keberbudayaan tinggi itu, dimana yang berlaku adalah Undang-Undang bikinan manusia, (ternyata) manusia tidak dapat memperoleh perasaan ketentraman seperti (yang diharapkan) itu. “Saya masih tetap ingat apa yang terjadi pada musim panas beberapa tahun kemudian yang lalu, sewaktu saya berada di kota Paris, pada waktu terjadi suatu perampokan bersenjata terhadap sebuah restoran terbesar di kota itu yang berada di dekat jalan Champ Elysees. Di depan mata ratusan pengunjung yang ada pada waktu itu, para penjahat telah berhasil menguras kas restoran itu, sementara para pengunjung (cuma dapat) memperhatikan tanpa dapat bergerak. Keesokan harinya, berita itu telah disiarkan oleh semua harian di kota paris”.
Pengalaman menarik Dr. Dawalibi tentunya tidak terlalu mengherankan jika kita membaca dan memperhatikan dengan seksama tindakan kriminal yang sering terjadi di kota metropolitan. Jakarta, ibu kota Republik Indonesia, negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam (87,5%), sayangnya mereka tidak menjalankan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama dalam mengatur kehidupan, kehidupan berbangsa dan bernegara. Pencurian, perampokan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan hampir pasti menjadi menu berita harian. Seolah-olah hidup ini terasa belum lengkap jika tidak mendengar peristiwa kriminal di setiap harinya159. 158 159
Ibid., Ibid., h. 95
Mengapa semua ini terjadi dan seolah tidak mungkin bisa dihentikan oleh kekuatan apapun? Padahal jumlah polisi Indonesia konon sekitar 500 ribu orang. Tapi seolah sudah tidak sanggup lagi menjamin keamanan penduduk dari berbagai ancaman tindak kriminal. Bahkan tak jarang terjadi, justru oknum polisi terlibat aktif dalam opearai kejahatan yang diciptakannya sendiri160. Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah dengan menerapkan syari’at Islam, termasuk hukum kisas. Sebagaimana pengalaman yang diutarakan Dr. Dawalibi di muka, bahwa sebelum hukum positif yang berlaku di Arab Saudi berpindah dari hukum warisan kolonial Perancis ke hukum syari’at Islam, maka keamanan para tamu Allah (haji) tidak bisa dijamin. Mereka harus dikawal dengan pasukan dalam jumlah besar. Dengan sendirinya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk menjaga para tamu itu pun besar pula161. Namun, setelah diberlakukan syariat Islam termasuk kisas, maka keamanan dan ketentraman, baik untuk warga pribumi maupun orang asing di sana terjamin. Bahkan siapapun dengan leluasa dapat membawa uang banyak di jalan-jalan tanpa rasa takut. Tidak seperti keadaan kita di Jakarta, bila membawa uang atau mengambil sejumlah uang yang cukup besar dari suatu bank, selalu diliputi perasaan was-was dibayangbanyangi oleh ancaman perampokan dan pembunuhan, kendatipun mereka sudah dikawal oleh polisi162. Selain itu, tanpa diberlakukan hukuman yang menjerakan terhadap para pelaku pembunuhan, maka jiwa manusia tidak akan lagi dihargai. Harga nyawa manusia bisa merosot sampai tak ada harganya sama sekali, karenanya kita sering menyaksikan seseorang yang dipukuli massa sampai mati gara-gara diteriaki maling padahal belum 160
Ibid., Ibid., h.96 162 Ibid., 161
tentu ia mencuri. Salah satu sebab hal itu terjadi adalah karena pelaku pembunuhan sering dibebaskan oleh aparat, sehingga menimbulkan kekecewaan di dalam hati masyarakat163.
C. Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan Bila dikatakan secara umum dalam pemikiran Barat agama telah dilepaskan dari wilayah hukum karena pengaruh rasionalisme dan Aufklarung yang sangat dominan164. Tetapi, Friedrich Julius Stahl masih mengakui adanya pengaruh agama terhadap hukum ia berpendapat bahwa hukum juga memperoleh kekuatan mengikat dari ordonansi ketuhanan yang menjadi sandaran negara165. Sekalipun hukum adalah produk manusia, tetapi hukum digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan karena tak ada hukum yang tak membantu tata tertib dunia ketuhanan karena tak ada hukum yang membantu ke arah itu maka hukum yang terburuk pun masih mempunyai sanksi ketuhanan secara umum dapat dikatakan bahwa para ahli dalam bidang hukum Islam telah sependapat bahwa ada kaitan yang sangat erat antara agama dan hukum dalam Islam hukum adalah satu sektor dari agama Islam166. Salah satu argumen yang paling kuat yang mendukung pendapat bahwa dalam Islam hukum dan agama tidak dapat dipisahkan ialah sumber hukum itu sendiri, dalam kepustakaan hukum Islam selalu disebutkan bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah al-qur’an yang terutama kemudian sunnah Rasul167. Agama Islam pun bersumber dari
163
Ibid., Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya di lihat dari segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah, Bogor, Kencana, 2003, h.59. 165 Ibid., h.60 166 Ibid., h.60 167 Ibid., 164
al-qur’an dan sunnah dengan demikian baik agama Islam maupun hukum Islam keduaduanya bersumber dari al-qur’an dan sunnah. Seorang ahli hukum adat dan hukum Islam yang semasa hidupnya menjabat guru besar di universitas Indonesia, Hazairin telah menyanggah pandangan barat yang memisahkan hukum dari agama dengan argumen sebagai berikut: “Hukum bukanlah hanya satu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan saja, yang semata-mata hanya takluk kepada unsur-unsur yang ada dalam pergaulan manusia dengan manusia saja dalam masyarakat itu. Selain hubungan antara manusia dengan manusia yang dengan demikian merupakan masyarakat sesama manusia, setiap manusia yang menjadi anggota masyarakat itu mempunyai pula mau tak mau perhubungan roh dengan roh akbar, tiap menit hubungan dengan tuhannya yang Maha Esa kepada siapa tergantung hidup dan matinya, demikian juga keselamatan hidup kemasyarakatannya. Menurut paham ini masyarakat manusia itu pula bukan urusan manusia saja, tetapi juga menjadi urusan sang penjelma manusia itu sendiri, sehingga pergaulan hidup sesama manusia itu bukanlah perhubungan antara tiga, yaitu antara manusia dan manusia dan tuhannya bersama itu”.
Sangat berbeda dengan pendekatan Barat yang telah mengasingkan agama dari wilayah hukum, Hazairin berpendirian bahwa urusan hukum bukan semata-mata urusan manusia, tetapi juga urusan Allah yang menciptakan manusia itu sendiri, menurut Hazairin paham inilah yang dianut oleh para nabi dan rasul terakhir oleh Muhammad dalam al-Qur’an168. Lebih lanjut Hazairin menegaskan, apabila hukum dilihat dari sudut keadilan menurut Hazairin sekalipun telah diatur sebaik-baiknya belumlah ia merupakan suatu paparan keadilan tetapi barulah memberikan pegangan-pegangan pokok demi mencapai keadilan ini berarti kemampuan manusia sangat terbatas untuk dapat mengaplikasikan keadilan secara ideal. Hazairin melukiskan bahwa manusia itu bersifat lemah meskipun ia seorang filosof atau guru besar169.
168 169
Ibid., h.62 Ibid.,
Sesungguhnya hukum Islam memiliki ciri yang khas karena ia tidak pernah memisahkan hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan hidupnya terutama dalam Allah tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta170. Namun demikian sebagaimana diungkapkan oleh Roger Garaudy dalam hukum Islam tidak ada immobilisme (sifat beku) sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah ia mengandung nilai abadi yang tidak bertentangan dengan validitas yang kreatif dan permanen bahkan dalam hukum Islam terkandung sifat itu. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Pemidanaan adalah proses, cara perbuatan memidana171. Dalam hukum pidana positif menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukkan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial, menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan dan bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif dan pandangan utilitarian.172 Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan
170
Ibid., h.63 Meoliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 311 172 Herbert L Packer, The Limit Of The Criminal Sanction, California, Stanford University Press, 1968, h. 9 171
oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing. Pandangan ini diaktakan bersifat melihat ke belakang. Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu, di satu pihak pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan.173 Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya, teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta inderteminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir model keadilan sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Soe Titus Reit.174 Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan dan retribusi. Dasar retribusi dalam model ganjaran setimpal menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatankejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang lain melakukan kejahatan. Dengan skema model ganjaran setimpal ini pelaku dengan kejahatan yang 173
Ibid., h.10 Position Paper Advokasi, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP. Jakarta, eLSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2005, h. 10. 174
sama akan menerima penghukuman yang sama dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Inti dari tujuan pemidanaan adalah sebagai perlindungan masyarakat sebagaimana disebutkan di atas bahwa tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Selain dari perlindungan masyarakat tujuan pemidanaan juga sebagai pembinaan individu pelaku tindak pidana yang mana ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana terhadap pelaku, pelaku dijatuhi pidana atau tindakan yang berkekuatan hukum dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat tujuan pemidanaan175. Dalam ajaran hukum Islam terdapat beberapa metode untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan176. Yaitu: Pertama, Metode Preventif. Metode ini dalam melakukan pencegahan kejahatan yakni dengan usaha pencegahan sebelum melakukan kejahatan. Pencegahan itu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Di antaranya menekankan pada segi-segi pembinaan diri yang baik seperti peningkatan keimanan, ibadah dan akhlak serta kegiatan dan hal-hal yang bersifat positif karena hal tersebut merupakan benteng yang kokoh untuk tidak melakukan kejahatan.
175 Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogya, Liberti, 1986, h.23. 176 Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000, h.48.
Pembinanaan segi-segi tersebut merupakan langkah paling awal dalam pencegahan kejahatan yang dimulai dari pembinaan diri, lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan lain. Metode preventif melalui lingkungan keluarga dalam masyarakat ini merupakan langkah yang sangat efektif. Sutherland mengatakan sebagaimana telah diungkapkan oleh Soedjono SH, antara lain: “Dengan melihat fakta-fakta bahwa prevensi lebih efektif bila diserahkan kepada masyarakat sendiri dengan bimbingan tenaga ahli serta usaha-isaha ke arah reorganisasi terhadap sosial disorganisasi dan perbaikan kesejahteraan sosial, rekreasi dan lain-lain akan lebih memberi efek yang besar daripada kita langsung kepada prevensi kejahatan itu sendiri”.177 Berdasarkan pendapat Sutherland di atas, jelas bahwa selain keluarga masyarakat pun memegang peranan penting dalam pencegahan kejahatan, maka pendapat Sutherland tersebut merupakan dukungan yang sangat besar terhadap metode yang dikemukakan oleh ajaran-ajaran hukum Islam karena tujuan dasar dari semua ajaran agama Islam memanglah untuk mencegah manusia dari perbuatan buruk atau jahat dan selanjutnya mendorong manusia kepada perbuatan baik dari manusia yang baik dan berbudi pekerti luhurlah masyarakat baik dapat diwujudkan178. Yang kedua, ajaran Islam mengenal metode represif yang bmerupakan tindak lanjut dari tindakan preventif yaitu jika masih terdapat orang-orang yang melakukan kejahatan maka hukum Islam memberantasnya dengan cara memberikan hukuman terhadapa setiap pelaku kejahatan. Hukuman tersebut sebagai konsekuensi atas kelalaian dan perbuatan melanggar hukum. Hukum tersebut dijatuhkan oleh Hakim sebagai orang yang berkuasa untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan kebenaran yang diperoleh dalam proses sidang yang berlangsung. Hukuman dalam pidana Islam dipandang sebagai pembalasan (al-jazaa) jadi kejahatan itu mesti dijatuhi hukuman 177
Soedjono D, Konsepsi Kriminologi Dalam Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Alumni, 1970, h. 156. 178 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta, UI Press : 1974, h.54
karena kejahatan itu merupakan perbuatan yang mengganggu ketentraman masyarakat oleh karena itu Allah SWT memberikan peraturan-peraturan yang jelas tentang perbuatan-perbuatan tertentu dengan hukuman yang telah ditentukan pula. Itu semua diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Yang ketiga, metode edukatif, yaitu setiap sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan adalah supaya pelaku kejahatan tersebut menjadi insaf atau dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan mendapatkan pelajaran dari apa yang telah ia perbuat sebelumnya dan mengambil hikmah atas kejadian tersebut.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai macam penjelasan tentang kisas pada bab-bab sebelumnya yang diangkat dalam skripsi ini, penyusun mengambil beberapa kesimpulan yaitu: kisas adalah sebuah prinspi hukum yang diberlakukan dalam al-qur’an yaitu sebuah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan. Hukuman tersebut merupakan pembalasan yang serupa yang dijatuhkan atas tindak pidana pembunuhan atau menghilangkan jiwa, melukai atau pengrusakan anggota badan dan menghilangkan manfaatnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum syara’. Menurut penulis tindak pidana sampai kapanpun tidak mungkin dimusnahkan, oleh karenanya salah satu cara yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir kejahatan tersebut adalah bagaimana membuat suatu peraturan hukum yang tegas dan bisa mengingatkan pelaku hukum sehingga hukum tersebut menjadi efektif dan dipatuhi oleh masyarakat serta para pelaku pembuat hukum, tidak hanya membuat pelaksanaan teori yang diterapkan pada masyarakat namun mereka harus bisa memberikan contoh yang teladan terlebih dulu kepada warga masyarakat dari apa-apa yang telah mereka tetapkan. Sepintas hukuman kisas dalam hukum Islam nampak kejam tetapi hal tersebut dikarenakan kesalahpahaman orang dalam memahami dan mempelajari hukum Islam. Dalam kenyataannya kekejaman hukum kisas telah menyelamatkan seseorang yang akan berbuat kejahatan dari kisas itu sendiri, sebab bagaimanapun juga tindakan itu telah menyelamatkan jiwa orang yang dijahati dan memelihara ketentraman untuk semua orang yang mungkin akan dijahati dan memelihara ketentraman untuk semua
orang. Hukum kisas itu selalu dilakukan di depan publik dengan tujuan agar tindak pidana itu benar-benar tidak dikerjakan oleh orang lain.
B. Saran-Saran Penulis bersyukur atas selesainya skripsi ini mudah-mudahan tulisan yang sangat sederhana ini bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat dengan harapan sedikit lebih menambah pengertian dan ilmu dalam memahami hukum Islam terutama tentang tindak pidana kisas. Saran yang dapat penulis berikan tenang kisas ini adalah memasukkan kajian atau pelajaran tentang kisas dalam kurikulum sekolah agar pengetahuan tentang kisas sudah didapat sejak dini. Sosialisasi tentang kisas itu lewat semua media baik media elektronik atau media massa, kuliah subuh, khutbah Jum'at dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1971. Amir, Abdul Azis, Al-Ta’zir fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikr, 1969. Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern (terj.), Surabaya, Amarpress, 1991. Arrasjid, SH., Chairur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004. Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasby, Falsafah Hukum Islam, Cet. V, Jakarta, Bulan Bintang, 1993. Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamiy, Juz I, Beirut, Daarul Kitab AlAraby. Awwa, Muhammad Salim, “The Basic of Islamic Penal Legislation” dalam M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System, London, New York, Oceana Publication, 1982. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam Dan Implementasinya Pada Periode Negara Madinah, Bogor, Kencana, 2003. Bawengan, Gerson W., Pengantar Psychologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977. Bisri, Cik Hasan, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Bandung, Ulul Albab Press, 1997. Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004. Chotib, Ahmad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Fakultas Syari’ah IAIN Jakarta Press, 1989. D, Soedjono, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime Pervention), Bandung, Alumni, 1970. Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. 5. Daud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut, Daar al-Fikr, t.th., Juz III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, Cet. III. Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Cet. I, Jakarta, Logos Publishing House, 1995.
Djazuli, A., Fiqih Jinayah (Upaya Penanggulangan Kejahatan Dalam Islam), Jakarta, Raja Grafindo, 2000. Doi., A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002. Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’, dan Praktek Madinah, Jogjakarta, Islamika, 2003. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum PIdana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-5. Harun, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996. Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, Tinta Mas, 1952. Jurnal Islamic Studies, Karachi, Vol. IV, No.3, September 1965. Kahlani, Muhammad Ibn Isma’il, Subulus Salam Juz. III Mustafa al-Baaby Al-Halabiy, Mesir, Cet. IV, 1960. Khallaf, Abdul Wahhab, Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000. Kusumah, Mulyana W., Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas), Armico, Bandung, 1984. M. Noer, Hasan, Kontekstualitas al-Qur’an, Jakarta, Pena Madani, 2000. Madjrie, Abdurrahman, Fauzan al-Anshari, Qishas Pembalasan Yang Hak, Jakarta, Khairul Bayan, 2003. Mawardi, Abu Al-Hasan, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa al-Baby alHalaby, 1975. Moeliono, M. Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Mujieb, M. Abdul, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994. Mulyana W. Kusumah, Bandung,1983.
Kejahatan,Penjahat,
dan
Reaksi
Sosial,
Alumni,
________,W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas), Armico Bandung, 1984. Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Pena Madani, 2004. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif. Nasution, Harun, Gagasan dan Pemikiran, Bandung, Mizan, 1995. ________, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1985, Jilid I dan II. Nawawi Arief, Barda, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang, 1991. Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta, Liberty, 1986. Poerwadarmita, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983. Position Paper Advokasi RUU KUHP, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Jakarta, Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2005. Rasyidi, H.M., Keutamaan Hukum Islam, Cet.II, Jakarta, Bulan Bintang, 1972. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim al-Masyhur bi “Tafsir AlManar”, Cet. II, Jilid III, Beirut, Dar el-Ma’arif, t.th. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz II, Dar al-Fikri, Beirut, 1980. Sahetapy, J.E., dan Reksodiputro, B. Mardjono, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, Bandung, Alumni 1990. ________, J.E., dan Reksodiputro, B. Mardjono, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta, 1982. Saifuddin, Endang, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu, 1991. Sastrawidjaja, Sofjan, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana, Bandung, Amrico, 1995. Soedjono D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (CrimePervention), Alumni, Bandung, 1970. Soesilo, R., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1965.
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Islam (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003. Suma, Muhammad., Amin, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001. ________, Muhammad. Amin, MA, SH, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001. ________, Muhammad Amin, “Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif Qur’an dan Sunnah”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23-24 Juni 1999. Sutherland, Edwin H., Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969. Syafi’i, Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta, Pustaka Azzam, 2004. Taimiyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyah fi al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Beirut, Dar al-Fikr, T.Th. Unais, Ibrahm, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II, Daar Ihya’ At-turats al-‘Arabi, Tt. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, Cet. Ke-2. Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989.