BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep 2.1.1 Pengertian Pergeseran Bahasa Menurut Romaine (1995:41) pergeseran bahasa adalah gejala perubahan bentuk dan makna suatu bahasa hingga munculnya gejala kolektif, yaitu ketika komunitas tutur meninggalkan bahasanya dan beralih ke bahasa yang lain. Gejala kolektif ini disebabkan oleh adanya dinamika masyarakat yang multilingual dengan berbagai aspek sosial di dalamnya. Pada masyarakat multilingual, kontak bahasa tidak dapat dihindari. Peran, kedudukan, dan fungsi satu bahasa menyebabkan terjadinya pilihan bahasa. Jika peran, kedudukan, dan fungsi bahasa mulai lemah, pergeseran bahasa atau kepunahan bahasa akan terjadi dan komunitas tutur pun beralih menggunakan bahasa lain dalam berbagai ranah penggunaan bahasa dan lama kelamaan meninggalkan bahasanya. Fasold (1984: 213–214) berpendapat bahwa pergeseran bahasa merupakan hasil dari proses pemilihan bahasa dalam jangka waktu yang sangat panjang. Ketika pergeseran bahasa terjadi, anggota suatu komunitas bahasa secara berkelompok lebih memilih memakai bahasa baru daripada bahasa lama yang secara tradisional biasa digunakan. Kridalaksana (2008:188) mengatakan pergeseran bahasa merupakan perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari terutama sebagai akibat migrasi. Dalam Chaer (2010:142) pergeseran bahasa
Universitas Sumatera Utara
(languange shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kemungkinan lain yang lebih jauh adalah terjadinya pergeseran bahasa yakni bahwa kenyataan salah satu kelompok masyarakat tidak lagi memakai bahasa pertamanya dan bergeser atau berpindah ke bahasa kedua yang lebih dominan. Dominasi dari bahasa kedua itu mungkin dapat disebabkan oleh jumlah penuturnya yang jauh lebih besar atau bahasa kedua itu mungkin lebih memberi peluang bagi kemajuan penuturnya ataupun disebabkan oleh bahasa kedua itu lebih memiliki gengsi yang lebih tinggi dibanding bahasa pertama. Jadi pergeseran memiliki makna bahwa adanya peralihan bahasa dari satu komunitas penutur dengan bahasa yang baru yang dapat disebabkan oleh berbagai alasan.
2.1.2 Kata Sapaan Kajian tentang pergeseran bahasa dalam perspektif sosiolinguistik meliputi kajian tentang identitas sosial penutur yang dapat mendeskripsikan tentang orang yang menyapa dan orang yang disapa dalam lingkungan tempat tutur yang terjadi di dalam pemakaian bahasa di masyarakat. Pengertian kata sapaan yang ada di dalam masyarakat terkait pada hubungan orang yang menyapa dan orang yang disapa. Dalam Kridalaksana (2008) kata sapaan adalah suatu ujaran yang dipergunakan seseorang untuk menegur, menyapa orang lain sebagai lawan bicara. Menurut Fasold (1984:23), Address forms are the speakers use to designate the person they are talking to while they are talking to them. In most language, there are
Universitas Sumatera Utara
two main kinds of address forms: names and second person pronouns. Kata sapaan merupakan kata yang digunakan penutur untuk menyapa atau menegur lawan bicara yang sedang diajak bicara sewaktu berbincang-bincang. Dalam menyapa ada dua cara yang dapat digunakan kepada lawan bicara yaitu dengan penggunaan nama pertamanya atau gelar maupun nama belakangnya. Jadi kata sapaan yang ada dalam suatu komunitas masyarakat tergantung pada hubungan orang yang menyapa dengan orang yang disapa yang dapat mencerminkan sistem sosial budaya masyarakat yang berlandaskan adat.
2.1.3 Kota Padangsidimpuan dan Angkola. Dalam Siregar (1984:29) Angkola sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah daerah yang sebelumnya berada dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun saat ini, kabupaten tersebut telah dibagi dalam beberapa wilayah tingkat II yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Padang Lawas. Dengan demikian, secara mudah dapat disebut wilayah-wilayah itu sebagai Tapanuli bagian Selatan. Sebenarnya Angkola dahulu lebih dikenal sebagai Angkola Sipirok, dengan wilayah cakupan yang sangat luas, yang meliputi perbatasan Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, termasuk Batangtoru Simangumban, Hopong, Sipirok, Saipar Dolok Hole, dan Hole, yang berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu. Wilayah ini juga harus dibedakan dari Mandailing karena Mandailing berbatas di sebelah Selatan dengan Angkola. Pada zaman penjajahan Belanda, Kabupaten Tapanuli Selatan disebut Afdeeling Padangsidimpuan yang dikepalai oleh Residen yang berkedudukan di
Universitas Sumatera Utara
Padangsidimpuan. pemerintahannya
Disebut berada
di
Afdeeling
Padangsidimpuan
Padangsidimpuan.
Afdeeling
karena
pusat
Padangsidimpuan
merupakan bagian dari Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Awalnya dalam pembentukan Keresidenan di Sibolga telah terjadi perdebatan mengenai usulan nama. Ada yang mengusulkan nama Keresidenan Batak, tetapi ada yang tidak setuju karena ada beberapa etnis di wilayahnya yang merasa bukan etnis Batak, seperti Nias, Pesisir, dan sebagian Mandailing. Akhirnya, untuk melunakkan hati dan mengajak mereka agar mau bergabung, dipilihlah nama Tapanuli yang berasal dari kata Tapian Na Uli yaitu nama sebuah teluk di pantai Sibolga sebagai kompromi. Tapian artinya tepian atau pinggir sungai, laut atau danau dan bisa juga diartikan sebagai tempat mandi, Na Uli artinya cantik atau bagus. Maka Tapian Nauli maksudnya adalah pinggir laut, berupa teluk di Sibolga yang indah atau bagus tempatnya. Afdeeling Padangsidimpuan dibagi atas tiga onder afdeeling, masing-masing dikepalai
oleh
seorang
Cotreleur
dibantu
oleh
masing-masing
Demang.
Afdeeling Angkola dan Sipirok, berkedudukan di Padangsidimpuan. wilayah ini dibagi atas tiga, yang biasa dikenal dengan sebutan distrik. Distrik tersebut adalah: a. Distrik Angkola berkedudukan di Padangsidimpuan. b. Distrik Batangtoru berkedudukan di Batangtoru. c. Distrik Sipirok berkedudukan di Sipirok. Masing – masing Distrik dikepalai oleh seorang Asisten Demang.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Landasan Teori 2.2.1 Kata Sapaan Masyarakat Angkola Menurut Fasold (1984:23), Address forms are the speakers use to designate the person they are talking to while they are talking to them. In most language, there are two main kinds of address forms: names and second person pronouns. Kata sapaan merupakan kata yang digunakan penutur untuk menyapa atau menegur lawan bicara yang sedang diajak bicara sewaktu berbincang-bincang. Kata sapaan merupakan kata sopan santun menegur atau memanggil kepada seseorang menurut adat yang dipakai dalam masyarakat Angkola. Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menyapa seseorang yang berbentuk tuturan lisan dapat terjadi melalui dialog pada pertemuan pertama. Dialog pada pertemuan pertama antar orang yang belum saling mengenal adalah pertanyaan dan tanya jawab tentang marga masing-masing. Jadi dengan saling mengetahui marga masing-masing, maka orang yang baru berkenalan dapat mengetahui pola sapaan yang tepat dan kebiasaan ini disebut dengan martarombo. Kebiasaan
martarombo
berkembang
dalam
pergaulan
sehari-hari
masyarakat Angkola untuk mencari tokoh, tempat, dan kampung. Dengan adanya kebiasaan martarombo ini perasaan kebersamaan akan dapat tercipta. Ini merupakan bukti bahwa nilai kata sapaan berperan penting dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Jadi martarombo sangat penting dalam upaya memelihara dan menjaga rasa hormat dan kasih sayang, sebab orang yang saling menghormati dan menyayangi adalah orang yang berbudi pekerti luhur.
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini adalah kata sapaan yang dipakai pada masyarakat Angkola menurut Siregar dalam Surat Tumbaga Holing ( 1984: 55-56 ). 1. Ompung adalah sapaan untuk orang tua ayah dan ibu. 2. Amang adalah sapaan untuk ayah kandung, dan sapaan timbal balik kepada anak laki-laki. 3. Inang adalah sapaan untuk ibu kandung yang melahirkan, dan sapaan timbal balik kepada anak perempuan. 4. Pahompu adalah sapaan untuk cucu. 5. Amang uda adalah sapaan untuk semua adik laki-laki ayah. 6. Amangtua adalah sapaan untuk semua abang ayah. 7. Inang uda adalah sapaan untuk isteri dari adik ayah. 8. Inang tua adalah sapaan untuk isteri dari abang ayah. 9. Ujing, bujing adalah sapaan untuk adik perempuan dari ibu. 10. Inang tobang adalah sapaan untuk kakak perempuan dari ibu. 11. Bou adalah sapaan saudara perempuan ayah. 12. Nantulang adalah sapaan untuk isteri dari saudara laki-laki ibu. Nantulang juga merupakan sapaan laki-laki kepada ibu dari isterinya.
Universitas Sumatera Utara
13. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari ibu. Tulang juga merupakan sapaan laki-laki kepada ayah dari isterinya. 14. Amangboru adalah sapaan untuk suami dari saudara ayah yang perempuan. 15. Anggi adalah sapaan kepada saudara yang lebih muda sesama laki–laki atau sesama perempuan. 16. Angkang adalah sapaan kepada saudara yang lebih tua sesama laki–laki atau sesama perempuan. 17. Amang uda adalah sapaan suami dari adik perempuan ibu kita. 18. Amang tobang adalah suami dari kakak ibu kita. 19. Bere adalah sapaan seorang laki – laki kepada anak laki – laki dan anak perempuan dari saudara perempuannya. Bere juga merupakan sapaan untuk suami dari anak perempuan. 20. Boru tulang sapaan ini di ucapkan oleh laki – laki dan perempuan kepada anak perempuan dari saudara laki- laki ibu mereka. 21. Eda
adalah sapaan timbal balik antara isteri dan saudara perempuan
suaminya. 22. Iboto adalah sapaan timbal balik antara saudara laki – laki dan saudara perempuan. 23. Ipar adalah sapaan laki – laki kepada saudara laki – laki isterinya. 24. Lae adalah sapaan laki – laki kepada suami dari saudara perempuannya. 25. Pareban adalah sapaan sesama laki – laki yang isterinya bersaudara kandung.
Universitas Sumatera Utara
26. Parumaen adalah sapaan laki-laki dan perempuan kepada anak perempuan. dari saudara laki-laki. 27. Apa / ama naposo adalah sapaan laki-laki dan perempuan kepada anak lakilaki dari saudara laki-laki. 28. Tunggane adalah sapaan laki-laki kepada anak laki-laki dari saudara ibu. Teori kata sapaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kata sapaan menurut Fasold dan konsep kata sapaan Angkola di kota Padangsidimpuan yang digunakan pada penelitian ini adalah konsep istilah kata sapaan menurut Siregar dalam bukunya Surat Tumbaga Holing. Penggunaan teori Fasold untuk menjawab rumusan masalah yang pertama sebab dalam penelitian ini kata sapaan yang dianalisis adalah kata sapaan yang langsung digunakan seseorang untuk menegur lawan bicaranya saat berbincang-bincang dan konsep kata sapaan menurut Siregar merupakan kata sapaan yang seharusnya digunakan di daerah Angkola dengan berpatokan pada konsep yang dinyatakan oleh Siregar dalam menganalisis data dapat membedakan yang mana saja kata sapaan yang sudah mengalami pergeseran. Teori kata sapaan dan konsep kata sapaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang pertama.
2.2.2 Sosiolinguistik Dalam Nababan (1993), istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh Curie dalam sebuah artikel yang terbit pada tahun 1952, yang berjudul “A Projection of Sociolinguistics: the relationship of speech to social status” yang isinya tentang
Universitas Sumatera Utara
masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa seseorang dengan status sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang berbeda profesi atau kedudukannya dalam masyarakat cenderung menggunakan ragam bahasa yang berbeda pula. Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami. Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan aspek sosiokultural dalam masyarakat. Fasold (1984) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi, yang menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain. Pada umumnya sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan masyarakat. Sebagai ilmu antardisiplin, sosiolinguistik memiliki masalah atau pokok bahasan yang amat luas. Nababan (1993:3) menyatakan, ada tiga masalah pokok yang dianalisis dalam sosiolinguistik, yaitu : a. Masalah bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan b. Masalah hubungan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial budaya c. Masalah fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Kemudian berdasarkan ketiga masalah di atas Nababan menjabarkan berbagai topik yang dapat ditinjau dalam sosiolinguistik, seperti :
Universitas Sumatera Utara
a. Bahasa, dialek, idiolek dan ragam bahasa b. Repertoar bahasa c. Masyarakat bahasa d. Kedwibahasaan dan kegandaan bahasa e. Fungsi kemasyarakatan bahasa dan profil sosiolinguistik f. Penggunaan bahasa (etnografi berbahasa) g. Sikap bahasa h. Perencanaan bahasa i. Interaksi sosiolinguistik j. Bahasa dan kebudayaan Jadi, sosiolinguistik berbeda dengan kajian linguistik yang hanya mengkaji bahasa.
Sosiolinguistik tidak hanya mengakaji tentang bahasa saja, tetapi juga
mengkaji aspek-aspek yang melatari peristiwa kebahasaan. Chaer dan Agustina (2010:134) menjelaskan bahwa kajian sosiolinguistik memiliki kaitan dengan kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat, di antaranya perubahan bahasa yang menyangkut soal bahasa sebagai kode, pergeseran bahasa yang menyangkut masalah mobilitas penutur, dan pemertahanan bahasa yang menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa. Konferensi sosiolinguistik yang berlangsung di California, Los Angeles pada tahun 1994, telah merumuskan tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik (Chaer dan Agustina 2010:5). Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik adalah : 1. Identitas sosial dari pembicara
Universitas Sumatera Utara
2. Identitas sosial dan pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi 3. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi 4. Jangkauan dan tujuan peneliti yang dapat bersifat sinkronis dan diakronis 5. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk – bentuk ujaran 6. Tingkat variasi dan ragam linguistik 7. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini berkaitan dengan pergeseran kata sapaan bahasa Angkola dengan identitas pembicara dan identitas pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi dan lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi.
2.2.3 Ranah Penggunaan Bahasa Bahasa sesungguhnya hanya ada dalam pikiran para pemakainya, dan akan berfungsi ketika para pemakainya berhubungan satu sama lain secara alami dalam lingkungan sosial dan alamiah. Para penutur berinteraksi dengan dua bahasa atau lebih menyebabkan terjadinya multifungsi bahasa. Bagi penutur yang dwibahasawan, konsekuensi penguasaan lebih dari satu bahasa menimbulkan peristiwa pilihan bahasa. Dalam sebuah komunitas (guyup), tingginya intensitas penggunaan salah satu bahasa akan mempengaruhi vitalitas bahasa yang lain. Vitalitas sebuah bahasa dapat dilihat dari fungsi dan intensitas penggunaan bahasa pada masing-masing ranah penggunaan oleh para penuturnya. Semakin berfungsi dan semakin tinggi intensitas penggunaan bahasa pada berbagai ranah,
Universitas Sumatera Utara
maka semakin kuat daya tahan bahasa tersebut dari ancaman kepunahan. Akan tetapi, bagaimana mengidentifikasi bahasa-bahasa yang terancam punah tidaklah selalu jelas.
Faktor-faktor
seperti
kecilnya
populasi,
kedwibahasaan,
urbanisasi,
modernisasi, migrasi, industrialisasi, fungsi masing-masing bahasa dalam suatu masyarakat, dan sikap-sikap para penuturnya mempunyai berbagai dampak yang berbeda terhadap berbagai kelompok bahasa (Fishman,1972:213). Faktor-faktor tersebut berinteraksi dalam masyarakat secara dinamis. Salah satu cara untuk menguji penggunaan bahasa pada komunitas tutur diperlukan teori ranah (domain), sebuah istilah yang dipopulerkan oleh sosiolinguis Amerika, yaitu Joshua Fishman. Fishman (1972:442) mendefenisikan “ranah” sebagai gambaran abstrak sosial budaya dari topik komunikasi, hubungan antarkomunikator, dan tempat terjadinya peristiwa komunikasi, sesuai dengan struktur sosial lapisan suatu komunitas tutur. Faktor sosial tertentu –siapa yang berbicara, konteks sosial pembicaraan, fungsi dan topik pembicaraan– ternyata sangat penting dalam pertimbangan untuk memilih bahasa dalam berbagai jenis komunitas tutur yang berbeda. Menurut Crystal (1980) Konsep ranah yang dikembangkan dalam bidang sosiolinguistik mengacu pada sekelompok situasi sosial yang terlembaga yang biasanya dibatasi oleh serangkaian peraturan perilaku bersama. Dalam komunitaskomunitas multilingual, variasi topik dan pilihan bahasa yang digunakan oleh partisipan merupakan variabel terikat dari berbagai ranah dalam masyarakatmasyarakat yang akan diteliti. Ranah-ranah yang sering kali disebutkan adalah
Universitas Sumatera Utara
rumah, sekolah, tempat kerja, serta peristiwa budaya dan peristiwa sosial. Terlebih lagi, telah ditunjukkan bahwa pilihan bahasa merupakan suatu tanda solidaritas dan jati diri kelompok. Dengan demikian, penjelasan terhadap masalah pilihan bahasa daerah, menurut jumlah ranah yang di dalamnya pilihan itu ditemukan, dianggap sebagai suatu indikator yang kuat terhadap daya hidup bahasa. Fishman (1968) mengemukakan 4 ranah, yaitu (1) keluarga, (2) ketetanggaan, (3) kerja, dan (4) agama. Greenfield (dalam Fasold, 1984:181) menggunakan 5 ranah dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa orang Puerto Rico di New York City, yaitu (1) keluarga, (2) kekariban, (3) agama, (4) pendidikan, dan (5) kerja. Sementara itu, Sumarsono (2002:266) menggunakan 7 ranah pengamatan dalam penelitian yang dilakukannya, yakni (1) keluarga, (2) kekariban, (3) ketetanggaan, (4) pendidikan, (5) agama, (6) transaksi, dan (7) pemerintahan. Teori ranah yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Fishman yang telah dikembangkan oleh Sumarsono. Dari tujuh ranah yang disebutkan oleh Sumarsono hanya tiga ranah yang diambil untuk penelitian ini yaitu ranah keluarga, ketetanggaan dan transaksi. Ranah keluarga, ketetanggaan dan transaksi dipakai dalam penelitian ini sebab pada ketiga ranah tersebut kata sapaan lebih sering digunakan dan pada ketiga ranah tersebut kata sapaan yang digunakan lebih bervariatif. Sedangkan pada ranah kekariban sudah memiliki kesamaan dengan ketetanggaan sebab bisa saja bertetangga berarti bersaudara dekat dan akrab karena sering bertemu dan sering berkomunikasi dan pada ranah pendidikan kata sapaan yang sering digunakan adalah bapak, ibu guru dan anak-anak murid, sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
ranah kerja kata sapaan yang sering digunakan adalah kata sapaan bapak dan ibu, dan pada ranah agama kata sapaan yang sering digunakan adalah ustadz dan mualimah. Jadi oleh sebab itu penulis hanya meneliti pada tiga ranah penelitian yaitu ranah keluarga, ketetanggan dan ranah transaksi sebab pada ketiga ranah tersebut kata sapaan yang digunakan lebih bervariatif.
2.2.4 Etnografi Komunikasi Etnografi komunikasi, ketika pertama sekali dikemukakan oleh Hymes (1974) dengan istilah etnografi wicara (ethnography of speaking), adalah salah satu ancangan yang dapat digunakan di dalam penelitian hubungan bahasa dengan masyarakat. Kajian etnografi
komunikasi
melingkupi
persoalan
bagaimana
komunikasi yang berlangsung pada komunitas tutur (speech community) terpola dan terorganisasi sebagai sistem peristiwa komunikatif dan bagaimana sistem-sistem itu berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Untuk itu, dalam teori etnografi komunikasi diasumsikan bahwa penggunaan bahasa dalam suatu komunitas adalah peristiwa tutur (speech event) yang dipengaruhi oleh sistem sosial dan sistem budaya komunitas tersebut. Situasi penggunaan bahasa pada suatu komunitas dengan berbagai aspek sosial budaya yang terkait dalam peristiwa tutur menyiratkan adanya hubungan antara bahasa dan norma sosial dan norma budaya. Menurut Hymes (1974), kerangka acuan yang dipakai dalam penelitian etnografi komunikasi bukanlah linguistik, tetapi komunitas (guyup) dengan kegiatan-
Universitas Sumatera Utara
kegiatan komunikatif sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian, pengamatan utama adalah unsur komunikasi yang harus dilihat dari sudut pandang dan minat komunitas itu sendiri. Linguistik yang dapat memberi sumbangan kepada etnografi komunikasi, itulah sosiolinguistik. Fokus kajian etnografi komunikasi adalah guyup tutur (komunitas tutur), yakni bagaimana cara komunikasi dipolakan dan diorganisasikan sebagai sistem peristiwa komunikatif (Sumarsono, 2002:16). Sistem komunikatif mengisyaratkan bahwa sistem-sistem yang terpola dan terorganisasi itu berinteraksi dengan sistem budaya yang lain. Oleh karena itu, etnografi komunikasi mensyaratkan penelitian langsung penggunaan bahasa dalam peristiwa tutur. Di samping peristiwa tutur, dalam sebuah komunikasi akan terjadi penggunaan bahasa pada berbagai ranah penggunaan dan pilihan bahasa. Dalam peristiwa tutur ditemukan sejumlah komponen tutur (component of speech). Ada 16 komponen yang dikemukakan Hymes (1974), yakni bentuk pesan, isi pesan, latar, adegan (scene), pengirim pesan, pembicara, penerima pesan, lawan bicara, maksud, tujuan, kunci, saluran, bentuk tutur, norma interaksi, norma interpretasi, dan genre. Ke-16 unsur ini dirangkum menjadi 8 komponen tutur dengan akronim bahasa Inggris “SPEAKING”. Setting and sence (S) berkenaan dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa tutur; participants (P) adalah pihakpihak yang terlibat dalam peristiwa tutur; ends (E) merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan; act sequence (A) mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran; key (K) berkenaan dengan nada, cara, dan semangat yang melatari amanat yang disampaikan;
Universitas Sumatera Utara
instrumentalities (I) mengacu pada saluran komunikasi yang digunakan; norms of interaction and interpretation (N) berkenaan dengan norma, aturan, atau tata cara dalam berkomunikasi; dan genre (G) jenis ujaran. Penggunaan teori Etnografi komunikasi dalam penelitian ini untuk menunjukkan komunikasi dalam penggunaan kata sapaan berhubungan dengan kepada siapa komunikasi ditujukan dan bahasa apa yang digunakan dalam berkomunikasi dan beriteraksi. Berkomunikasi dan beriteraksi baik di lingkungan rumah ataupun di lingkungan masyarakat adalah aplikasi SPEAKING dari Hymes sekaligus untuk menjawab permasalahan nomor dua.
2.3
Faktor-Faktor Pergeseran Bahasa Pergeseran bahasa merupakan pilihan bahasa yang diambil oleh masyarakat
untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan masyarakat. Pilihan bahasa dalam suatu komunitas tutur mengakibatkan adanya pergeseran bahasa yang terjadi pada masyarakat. Pergeseran bahasa dapat disebabkan adanya perpindahan penduduk yang mengakibatkan komposisi penduduk pada suatu daerah, yang menjadikan banyaknya bahasa yang digunakan dalam suatu daerah tertentu yang berdampak pada masyarakat itu sendiri sehingga harus memilih bahasa mana yang cocok untuk digunakan dengan tidak memikirkan apakah bahasa tersebut cocok digunakan dengan budaya yang ada pada daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Fasold (1984) menyatakan bahwa faktor-faktor pergeseran bahasa disebabkan oleh adanya prestise, urbanisasi, sikap bahasa dan transmisi bahasa, yang merupakan faktor-faktor yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa merupakan hasil dari proses pemilihan bahasa dalam jangka waktu yang sangat panjang. Ketika pergeseran bahasa terjadi, anggota suatu komunitas bahasa secara berkelompok lebih memilih memakai bahasa baru daripada bahasa lama yang secara tradisional biasa digunakan. Teori pergeseran bahasa yang dinyatakan oleh Fasold digunakan dalam penelitian ini sebab faktor-faktor pergeseran bahasa yang ditemukan di lapangan sesuai dengan apa yang telah dinyatakan oleh Fasold. Teori pergeseran bahasa yang dinyatakan oleh Fasold merupakan teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga dalam penelitian ini. 2.4 Kajian Pustaka Beberapa
penelitian
terdahulu
mengenai
kata
sapaan
dalam
kajian
Sosiolinguistik adalah :
2.3.1 Lusianna Meliala, 2002. Lusianna Meliala, 2002, dalam disertasinya yang berjudul Sistem panggilan bahasa Karo. Beliau meneliti tentang ragam sapaan dalam bahasa Karo, pemakaian kata sapaan dalam bahasa Karo yang disesuaikan dengan parameter umur, status sosial, status urutan kelahiran, jenis kelamin, situasi dan keakraban. Beliau juga
Universitas Sumatera Utara
meneliti kesalahan pemakaian kata sapaan yang menyebabkan komunikasi tidak lancar yang dapat menimbulkan kesalahpahaman antara penyapa dengan tersapa.
2.3.2 Hepy Yen Trisny, 2006. Hepy Yen Trisny, 2006, dalam tesisnya yang berjudul Kata Sapaan Bahasa Minangkabau. Beliau membahas perbedaan kata sapaan yang ada di dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Minang yang diakibatkan adanya pengaruh bahasa Indonesia modern. 2.3.3 Marice, 2010. Marice, 2010, Bahasa Batak Toba di Kota Medan Kajian Interferensi dan Sikap Bahasa (Disertasi), yang mengkaji tentang adanya gejala interferensi dalam bahasa Batak Toba oleh penutur Batak Toba di Medan. Dari perekaman tuturan dalam berbagai situasi dalam penelitian beliau. Beliau menemukan tiga tipe interferensi yaitu interferensi dalam aspek fonologis, gramatikal dan leksikal. Pada aspek fonologi beliau menemukan adanya penyimpangan alternasi fonem dan pelafalan asimilasi fonem. Pada aspek morfologi menemukan penyimpangan yang terdapat pada pembentukan nomina dan verba. Dalam aspek sintaksis menemukan interferensi berupa penghilangan partikel. Dari aspek tuturan menemukan adanya kedwibahasaan dan diglosia yang terjadi pada bahasa Batak Toba di kota Medan.
2.3.4 Abdurahman Adisaputera, 2010. Abdurahman Adisaputera, 2010, dalam disertasinya yang berjudul Pergeseran Bahasa Melayu Langkat (BML) dan Perubahan Karakter Kelokalan Komunitas
Universitas Sumatera Utara
Remaja. Beliau mengkaji tentang pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas remaja Melayu di Stabat yang dianalisis berdasarkan hasil tes kompetensi leksikal dan bentuk-bentuk lingual dalam repetoar bahasa Melayu di Stabat. Kemudian menemukan bahwa adanya pergeseran Bahasa Melayu Langkat pada komunitas Melayu di Stabat yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Penelitian beliau dijadikan sebagai kajian terdahulu sebab landasan teori yang digunakan dalam penelitian beliau yakni teori etnografi komunikasi dan teori ranah penggunaan bahasa yang beliau gunakan dalam penelitian pergeseran bahasa sama dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini dan perbedaan terletak pada objek kajian beliau dengan objek kajian penulis dalam tesis ini. Jika beliau meneliti tentang pergeseran kompetensi leksikal dan bentuk-bentuk lingual dalam repetoar bahasa Melayu sedangkan penelitian dalam tesis ini adalah mengenai pergeseran kata sapaan pada masyarakat Angkola di kota Padangsidimpuan dan tidak sampai pada kepunahan bahasa. penelitian ini juga hanya meneliti kata sapaan pada ranah keluarga, ketetanggaan dan transaksi.
2.3.5 Raina Rosanti, 2011. Raina Rosanti, 2011, dalam tesisnya yang berjudul Pergeseran Kata Sapaan Dalam Bahasa Minagkabau Dialek Agam Di Kota Medan. Beliau membahas tentang pergeseran kata sapaan yang terjadi pada masyarakat Minagkabau di kota Medan. Dalam penelitian beliau bahwa masyarakat Minangkabau memiliki dua bagian kata sapaan kekerabatan yakni kata sapaan pada umumnya dan kata sapaan nonkerabat. Kata sapaan nonkerabat meliputi kata sapaan bidang agama, kata sapaan bidang adat
Universitas Sumatera Utara
dan kata sapaan jabatan. Dalam masyarakat Minangkabau pun telah terjadi pergeseran kata sapaan yang disebabkan oleh faktor bahasa asing yang lebih prestise dan pada umumnya pergeseran itu pun terjadi pada remaja usia muda.
Universitas Sumatera Utara