BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Audit Operasional II.1.1. Pengertian Audit Operasional Ada beberapa pengertian mengenai audit operasional menurut para ahli. Menurut Tunggal, A.W. (2008), “Audit operasional merupakan audit atas operasi yang dilaksanakan dari sudut pandang manajemen untuk menilai ekonomi, efisiensi, dan efektifitas dari setiap dan seluruh operasi, terbatas hanya pada keinginan manajemen” (h.1). Di samping itu, dalam bukunya, Boynton, Johnson, & Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A., Gania, G., & Budi, I.S. (2003) menyatakan “Audit operasional adalah suatu proses sistematis yang mengevaluasi efektifitas, efisiensi, dan kehematan operasi organisasi yang berada dalam pengendalian manajemen serta melaporkan kepada orangorang yang tepat hasil-hasil evaluasi tersebut beserta rekomendasi perbaikan” (h.498). Whittington & Pany (2001) menjelaskan pula “Operational audit refers to a comprehensive examination of an operating unit or a complete organization to evaluate its systems, controls, and performance, as measured by management’s objectives” (p.783). Jadi berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa audit operasional merupakan suatu alat pengendalian yang dapat digunakan untuk mengukur efektifitas, efisiensi, dan ekonomis dari aktivitas operasional perusahaan yang tujuannya memberikan rekomendasi perbaikan pada pihak manajemen.
6
II.1.2. Tujuan Audit Operasional Menurut Agoes, S. (2004), “Tujuan umum dari audit operasional antara lain : 1. Untuk menilai kinerja manajemen dan berbagai fungsi yang ada dalam perusahaan. 2. Untuk menilai apakah berbagai sumber daya (manusia, mesin, dana, dan harta lainnya) yang dimiliki perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis. 3. Untuk menilai efektifitas perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Top Management. 4. Memberikan rekomendasi kepada Top Management untuk memperbaiki kelemahankelemahan yang terdapat dalam penerapan pengendalian intern, sistem pengendalian manajemen, dan prosedur operasional perusahaan, dalam rangka meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan ekonomis dari kegiatan operasi perusahaan” (h.175).
II.1.3. Pengertian 3E (Efektifitas – Efisiensi – Ekonomis) Menurut Bayangkara, I.B.K (2008), “Definisi efektifitas, efisiensi, dan ekonomis dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Efektifitas (result of operation) : produk akhir suatu kegiatan operasi telah mencapai tujuannya baik dari segi kualitas hasil kerja, kuantitas hasil kerja maupun dari batas waktu yang ditargetkan. Efektifitas merupakan ukuran dari output. 2. Efisiensi (method of operation) : bertindak dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga dapat meminimalisasi pemborosan. 3. Ekonomis (cost of operation) : cara menggunakan barang atau jasa secara berhatihati dan bijak, memanfaatkan segala kekayaan perusahaan secara baik sehingga tidak terjadi pemborosan” (h.12).
7
II.1.4. Jenis-jenis Audit Operasional Menurut Arens & Loebbecke yang diterjemahkan Jusuf, A.A. (2003), “Ada tiga jenis audit operasional yaitu : 1. Audit Fungsional Audit fungsional menyangkut penggolongan kegiatan suatu fungsi atau lebih di dalam organisasi. Audit fungsional memungkinkan auditor melakukan spesialisasi dan dapat mengembangkan keahliannya pada satu bidang tertentu. 2. Audit Organisasional Audit organisasional menyangkut keseluruhan unit organisasi, seperti departemen, cabang, atau anak perusahaan. Penekanan dalam audit organisasi adalah seberapa efektif dan efisien fungsi-fungsi yang saling berinteraksi. 3. Penugasan Khusus Penugasan audit operasional khusus timbul atas permintaan manajemen. Jenis audit ini
mencakup
penentuan
penyebab
tidak
efektifnya
sistem
penyelidikan
kemungkinan kecurangan dalam suatu divisi dan membuat rekomendasi untuk mengurangi biaya produksi suatu barang” (h.766).
II.1.5. Tahap-tahap Audit Operasional Arens et al. yang diterjemahkan Jusuf, A.A. (2003) menyatakan pula “Tahapan audit operasional terdiri dari : 1. Preliminary Survey (Survei Pendahuluan) Tujuan dari survei pendahuluan adalah untuk mendapatkan informasi umum dan latar belakang dalam waktu relatif singkat, mengenai semua aspek dari orang,
8
kegiatan, program, atau sistem yang dipertimbangkan untuk diperiksa, agar dapat diperoleh pengetahuan atau gambaran yang memadai mengenai objek pemeriksaan. 2. Review and Testing of Management Control System (Penelaahan dan Pengujian atas Sistem Pengendalian Manajemen) Tujuan dari tahap ini adalah untuk mendapatkan bukti-bukti mengenai tentative audit objective dengan melakukan pengetesan terhadap transaksi-transaksi perusahaan yang berkaitan dengan sistem pengendalian manajemen. 3. Detail Examination (Pengujian Terinci) Dalam tahap ini, auditor harus mengumpulkan bukti-bukti yang cukup, kompeten, material, dan relevan untuk dapat menentukan penyimpangan-penyimpangan terhadap kriteria firm audit objective, bagaimana efek dari penyimpangan tersebut, dan besar kecilnya efek yang menimbulkan kerugian perusahaan. 4. Report Development (Pengembangan Laporan) Tahap laporan merupakan penyusunan hasil pemeriksaan, termasuk rekomendasinya. Temuan audit harus dilengkapi dengan kesimpulan dan saran, serta harus di-review oleh manager audit” (h.813).
II.1.6. Teknik-teknik Audit Operasional Mulyadi & Puradiredja, K. (2002) menjabarkan “Terdapat beberapa teknik dalam melakukan audit operasional, yaitu : 1. Observasi Observasi yaitu meninjau objek yang diteliti secara langsung dengan tujuan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang memadai serta mengidentifikasikan hal-hal yang perlu diperhatikan atau yang tidak memenuhi syarat.
9
2. Wawancara Wawancara merupakan usaha untuk mendapatkan informasi tentang objek yang diteliti secara lisan, misalnya dengan melakukan tanya-jawab dengan personel terkait. 3. Analisis Analisis yaitu tinjauan terhadap data yang ada sehingga dapat diketahui unsur-unsur yang penting sesuai dengan objek yang diteliti. 4. Verifikasi Verifikasi adalah suatu pembuktian untuk mengukuhkan apa yang tertulis dikaitkan dengan fakta yang diperoleh dari pembuktian kebenaran atas suatu pernyataan. 5. Penyelidikan Penyelidikan adalah usaha lanjutan dalam melakukan verifikasi, dilakukan terhadap suatu penyimpangan untuk menjabarkan adanya permasalahan. 6. Evaluasi Evaluasi merupakan penilaian untuk dapat menarik kesimpulan tentang bidang yang diaudit berdasarkan informasi yang diperoleh” (h.23).
II.2.
Sistem Pengendalian Intern
II.2.1. Pengertian Sistem Pengendalian Intern Seperti yang dinyatakan IAI (2001), “Sistem pengendalian intern merupakan suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut : (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku” (h.319.2).
10
Edmonds, McNair, Milam, & Olds (2000) menerangkan bahwa ”Internal control system include a common set of general policies and procedures that have proved effective in accounting practice, such as : separation of duties, quality of employees, bonded employees, periods of absence, procedures manual, authority and responsibility, prenumbered documents, physical control, and performance evaluations” (p.260).
II.2.2. Tujuan Sistem Pengendalian Intern Menurut Arens et al. yang diterjemahkan Jusuf, A.A. (2003), “Manajemen dalam merancang struktur pengendalian intern mempunyai kepentingan-kepentingan sebagai berikut : 1. Keandalan pelaporan keuangan Manajemen bertanggung jawab menyiapkan laporan keuangan bagi investor, kreditor, dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah disiapkan sesuai standar laporan, yaitu prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Mendorong efektifitas dan efisiensi operasional Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencegah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek, dan untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan efisien. 3. Ketaatan pada hukum dan peraturan Banyak sekali hukum dan peraturan yang harus diikuti oleh perusahaan, beberapa di antaranya sangat berkaitan erat dengan akuntansi, contohnya adalah UU Perpajakan dan UU Perseroan Terbatas” (h.258).
11
II.2.3. Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Berdasarkan COSO (Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission), Agoes, S. & Wirakusumah, H.R.A. (2003) mendeskripsikan bahwa “Pengendalian intern terdiri dari lima komponen yang saling terkait berikut ini : 1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment) Lingkungan pengendalian menetapkan corak suatu organisasi, mempengaruhi kesadaran pengendalian orang-orangnya, sehingga merupakan dasar untuk semua komponen pengendalian intern. 2. Penaksiran Risiko (Risk Assessment) Penaksiran risiko adalah identifikasi entitas dan analisis terhadap risiko yang relevan untuk mencapai tujuannya, menentukan bagaimana risiko harus dikelola. 3. Aktivitas Pengendalian (Control Activities) Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang membantu menjamin bahwa arah sasaran manajemen dilaksanakan. 4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) Proses informasi dan komunikasi adalah pengidentifikasian, penangkapan, dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dan waktu yang memungkinkan orangorang melaksanakan tanggung jawab mereka. 5. Pemantauan (Monitoring) Pemantauan adalah proses yang menentukan kualitas kinerja pengendalian intern sepanjang waktu” (h.62).
12
monitoring control activities risk assessment communication
information
control environment
Gambar II.1. Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern
II.3.
Fungsi Penjualan
II.3.1. Pengertian Penjualan Horngren, Harrison, & Robinson yang diterjemahkan Secokusumo, T.H. (2002) menjelaskan bahwa “Jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh seorang pedagang dari penjualan persediaannya disebut pendapatan penjualan, yang biasa disingkat menjadi penjualan” (h.222). Selain itu, Niswonger, Warren, Reeve, & Fess yang diterjemahkan Sirait, A. & Gunawan, H. (1999) mengemukakan “Pendapatan dari penjualan barang dagang biasanya diidentifikasikan sebagai penjualan. Retur dan potongan penjualan serta diskon penjualan dikurangkan dari jumlah yang dibebankan kepada pelanggan untuk barang dagang yang dijual akan mendapatkan penjualan bersih” (h.240).
II.3.2. Jenis-jenis Penjualan Secara umum penjualan ada dua jenis, yaitu :
13
1. Penjualan tunai Merupakan penyerahan barang atau jasa kepada pembeli dimana pembayaran dari pembeli langsung diterima pada saat itu juga, yang dicatat pada debit sebagai akun kas dan pada kredit sebagai akun penjualan. 2. Penjualan kredit Merupakan penyerahan barang atau jasa kepada pembeli dimana pembayaran dari pembeli ditangguhkan selama jangka waktu tertentu yang akan dilunasi sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama, yang dicatat pada debit sebagai akun piutang usaha dan pada kredit sebagai akun penjualan, dimana selama jangka waktu penangguhan ini, pelanggan dianggap memiliki kewajiban pembayaran terhadap perusahaan, begitu pula sebaliknya.
II.3.3. Siklus Penjualan Kredit Horngren et al. yang diterjemahkan Secokusumo, T.H. (2002) menyatakan bahwa “Siklus operasional perusahaan diawali dengan membeli persediaan, menjual persediaan tersebut kepada para pelanggan, dan menggunakan uang kas untuk membeli persediaan lagi untuk mengulang siklus tersebut” (h.223).
KAS penagihan
pembelian
PIUTANG USAHA
PERSEDIAAN penjualan kredit
Gambar II.2. Siklus Penjualan Kredit
14
Transaksi kredit melibatkan 2 pihak, yaitu : 1. Pihak pertama adalah pihak kreditur yang menjual barang atau jasa, sehingga menimbulkan piutang bagi si kreditur tersebut. 2. Pihak kedua adalah pihak debitur yang membeli barang atau jasa, sehingga menimbulkan hutang bagi si debitur tersebut. Lebih mendalam, Arens et al. yang diterjemahkan Jusuf, A.A. (2003) mengemukakan “Pemahaman atas fungsi yang terdapat dalam organisasi klien atas siklus penjualan bermanfaat untuk memahami bagaimana pelaksanaan audit dalam siklus ini, yang terdiri dari : a. Pemrosesan pesanan pelanggan Permintaan barang oleh pelanggan merupakan titik awal keseluruhan siklus. Penerimaan order pelanggan akan menghasilkan order penjualan. b. Persetujuan penjualan secara kredit Praktik yang lemah dalam persetujuan penjualan secara kredit seringkali menyebabkan jumlah piutang tak tertagih cukup besar dan piutang usaha tersebut menjadi tidak tertagih. c. Pengiriman barang Kebanyakan perusahaan mengakui penjualan saat barang dikirimkan. Nota pengiriman disiapkan pada saat pengiriman dan dokumen pengiriman diperlukan untuk kepastian penagihan atas pengiriman ke pelanggan. d. Penagihan ke pelanggan dan pencatatan penjualan Aspek terpenting dari penagihan adalah menyakinkan bahwa seluruh pengiriman yang dilakukan telah ditagih, tidak ada pengiriman yang ditagih lebih dari sekali, dan tiap pengiriman ditagih dengan jumlah yang benar. 15
e. Pemrosesan dan pencatatan penerimaan kas Pertimbangan utama dalam penerimaan kas adalah seluruh kas disetor ke bank dalam jumlah yang benar dengan tepat waktu dan dicatat di berkas transaksi penerimaan kas untuk dibuat jurnalnya sekaligus memperbaharui berkas induk piutang usaha. f. Pemrosesan dan pencatatan retur penjualan dan pengurangan harga penjualan Kalau pelanggan merasa tidak puas dengan barang yang diterimanya, penjual seringkali menerima pengembalian barang dan kemudian memberikan retur dan pengurangan harga secara benar untuk dicatat dalam berkas transaksi retur dan pengurangan harga penjualan serta berkas induk piutang usaha. g. Penghapusan piutang tak tertagih Penghapusan piutang tak tertagih terjadi ketika perusahaan berkesimpulan bahwa suatu jumlah akan tidak tertagih lagi, maka jumlah tersebut harus dihapuskan. Ini terjadi setelah pelanggan pailit dan piutang dialihkan ke agen penagihan. h. Penyisihan piutang tak tertagih Penyisihan piutang tak tertagih harus cukup untuk mencerminkan bagian dari penjualan periode sekarang yang diperkirakan tidak dapat ditagih di masa depan” (h.359-361).
II.3.4. Pengendalian Intern terhadap Fungsi Penjualan Menurut Arens et al. yang diterjemahkan Jusuf, A.A. (2003), “Pengendalian intern atas penjualan meliputi kegiatan-kegiatan seperti: 1. Pencatatan penjualan didukung oleh dokumen pengiriman yang diotorisasi dan order pelanggan yang disetujui. 2. Faktur penjualan prenumbered dan dipertanggungjawabkan dengan semestinya. 16
3. Dokumen pengiriman prenumbered dan dipertanggungjawabkan. 4. Penentuan harga, syarat penjualan, dan potongan harga mendapat persetujuan dengan semestinya. 5. Rekening bulanan dikirim ke pelanggan, keluhan mendapatkan tindak lanjut yang independen. 6. Prosedur yang diperlukan dalam penagihan dan pencatatan penjualan setiap hari sedekat mungkin dari saat kejadian” (h.362).
II.3.5. Tujuan Audit Operasional atas Fungsi Penjualan Arens et al. yang diterjemahkan Jusuf, A.A. (2003) menyatakan pula “Tujuan audit operasional terkait dengan fungsi penjualan, antara lain untuk memastikan bahwa : 1. Penjualan tercatat adalah untuk pengiriman aktual yang dilakukan kepada pelanggan non fiktif (keberadaan). 2. Penjualan yang ada telah dicatat (kelengkapan). 3. Penjualan yang dicatat adalah untuk jumlah barang yang dikirim dan ditagih serta dicatat dengan benar (penilaian). 4. Transaksi penjualan diklasifikasikan dengan pantas (klasifikasi). 5. Penjualan dicatat dalam waktu yang tepat (tepat waktu). 6. Transaksi penjualan dimasukkan dengan pantas dalam berkas induk dan diikhtisarkan dengan benar (posting dan pengikhtisaran)” (h.363).
17