BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Kerangka Teori dan Literatur II.1.1 Audit Operasional II.1.1.1 Pengertian Audit Operasional Mengacu pada pendapat McLeod dan Schell (2008), pengertian Audit Operasional adalah untuk memverifikasi keakuratan catatan, melainkan untuk menvalidasikan efektivitas prosedur. II.1.1.2 Tujuan Audit Operasional Tujuan audit operasional, menurut Tunggal, A. W. (2011:12) adalah sebagai berikut: 1. Objek dari audit operasional adalah mengungkapkan kekurangan dan ketidakberesan dalam setiap unsur yang diuji oleh auditor operasional dan untuk menunjukkan perbaikan apa yang dimungkinkan untuk memperoleh hasil yang terbaik dari operasi yang bersangkutan. 2. Untuk membantu manajemen mencapai administasi operasi yang paling efisien.
3. Untuk mengusulkan kepada manajemen cara-cara dan alat-alat untuk mencapai tujuan apabila manajemen organisasi sendiri kurang pengetahuan tentang pengelolaan yang efisien. 4. Audit operasional bertujuan untuk mencapai efisiensi dari pengelolaan. 5. Untuk membantu manajemen, auditor operasional berhubungan dengan setiap fase dari aktivitas usaha yang dapat merupakan dasar pelayanan kepada manajemen. 6. Untuk membantu manajemen pada setiap
tingkat
dalam
pelaksanaan yang efektif dan efisien dari tujuan dan tanggungjawab mereka. II.1.1.3 Jenis-jenis Audit Operasional Ada 3 jenis audit operasional, menurut Tunggal et al. (2011:140) adalah sebagai berikut: 1. Audit Fungsional Fungsi adalah cara untuk mengkategorisasikan aktivitas dari suatu bisnis, seperti fungsi penagihan atau fungsi produksi. Fungsi bisa di kategorikan dan dibagi-bagi kembali dengan banyak cara yang berbeda.
2. Audit Organisasi Suatu audit operasi dari suatu organisasi berkenaan dengan unit organisasi keseluruhan. Suatu audit organisasi menekankan pada seberapa efisien dan efektif fungsi-fungsi organisasi berinteraksi. 3. Penugasan Khusus Dalam audit operasi, penugasan khusus muncul atas permintaan manajemen untuk berbagai jenis audit. Jenis audit ini mencakup penentuan penyebab dari sistem teknologi informasi yang tidak efektif, menyelidiki kemungkinan dilakukannya kecurangan dalam suatu divisi, dan membuat rekomendasi untuk mengurangi biaya dari produk yang dimanufaktur. II.1.1.4 Tahap-Tahap Audit Operasional Tahap audit operasional, menurut Bayangkara, IBK. (2011:178) adalah sebagai berikut: 1. Audit pendahuluan Audit pendahuluan diawali dengan perkenalan antara pihak auditor dengan organisasi auditee. Pertemuan ini juga bertujuan untuk mengkonfirmasi scope audit, mendiskusikan rencana audit dan penggalian informasi umum tentang organisasi auditee, objek yang akan diaudit, mengenal lebih lanjut kondisi perusahaan dan prosedur yang diterapkan pada proses operasi.
2. Review dan pengujian terhadap pengendalian manajemen Pada tahap ini auditor melakukan review dan pengujian terhadap beberapa perubahan yang terjadi pada struktur perusahaan, sistem manajemen kualitas, fasilitas yang digunakan dan/atau personalia kunci dalam perusahaan, sejak hasil audit terakhir. 3. Audit lanjutan (terinci) Pada tahap ini auditor melaksanakan audit yang lebih dalam dan pengembangan temuan terhadap fasilitas, prosedur, catatancatatan (dokumen) yang berkaitan dengan operasi. 4. Pelaporan Hasil dari keseluruhan tahapan audit sebelumnya yang telah diringkaskan dalam Kertas Kerja Audit (KKA). Laporan audit disajikan dengan format sebagai berikut: a. Informasi latar belakang. b. Kesimpulan audit dan ringkasan temuan audit. c. Rumusan rekomendasi. d. Ruang lingkup audit. 5. Tindak lanjut Rekomendasi merupakan
yang alternatif
disajikan perbaikan
auditor yang
dalam
laporannya
ditawarkan
untuk
meningkatkan berbagai kelemahan (kekurangan) yang masih terjadi pada perusahaan.
II.1.1.5 Temuan Audit Operasional Suatu temuan audit operasional biasanya mencakup, menurut Tunggal et al. (2011:47) adalah sebagai berikut: 1. Latar belakang (background) Situasi dan lingkungan. 2. Kriteria (criteria) Standar operasional, hukum, peraturan, prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. 3. Kondisi (condition) Apa yang sebenarnya sedang dilakukan, apa kinerja yang berjalan, apa hasilnya. 4. Prosedur dan praktik (procedures and practices) Pedoman atas apa yang seharusnya dikerjakan, suatu opini tentang apakah pedoman efektif. 5. Penyebab (cause) Alasan penyimpanan terjadi. 6. Pengaruh (effect) Pengaruh atas organisasi atau atas orang yang dilayani. 7. Simpulan (conclusion) Evaluasi atas pengaruh dari item-item yang ditelaah, tanggapan terhadap tujuan audit, dan apakah tindakan diperlukan. 8. Saran/rekomendasi (recommendation) Tindakan untuk memperbaiki kondisi.
II.1.2 Efisiensi dan Efektivitas II.1.2.1 Pengertian Efisiensi Mengacu pada pendapat Griffin, R. W. (2009), pengertian efisiensi adalah menggunakan berbagai sumber daya secara bijaksana dan dengan cara yang hemat biaya dengan melakukan output dan input yang sama. II.1.2.2 Pengertian Efektivitas Mengacu pada pendapat Bastian, I. (2009), pengertian efektivitas adalah menunjukkan kesuksesan atau kegagalan dalam pencapaian tujuan. Jadi tujuan harus spesifik, detail, dan terukur.
II.1.3 Perbankan II.1.3.1 Pengertian Bank Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat 1, pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2, pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
II.1.4 Pengkreditan II.1.4.1 Pengertian Kredit Pengertian kredit yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, menurut Suparmono, G. (2009:153) adalah sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan bunga. II.1.4.2 Tujuan dan Fungsi Kredit II.1.4.2.1 Tujuan Kredit Tujuan pemberian suatu kredit, menurut Kasmir et al. (2011:102) adalah sebagai berikut: 1. Mencari keuntungan Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.
2. Membuat usaha nasabah Tujuan dari membuat usaha nasabah adalah untuk membantu usaha yang memerlukan dana, baik dana untuk investasi maupun dana untuk modal kerja. 3. Membantu pemerintah Tujuan
membantu
pemerintah
adalah
membantu
pemerintah dalam berbagai bidang. Secara garis besar keuntungan bagi pemerintah dengan menyebarnya pemberian kredit oleh dunia perbankan adalah sebagai berikut: a. Penerimaan pajak b. Membuat kesepakatan kerja c. Meningkatkan jumlah barang dan jasa d. Menghemat devisa Negara e. Meningkatkan devisa Negara
II.1.4.2.2 Fungsi Kredit Mengacu pada pendapat Hariyani, I (2010), Fungsi kredit yang secara luas, adalah sebagai berikut: 1. Menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan dan perekonomian. 2. Memperluas lapangan kerja bagi masyarakat. 3. Memperlancar arus barang dan arus uang. 4. Meningkatkan hubungan internasional. 5. Meningkatkan produktivitas dana yang ada. 6. Meningkatkan daya guna barang. 7. Meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat. 8. Memperbesar modal kerja perusahaan. 9. Meningkatkan “income per capital”. 10. Mengubah cara berpikir atau cara bertindak masyarakat untuk lebih ekonomis. II.1.4.3 Kualitas Kredit Kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian, menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 adalah sebagai berikut: 1. Prospek Usaha, meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. Potensi pertumbuhan usaha. b. Kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan.
c. Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja. d. Dukungan dari grup. e. Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. 2. Kinerja Debitur, meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. Perolehan laba. b. Struktur permodalan. c. Arus kas. d. Sensitivitas terhadap risiko pasar. 3. Kemampuan Membayar, meliputi penilaian terhadap komponenkomponen sebagai berikut: a. Ketepatan pembayaran pokok dan bunga. b. Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur. c. Kelengkapan dokumentasi kredit. d. Kepatuhan terhadap perjanjian kredit. e. Kesesuaian penggunaan dana. f. Kewajaran sumber pembayaran kewajiban. II.1.4.4 Macam-Macam Kredit Secara umum macam-macam kredit dapat dilihat dari berbagai segi, menurut Suparmono et al. (2009:154) adalah sebagai berikut:
II.1.4.4.1 Segi Jangka Waktu Dilihat dari segi jangka waktunya terdapar tiga macam kredit. Ketiga macam kredit tersebut pernah diatur di dalam Pasal 1 huruf d UU Perbankan 1967. Kemudian dengan berlakunya UU Perbankan yang sekarang yaitu UU No. 7 Tahun 1992 yang diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 ketiga jenis tersebut tidak menjadi masalah, karena jangka waktu kredit dipandang dari pemakaiannya masih belum ada pembatasan yang pasti. Hal ini disebabkan karena pengertian tentang lamanya pemakaian suatu kredit ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan nasabah untuk memakai dan mengembalikannya pada suatu waktu tertentu (Aman, 1989 : 5). a. Kredit Jangka Pendek Adapun yang disebut kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu paling lama satu tahun. b. Kredit Jangka Menengah Kredit jangka menengah adalah kredit yang diberikan bank untuk jangka waktu antara satu tahun sampai dengan tiga tahun, kecuali kredit dipergunakan untuk tanaman musiman tertentu.
c. Kredit Jangka Panjang Kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu melebihi kredit jangka menengah, yaitu lebih dari tiga tahun. II.1.4.4.2 Segi Kegunaan Dari segi kegunaannya atau peruntukannya maka kredit dapat digolongkan menjadi beberapa macam, antara lain: a. Kredit Investasi Kata investasi dapat diartikan dengan penanaman modal. Dengan mendasarkan pengertian tersebut, maka kredit investasi adalah kredit yang diberikan bank kepada nasabah untuk kepentingan
penanaman
modal
yang
bersifat
ekspansi,
modarnisasi maupun rehabilitasi perusahaan. b. Kredit Modal Kerja Yang dimaksud dengan kredit modal kerja adalah kredit yang diberikan untuk kepentingan kelancaran modal kerja nasabah. c. Kredit Profesi Kredit profesi adalah kredit yang diberikan bank kepada nasabah semata-mata untuk kepentingan profesinya.
II.1.4.4.3 Segi Pemakaian Ditinjau dari segi pemakaiannya kredit dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: a. Kredit Konsumtif Sesuai dengan arti kata konsumtif adalah sesuatu yang digunakan sampai habis. b. Kredit Produktif Berbeda dengan kredit konsumtif, pada kredit produktif pembiayaan bank ditujukan untuk keperluan usaha nasabah agarproduktivitasnya dapat meningkat. II.1.4.4.4 Segi Sektor yang Dibiayai Di samping macam-macam kredit yang telah diterapkan sebagaimana di atas, masih ada beberapa macam kredit yang dapat diberikan kapada nasabah ditinjau dari sektor yang dibiayai oleh bank, sebagai berikut: a. Kredit perdagangan b. Kredit pembororngan c. Kredit pertanian d. Kredit peternakan
e. Kredit perhotelan f. Kredit percetakan g. Kredit pengangkutan h. Kredit perindustrian
II.1.5 Kredit Bermasalah II.1.5.1 Pengertian Kredit Bermasalah Kredit Bermasalah, menurut Suparmono, et al. (2009:268) adalah sebagai berikut: Para nasabah yang telah memperoleh fasilitas kredit dari bank tidak seluruhnya dapat mengembalikan utangnya dengan lancar sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan. Pada kenyataannya di dalam praktik selalu ada sebagian nasabah yang tidak dapat mengembalikan kredit kepada bank yang telah meminjaminya. Akibat nasabah tidak dapat membayar lunas utangnya, maka akan tergambar perjalanan kredit menjadi terhenti atau macet. Keadaan yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum perdata disebut wanprestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa pemberian kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang dan pengembalian kredit atau membayar angsuran kredit tersebut sebagai
prestasi. Apabila debitur tidak dapat membayar lunas utangnya setelah jangka waktu pengembalian tersebut terlewat, maka perbuatannya disebut perbuatan wanprestasi. Dari segi macam-macamnya terdapat lima macam yang dikenal selama ini, adalah: 1. Debitur tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan. 2. Debitur melaksanakan sebagian apa yang telah diperjanjikan. 3. Debitur terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan 4. Debitur menyerahkan sesuatu yang tidak diperjanjikan, atau 5. Debitur melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian. Dari uraian pembahasan di atas kredit macet dapat diberi pengertian, adalah kredit atau utang yang tidak dapat dilunasi oleh debitur karena sesuatu alasan sehingga bank selaku kreditur harus menyelesaikan masalahnya kepada pihak ketiga atau melakukan eksekusi barang jaminan. II.1.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kredit Bermasalah Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kredit bermasalah, menurut Suparmono, et al. (2009:269) adalah sebagai berikut:
1. Faktor yang berasal dari Debitur. a. Debitur menyalahgunakan kredit. Setiap kredit yang diperoleh debitur telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit tentang pemakaian kreditnya. Dengan telah diperjanjikan demikian, maka debitur setelah menerima kredit wajib b. Debitur kurang mampu mengelola usahanya. Debitur yang telah menerima fasilitas kredit, ternyata dalam praktik tidak mengelola usaha yang dibiayai dengan kredit bank. c. Debitur beritikad tidak baik. Ada sebagian debitur yang mungkin jumlahnya tidak banyak yang sengaja dengan segala daya upaya memdapatkan kredit dari bank. Namun setelah kredit diperoleh digunakan begitu saja tanpa dapat bertanggungjawabkan. 2. Faktor yang berasal dari Bank. a. Kualitas pejabat bank. Setiap petugas atau pejabat bank manapun dituntut untuk melaksanakan pekerjaannya secara professional sehingga dapat tercipta pelayanan terhadap masyarakat yang memadai. b. Persaingan antar bank. Jumlah bank makin hari jumlahnya makin banyak, hal ini merupakan hal yang wajar, dengan jumlah penduduk yang bertambah mempengaruhi jumlah kebutuhan terhadap bank bertambah pula.
c. Hubungan interen bank. Kredit bermasalah juga dapat terjadi karena bank terlalu memperhatikan hubungan ke dalam bank, penyaluran kredit tidak merata dan lebih cenderung diberikan kepada pengurus dan pengawas serta pegawai bank. d. Pengawasan bank. Mulai dari proses pemberian kredit, terjadinya perjanjian kredit, sampai dengan pelaksanaan perjanjian kredit selalu mendapatkan pengawasan. II.1.5.3 Penilaian Kualitas Kredit Berdasarkan kolektabilitas fasilitas kredit berdasarkan penilaian kualitas kredit, menurut Peraturan Bank Indonesia No. 11/2/PBI/2009 adalah sebagai berikut:
Tabel II.1 Penilaian Kualitas Kredit UMUR KOLEKTIBILITAS
DESKRIPSI TUNGGAKAN
1
0
Hari
Lancar
2
1 – 90 Hari
Dalam Perhatian Khusus
3
91 – 120 Hari
4
121 – 180 Hari
5
>180 hari
Kurang Lancar Diragukan Macet
Sumber : No. 11/2/PBI/2009
1. Lancar, Kredit yang digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening bank dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit. b. Hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat. c. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat. 2. Dalam Perhatian Khusus, Kredit yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan bunga sampai 90 hari. b. Jarang mengalami cerukan atau overdraft.
c. Hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat. d. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikat agunan kuat. e. Pelanggaran perjanjian kredit tidak prinsipil. 3. Kurang Lancar, Kredit yang digolongkan Kurang Lancar apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 120 hari. b. Terdapat cerukan atau overdraft yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas. c. Hubungan debitur dengan Bank memburuk dan informasi keuangan debitur tidak dapat dipercaya. d. Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah. e. Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit. f. Perpenjangan kredit untuk menghubungkan kesulitan keuangan. 4. Diragukan, Kredit yang digolongkan Diragukan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 120 hari sampai 180 hari. b. Terjadi cerukan atau overdraft yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.
c. Hubungan debitur dengan Bank semakin memburuk dan informasi keuangan debitur tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya. d. Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan yang lemah. e. Pelanggaran yang prinsipal terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian kredit. 5. Macet, Kredit yang digolongkan Macet apabila memenuhi criteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari. b. Dokumentasi kredit dan atau pengikatan agunan tidak ada. II.1.5.4 Penyertaan Modal Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan metode biaya (cost method), menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 adalah sebagai berikut: 1. Lancar, apabila perusahaan tempat bank melakukan penyertaan modal (investee) memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit. 2. Kurang Lancar, apabila investee mengalami kerugian kumulatif sampai dengan 25% dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit.
3. Diragukan, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 25% sampai dengan 50% dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit. 4. Macet, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50% dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit. II.1.5.5 Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank Peringkat
komposit
tingkat
kesehatan
bank
ditetapkan
berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud, menurut Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011 adalah sebagai berikut: 1. Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan kondisi bank secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. 2. Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan kondisi bank yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. 3. Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan kondisi bank yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai cukup mampu menghadapi
pengaruh negatif yang signifikan dari pengaruh kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. 4. Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan kondisi bank yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. 5. Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan kondisi bank yank secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.