BAB II LANDASAN TEORI
A. Keluarga 1. Defenisi Keluarga Menurut Burgess & Locke (Duvall & Miller, 1985), Keluarga adalah sekelompok orang dengan ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; terdiri dari satu orang kepala rumah tangga, interaksi dan komunikasi satu sama lainnya dalam peran suami istri yang saling menghormati, ibu dan ayah, anak laki-laki dan perempuan,
saudara
laki-laki
dan
perempuan,
dan
menciptakan
serta
mempertahankan kebudayaannya. Keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan hubungan darah. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsa, 2002). Menurut McDaniel, secara umum keluarga dapat dilihat sebagai sekelompok orang yang memiliki hubungan secara biologis, emosi dan ikatan secara hukum antara masing– masing anggotanya. Tolki-Nikkonen mengatakan bahwa dalam literatur sosiologi
1990-an, keluarga diartikan sebagai suatu unit yang paling
sedikit memiliki satu orang dewasa dan anak yang hidup bersama – sama (Numerals, 2000). Menurut Megawangi (Maryam, 2002), keluarga adalah wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan
Universitas Sumatera Utara
seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Dengan demikian, keluarga dapat dimengerti sebagai sekelompok orang yang terikat oleh ikatan darah atau hukum, terdiri dari dua orang dewasa yang memiliki hubungan intim atau sedikitnya memiliki satu orang tua dan anak, melangsungkan hidup bersama-sama dengan menciptakan dan mempertahankan kebudayaannya. 2. Fungsi Keluarga Menurut Soelaeman (1994), fungsi keluarga adalah sangat penting sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Jenis-jenis fungsi keluarga adalah a. Fungsi edukatif Adapun fungsi yang berkaitan dengan pendidikan anak serta pembinaan anggota keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. b. Fungsi sosialisasi Tugas keluarga dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan individu agar menjadi pribadi yang mantap akan tetapi meliputi pula upaya membantunya dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Orang tua dapat membantu menyiapkan diri anaknya agar dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang mantap dalam masyarakatnya dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakatnya dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang konstruktif.
Universitas Sumatera Utara
c. Fungsi lindungan Mendidik pada hakekatnya bersifat meliputi yaitu melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dari hidup yang menyimpang dari normanorma. Fungsi lindungan itu dapat dilaksanakan dengan jalan melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan, mengawasi ataupun membatasi perbuatan anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan, mengawasai ataupun membatasi perbuatan anak dalam hal tertentu, menganjurkan ataupun menyuruh untuk perbuatan-perbuatan yang diharapkan, memberi contoh dan teladan dalam hal-hal yang diharapkan. d. Fungsi afeksi Pada saat anak masih kecil perasaannya memegang peranan penting dapat merasakan ataupun menangkap suasana yang meliputi orangtuanya pada saat anak berkomunikasi dengan mereka. Anak sangat peka akan suasana emosional yang meliputi keluarganya. Kehangatan yang terpancar dari keseluruhan gerakan, ucapan, mimik serta perbuatan orangtua, juga rasa kehangatan dan keakraban itu menyangkut semua pihak yang tergolong anggota keluarga. e. Fungsi religius Keluarga berkewajiban memperkenalkan anak dan anggota keluarga pada kehidupan beragama. Tujuan bukan sekedar untuk mengetahui kaidah-kaidah agama melainkan untuk menjadi insan beragama. Pendidikan dalan keluarga berlangsung melalui identifikasi anak kepada orangtua
Universitas Sumatera Utara
f. Fungsi ekonomi Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga oleh dan untuk semua anggota keluarga mempunyai kemungkinan menambah saling mengerti, solidaritas, tanggung jawab bersama keluarga itu serta meningkatkan rasa kebersamaan dan keikatan antara sesama anggota keluarga. g. Fungsi rekreasi Rekreasi itu apabila ia menghayati suatu suasana yang tenang dan damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan santai dan kepada yang bersangkutan diberikan perasaan bebas terlepas dari ketegangan dan kesibukan sehari-hari. h. Fungsi biologis Fungsi itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis anggota keluarga. Diantaranya kebutuhan akan keterlindungan fisik, kesehatan, rasa lapar, haus, kedinginan, kepanasan, kelelahan bahkan juga kenyamanan dan kekerasan fisik. 3. Keluarga utuh Istilah utuh yang digunakan kepada sebuah keluarga dimana anak tinggal dalam suatu kesatuan dengan kedua orang tua biologisnya (Gudman & Pina, 2002). Dalam Oxford Pocket Dictionary of current English, pengertian keluarga utuh adalah keluarga inti dimana keanggotaan tetap konstan, tanpa hadirnya perceraian atau faktor-fakor yang memisahkan. Menurut Ahmadi (1991), keluarga utuh merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Orientasi dan suasana keluarga timbul dari komitmen antara suami-istri dan komitmen mereka dengan anak-anaknya. Keluarga inti terdiri dari orang tua dan
Universitas Sumatera Utara
anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena hubungan keluarga ditandai oleh kasih sayang, perasaan yang medalam, saling mendukung, dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami istri yang selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga yang paling penting dalam membentuk keluarga yang utuh dan sejahtera (Gunarsa, 2003). 4. Keluarga bercerai Istilah bercerai yang digunakan kepada keluarga mengarah kepada perpisahan atau perceraian anak terhadap orang tua, oleh karena itu, anak tinggal dengan salah satu orang tua biologisnya (Gudman & Pina, 2002). Pernikahan adalah bentuk yang paling penting terhadap dasar kelekatan yang kan memiliki dampak negatif ketika suatu pernikahan hancur. Anak- anak biasanya kehilangan suatu tingkat hubungan dengan salah satu figur lekatnya ketika suatu perceraian terjadi. Hal ini akan mengakibatkan suatu keadaan yang penuh tekanan dan membingungkan bagi anak. Booth, Clarke-Stewart, Mc.Cartrney, Owen dan Vandell mengatakan bahwa anak dari keluarga bercerai memiliki masalah dalam sekolah, harga diri yang rendah, masalah perilaku, distress, dan kesulitan dalam penyesuaian. Pada remaja dari keluarga bercerai akan terlibat dalam perilaku kenakalan, aktivitas seks lebih awal dan masalahmasalah akademis (Eagan, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Amato (2002), Faktor-faktor yang menjelaskan mengapa perceraian mempengaruhi anak yaitu: a. Ketidakhadiran orang tua Berdasarkan pandangan ini, perceraian mempengaruhi anak secara negatif karena anak kehilangan waktu, bimbingan, dan afeksi yang diperoleh dari salah satu orang tua (noncustodial parents). Ibu dan ayah merupakan sumber pontensial yang penting bagi anak. Keduanya dapat memberikan sumber bimbingan praktis, dukungan emosional, perlindungan, dan pengawasan. Perceraian biasanya mengakibatkan salah satu orang tua pergi. Biasanya kualitas dan kuantitas hubungan antara anak dan orang tua yang tidak mengasuh menjadi menurun dan ini yang mengakibatkan penyesuaian diri anak lebih rendah jika dibandingkan anak dari keluarga utuh. b. Penyesuaian orang tua yang mengasuh dan kemampuan pola asuh. Perceraian mempengaruhi anak secara negatif pada tingkat dimana perceraian menganggu kesehatan psikologis orang tua yang mengasuh dan kemampuan untuk menjadi orang tua secara efektif. Setelah perceraian, orang tua yang mengasuh menunjukkan simptom depresi dan kecemasan, serta kesehatan emosional yang lebih rendah. Hal ini yang akan menganggu pola asuh orang tua tunggal terhadap anak. c. Konflik antara kedua orang tua. Efek perceraian orangtua terhadap anak karena peran konflik diantara orang tua. Rumah ditandai dengan perselisihan tinggi yang menunjukkan sebuah lingkungan yang bermasalah untuk perkembangan dan sosialisasi anak.
Universitas Sumatera Utara
Menjadi saksi pertengkaran secara langsung adalah sebuah tekanan bagi anak. Orang tua yang melakukan kekerasan fisik secara tidak langsung mengajarkan anak bahwa perkelahian adalah sebuah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Dalam keadaan seperti ini, anak-anak dalam keluarga yang memiliki konflik yang tinggi tidak memiliki kesempatan untuk belajar cara yang lainnya untuk menunjukkan ketidaksetujuan seperti negosiasi dan melakukan kompromi. Kegagalan untuk memperoleh keterampilan sosial dapat menganggu kemampuan anak untuk membentuk dan mempertahankan pertemanan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal dalam keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi akan meningkatkan resiko berbagai masalah. Oleh karena itu, masalah yang dialami anak dari perceraian sebenarnya disebabkan oleh konflik orang tua yang mendahului dan menyertai perceraian. d. Kesulitan masalah ekonomi Perceraian menghasilkan penurunan dalam standar kehidupan untuk ibu yang mengasuh dan anak mereka. Kesulitan ekonomi meningkatkan masalah psikologis dan perilaku pada anak dan dapat mempengaruhi nutrisi dan kesehatan. Kesulitan ekonomi juga membuat kesulitan ibu yang mengasuh untuk menyediakan buku, mainan yang mendidik, dan sumber-sumber lainnya yang memfasilitasi anak mencapai kemampuan akademis. Selanjutnya, keadaan ekonomi menekan orang tua untuk pindah ke lingkungan dimana sekolah memiliki fasilitas yang rendah, tingkat kriminal yang tinggi dan
Universitas Sumatera Utara
layanan yang tidak sesuai. Tinggal dalam lingkungan ini akan memfasilitasi anak ketika memasuki remaja untuk terlibat dalam kenakalan remaja. 5. Tekanan hidup Masing-masing faktor di atas seperti kehilangan kontak dengan orang tua yang tidak mengasuh, pengasuhan yang buruk oleh orang tua yang mengasuh dan penurunan standar kehidupan akan menunjukkan suatu tekanan pada anak. Perceraian yang disertai dengan banyaknya perubahan yang muncul akan menimbulkan dampak negatif pada anak.
B. Keterampilan Sosial 1. Defenisi keterampilan sosial Menurut Hargie, Saunders & Dickson,
keterampilan sosial adalah
keterampilan yang digunakan ketika berinteraksi dalam hubungan interpersonal dengan orang lain, memiliki tujuan yang terarah, saling berhubungan, sesuai dengan situasi yang ada, perilaku-perilaku yang sesuai dan dapat dipelajari (Gimpell & Merrell, 1998).Keterampilan sosial ini meliputi coping, komunikasi, ekspresi diri, persepsi diri, penilaian terhadap orang lain dan manipulasi lingkungan sosial yang dihadapi ( Mattlack, McGreevy, Rouse, Flatter & Marcus, 1994). Menurut Combs & Slaby (Cartledge & Milburn, 1995), keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat yang bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling menguntungkan
Universitas Sumatera Utara
atau menguntungkan orang lain. Defenisi yang lain dikemukakan oleh Libet & Lewinshon (Cartledge & Milburn, 1995) yang menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang kompleks untuk melakukan perbuatan yang akan diterima dan menghindari perilaku yang akan ditolak oleh lingkungan(Yanti, 2005). Michelson, Sugai, Wood dan Kazdin (Gimpell & Merrell, 1998) mengemukakan tentang suatu defenisi keterampilan sosial yang menyeluruh yang melibatkan delapan komponen yaitu : a. Keterampilan sosial diperoleh melalui proses pembelajaran (terutama melalui pembelajaran sosial meliputi observasi, modelling, dan umpan balik). b. Keterampilan sosial terdiri dari perilaku verbal dan non verbal. c. Keterampilan sosial meliputi respon yang efektif dan tepat. d. Keterampilan sosial mengoptimalkan penguatan sosial e. Keterampilan sosial interaktif dengan sifat dan respon yang efektif dan tepat. f. Pelaksanaan keterampilan sosial dipengaruhi oleh atribut seseorang dan lingkungan tempat suatu perilaku dilakukan. g. Kekurangan dan kelebihan dalam penampilan sosial dibentuk melalui suatu intervensi. Berdasarkan defenisi yang telah disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang dimiliki agar seseorang dapat berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosialnya melalui komunikasi, hubungan interpersonal, mampu menilai dan memahami hal-hal yang positif dan negatif dari lingkungan, berperilaku sesuai dengan situasi yang dihadapi,
Universitas Sumatera Utara
memperkuat perilaku yang diterima secara sosial, mengekspresikan diri dan pikirannya
tanpa
menyakiti
orang
lain,
mempelajari
perilaku
yang
menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain serta merupakan suatu perilaku yang dapat dipelajari. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial Menurut hasil studi Davis & Forsythe (Mu’tadin 2000), dalam kehidupan remaja terdapat delapan aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial remaja yaitu: a. Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) dimana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup, maka anak akan sulit mengembangkan
keterampilan
sosialnya.
Hal
yang
paling
penting
diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana demokratis dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya, komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak.
Universitas Sumatera Utara
b. Lingkungan Sejak dini anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga), lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Sejak dini anak sudah mesti mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orangtua, saudara, atau kakek dan nenek saja. c. Kepribadian Secara umum penampilan sering diidentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Dalam hal ini, remaja hendaknya tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan. d. Rekreasi Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebaiknya dapat terpenuhi. Dengan rekreasi seseorang akan merasa mendapat kesegaran fisik maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa capai, bosan, monoton serta mendapatkan semangat baru. e. Pergaulan Untuk dapat menjalankan peran menurut jenis kelamin, maka anak dan remaja seyogyanya tidak dibatasi pergaulannya hanya dengan teman-teman yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki jenis kelamin yang sama. Pergaulan dengan lawan jenis akan memudahkan anak dalam mengidentifikasi peran jenis kelaminnya yang menjadi sangat penting dalam persiapan berkeluarga. f.
Pendidikan Pada dasarnya sekolah mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan sosial yang dikaitkan dengan cara-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik belajar sesuai dengan jenis pelajarannya. Peran orangtua di sini, menjaga agar keterampilan tersebut tetap dimiliki oleh anak atau remaja dan dikembangkan terus-menerus sesuai dengan tahap perkembangannya.
g. Solidaritas Pada masa remaja, peran kelompok dan teman-teman amatlah besar. Seringkali remaja bahkan lebih mementingkan urusan kelompok dibandingkan urusan dengan keluarganya. Hal tersebut merupakan suatu yang normal sejauh kegiatan yang dilakukan remaja dan kelompoknya bertujuan positif dan tidak merugikan orang lain. Orang tua perlu memberikan dukungan sekaligus pengawasan agar remaja dapat memiliki pergaulan yang luas dan bermanfaat bagi perkembangan psikososialnya. h.
Pekerjaan Setiap orang pasti akan menghadapi dunia kerja. Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja sebenarnya telah disiapkan sejak anak masuk sekolah dasar. Melalui berbagai pelajaran di sekolah mereka telah mengenal berbagai lapangan pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Dengan memahami lapangan
Universitas Sumatera Utara
kerja dan keterampilan sosial yang dibutuhkan, maka remaja yang terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi akan dapat bersiap untuk bekerja. 3. Dimensi keterampilan sosial Caldarella & Merrel (Gimpell & Merrel, !998) menjelaskan lima dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu : a. Hubungan dengan teman sebaya Keterampilan sosial yang menunjukkan seseorang yang berhubungan secara positif/baik dengan teman sebayanya. Pola perilakunya meliputi hubungan interpersonal, prososial, perilaku sosial yang diterima teman sebaya dan penguatan dari teman sebaya b. Pengaturan diri Menunjukkan bahwa remaja yang dianggap orang lain mampu menyesuaikan kondisi emosinya menyesuaikan kondisi emosinya dengan baik dan mampu mengontrol amarahnya, mengikuti aturan dan batasan-batasan yang ada, berkompromi dengan orang lain dan mampu menerima kritikan dari orang lain dengan baik. Pola perilakunya meliputi kontrol diri, tanggung jawab sosial, aturan dan toleransi terhadap frustasi. c. Kemampuan akademis Keterampilan sosial yang dilihat pada remaja oleh guru melalui kemandirian dan produktifitasnya seperti menyelesaikan tugas atau mengerjakan tugas dengan mandiri, memenuhi tugas inidividu, dan melaksanakan arahan yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan oleh guru. Pola perilakunya meliputi menghormati aturan – aturan yang terdapat di sekolah, orientasi tugas, dan tanggung jawab akademisnya. d. Kepatuhan Menunjukkan kemampuan remaja untuk dapat bersama orang lain dengan tetap mengikuti aturan-aturan dan harapan-harapan menggunakan waktu secara tepat, dan saling berbagi. Pada dasarnya, remaja patuh terhadap permintaan yang sesuai atau tepat. Pola perilakunya meliputi mengikuti aturan-aturan dan harapan-harapan dan menggunakan waktu secara tepat e. Assertion Keterampilan sosial yang membuktikan bahwa remaja dapat dilihat oleh orang lain sebagai seseorang yang outgoing dan ekstrovert.
C. Remaja 1. Defenisi remaja Istilah adolescene atau remaja berasal dari kata latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti perkembangan menjadi dewasa (Monks, 2002). Piaget (Hurlock,1999) mengemukakan bahwa istilah adolescence mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup emosional, mental, sosial dan fisik. Santrock (2003), mengatakan bahwa masa remaja sebagai perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial. Batasan usia yang ditetapkan para ahli untuk masa remaja berbeda-beda. Menurut Hurlock (1999), usia remaja dibagi dua bagian, yaitu awal masa remaja
Universitas Sumatera Utara
yang berlangsung dari usia 13 tahun sampai 17 tahun, dan masa akhir remaja yang bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun. Monks (1999) menyatakan bahwa batasan usia remaja antara 12 sampai 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/madya (usia 15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun). 2. Tugas perkembangan remaja Menurut havigurst (Hurlock, 1999) tugas perkembangan remaja meliputi beberapa hal sebagai berikut : a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. b. Mencapai peran sosial pria dan wanita. c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. f. Mempersiapkan karir ekonomi. g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.
D. Perbedaan Keterampilan Sosial Remaja Pada Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai. Keluarga adalah tempat pengenalan anak-anak pada masyarakat dan memegang tanggung jawab yang utama terhadap sosialisasi anak. Melalui
Universitas Sumatera Utara
sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional, dan kognitif sehingga mereka dapat berfungsi dalam masyarakat (Berns,2004). Keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bercerai dimana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup, maka anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya (Mu’tadin, 2000). Perceraian yang terjadi dalam suatu keluarga akan mengakibatkan anak tidak dapat hidup bersama dengan kedua orang tuanya seperti anak dari keluarga utuh. Padahal, peran kedua orang tua sangat penting dalam sosialisasi anak karena masing-masing orang tua menterjemahkan masyarakat pada mereka seiring dengan pertumbuhan anak mereka (Berns,2004). Menurut Berns (2004), perceraian juga memiliki konsekuensi terhadap fungsi keluarga
dan
sosialisasi
terhadap
anak-anak.
Anak-anak
yang
tidak
disosialisasikan untuk mengembangkan hati nurani dapat terlibat dalam perilaku kenakalan remaja. Sebaliknya, anak-anak yang memperoleh sosialisasi dapat memperoleh keterampilan sosial. Berdasarkan penelitian Paul R. Amato ( 2002), konflik diantara orang tua merupakan suatu tekanan kepada anak. Hal ini juga menunjukkan bahwa anak bereaksi terhadap konflik dengan rasa takut, marah, agresi, atau perilaku yang tidak normal. Selanjutnya, melalui agresi verbal dan fisik, orang tua mengajarkan anak secara tidak langsung bahwa ketidaksetujuan atau ketidaksamaan pendapat
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan melalui konflik daripada diskusi. Sebagai hasilnya, anak tidak akan belajar keterampilan sosial yang akan mereka butuhkan untuk membentuk hubungan yang baik/berhasil dengan teman sebaya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak yang berasal dari keluarga utuh memiliki kedua orang tua yang memegang peranan utama dalam sosialisasi anak yang akan membantu terbentuknya keterampilan sosial pada anak sedangkan anak dari keluarga bercerai tidak bisa tinggal dengan kedua orang tuanya seperti anak dari keluarga utuh. Perceraian antara kedua orang tua membawa konsekuensi terhadap fungsi suatu keluarga karena tidak adanya salah satu peran orang tua dalam keluarga dan sosialisasi pada anak. Padahal, sosialisasi pada anak akan mempengaruhi terbentuknya keterampilan sosial pada anak. Oleh karena itu, ada tidaknya kedua orang tua dalam suatu keluarga akan mempengaruhi terbentuknya keterampilan sosial pada anak.
E. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai, dimana keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh lebih tinggi daripada remaja dari keluarga bercerai.
Universitas Sumatera Utara